Senin, 07 April 2014

Pertobatan Ayub sebagai Tanggapan atas Teofani












BAB I




PENDAHULUAN




1.    Latar Belakang Pemilihan Tema
Dalam sejarah hidup manusia, penderitaan merupakan salah satu tema klasik, menarik dan besar. Problem tentang penderitaan ini juga sungguh serius lantaran kita dapat melihat berbagai reaksi manusia ketika berhadapan dengan penderitaan. Tatkala menderita, manusia bisa saja frustasi dan merasa dirinya tak berarti. Hal yang lebih mengejutkan ialah ketika manusia harus melewati penderitaan yang dianggapnya tragis. Ia bisa saja berontak terhadap dirinya dan memandang hidupnya tak bermakna hingga harus memilih bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya.[1]
Namun bagi manusia yang mau dan mampu berpikir, pengalaman-pengalaman pahit yang mengakibatkan penderitaan dapat menjadi sebuah sarana untuk menemukan makna kehidupan di dunia ini. Melalui kemampuannya dalam berpikir dan mengolah hidupnya, manusia semestinya bersedia untuk bersikap realistis terhadap kehidupan ini. Dengan keyakinan demikian, manusia akan mampu menyiasati realitas penderitaan yang dihadapinya.[2]
Bagi orang beriman kristiani, pengalaman menderita tidak boleh diabaikan begitu saja. Dewasa ini, tidak jarang dijumpai saudara-saudari seiman yang rela meninggalkan imannya dan mulai meragukan adanya kasih Allah, karena pengalaman tragis yang menimpa dirinya. Berhadapan dengan kenyataan inilah, orang kristiani memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian iman. Dengan demikian kita dapat menemukan jejak-jejak keadilan dan kasih Allah dalam situasi gelap dan pahit sekalipun.[3]
Ada saatnya orang dapat memaklumi penderitaan yang dia terima, khususnya di saat orang itu telah melakukan pelanggaran serius yang melanggar hukum atau moral. Penderitaan yang disebabkan oleh pelanggaran atau kelalaian manusia itu sendiri sering dianggap sebagai hal yang wajar. Akan tetapi apabila penderitaan itu dialami oleh orang yang dikategorikan tidak bersalah, orang saleh, atau tidak berdosa, maka penderitaan itu sulit untuk dipahami dan diterima oleh manusia pada umumnya. Dalam hidup keagamaan monoteistis[4], kenyataan orang saleh yang menderita sering menimbulkan pertanyaan yang secara langsung dihubungkan dengan sifat pokok Allah yang diperkenalkan dalam Kitab Suci, yakni adil dan penuh kasih. Bagaimanakah Allah yang adil dapat menyebabkan penderitaan bagi orang yang setia kepada-Nya?[5]
Berhadapan dengan tema klasik dan besar ini, Kitab Ayub menyajikan kisah mengenai penderitaan orang saleh, yaitu Ayub sendiri. Ia adalah seorang yang takut akan Allah, jujur dan benar. Namun, tiba-tiba ia dicobai oleh setan dengan sepengetahuan atau seizin dari Allah. Pencobaan itu menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya musnah, anak-anaknya mati, kesehatannya juga hancur dan para sahabatnya menuduhnya sebagai pendosa. Bahkan, istrinya sendiri tidak percaya lagi padanya. Saat itulah Ayub merasa sungguh-sungguh menderita dan kesepian. Ayub yang sadar tidak berdosa mulai memberontak kepada Tuhan. Ia merasa tidak pantas untuk menderita separah itu. Maka ia mulai mempertanyakan dan mencari keadilan Tuhan. Lebih dari itu, Ayub mulai menghakimi Allah.[6]
Pencarian akan makna keadilan ini terangkum pada bagian puisi dalam Kitab Ayub, terutama bagian dialog antara Ayub dan ketiga sahabatnya (bab 4-27). Tema pokok dalam bagian dialog tersebut adalah konflik antara pendapat tradisional, yakni hukum pembalasan di bumi[7] yang dikemukakan oleh ketiga sahabat Ayub dengan kritik Ayub yang memperkenalkan diri sebagai bukti bahwa pendapat tradisional itu tidak dapat dipertahankan. Dalam konteks ini, penulis Kitab Ayub mau melawan ide tradisional mengenai hukum pembalasan di bumi.[8]
Dialog yang tidak menemukan titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya akhirnya ditutup dengan teofani (Ayb 38-42), di mana Allah menyatakan diri secara khusus kepada Ayub. Dalam teofani ini, Allah menuntun Ayub kepada pemahaman betapa besar dan dalamnya misteri penderitaan manusia yang harus diterima dalam sikap iman. Keheningan dan kesepian di hadapan Allah membuka kesempatan untuk memahami Allah secara lain. Keheningan ini akan berubah menjadi sabda dan pembicaraan yang membuka wajah Allah.[9]
Penampakan Allah tersebut akhirnya mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub tersebut secara eksplisit tertuang dalam Ayb 42:1-6. Di sini, Ayub mengakui keterbatasannya berhadapan dengan kebesaran Allah. Ayub juga menemukan suatu sikap baru dalam menghadapi misteri penderitaannya. Sikap itu dinyatakan Ayub dengan ungkapan tobat yang sungguh mendalam, yakni atas dosanya yang telah mempertahankan kebenarannya sendiri.[10]
Teofani itu kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan menarik: Bagaimana seseorang (Ayub) yang menderita harus bersikap terhadap Allah? Bagaimana teofani itu dapat dimengerti oleh Ayub? Apa implikasi penampakan Allah tersebut bagi Ayub?
2.      Perumusan dan Pembatasan Tema
Kitab Ayub diawali dengan cerita mengenai kesalehan Ayub yang tak tertandingi. Ayub digambarkan sebagai tokoh yang ideal dalam kesalehan hidup manusia. Kesalehan itu diungkapkan oleh penulis Kitab Ayub dengan kata Ibrani tām, yang artinya “sempurna”. Jati diri Ayub yang saleh (“sempurna”) dipertegas dalam  Ayb 1:22 dan Ayb 2:10, di mana Ayub dilukiskan sebagai pribadi yang tidak berdosa baik dalam ucapan maupun dalam tindakannya.[11]
Segala predikat dan reputasi kesalehan Ayub yang positif seolah berubah drastis ketika Ayub mengungkapkan isi hatinya pada bab 3. Dalam awal bab 3 ini, tokoh Ayub muncul sangat berbeda dengan Ayub yang sabar dan saleh dari kedua bab pertama. Kini, muncul seorang penderita yang berusaha mencari sikapnya yang tepat di hadapan Allah dan sesamanya, dalam keadaan penuh derita fisik dan psikis yang amat parah. Penderitaan dan kemalangan yang luar biasa itu mengarahkan Ayub kepada persoalan mendasar: “Di manakah keadilan?”[12]
Pencarian keadilan ini menjadi bahan perdebatan antara Ayub dan ketiga sahabatnya (bab 3-27). Baik Ayub maupun ketiga sahabatnya sama-sama mengakui bahwa penderitaan berasal dari Allah dan penderitaan itu adalah akibat dari dosa. Namun, persoalannya adalah ketiga sahabat Ayub mengatakan bahwa Ayub berdosa, sedangkan Ayub sendiri merasa diri sebagai orang yang tidak berdosa. Ketiga sahabat Ayub meminta Ayub untuk bertobat, sementara Ayub justru menantang Allah supaya ‘mempertanggungjawabkan’ perlakuan yang tidak adil atas dirinya. Tantangan Ayub itu kemudian mendapat tanggapan dari pihak Allah melalui teofani (bab 38-42).[13]
Dalam bagian teofani ini, pengarang Kitab Ayub berusaha membawa masalah Ayub, si penderita yang saleh, kepada pemecahan. Melalui teofani, Allah menuntun Ayub kepada suatu pengertian baru dalam memahami  masalah penderitaan. Allah tidak menjawab langsung keluhan-keluhan Ayub tentang penderitaannya. Penderitaan Ayub tetap menjadi sebuah misteri Allah yang tidak akan dapat dipahami secara tuntas oleh Ayub.[14] Kini, teofani Allah tersebut mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub atas teofani tersebut secara jelas tertuang dalam Ayb 42:1-6. Tanggapan Ayub inilah yang menjadi pokok pergumulan skripsi ini, yaitu pengakuan akan misteri penderitaan sebagai bagian dari misteri Allah. Selanjutnya, pengakuan ini mengarahkan Ayub pada sikap tobat yang sejati.[15] 
Ungkapan “pertobatan” (pembaharuan diri) yang terdapat dalam Ayb 42:1-6 dipandang sebagai penarikan kembali segala perkara dan dakwaan yang telah diajukan Ayub kepada Yahweh.[16] Selain itu, teks ini juga berisi ulasan tentang Ayub yang mendapatkan kembali beragam aspek pengetahuan yang sungguh berbeda antara dirinya dan Yahweh. Perikop ini merupakan klimaks dari seluruh isi Kitab Ayub.[17] Ini berarti Ayb 42:1-6 memiliki keistimewaan tersendiri dalam Kitab Ayub. Berangkat dari gagasan tersebut, penulis akan membatasi diri untuk membahas perikop Ayb 42:1-6.
Teofani dan tanggapan Ayub adalah pengakuan atas keterbatasan Ayub berhadapan dengan kebesaran Allah dan pengakuan Ayub atas misteri penderitaan. Pengakuan tersebut akhirnya membawa Ayub pada sikap sesal dan tobat yang sejati. Sikap tobat itu diungkapkan Ayub dengan mencabut perkataannya dan menyesal karena telah menggugat dan mempersalahkan perlakuan Allah atas dirinya. Maka, berdasarkan perumusan dan pembatasan tema di atas, penulis memberi judul skripsi ini: Pertobatan Ayub sebagai Tanggapan atas Teofani: Uraian Eksegetis-Teologis atas Ayb 42:1-6.
3.      Tujuan Penulisan
Skripsi ini memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai. Pertama, skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Kedua, skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk mendalami dan memperluas cakrawala penulis mengenai satu dari sekian tema Kitab Suci, khususnya Kitab Ayub. Melalui pembahasan skripsi ini, penulis juga berharap mampu mendeskripsikan bagaimana proses pergumulan Ayub dalam usahanya untuk mencapai pertobatan yang terdapat dalam Ayb 42:1-6.
4.      Metode Penelitian dan Penulisan
Metode yang dipakai penulis dalam mengelola karya ilmiah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research). Bahan-bahan penulisan skripsi ini tersedia dalam buku-buku dan artikel-artikel. Bahan-bahan tersebut akan dipelajari dan diolah secara sistematis sesuai dengan tema yang dipilih oleh penulis.
Dalam perumusan dan penyusunan hasil penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis eksegetis dan teologis. Analisis eksegetis akan terfokus pada perikop Ayb 42:1-6. Sementara itu, dalam analisis teologis, selain terfokus pada teks bahasan, penulis juga akan menguraikan gagasan-gagasan teologis yang terkandung dalam Kitab Ayub yang terkait dengan perikop yang bersangkutan.
5.      Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari empat bab. Keseluruhan bab tersebut akan disajikan dengan sistematika berikut ini:
Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini, penulis hendak memaparkan mengenai latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, serta sistematika penyajian.
Bab II merupakan hantaran umum. Dalam bab ini akan diuraikan seputar Kitab Ayub. Perhatian khusus akan diberikan pada hukum pembalasan di bumi dan teofani dalam Kitab Ayub (38-42). Bab ini, akan diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Bab III merupakan inti dari skripsi ini. Di dalamnya, penulis memaparkan ulasan eksegetis-teologis atas Ayb 42:1-6. Pertama-tama penulis akan menjelaskan secara eksegetis tentang pertobatan Ayub sebagai tanggapan atas teofani. Kemudian, penulis akan menarik poin-poin teologis atas kisah pertobatan Ayub dalam Ayb 42:1-6 dan perikop-perikop yang bersangkutan dengan teks tersebut. Bab ini akan diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Bab IV merupakan bagian penutup dari skripsi ini. Pada bagian ini, penulis akan menyajikan rangkuman umum atas seluruh pambahasan yang telah dipaparkan. Kemudian penulis akan memberikan refleksi atas keseluruhan isi skripsi yang telah disajikan tersebut.











BAB II




HANTARAN UMUM




1.    Pengantar
Kitab Ayub[18] dipandang sebagai karya sastra yang penting dan unggul[19], bukan hanya dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam keseluruhan sastra dunia. Namun, keunggulan-keunggulan di dalamnya justru menjadikan kitab ini sulit untuk dipahami. Apalagi, kitab ini dianggap sebagai karya gabungan dari cerita rakyat kuno yang disadur kembali oleh para penyair kemudian.[20]
Untuk mendalami Kitab Ayub tersebut, penulis mengemukakan tiga pokok bahasan dalam bab II ini. Pembahasan pertama adalah ulasan mengenai seputar Kitab Ayub. Dalam poin ini, penulis menyajikan uraian singkat mengenai pengarang, waktu penulisan, struktur dan jenis sastra Kitab Ayub serta kesejajarannya dengan naskah yang beredar di dunia Timur Tengah Antik. Pokok bahasan yang kedua adalah ulasan tentang hukum pembalasan di bumi. Sedangkan poin ketiga merupakan ulasan mengenai teofani dalam Kitab Ayub. Tema tentang hukum pembalasan dan teofani sangat penting dalam memahami Kitab Ayub dan secara khusus dalam memahami bab III yang menjadi bagian inti dalam penulisan skripsi ini.
2.    Seputar Kitab Ayub
Dalam pembahasan berikut akan dijelaskan secara ringkas mengenai latar belakang Kitab Ayub, yakni gambaran mengenai pengarang dan waktu penulisan kitab. Setelah itu akan dijelaskan perihal struktur Kitab Ayub dan kesejajarannya dengan karya-karya sastra yang telah beredar di dunia Timur Tengah Antik.

2.1    Pengarang
Tradisi Yahudi yang tertuang dalam Talmud[21] (Baba Bathra 14b) menyebutkan bahwa penulis Kitab Ayub adalah Musa. Ada dua argumen yang mendukung tradisi tersebut. Pertama, Kitab Ayub diterima oleh orang-orang Yahudi walaupun tokoh dan nuansa kitab ini bukan berasal dari Yahudi. Penerimaan seperti ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat sehingga dapat mengalahkan rasa nasionalisme bangsa Yahudi sendiri. Kedua, latar belakang cerita dalam kitab ini menyiratkan situasi pada masa patriakh sebelum zaman Musa.[22]
          Ada juga yang berpendapat bahwa penulis Kitab Ayub bukanlah seorang Yahudi. Alasannya bahwa seluruh kisah dalam kitab ini bercerita tentang tokoh-tokoh yang bersifat sangat kosmopolitan, yang tidak terikat pada satu budaya Yahudi semata. Tanah Us[23], daerah asal Ayub semakin memperkuat alasan bahwa penulis adalah seorang bukan Yahudi. Walaupun hipotesis ini dapat diterima, kitab ini telah diakui secara umum ditulis oleh seorang Yahudi dalam bahasa Ibrani.[24]
Meskipun dua hipotesis di atas telah berusaha menjelaskan ciri dan karakter penulis Kitab Ayub, namun para ahli sepertinya tetap sepakat bahwa penulis Kitab Ayub ialah seorang anonim. Penulis kitab menyembunyikan identitasnya di belakang karyanya.[25]
Seorang penyair anonim itu ingin mengungkapkan pandangan kritis terhadap keterangan-keterangan dari para guru kebijaksanaan mengenai hubungan mutlak antara tindakan manusia dan nasibnya, yang dikenal dengan hukum pembalasan di bumi. Agar pandangan kritis itu lebih mudah diterima dan menarik perhatian pembaca, maka penyair memanfaatkan suatu kisah yang sudah tua dan terkenal mengenai seorang penderita yang saleh, yakni Ayub.[26]
          Hartley dan sebagian besar ahli berpendapat bahwa penulis Kitab Ayub terhitung sebagai seorang bijak kuno yang tertarik dengan ilmu-ilmu  kebijaksanaan yang mengajarkan kepatuhan dan kesetiaan pada ajaran tertentu. Kebijaksanaan itu mengajarkan manusia untuk takut akan Yahweh.[27] Selain itu, penulis Kitab Ayub ialah seorang yang memiliki kepekaan yang besar terhadap keadaan manusia yang menderita dan mempunyai pemahaman teologis yang mendalam tentang penderitaan. Ia menguasai kebudayaan-kebudayaan kuno di dunia Timur Tengah Antik dan memiliki pengetahuan luas, serta terampil di bidang sastra.[28]
2.2    Waktu Penulisan
            Baik para rabi dahulu maupun para ahli kitab modern tidak sepakat mengenai waktu penulisan Kitab Ayub. Banyak ahli menganggap bahwa bagian prolog (Ayb 1-2) dan epilog (Ayb 42:7-17) yang ditulis dalam bentuk prosa berasal dari zaman kuno, sedangkan bagian puisi (Ayb 3:1-42:6) berasal dari periode kemudian.[29]
            Bagian ini adalah keterangan bahwa bagian prolog dan epilog dari Kitab Ayub berasal dari zaman yang lebih kuno. Pertama, Ayb 1:5 mengisahkan bahwa Ayub sendirilah yang mempersembahkan kurban bakaran. Tindakan ini juga dilakukan oleh Abraham atau Yakub yang mempersembahkan kurban bakaran tanpa melalui perantaraan seorang imam (Ayb 1:5; bdk. Kej 22:13; 31:54). Kedua, harta kekayaan Ayub yang terdiri dari domba, unta, lembu dan keledai, sama dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh Abraham dan Yakub (Ayb 1:3; bdk. Kej 12:16; 32:5). Ketiga, masa hidup atau usia Ayub yang mencapai 140 tahun sesuai dengan masa hidup orang-orang yang ada dalam kitab Taurat (Ayb 42:16; bdk. Kej 25:7). Keempat, seorang pahlawan kuno yang saleh bernama Ayub disebut oleh Yehezkiel bersamaan dengan Nuh dan Daniel[30] (Yeh 14:14,20). Keempat ciri tersebut mengindikasikan bahwa kisah prosa ini benar-benar kuno dan diturunkan oleh tradisi sejak kejadiannya, yakni sekitar tahun 1000 sM atau sebelumnya.[31]
            Sementara itu para ahli seperti LaSor dan Harris menganggap bahwa bagian puisi berasal dari waktu yang lebih muda karena alasan berikut: Kitab Ayub memiliki kemiripan dengan Kitab Yeremia (bdk. Ayb 3:3-26 dan Yer 20:14-18), dengan akhir Kitab Yesaya (terutama nyanyian Hamba Yahweh yang menderita Yes 52:13-53:12), dan dengan Kitab Amsal  (bdk. Ayb 15:7,8 dan Ams 8:22,25). Kemiripan-kemiripan tersebut menunjukkan situasi pada abad ke-7 sM atau sesudahnya.[32]
            Para ahli mengakui bahwa amatlah sulit untuk menentukan secara pasti kapan kitab ini ditulis. Buku ini diyakini sudah bebas beredar dan diterjemahkan sekitar abad pertama sebelum Masehi. Ada yang mengatakan kitab ini ditulis sekitar masa-masa Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku ini diakui telah ditulis sekitar tahun 600 sM.[33]


2.3    Struktur Kitab
Kitab Ayub terdiri atas dua bagian yang sangat berbeda yaitu bagian prosa (Ayb 1-2 dan 42:7-17) dan bagian puisi (Ayb 3:1-42:6).[34] Bagian prosa menempati prolog dan epilog. Secara umum struktur Kitab Ayub bagian prosa dapat disusun sebagai berikut:
a.       Prolog (bab 1-2)
-  Ayb 1:1-5                       : Ayub diperkenalkan
-  Ayb 1:6-12                     : Dialog pertama: Yahweh-Iblis
-  Ayb 1:13-22                   : Kemalangan pertama
-  Ayb 2:1-7a                     : Dialog kedua: Yahweh-Iblis
-  Ayb 2:7b-10                   : Kemalangan terakhir
-  Ayb 2:11-13                   : Kunjungan ketiga sahabat Ayub
b.      Epilog (bab 42:7-17)
-  Ayb 42:7-10                   : Dialog Yahweh-Elifas
-  Ayb 42:11-17                 : Keadaan Ayub dipulihkan[35]
Setelah Ayb 2:13, penyair membuka cerita untuk memasukkan sisipan (kisah puisi) ke dalam satu bagian cerita Ayub. Ayb 2:13 mencatat bahwa ketiga teman Ayub tidak mengucapkan sepatah kata pun padahal Ayb 42:7 mengandaikan ada pembicaraan di antara Ayub dan ketiga sahabatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagian baru dari penyair (setelah Ayb 2:13) menggantikan satu (atau beberapa) adegan dialog antara Ayub dengan teman-temannya. Di samping itu, dalam kisah prosa yang asli ternyata sudah ada suatu dialog Yahweh-Ayub yang dihilangkan ketika bagian puisi disisipkan. Dialog itu diganti dengan dialog panjang yang terdapat dalam 38:1-42:6. Dialog Yahweh-Ayub dalam bagian prosa mempermudah penyair dalam menyisipkan karyanya.[36]
Sementara itu bagian puisi Kitab Ayub (Ayb 3:1-42:6) dapat disusun dengan struktur sebagai berikut:
a.       Ayb 3                                : Keluhan Ayub (monolog pertama)
b.      Ayb 4-27                           : Dialog
·      Ronde I (4-14)        :
Ayb 4-5                   : Pidato pertama Elifas
Ayb 6-7                   : Pembelaan Ayub atas pidato Elifas
Ayb 8                      : Pidato pertama Bildad
Ayb 9-10                 : Pembelaan Ayub atas pidato Bildad
Ayb 11                    : Pidato pertama Zofar
Ayb 12-14               : Pembelaan Ayub atas pidato Zofar
·      Ronde II (15-21)    :
Ayb 15                    : Pidato kedua Elifas
Ayb 16-17               : Pembelaan Ayub atas pidato Elifas
Ayb 18                    : Pidato kedua Bildad
Ayb 19                    : Pembelaan Ayub atas pidato Bildad
Ayb 20                    : Pidato kedua Zofar
Ayb 21                    : Pembelaan Ayub atas pidato Zofar             
·      Ronde III (22-27)               :
Ayb 22                                : Pidato ketiga Elifas
Ayb 23-24:1-17                  : Pembelaan Ayub atas pidato Elifas
Ayb 25:1-6; 26:5-14           : Pidato ketiga Bildad
Ayb 26:1-4; 27-31             : Pembelaan Ayub atas pidato Bildad
c.       Ayb 28                  : Madah Kebijaksanaan
d.      Ayb 29-31             : Ratapan Ayub (monolog kedua)
e.       Ayb 32-37             : Pidato Elihu
f.       Ayb 38:1-42:6       : Teofani[37]
              Dari skema pada bagian puisi di atas dapat diterangkan beberapa hal. Pertama, monolog pertama dari Ayub (bab 3) diimbangi dengan monolog yang panjang (bab 29-31). Kedua, antara kedua monolog ditempatkan suatu dialog panjang yang terdiri atas tiga rangkaian pidato dari Ayub dan teman-temannya (bab 4-27). Ketiga, dialog Yahweh-Ayub (38:1-42:6) berhubungan langsung dengan monolog yang kedua (29-31), yang berakhir dengan suatu harapan untuk menghadap Yahweh (31:35-37). Keempat, hubungan bab 31 dan bab 38 diputuskan oleh beberapa pidato dari Elihu, yang merupakan tambahan pada bagian puisi. Melalui sisipan yang besar ini, kelompok guru kebijaksanaan mencoba menangkis pengaruh negatif dari “kemenangan” kritik Ayub atas pendapat ketiga sahabatnya. Kelima, menurut pandangan yang umum “madah kebijaksanaan” yang terdapat pada bab 28 juga merupakan suatu tambahan yang disisipkan kemudian oleh penyair atau oleh seorang redaktur yang lain.[38]
              Kitab Ayub dianggap sebagai karya gabungan antara bagian prosa dengan bagian puisi. Namun banyak ahli yang menyimpulkan bahwa kitab ini tidak dapat dimengerti dengan menganalisisnya menjadi bagian-bagian yang terpisah. Kitab ini tetap harus dipahami sebagai satu karya sebagaimana adanya sekarang.[39]
2.4    Kajian Sastra
Ada dua hal yang hendak dijelaskan dalam bagian ini. Pertama, pembahasan mengenai ciri sastra Kitab Ayub yang memiliki kesejajaran dengan sastra kuno yang telah beredar di sekitar Timur Tengah Antik. Kedua, ulasan mengenai bentuk dan jenis sastra yang termuat dalam Kitab Ayub.
2.4.1   Kesejajaran dengan Sastra Timur Tengah Antik
            Sastra kebijaksanaan Israel memiliki banyak kesejajaran dengan sastra di Timur Tengah Antik, tak terkecuali dengan Kitab Ayub sendiri. Kisah mengenai orang saleh yang menderita seperti dalam Kitab Ayub memiliki kemiripan dengan kisah-kisah kuno yang sudah beredar di kawasan Timur Tengah Antik.[40] Ini menunjukkan bahwa kisah mengenai orang saleh yang menderita bukanlah klaim dunia Israel. Berikut ini disebutkan beberapa teks kuno yang memiliki kesejajaran dengan Kitab Ayub.
            Pertama, teks dari Mesir Kuno yang berjudul “Kisah Petani yang Fasih Berbicara”. Teks yang berasal dari abad ke-21 sM ini terdiri dari sembilan pidato berbentuk puisi yang ditempatkan di antara prolog dan epilog yang berbentuk prosa. Teks ini mengisahkan seorang petani yang menuntut keadilan kepada pihak pemerintah karena dirinya merasa dirugikan oleh pegawai tinggi. Melalui kefasihannya dalam berpidato, petani tersebut menyampaikan keluhannya perihal ketidakadilan yang menimpa dirinya, meski perjuangan itu sangat beresiko.[41]
            Kedua, teks dari Mesir yang berjudul “Dialog tentang Bunuh Diri”. Teks ini mengisahkan seorang pahlawan kuno yang mengalami keputusasaan dalam menghadapi derita yang amat dalam. Rasa lelah dan kecewa atas persoalan hidup, membuat pahlawan tersebut memilih untuk mati. Namun jika bunuh diri, ia takut bahwa jiwanya juga ikut mati. Hal inilah yang juga dialami oleh Ayub, yakni keinginan untuk mati ketimbang menanggung penderitaan (bdk. Ayb 7:15).[42]
            Selain kedua teks di atas, ada beberapa kisah kuno dari dunia Timur Tengah Antik yang memiliki kesejajaran dengan Kitab Ayub. Kisah-kisah itu antara lain: Teodise dari Babel yang berisi dialog antara seorang yang menderita dengan sahabat-sahabatnya; cerita dari Sumeria yang berjudul “Manusia dan Dewanya”; Nasihat-Nasihat Ipu-wer; “Ludlul bel Nemeqi” (Aku akan Memuji Tuhan yang Bijaksana), dan dongeng dari India mengenai Hariscandra.[43]
            Meski memiliki kesejajaran dengan teks-teks kuno yang beredar di sekitar Timur Tengah Antik, Kitab Ayub tetap memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat esensial. Perbedaan-perbedaan dalam teologi, etika, nada dan suasana antara Kitab Ayub dengan teks-teks kuno di Timur Tengah Antik yang sedemikian mencolok makin menampakkan keunikan dari kitab ini yang tidak tergantung pada naskah-naskah sebelumnya. Keunikan Kitab Ayub ini terletak pada koherensi uraiannya tentang tema kesengsaraan manusia, ciri monoteisme yang sangat kentara, pelukisan tokoh-tokoh utama dalam keseluruhan kisah, keindahan lirik dari puisi-puisinya, serta situasi dan kisah dramatis dari seorang yang menghadapi “beban yang tak terpahami”.[44] Keunikan-keunikan inilah yang menjadi alasan penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama dalam daftar Kitab-kitab Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai sastra yang paling unggul dalam daftar sastra dunia.[45]

2.4.2   Bentuk dan Jenis Sastra
            Para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai jenis dan bentuk sastra dari kisah yang termuat dalam Kitab Ayub. Berikut ini dikemukakan beberapa jenis sastra yang ditemukan oleh para ahli seputar Kitab Ayub ini.
            Pertama, kitab ini dikenal sebagai sastra yang berisi gugatan. Karena banyaknya tema-tema tentang hukum dalam kitab ini, para ahli berpendapat bahwa lingkup yuridis merupakan latar belakang dari kitab ini.[46] Kitab Ayub dipahami sebagai gugatan Ayub kepada Allah, di mana sahabat-sahabatnya berfungsi sebagai saksi (yang tampaknya kontra terhadap gugatan Ayub).[47] Sementara itu, dalam tema peradilan tersebut Allah berperan sebagai yang tertuduh dan terdakwa, meskipun pada dasarnya Dialah Hakim atas Ayub dan sahabat-sahabatnya.[48]
Kedua, Kitab Ayub memiliki ciri ratapan.[49] Teori ini menganggap bahwa Kitab Ayub bukan semacam perbincangan biasa mengenai penderitaan yang dapat ditemukan dalam sastra hikmat, tetapi suatu hasil penelitian yang mendalam dan bersifat pribadi.[50]
Ketiga, beberapa ahli berpendapat bahwa Kitab ini berisi perdebatan filosofis, yang memiliki kemiripan dengan perdebatan filosofis yang termuat dalam naskah yang beredar di sekitar dunia Timur Tengah Antik.[51] Selain itu, beberapa ahli lain juga berpendapat bahwa Kitab Ayub merupakan kisah sejenis komedi, tragedi, perumpamaan, ataupun sejenis epik (kisah sejarah kepahlawanan).[52]
Dalam skripsi ini, Kitab Ayub dilihat sebagai sastra hikmat kebijaksanaan dan ungkapan hukum. Dalam dunia biblis, hikmat kebijaksanaan dibagi dalam dua aspek. Pertama, hikmat kebijaksanaan itu ditemukan dalam pengalaman hidup manusia sehari-hari dan dirumuskan dalam bentuk perumpamaan. Kedua, hikmat tradisional mengajarkan bahwa hidup yang baik dan benar pada umumnya akan menghasilkan anugerah hidup, terutama kesuburan dan kesejahteraan. Pengalaman Ayub justru mempertanyakan ajaran tersebut secara serius.[53] Kritik yang tajam atas hikmat kebijaksanaan tradisional tersebut melahirkan pertanyaan baru apakah dalam Kitab Ayub hukum pembalasan di bumi dapat dipertahankan.
3.    Hukum Pembalasan di Bumi dalam Kitab Ayub
Menurut para ahli Kitab Suci, ide mengenai hidup di akhirat baru muncul pada abad ke-2 sebelum Masehi (bdk. Dan 12:2-3; 2 Mak 7:9,11,14,23; Keb 2-3). Sebelum ide tentang hidup setelah mati muncul, orang Israel meyakini bahwa orang mati akan pergi ke suatu tempat di bawah bumi yang disebut syeôl[54], di mana mereka yang telah mati baik kaya maupun miskin, tua atau muda, baik atau jahat akan berada dalam suatu eksistensi semu saja yang sebetulnya tidak tepat disebut “hidup” lagi.[55]
Jadi, jika pembalasan  hendak dijalankan, maka satu-satunya tempat yang tepat ialah di dunia ini, yakni ketika manusia masih hidup. Orang yang benar (saleh) di hadapan Allah akan mendapat kebahagiaan, berupa harta kekayaan, keturunan dan umur yang panjang. Sedangkan orang fasik (berdosa) yang hidupnya tidak benar di hadapan Allah akan mendapat ganjaran yang setimpal berupa penyakit (penderitaan), kemiskinan dan kematian di usia muda. Inilah ide tradisional Israel mengenai hukum pembalasan.[56] Dalam hukum pembalasan[57] diyakini bahwa ada korespondensi antara tindakan yang dilakukan dengan nasib seseorang.[58]


3.1    Hidup Sesudah Mati dalam Tradisi Yahudi menurut Kitab Ayub
Ajaran tradisional mengenai hukum pembalasan di bumi menjadi pokok perdebatan dalam Kitab Ayub, terutama pada bagian dialog (Ayb 4-27). Hal tersebut terjadi karena konsep kehidupan sesudah kematian belum muncul dalam Kitab Ayub.
Berkenaan dengan konsep kehidupan setelah kematian, N. T. Wright membuat tiga tahap perkembangan: pertama, tidak ada harapan sama sekali bagi orang yang meninggal; tahap kedua, muncul keyakinan bahwa kasih kuasa Allah yang begitu besar tidak bisa dipatahkan oleh kematian; dan tahap ketiga, lahirnya keyakinan bahwa orang mati akan dibangkitkan.[59]
Berdasarkan tahap-tahap di atas, Kitab Ayub kiranya dapat ditempatkan pada tahap yang pertama. Kitab Ayub tidak memberi harapan bagi mereka yang meninggal. Sebagai gambaran, Kitab Ayub sendiri sering dipahami sebagai ungkapan protes keras manusia di hadapan ketidakadilan Tuhan: mengapa orang yang saleh menderita? Ayub bahkan berani menantang Allah untuk beperkara,[60]
Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan. Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya kepadaku (Ayb 23:3-5).

Ayat-ayat di atas (Ayb 23:3-5) penuh dengan istilah teknis hukum. Pencobaan yang sangat berat yang diyakini Ayub berasal dari Allah begitu kuat menekannya sehingga ia ingin mengajukan perkaranya ke pengadilan (bdk. Ayb 9:13-21; 13:14-27). Di sini Ayub tidak menginginkan seorang pengantara (wasit). Ia sudah siap untuk memperjuangkan perkaranya sendiri. Ia yakin akan terbukti tidak bersalah.[61]
Protes Ayub yang sedemikian keras sebenarnya bisa dipahami jika memang tidak ada hidup-sesudah-mati. Jika hidup sesudah mati ada, rasanya Ayub tidak perlu bersikap seperti itu karena dia dapat mengharapkan keadilan Allah pada saat yang akan datang. Tidak adanya pengharapan akan hidup sesudah mati semakin dipertegas dalam Ayb 14:7-12, “Jika pohon ditebang ia akan bertunas kembali, tetapi jika manusia mati... tidak berdayalah ia... berbaring dan tidak bangkit lagi ...”.[62]
3.2    Problematika Hukum Pembalasan di Bumi dalam Kitab Ayub
Di saat bangsa Israel masih hidup sebagai masyarakat nomad atau seminomad, mereka hidup dalam struktur sosial yang cukup sederhana, yakni sebuah keluarga yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Kepala keluarga tersebut mewakili seluruh keluarga dalam relasinya dengan suku yang lain. Struktur kepala keluarga dan suku tersebut bertahan cukup lama, bahkan ketika bangsa Israel sudah menjadi sedenter.[63]
Struktur kolektif tersebut terbawa dalam konsep hukum pembalasan. Suatu contoh secara jelas termuat dalam Yos 6-7. Dalam Yos 6 dikisahkan bahwa bangsa Israel dilarang untuk memakai barang-barang rampasan perang. Namun setelah dilakukan pemeriksaan, ada seorang Israel yang bernama Akhan didapati mencuri satu jubah, emas dan perak. Akibat dari perbuatannya, seluruh bangsa Israel ikut menanggung dosanya:[64]
           
            Tetapi bani[65] Israel berubah setia dengan mengambil barang-barang yang dikhususkan itu, karena Akhan bin Karmi bin Zabdi bin Zerah, dari suku Yehuda, mengambil sesuatu dari barang-barang yang dikhususkan itu. Lalu bangkitlah murka TUHAN terhadap bani Israel (Yos 7:1).
Sistem suku dan keluarga yang kuno itu secara lambat laun mengalami perubahan. Pembagian daerah yang dilakukan oleh Raja Salomo dan proses urbanisasi telah mendobrak sistem kekeluargaan dan kesukuan di Israel. Urbanisasi membawa perkembangan suatu daerah menjadi kota besar yang penduduknya berasal dari semua suku Israel dan Yehuda. Para warga kota itu lama-kelamaan terlepas dari suku dan keluarga besarnya sehingga timbul masyarakat yang semakin individualistis.[66]
Selanjutnya, pada masa pembuangan, pandangan umat Israel terhadap individu semakin mengalami perubahan. Pada masa ini, nasib seorang manusia tidak lagi disamakan dengan nasib bangsa.[67] Masing-masing manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Nabi Yehezkiel, misalnya, menegaskan bahwa setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sendiri yang menjadi ngilu (bdk. Yeh 18:2).[68]
Perkembangan tersebut mengubah pandangan mengenai hukum pembalasan. Pembalasan kolektif tidak dapat dipertahankan lagi dan diganti dengan sistem pembalasan individual. Kitab Ulangan juga menunjukkan sistem pembalasan yang bersifat individual, “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri” (Ul 24:16). Pembalasan itu sendiri akan terjadi di dunia ini.[69]
Perhatian bagi peranan individu menimbulkan problematika baru dalam Kitab Ayub. Dalam kenyataannya orang yang saleh dan orang yang menjalankan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh tidak selalu menerima ganjaran atau nasib mujur sebagaimana dijanjikan oleh hikmat tradisional. Nabi Yeremia juga mengalami pengalaman yang tidak sesuai dengan doktrin ortodoks itu. Ia harus menanggung penderitaan berat meskipun ketulusan hatinya diketahui Tuhan. Dalam kepahitan, ia mengeluh, “Mengapa mujur orang-orang fasik?” (Yer 12:1-3).[70] Problematika hukum pembalasan bagi setiap individu ini mendapat ungkapan yang paling tajam dalam Kitab Ayub.[71]
Absennya paham mengenai hidup sesudah mati dalam Kitab Ayub menjadikan kitab ini sarat akan perdebatan mengenai hukum pembalasan di bumi. Berkaitan dengan hukum pembalasan ini, ketiga sahabat Ayub memiliki pendekatan masing-masing berhadapan dengan masalah penderitaan yang dialami oleh Ayub. Meski demikian, konsep mereka mengenai penderitaan memiliki kesamaan. Mereka menganggap bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub adalah akibat dari dosa yang telah dilakukan oleh Ayub sendiri. Maka dari itu, ketiga sahabatnya memberikan solusi yang sama kepada Ayub, yakni meminta supaya Ayub bertobat. Dengan demikian, Tuhan akan memulihkan nasibnya.[72]
Berhadapan dengan argumen ketiga sahabatnya, Ayub memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan penderitaan. Ayub yakin bahwa ia sama sekali tidak berdosa sehingga ia tidak pantas menerima penderitaan itu. Ia merasa penderitaannya merupakan suatu bentuk ketidakadilan yang tidak semestinya dialami oleh orang saleh sepertinya. Di sinilah letak keseluruhan debat dari doktrin tradisional dalam kitab ini.[73]
Meski demikian perlu disadari bahwa dalam Kitab Ayub, doktrin ortodoks telah diwariskan secara turun-temurun oleh para tetua (bdk. Ayb 8:8). Jadi, sangatlah sulit untuk menolak adanya doktrin ini, karena dengan menolak paham tersebut berarti menolak kebijaksanaan yang telah ada dan diakui oleh bangsa Israel pada masa itu. Pada zaman itu, doktrin ini diyakini mengandung suatu kebenaran. Dalam Ayb 4:12-21 Elifas berhasil mengokohkan doktrin tersebut atas dasar otoritas yang berasal dari inspirasi ilahi, yang memiliki kesamaan dengan masalah ketidakmurnian manusia di hadapan Allah.[74] Teori retribusi tetap menjadi prinsip keadilan dan kebenaran Allah, serta tidak menentang kemurahan, karunia dan cinta kasih Allah terhadap umat-Nya.[75]
Perdebatan teologis mengenai hukum pembalasan antara Ayub dan ketiga sahabatnya tersebut menunjukkan bahwa problematika mengenai hukum pembalasan di bumi dalam kitab Ayub tidak terpecahkan. Tampaknya Kitab Ayub tidak berpretensi memecahkan masalah teologis sebesar itu. Kitab ini kiranya hanya berupaya melukiskan pergumulan seorang beriman dalam penderitaan dan bagaimana manusia bersikap terhadap Allah ketika ia ditimpa kemalangan yang teramat dalam.[76]
4.    Teofani: Allah Menjawab
Setelah perdebatan panjang tanpa titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya (termasuk Elihu, tokoh keempat) mengenai doktrin ortodoks, Allah angkat bicara. Sabda Allah kepada Ayub inilah yang disebut teofani[77]. Pada bagian teofani ini (38:1-42:6), penulis Kitab Ayub mencoba memecahkan persoalan yang dialami Ayub.[78]
Allah memang menampakkan diri pada Ayub, namun Ayub tidak menemukan penjelasan mengenai penderitaan yang ia alami.[79] Teofani yang berisi jawaban Allah tersebut tampak kurang relevan terhadap apa yang terjadi dalam keseluruhan kisah, terutama perdebatan mengenai doktrin ortodoks. Di sini Allah seakan-akan melupakan persoalan yang dari semula diperdebatkan dan dialami oleh Ayub.[80]
Meski kaitan antara nasib Ayub dan jawaban Allah nampak kurang relevan, Allah tetap ingin memberikan pemecahan atas derita Ayub. Melalui penampakan dan dialog dengan Ayub, Allah menuntun Ayub kepada pengertian dan pengetahuan yang baru, yakni suatu insight yang memajukan pemikiran dengan paradigma yang baru. Pengertian baru inilah yang kemudian membuat Ayub bertobat.[81]
Teofani atau pidato Allah ini terdiri dari dua bagian, yakni pidato pertama (38:1-39:35) dan pidato kedua (40:1-41:25). Kedua pidato Allah tersebut diikuti dengan jawaban singkat dari Ayub (39:36-38; 42:1-6). Pidato Allah ini memiliki campuran dari beberapa bentuk sastra, yakni nyanyian pujian, sengketa, interogasi atas si terdakwa, dan mitos-mitos pertempuran ilahi dengan makhluk-makhluk purbakala yang menjadikan bagian kisah ini lebih unik dan menarik.[82]
Westermann berpendapat bahwa pidato Allah ini berhubungan erat dengan ratapan dan gugatan Ayub atas penderitaan yang dialaminya. Melalui pidato-Nya, Allah memenuhi tuntutan dan gugatan Ayub. Serentetan pertanyaan retoris dari Allah kepada Ayub menunjukkan bahwa di hadapan-Nya Ayub tidak dapat berbuat apa-apa. Allah telah memenangkan gugatan atas persoalan Ayub.[83] Allah memberikan kata-kata pengharapan kepada Ayub sebagai tanggapan atas ratapan dan keluhannya, mirip dengan orakel[84] keselamatan.[85]
4.1    Teofani yang Pertama
            Pada teofani yang pertama ini, Allah hendak menunjukkan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan dan penyelenggaran-Nya kepada Ayub. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam kosmos: bumi, laut, matahari, dunia bawah, terang dan gelap, cuaca dan benda-benda langit (38:4-38).[86] Timmer mengungkapkan bahwa melalui kisah penciptaan kosmos tersebut kebijaksanaan ilahi dipertahankan.[87]
            Pidato yang pertama ini sarat akan pertanyaan-pertanyaan retoris yang mau menunjukkan keterbatasan Ayub di hadapan Allah. Ayub ditegur karena ia mempersoalkan hikmat Allah. Bahkan melalui pengertiannya yang dangkal tersebut, Ayub berani menghakimi dan mencela Allah. Padahal, justru Ayub sendiri yang tidak dapat menyelami hikmat Allah. Hikmat Allah jauh melampaui kemampuan manusia.[88]
            Teofani ini juga bertujuan untuk meredam kekecewaan dan kemarahan Ayub yang terwujud dalam tindakannya yang mencela dan menghakimi Allah (bdk. Ayb 9:24; 12:6; 10:3). Allah hendak menjadikan Ayub rendah hati sehingga ia mampu menerima penderitaannya dengan penuh kesabaran. Selain itu, teofani juga hendak menunjukkan kenyataan diri Ayub yang kecil dan terbatas. Ia tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan Allah, sekaligus dalam hubungannya dengan keseluruhan tatanan ciptaan-Nya.[89]
            Keterbatasan Ayub sebagai manusia di hadapan Allah mencakup tiga bidang. Pertama, Ayub memiliki usia yang terbatas. Ia belum hadir sewaktu Allah menciptakan langit dan bumi, “Di mana engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi?” (Ayb 38:4; bdk. 38:19-21). Kedua, Ayub memiliki pengetahuan yang terbatas. Dalam pidato-Nya yang pertama, ungkapan-ungkapan ironis seperti: “Apakah engkau mengetahui ...?” dan “... tentu engkau mengenal ...?”, dipakai Allah untuk mengungkapkan keterbatasan pengetahuan Ayub. Ketiga, Ayub memiliki kekuasaan yang lemah. Meskipun manusia diberi kuasa atas seluruh ciptaan di bumi (bdk. Kej 1-2; Mzm 8), namun kekuasaan dan kedaulatan manusia itu sungguh terbatas.[90]
            Dengan demikian, teofani ini merupakan penegasan keterbatasan diri Ayub di hadapan Allah, sekaligus terhadap tatanan ciptaan lain yang bukan manusia. Ini pula dasar pertobatan Ayub, di mana ia tidak  hanya merasa kecil di hadapan Allah saja, tetapi juga di hadapan ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Hal ini diungkapkan dalam Ayb 39:37-38, “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan”.[91]
4.2    Teofani yang Kedua
Teofani yang kedua dimulai dengan pertanyaan “Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?” (Ayb 40:3). Pertanyaan ini menjadi kunci untuk memahami dialog antara Ayub dengan Allah. Sepanjang dialog dengan ketiga sahabatnya, Ayub telah mempertahankan kebenarannya, dan mencari agar kebenaran itu diakui oleh sahabat-sahabatnya, juga oleh Allah. Pertanyaan Allah tersebut hendak menyadarkan Ayub bahwa manusia tidak dapat membenarkan diri dan mempersalahkan Allah, terlebih ketika manusia mempunyai ukurannya sendiri tentang kebenaran dan keadilan.[92]
Pada teofani yang kedua ini, Allah memakai behemôt dan lewiatan[93] sebagai lambang kekuasaan yang paling hebat di dunia ciptaan. Kedua binatang tersebut memperlihatkan kemahakuasaan Allah dan sekaligus memperlihatkan ketidakberdayaan manusia.[94] Ketidakberdayaan terhadap kedua binatang yang dialami oleh setiap manusia, termasuk Ayub, memperkuat kesan dalam diri Ayub bahwa unsur misteri Allah amat kuat dan dalam. Kedalaman misteri Allah tersebut menjadikan Ayub semakin tunduk di hadapan misteri Allah dan tindakan-tindakan-Nya.[95]
Teofani yang kedua ini secara implisit hendak menyatakan bahwa Allah tidak ingin menjadikan Ayub sebagai lawan-Nya dan membiarkan Ayub dalam situasi yang kacau.[96] Allah senantiasa mengatasi penolakan Ayub dengan lembut dan membimbingnya pada sikap penyerahan total.[97]
Teofani ini (baik yang pertama maupun yang kedua) hendak membawa Ayub sampai pada sikap pasrah akan kuasa ilahi. Selain itu, teofani ini memberi suatu pemahaman dan pengertian baru bagi Ayub mengenai Allah. Inilah yang menjadi pergumulan penulis dalam seluruh skripsi ini, yang akan diulas secara lebih mendalam pada bab III.
5.    Kesimpulan
Kitab Ayub yang memuat tema pokok mengenai kisah manusia saleh yang menderita memiliki kemiripan dengan naskah-naskah kuno yang beredar di dunia Timur Tengah Antik. Ayub sebagai tokoh utama dalam kitab ini diperkenalkan sebagai “model purba” bagi umat Israel dan seluruh umat manusia, yakni sebagai model bagi orang yang mengalami penderitaan yang tak dapat dipahami. Inilah alasan penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama dalam daftar Kitab-kitab Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai sastra yang paling unggul dalam daftar sastra dunia.
Hukum pembalasan di bumi menjadi tema sentral dalam bagian dialog antara Ayub dengan ketiga sahabatnya (Ayb 4-27). Penderitaan Ayub inilah yang menimbulkan banyak reaksi di kalangan sahabat-sahabatnya. Doktrin ortodoks menyebutkan bahwa orang saleh harus diganjar dengan kebaikan sedangkan orang berdosa harus dihukum. Perdebatan teologis mengenai hukum pembalasan antara Ayub dan ketiga sahabatnya ini menunjukkan bahwa problematika mengenai doktrin ortodoks dalam kitab Ayub tidak terpecahkan. Tampaknya kitab ini tidak berpretensi untuk menyelesaikan masalah teologis sebesar itu. Kitab Ayub kiranya hanya berupaya untuk melukiskan pergumulan seorang beriman dalam penderitaan dan bagaimana manusia bersikap terhadap Allah ketika ia ditimpa kemalangan yang teramat dalam.
Berhadapan dengan keluhan, ratapan dan gugatan-gugatan Ayub, Allah tidak tinggal diam. Allah menampakkan diri kepada Ayub melalui badai. Namun, Allah tidak memberi jawaban dan alasan mengapa Ayub menderita. Allah justru memberikan pengertian baru bagi Ayub mengenai bagaimana ia harus bersikap di hadapan Allah. Jawaban Allah inilah akhirnya membawa Ayub keluar dari dunia manusia, sekaligus menempatkan dirinya dalam konteks tatanan ciptaan lain yang bukan manusia di dalam kosmos. Di sinilah letak pertobatan Ayub di mana ia tidak hanya merasa kecil di hadapan Allah saja, melainkan di hadapan ciptaan-ciptaan Allah yang lain juga.

















BAB III




TEOFANI DAN PERTOBATAN AYUB



1.      Pengantar
              Dalam bab II telah dijelaskan secara ringkas seputar Kitab Ayub, ide pembalasan di bumi dan teofani yang termuat dalam Ayb 38-42. Kini dalam bab III, yang merupakan inti dari pembahasan skripsi ini hendak disajikan pembahasan yang lebih mendalam mengenai tanggapan Ayub atas penampakan Allah yang termuat dalam Ayb 42:1-6.
              Ayub yang sejak awal bergumul dengan pengalaman derita yang tak terpahami mulai mendapatkan jawaban dari pihak Allah melalui teofani. Ayub menanggapi teofani tersebut dengan rendah hati dan mengakui keterbatasannya. Inilah wujud dari pertobatan Ayub berhadapan dengan kebesaran Allah. Penulis menyajikan pembahasan bab III ini dengan mengulas perikop Ayb 42:1-6 secara eksegetis dan teologis. Pembahasan ini didahului dengan ulasan tentang kesatuan dan struktur teks Ayb 42:1-6.
2.      Kesatuan dan Struktur Ayb 42:1-6
Sebelum menganalisis Ayb 42:1-6 secara eksegetis dan teologis, penulis terlebih dahulu menyajikan pembahasan mengenai kesatuan literer perikop tersebut. Pembahasan ini penting untuk melihat apakah teks ini dapat dibahas sebagai satu bagian utuh yang terpisah dari teks-teks yang mendahului dan teks berikutnya.
2.1    Kesatuan Ayb 42:1-6
Akhir dari kisah Ayub memang telah lama menjadi topik pembahasan yang hangat di kalangan ahli tafsir Kitab Suci. Ada yang menganggap bahwa akhir kisah Ayub harus terkait dengan lima bab terakhir (Ayb 38-42). Ada juga yang menganggap bahwa bab 42 dapat dibahas secara terpisah dari bab sebelumnya.[98] Maka, persoalan pertama yang perlu dijawab ialah apakah Ayb 42:1-6 merupakan satu kesatuan literer yang memungkinkan untuk dibahas? Untuk melihat kesatuan teks tersebut, penulis menggunakan beberapa keterangan ahli, seperti Danile Timmer, J.G. Janzen, Norman C. Habel dan John E. Hartley. Masing-masing dari mereka memiliki pendekatan yang berbeda.
Dalam Kitab Suci edisi Lembaga Alkitab Indonesia Terjemahan Baru[99], Ayb 42:1-6 merupakan satu rangkaian dari jawaban Allah (teofani) kepada Ayub (38-42). Secara sekilas, Ayb 38-42 dapat dilihat sebagai satu kesatuan literer.
Berdasarkan struktur literernya, Hartley membagi perikop ini menjadi empat bagian besar: dua bagian teofani dengan tanggapannya masing-masing. Pertama, Ayb 38:1-39:35 adalah teofani pertama yang berisi introduksi dan pembukaan tantangan Yahweh terhadap Ayub, litani pertanyaan Yahweh dan undangan bagi Ayub untuk menjawab pertanyaan Yahweh tentang ciptaan. Kedua, Ayb 39:36-38 adalah tanggapan pertama Ayub atas teofani pertama. Ketiga, Ayb 40:1-41:25 adalah teofani kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuatan Ayub dan lukisan tentang ramalan dua binatang buas. Keempat, Ayb 42:1-6 berisi tanggapan kedua Ayub atas teofani yang kedua.[100]
Pembagian yang dikemukakan Hartley tersebut agak sejalan dengan Timmer. Namun, Timmer membagi bagian teofani ini dalam bagian yang lebih kecil. Ia memasukkan perikop 42:1-6 sebagai satu bagian dari Ayb 40:1-42:6. Menurutnya, Ayb 42:1-6 hanya tanggapan Ayub atas teofani yang kedua dan terpisah dari teofani yang pertama. Pembagiannya adalah sebagai berikut: introduksi (40:1-9), litani pertanyaan Yahweh yang kedua (40:10-41:25) dan jawaban Ayub (42:1-6).[101]
Berbeda dengan dua pendapat di atas, Habel menempatkan teks Ayb 42:1-6 sebagai satu kesatuan dari keseluruhan bab 42. Ia menyebutkan bahwa keseluruhan bab 42 adalah pemulihan atas nasib Ayub yang diawali dari kisah pengakuan Ayub (42:1-6). Menurut Habel, Ayb 42:1-6 sangat terkait erat dengan Ayb 42:7-17.[102]
Meski teks Ayb 42:1-6 masuk dalam bagian Ayb 38:1-42:6 dan terkait erat dengan Ayb 42:7 dst., namun perikop Ayb 42:1-6 tetap memiliki satu kesatuan literer sehingga bagian ini dapat dibahas secara khusus. Pertama, Ayb 38:1-42:6 memuat dua bagian pidato Yahweh. Masing-masing dari pidato tersebut ditanggapi dengan jawaban singkat dari pihak Ayub (Ayb 39:37-38 dan 42:1-6). Ini berarti bahwa Ayb 42:1-6 merupakan tanggapan langsung atas teofani yang kedua. Ayb 42:1, “Maka jawab Ayub kepada Tuhan”, telah mengindikasikan bahwa teofani telah usai. Litani pernyataan Yahweh tentang behemôt dan lewiatan mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub tersebut telah menandai suatu babak yang baru setelah teofani.[103]
Kedua, jenis sastra perikop Ayb 42:1-6 sebenarnya sudah cukup memberi alasan bahwa perikop ini dapat dipisahkan dengan ayat sesudahnya (Ayb 42:7 dst.). Penulis Kitab Ayub telah membedakan jenis sastra antara Ayb 42:1-6 dengan perikop sesudahnya. Ayb 42:1-6 berbentuk puisi sedangkan Ayb 42:7-17 berbentuk prosa. Beberapa ahli berpendapat bahwa Ayb 42:7-10 merupakan tambahan kemudian yang dipakai untuk menghubungkan antara kisah puisi dengan bagian prosa. Kata-kata Ayub telah terhenti sampai Ayb 42:6, sementara Ayb 42:7-10 ini lebih mengarah pada keputusan Yahweh atas nasib Ayub dan teman-temannya yang terkait dengan nuansa hukum yang mendasari seluruh struktur Kitab Ayub.[104]
 Janzen mengungkapkan bahwa perikop Ayb 42:1-6 merupakan satu kesatuan literer. Ia memberi tema perikop ini pertobatan sebagai tanggapan Ayub kepada Yahweh. Janzen melihat teks ini sebagai kisah dengan mutu sastra yang tinggi. Pembagiannya adalah sebagai berikut: awal pengakuan Ayub (42:2ab), kutipan dari pidato yang pertama dan tanggapan Ayub (42:3ab), kutipan pidato yang kedua (42:4ab), permulaan dari kata penutup Ayub (42:5), kata-kata penutup Ayub (42:6).[105]
Meski Hartley menempatkan perikop ini ke dalam satu bagian besar dalam pidato Allah (Ayb 38:1-42:6), ia tetap memberikan perhatian khusus pada perikop Ayb 42:1-6 sebagai jawaban Ayub atas teofani yang muncul dari dalam badai. Menurutnya, perikop Ayb 42:1-6 adalah ungkapan ketidaklayakan Ayub berhadapan dengan Sang Pencipta. Ia membagi perikop ini ke dalam dua bagian besar. Pertama, ay. 1-3 adalah ungkapan penyesalan dan pengakuan Ayub atas kata-katanya yang berada di luar pengetahuannya. Kedua, ay. 4-6 adalah penyerahan diri Ayub kepada Yahweh yang telah menampakkan diri di hadapannya. Kemudian Hartley menyajikan struktur internal dan memberikan komentar atas Ayb 42:1-6 ke dalam bagian yang lebih kecil, yakni:
·           Ayb 42:1-2   : Pengakuan akan Kekuasaan dan Kebijaksanaan Allah
·           Ayb 42:3      : Pengakuan atas Keterbatasan Pengetahuan Manusia
·           Ayb 42:4      : Undangan untuk Berperkara
·           Ayb 42:5      : Pengakuan atas Kehadiran Yahweh
·           Ayb 42:6      : Pengakuan Kesalahan.[106]
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis mengikuti pembagian yang dikemukakan oleh Hartley di atas. Sementara untuk bagian struktur Ayb 42:1-6, penulis mengikuti uraian yang dikemukakan oleh Habel.
2.2    Struktur Ayb 42:1-6
Ironi dan ambiguitas dari kata-kata terakhir Ayub (42:1-6) telah menyebabkan sejumlah besar interpretasi. Pertama, Ayub benar-benar menyerah kepada kehendak Allah, bertobat atas sikapnya yang arogan dan dengan rendah hati menghadap Allahnya. Kedua, Ayub diperdamaikan dengan Allah melalui teofani. Dia mengakui bahwa Allah yang mengatur kosmos, dan bukan manusia. Ketiga, pengakuan Ayub hanyalah sebuah ironi. Ayub hanya berupaya untuk meredakan “amarah” Yahweh yang muncul dari dalam badai. Keempat, pidato terakhir Ayub mengungkapkan sikap pembangkangan Ayub yang terakhir. Meskipun mengakui keterbatasan akan pengetahuannya, Ayub tetap menilai bahwa Yahweh telah bersikap arogan dalam memperlakukan manusia yang sedang putus asa.[107]
Bagaimana konflik antara Allah dan manusia dalam plot ini diselesaikan? Bagaimana pidato terakhir Ayub dapat membawa pemecahan? Habel menjawab permasalahan ini dengan menganalisis struktur teks 42:1-6 dalam kesatuannya dengan 38:1-42:6. Struktur pidato Ayub dapat diuraikan seperti berikut ini:
Bagian I
A.      Pengakuan (Konsesi Ayub)
       Aku tahu bahwa engkau sanggup melakukan segala sesuatu                42:2
B.       Kutipan (Tantangan Yahweh)
       Siapakah dia yang menyelubungi keputusan
       tanpa pengetahuan                                                                                      3a
C.       Maklumat (Pengakuan Ayub)
Itulah sebabnya (lākēn), tanpa pengertian aku telah
bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
         dan yang tidak kuketahui                                                                      3b-c
Bagian II
B’.  Kutipan (Tantangan Yahweh)
       Dengarlah, aku akan menanyai engkau, supaya engkau
       memberitahu aku                                                                                        4
A’. Pengakuan (Pengalaman Ayub)
       Aku telah mendengar tetapi sekarang aku melihat engkau                        5
C’. Maklumat (Pembalikan Ayub)
       Oleh sebab itu (ʻal-kēn) aku mencabut perkataanku dan
       duduk dalam debu dan abu[108]                                                                    6
Dua bagian dari pidato terakhir Ayub tersebut berkaitan erat dengan tantangan Yahweh yang dikutip hampir kata demi kata oleh Ayub (ay. 3a, 4). Kutipan pertama pada ay. 3a (bdk. 38:2) membuka rangkaian pertanyaan Yahweh dalam pidatonya dari dalam badai (38:4 dst.). Ayub menanggapi tantangan Yahweh ini dengan pengakuan atas kuasa Yahweh yang dapat mengontrol rencana kosmik (ay. 2) dan pengakuan atas kebodohannya (ay. 3b-c). Kata kunci pada bagian pertama dari jawaban Ayub (ay. 2-3) adalah kata kerja “tahu” (ydʻ). Ayub “tahu” bahwa Tuhan memiliki kekuatan superior. Ia juga  mengakui ketidaktahuannya tentang kebijaksanaan yang tersembunyi di balik “rencana” ciptaan dan tatanan kosmis. Dengan demikian, bagian pertama dari plot pemecahan ini adalah pengakuan atas integritas Yahweh.[109]
Tantangan Yahweh yang dikutip pada ay. 4 tidak meminta sebuah pengakuan dari Ayub, melainkan sebuah seruan Yahweh yang harus didengarkan. Sebelumnya, Ayub telah menantang Yahweh dan menyajikan perkaranya di hadapan-Nya. Ayub sungguh-sungguh ingin menghadap Yahweh secara langsung. Yahweh memenuhi permintaan Ayub dengan benar-benar hadir di hadapannya dan Ayub akhirnya “melihat”-Nya. Dengan demikian integritas Ayub juga dibenarkan. Rumusan “oleh sebab itu” (ʻal-kēn, ay. 6a) yang sesuai dan sejajar dengan “itulah sebabnya” (lākēn, ay. 3b), menunjukkan dua reaksi Ayub atas tantangan Yahweh, yakni pengakuan atas keterbatasan pengetahuannya dan penarikan kembali gugatan Ayub terhadap lawan”-nya sebagai ungkapan penyesalan dengan duduk  di atas debu dan abu.[110]
3.      Uraian Eksegetis atas Ayb 42:1-6
Dalam pembahasan berikut ini, penulis hendak menyajikan ulasan eksegetis atas Ayb 42:1-6. Poin-poin eksegetis yang hendak dibahas adalah sebagai berikut: pengakuan akan kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, pengakuan atas keterbatasan pengetahuan manusia, undangan untuk berperkara, pengakuan atas kehadiran Yahweh dan pengakuan kesalahan.
3.1    Pengakuan akan Kekuasaan dan Kebijaksanaan Allah (Ayb 42:1-2)
Maka jawab Ayub kepada TUHAN: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal”.
Kedua ayat di atas (42:1-2) merupakan garis pembuka dari rangkaian jawaban Ayub atas tantangan Yahweh yang kedua (Ayb 40-41) di mana pidato Yahweh ini melanjutkan pidato-Nya yang pertama (Ayb 38:1-39:35). Kedua pidato Yahweh ini bukanlah suatu jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan Ayub dalam ratapan-ratapannya. Yahweh lebih terfokus pada rencana kosmik dan tata kelola alam ciptaan yang keadilannya justru diragukan oleh Ayub. Melalui karya ciptaan tersebut, Yahweh ingin menuntun Ayub kepada insight baru.[111]
Jawaban Ayub (ay. 2) menggemakan kembali pengakuan Ayub sebelumnya bahwa Allah memang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan untuk menciptakan dan menghancurkan. Dalam bagian awal Kitab Ayub, kekuatan Allah yang bersifat destruktif (merusak dan menghancurkan) nampak lebih dominan daripada kekuatan dalam pemeliharaan tatanan ciptaan (bdk. Ayb 12:13 dst.). Melalui kekuatan dan kebesaran Allah tersebut, sekarang Ayub “tahu” bahwa  Allah memiliki kapasitas untuk melaksanakan setiap rencananya atas kosmos (bdk. Kej 11:6).[112] Tanggapan Ayub ini juga menggemakan kembali peristiwa menara Babel, di mana manusia yang telah dipenuhi dengan keangkuhan, berusaha menolak kedaulatan Yahweh dan ingin menentukan nasib mereka sendiri tanpa campur tangan Allah. Berkat kesombongan dan keangkuhan itu, Allah mengacaubalaukan bahasa mereka. Ayub yang sebelumnya juga bersengketa, bersikap angkuh dan menolak kedaulatan Allah, kini dapat mengakui kekuasaan Allah.[113]
Rumusan “Aku tahu” (yāḏaʽtî) biasanya merupakan ungkapan atau pengakuan seorang pemohon atas terkabulnya doa-doa atau ratapannya (bdk. Mzm 20:7; 41:12; 56:10). Dengan mengakui bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu, Ayub menerima argumen Yahweh sebagai jawaban atas keluhan dan pengakuan dirinya yang tidak bersalah.[114]
Ayub memang memegang teguh keyakinannya bahwa Tuhan itu Mahakuasa. Keyakinan ini nampak dalam pidato-pidatonya (bdk. Ayb 6:4; 13:3). Namun dalam ratapan-ratapannya, Ayub kemudian mempertanyakan tindakan Allah yang tampaknya justru bertentangan dengan norma keadilan yang dipahami Ayub. Kedua pidato Yahweh itu (38-42) kemudian memberi jawaban atas keadilan yang dituntut oleh Ayub dan menegaskan kembali kebijaksanaan Allah yang mesti diakui oleh Ayub. Akhirnya, Ayub mengakui bahwa tidak ada “rencana” (mezimmâ[115], yaitu “rencana yang terinci”) Yahweh yang dapat digagalkan atau dihalangi. Pengakuan Ayub menunjukkan kepercayaannya bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi terlaksana dalam kerangka kebijaksanaan ilahi.[116]

3.2    Pengakuan atas Keterbatasan Pengetahuan Manusia (Ayb 42:3)
Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
Ayat 3a, “Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan?” merupakan sebuah kutipan dari pidato Yahweh (bdk. Ayb 38:2) yang ditempatkan di dalam mulut Ayub. Kata-kata dari pihak Yahweh ini menunjukkan Ayub sebagai manusia yang melawan “rencana” (‘ēṣā) Sang Ilahi melalui ketidaktahuannya. Yahweh juga hendak menunjukkan bahwa Ayub memang tidak memiliki pengertian apa-apa tentang ciptaan dan diri-Nya (bdk. Ayb 38:4).[117] 
Kutipan atas pertanyaan Yahweh kepada Ayub (Ayb 38:2, “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?”) juga dimaksudkan untuk menunjukkan kehinaan manusia yang telah berani mempertanyakan keadilan Allah. Berhadapan dengan pertanyaan ini, Ayub tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa diam (Ayb 39:7). Kini, setelah melalui proses dan pergulatan yang panjang, Ayub mulai menyadari kebesaran Allah yang nampak dalam sejarah dan penciptaan alam semesta.[118]
Dengan mengutip kata-kata dari pidato Yahweh, secara eksplisit dan resmi Ayub menanggapi tantangan Yahweh, lawan”-nya. Tanggapan Ayub (ay. 3b) merupakan pengakuan publik bahwa dia sungguh-sungguh tidak memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan atau “pengertian” apa pun berhadapan dengan rencana kosmik Yahweh (bdk. Ayb 38:4b). Kebijaksanaan atau pengertian ini kiranya terletak di balik rencana awal Yahweh dalam kosmos (bdk. Ayb 28:7, 38:4). Ayub mengakui ada hal-hal yang melampaui dirinya, yaitu “keajaiban” yang berada di luar pemahaman manusia (bdk. Ayb 9:10; 37:5; 14) dan hikmat tersembunyi di balik tatanan dunia (bdk. Ayb 11:6). Ayub menyadari bahwa kebijaksanaan ilahi berada di luar kemampuan manusia dan tak terpahami. Maka, Ayub mengakui bahwa di hadapan Yahweh, dia tidak memiliki kebijaksanaan apa pun. Meski demikian perhatian Ayub bukan mengarah pada pencarian hikmat tersebut, melainkan pada kehadiran Allah dalam pengadilan.[119]
Ayb 42:3 ini juga menunjukkan bahwa pidato Yahweh telah memberi pengetahuan baru bagi Ayub. Ayub memperoleh perspektif baru tentang dunia dan rancangan Allah atasnya. Hal ini tidak berarti bahwa Ayub memahami sepenuhnya akan keajaiban Tuhan, tapi sekurang-kurangnya ia memperoleh jaminan bahwa hanya Allah yang memegang kendali atas pengetahuan manusia. Dengan perspektif yang baru, Ayub sungguh-sungguh memahami bahwa Allah tidak dapat dimasukkan ke dalam konsep dan kerangka pikir manusia yang sempit dan terbatas.[120]
Pengakuan Ayub akan kekuatan dan kebesaran Allah dalam ayat ini sebenarnya bukan hal yang baru.[121] Dalam Ayb 12:13, Ayub menyatakan bahwa kebijaksanaan dan kekuatan adalah milik Allah. Namun Ayub melihat bahwa kekuatan itu hanya dipakai Allah untuk mengacaubalaukan manusia dan alam semesta. Maka, setelah mengalami Allah melalui teofani, pemahaman Ayub akan kekuatan dan hikmat Allah telah dimurnikan. Allah adalah pencipta sekaligus penjaga dan pemelihara tatanan semesta.[122]
Melalui pidato-pidato-Nya, Yahweh tidak bermaksud untuk menjadikan Ayub sebagai lawan-Nya. Sebaliknya, Yahweh selalu berada di pihak Ayub. Yahweh yang berpihak pada Ayub ditunjukkan dengan membantu dan mengatasi persoalan Ayub yang selalu bercokol pada doktrin ortodoks Perjanjian Lama, “… jika aku tidak berdosa, berarti Engkau telah bertindak tidak adil” (bdk. Ayb 19:6). Yahweh memang tidak menjawab persoalan Ayub tersebut, namun Ia justru memberi Ayub kebijaksanaan baru agar Ayub dapat menerima kenyataan yang telah dilawannya.[123] Kebijaksanaan baru ini membawa Ayub keluar dari kebodohannya sendiri.[124]
Dalam keluhannya, Ayub telah menilai bahwa Allah memperlakukan dirinya secara tidak adil (Ayb 19:6). Kini, ia mengakui bahwa ia telah berbicara di luar pengetahuan dan pengertiannya. Ayub telah mendekati dosa kesombongan dengan mengklaim diri memiliki wawasan yang lebih baik dari Tuhan dalam segala hal di bumi. [125]
Pada titik ini penting untuk dinyatakan kembali bahwa penderitaan Ayub bukanlah disebabkan oleh dosa-dosanya. Penderitaan itu juga bukanlah hukuman karena Ayub telah mencela dan menghakimi Allah. Itulah sebabnya di sini Ayub tidak mengakui keberdosaannya. Walaupun penderitaan Ayub memang bukan akibat dari dosanya, tetapi Tuhan tetap menyadarkan Ayub supaya rasa tak berdosanya tidak berubah menjadi kebanggaan semu. Rasa percaya dirinya telah membuat Ayub bercokol pada keyakinannya sendiri dan menghakimi serta mempersalahkan Allah atas nasibnya. Maka, Yahweh menyadarkan Ayub akan kelemahannya sebagai manusia melalui teofani. Ayub merendahkan diri di hadapan Allah. Ia mengakui bahwa dirinya salah mengutarakan perkaranya dengan berbicara mengenai hal-hal di luar kemampuannya.[126]
Dengan mengambil jalan ini, Ayub menegaskan bahwa sikap kerendahan hati sangat penting dalam hubungannya yang vital dengan Allah. Pengakuan Ayub telah menunjukkan bahwa ia bersedia melayani Allah dengan sepenuh hati dan bukan untuk mencari kepentingan pribadi atau pembenaran atas keyakinannya sendiri. Kepercayaan Yahweh akan hamba-Nya dalam menghadapi tantangan setan (bdk. Ayb 1:9-11) telah diselesaikan Ayub dengan sempurna.[127]
3.3    Undangan untuk Berperkara (Ayb 42:4)
Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
Ayat 4 ini merupakan pengulangan kata-kata Yahweh yang termuat dalam Ayb 40:2, “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku”. Sebelumnya, Ayub telah memberi kesempatan kepada Allah untuk berbicara atau menjawab keluhan hamba-Nya (Ayb 13:22). Kini sebaliknya, Allah memerintah Ayub untuk mendengarkan tanggapan yang akan ditawarkan-Nya. Ada kemungkinan bahwa kalimat “Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” diformulasikan untuk sebuah sidang di peradilan. Ada juga anggapan bahwa ayat 4 ini hanya sekadar kutipan dari kata-kata Yahweh yang mirip dengan ayat sebelumnya (ay. 3). Dalam kasus apa pun, Hartley beranggapan bahwa ayat ini berfungsi untuk menyoroti pengakuan kesalahan Ayub atas rasa ketidakberdosaannya di hadapan Yahweh.[128]
Sementara itu, melalui ayat 4 ini, Habel dan Perdue menyatakan bahwa bagian kedua dari pengakuan Ayub (Ayb 42:4-6) tidak sejajar dengan pengakuan pertama (Ayb 42:1-3). Bagian ini bukan hanya sekedar pengakuan akan kebesaran Yahweh atau pengakuan atas keterbatasan Ayub, tetapi lebih mengarah pada perubahan sikap dan pola pikir Ayub sendiri. Pernyataan dari tantangan Yahweh yang termuat dalam ayat 4 ini menuntut Ayub untuk memberikan alasan atas perkara yang ia ajukan pada Yahweh.[129]
3.4    Pengakuan atas Kehadiran Yahweh (Ayb 42:5)


Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Pada bagian dialog dengan para sahabatnya, Ayub telah mendengar tentang Tuhan melalui tradisi yang diturunkan dan diajarkan oleh para nenek moyangnya (Ayb 8:8). Ayub adalah orang yang sungguh-sungguh menghidupi ajaran leluhur. Namun kini, Ayub memiliki dasar iman yang jauh lebih unggul daripada ajaran tradisi yang ia terima sebelumnya. Wawasan baru tentang Allah yang diperoleh Ayub melalui pidato ilahi sungguh kontras dengan tradisi dan pandangan teman-temannya. [130]
Pengakuan Ayub atas kehadiran Yahweh ini merupakan pernyataan publik bahwa dia tidak hanya “mendengar” (tentang) Tuhan, tapi ia telah “melihat” Tuhan dengan matanya sendiri. Ayub mengalami pertemuan langsung dengan Allah yang hidup dan mendengar segala perkataan-Nya secara jelas.[131]
Dalam teofani, Ayub memang “melihat” Allah. Namun teofani ini tetap mengandung unsur misteri. Kedatangan Yahweh mirip dengan penampakan-Nya kepada Musa di Sinai (bdk. Kel 19), sehingga Ayub tidak disilaukan dan mati oleh kekudusan-Nya. Dengan “melihat” Tuhan melalui matanya sendiri,  harapan Ayub telah terpenuhi (bdk. Ayb 19:26-27). Namun sesuatu yang ajaib terjadi di sini seperti dialami Musa: walaupun telah “melihat” Tuhan, ia masih hidup. Tradisi biblis dalam Perjanjian Lama mengajarkan bahwa seseorang yang melihat Allah akan mengalami kematian. Hal ini diungkapkan oleh Manoah kepada isterinya, “Kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah” (bdk. Hak 13:22). Namun, tokoh-tokoh pilihan Allah seperti Yakub, Musa dan Harun mengalami keajaiban yang dialami oleh Ayub. Mereka telah “melihat” Allah, tapi mereka tidak mati (bdk. Kej 32:30; Kel 24:10). [132]
Dalam penggambaran penyair, suara dari dalam badai bukanlah sekedar “bisikan” dari yang ilahi (bdk. Ayb 26:14), melainkan sebuah pidato langsung dari Allah dan bukti hidup kehadiran-Nya. Suara dari dalam badai itu merupakan tanda kehadiran Allah bagi Ayub, sama halnya dengan suara yang muncul dari semak terbakar yang dialami oleh Musa (Kel 3:1-6).[133]
Bagi Ayub, dengan melihat Allah berarti keinginannya untuk bertemu dengan Allah terpenuhi. Allah benar-benar hadir dan menampakkan diri bagi Ayub meski masalah penderitaannya tetap tak terjawab oleh Ayub sendiri. Bagi Allah, kehadiran-Nya adalah bukti bahwa integritas Ayub diakui. Yahweh datang untuk mengakui Ayub sebagai seorang pahlawan yang perkaranya tidak bisa diabaikan. Sekalipun begitu, Ayub tetap dinyatakan bersalah, sebab telah menghakimi Allah menurut pengertiannya sendiri.[134]
3.5  Pengakuan Kesalahan (Ayb 42:6)
Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.
Ayub merendahkan diri dan menyesal. Ia mengakui bahwa dirinya tidak lebih baik dari debu dan abu yang telah ia duduki. Ayub telah mengambil keputusan yang tepat di hadapan Allah yang kudus. Pengalaman Ayub ini serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh Abraham ketika ia berusaha campur tangan atas nasib Sodom dan Gomora, “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu” (bdk. Kej 18:27). Ayub meninggalkan semua kebanggaan palsu dan mengakui bahwa Allah telah menunjukkan keadilan-Nya sehingga ia harus duduk di luar kota, di tumpukan abu.[135]
Ungkapan “penyesalan dengan duduk dalam abu dan debu” mengidentifikasi Ayub sebagai penderita yang sungguh hina. Ayub sendiri memahami bahwa “debu” adalah simbol kematian (Ayb 4:19) atau tempat orang mati yang merupakan akhir hidup setiap manusia (Ayb 10:9; 17:16).  Ungkapan “debu dan abu” cenderung berkonotasi sebagai penyangkalan diri dan suatu hal yang tak berharga (Ayb 30:19; Kej 18:27). “Abu” juga terkait dengan tindakan ritual perkabungan dan ratapan (bdk. Est 4:1,3; Yun 3:6).[136]
Dengan memakai istilah “debu dan abu”, nampaknya penulis kisah puisi ingin menyelaraskan bagian prosa (prolog) dengan akhir kisah bagian puisi. “Debu dan abu” merujuk kembali ke episode dalam prolog di mana Ayub memisahkan diri dari masyarakat dengan duduk di antara abu (Ayb 2:8). Saat itu teman-teman Ayub menyatakan simpati atas penderitaannya dengan melemparkan debu ke udara (Ayb 2:12). Penyair memakai istilah “debu dan abu” untuk memberi status dan peran Ayub sebagai penderita yang terisolasi dan penggugat yang terhina. [137]
Kini Ayub siap untuk meninggalkan perannya sebagai penggugat dengan mencabut perkataannya yang dipakai untuk menantang kedaulatan Allah. Kata kerja “mencabut” merupakan terjemahan Kitab Suci LAI TB dari kata ʽemeʽas (berakar dari kata mʽs) yang berarti mengabaikan, menolak, memandang hina. Dalam Kitab Ayub, kata ini dipakai sebanyak 12 kali, yaitu 8 kali dalam arti profan dan 4 kali dalam arti teologis (3 kali dengan subyek Allah dan 1 kali dengan subyek manusia). Kata mʽs ini memiliki dua makna yang ambigu. Makna yang pertama yaitu mengabaikan, menolak, memandang hina. Sementara makna yang lain ialah melarutkan atau mencurahkan.[138]
Dengan melihat struktur semantis tersebut, kata kerja mʽs di sini memiliki hubungan erat dengan kata kerja sesudahnya nḥm yang diterjemahkan LAI TB dengan “menyesal”. Menurut Habel, kata kerja nāhamʻal [sic] berarti “bertobat” dalam arti “perubahan pikiran terhadap suatu hal”. Ayub telah memutuskan untuk “mengubah pikiran” atas perkara dan keluhan-keluhannya, dan siap untuk kembali ke kehidupan normal lagi.[139]
Itulah alasan mengapa Ayub menarik dan mencabut perkataannya sendiri. Kehadiran Yahweh dan tanggapan Ayub mengungkapkan kesia-siaan manusia yang ingin mengejar ganjaran hukum atau pembalasan atas gugatannya. Tindakan Ayub ini merupakan bentuk pertobatan batin dan penyerahan diri secara total yang dilakukan melalui “perubahan/pertobatan pikiran”.[140]
Sementara itu menurut Hartley istilah “menyesal” (niham) berarti berbalik dari rencana yang telah dijalankan dan mengambil arah atau jalan baru. Kata tersebut menyiratkan  sebuah tekad yang kuat untuk mengubah arah hidup, tetapi bukan sebuah sikap penyesalan. Dengan menarik perkataan atas rasa tak bersalahnya, Ayub menyerahkan seluruh sisa-sisa pembenaran dirinya kepada Yahweh. Sekarang Ayub telah menemukan harga dirinya dalam relasinya dengan Yahweh, bukan dalam jalannya sendiri. Dengan demikian Ayub telah menyerahkan nasibnya ke tangan Tuhan. Ayub memiliki keyakinan bahwa dengan “melihat” Tuhan, ia dapat menanggung nasib apa pun juga.[141]
4.      Uraian Teologis atas Ayb 42:1-6
Setelah menguraikan teks Ayb 42:1-6 secara eksegetis, dalam pembahasan berikut ini, penulis hendak menyajikan suatu ulasan teologis atas perikop Ayb 42:1-6. Teks-teks biblis lain akan disinggung sejauh terkait dengan perikop Ayb 42:1-6. Ada pun poin-poin teologis itu antara lain: misteri penderitaan, rencana dan kebebasan Allah, keterbatasan manusia, mendengar dan melihat Allah serta pertobatan.  
4.1    Misteri Penderitaan
      Kisah penciptaan yang termuat dalam Kej 1:1-2:4a dan Kej 2:4b-25 melukiskan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dengan baik adanya. Sejak semula Allah tidak menghendaki adanya penderitaan. Penderitaan baru muncul ketika manusia diusir dari Taman Eden. Tindakan pengusiran dari Taman Eden berarti pengusiran manusia dari suasana yang baik, sehingga manusia mengalami suasana yang tidak baik, yakni suasana penderitaan. Penderitaan terjadi karena manusia berbuat dosa. Maka, dosalah yang menjadi penyebab adanya penderitaan. [142]
Keyakinan bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa dihidupi dalam tradisi Yahudi secara turun-temurun. Kisah pembunuhan Habel oleh Kain, saudaranya (Kej 4:1-16) dan penghancuran menara Babel (Kej 11:1-9) semakin memperjelas bahwa penderitaan adalah akibat langsung dari dosa. Pandangan tentang penderitaan sebagai akibat dari dosa ini bertumpu pada kepercayaan akan “keadilan Allah” dan paham “pembalasan di bumi”. Paham ini mengajarkan bahwa Allah akan mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat (lihat bab II). Namun, lambat laun ide pembalasan di bumi mulai digugat seiring dengan munculnya fakta bahwa orang-orang baik pun mengalami penderitaan. Kitab Ayub menyajikan argumentasi bahwa konsep retribusi tidak bisa dipertahankan lagi.[143]
Ayub yang tampil sebagai orang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb 1:1,8; 2:3) justru ditimpa penderitaan (Ayb 1:13-19; 2:7-8). Ayub pun membantah tuduhan ketiga sahabatnya bahwa penderitaannya adalah akibat dari dosa-dosanya (Ayb 16:19-21; 23:3-5, 10-12, 27:2-6). Maka, Ayub merasa tidak pantas menerima penderitaan.[144]
Penderitaan dan nasib buruk tidak dapat selalu dikaitkan sebagai akibat dari dosa. Dalam penderitaan juga terkandung tujuan pedagogis yang dipakai Allah sebagai sarana untuk mendidik umat-Nya. Melalui penderitaan, Allah hendak menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaannya (Ayb 33:19-22).[145]
Dengan pemahaman demikian, Ayub telah menggugat ajaran tradisional bahwa tidak ada hubungan langsung antara dosa dan penderitaan. Ayub yang berperan sebagai tokoh yang berani menderita, akhirnya mencoba memahami kehendak Ilahi yang tampak dalam penderitaannya. Dalam penderitaan itulah ia kemudian berhadapan dengan Allah yang berwajah pencipta dan penuh misteri.[146]
Dengan mengalami dan menyadari penderitaan, Ayub mengakui keterbatasannya. Hasilnya, Ayub mengakui misteri Allah dan dengan tenang menerima penderitaannya sebagai bagian dari misteri Allah Sang Pencipta, “Sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb 42:5b-6). Ayub memang membela kehormatannya, tetapi ia juga menyadari keterbatasannya di hadirat Allah. Hanya orang yang tidak mengenal batas yang berani menuntut yang Ilahi. Kesombongan inilah yang dikritik dalam Kitab Ayub.[147]
4.2  Rencana dan Kebebasan Allah
Ajaran tradisional tentang pembalasan di bumi yang digemakan oleh ketiga sahabat Ayub tidak dapat dipertahankan lagi ketika dihadapkan dengan kebebasan Allah dalam menjalankan rancangan-Nya. Bukan hanya ketiga teman Ayub, Ayub sendiri pun juga tidak dapat mengerti tujuan yang dikehendaki Allah melalui penderitaan yang menurutnya tidak sepatutnya ia terima. Kegagalan Ayub dan sahabat-sahabatnya dalam usaha memecahkan masalah penderitaan menunjukkan bahwa penderitaan adalah bagian dari rencana dan kebebasan Allah yang penuh misteri.[148]
            Pengarang Kitab Ayub menggambarkan Allah yang tidak terikat pada rancangan manusia atau pada pemahaman manusia tentang diri-Nya. Apa yang dilakukan Allah muncul dengan bebas dari kehendak dan sifat-Nya sendiri. Allah memilih untuk menciptakan dan memelihara alam semesta, memulai dan menguasai gerak sejarah, berkarya sesuai dengan urutan dan pola yang terperinci, serta melampaui batas-batasnya. Dengan demikian, Kitab Ayub hendak mengajarkan bahwa Dialah Tuhan dan Ia yang membuat rancangan-Nya atas ciptaan. Manusia tidak akan mungkin dapat menggagalkan rencana-Nya. Itulah sebabnya Ayub berkata, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb 42:2).[149]
Penulis Kitab Ayub juga menyadari sepenuhnya bahwa penderitaan sebagai misteri tidak dapat hanya dipikirkan dan dipecahkan dengan teori teologi. Penderitaan yang muncul dalam Kitab Ayub adalah sebuah keluhan panjang manusia terhadap keterbatasan pikiran dan kesempitan hatinya. Penulis Kitab Ayub meyakini bahwa terhadap penderitaan ada “keputusan” yang berada di atas jangkauan manusia (Ayb 38:2).[150]
Allah tidak membutuhkan afirmasi manusia dalam menjalankan rencana dan keputusan-Nya. Berhadapan dengan rencana dan keputusan Allah, manusia hanya dapat berserah diri. Inilah yang akhirnya dilakukan oleh Ayub. Pengakuan atas kebesaran Allah dan penyerahan diri Ayub adalah wujud dan inti pengakuan imannya (Ayb 42:2,5). [151]
Dengan demikian, Kitab Ayub adalah kitab pengakuan iman, yakni suatu rumusan pengalaman mistik yang muncul dari pengalaman derita yang mendalam. Dari kegelapan penderitaan itulah orang sampai pada terang kasih Allah yang bebas dalam karya-Nya. Namun kebebasan Allah bukanlah suatu primat untuk menguasai habis-habisan. Allah memang berdaulat, tetapi kedaulatan-Nya tidak untuk memperlakukan manusia semena-mena. Ia berdaulat dalam kasih-Nya. Dialah yang menentukan keputusan atas ciptaan, namun keputusan itu didasarkan pada kasih.[152] Manusia memang tidak dapat memahami jalan, kebenaran dan rancangan-Nya. Namun, orang yang berpegang pada kasih Allah, yang ditemuinya secara rahasia, akan diselamatkan.[153]
4.3    Keterbatasan Manusia
Pidato Yahweh kepada Ayub menekankan kuasa Allah dalam ciptaan dan penyelenggaraan-Nya. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam kosmos: bumi, laut, langit dan bintang. Seluruh tatanan ciptaan itu melampaui pengetahuan manusia. Artinya, kekuasaan Tuhan melebihi apa yang pernah dipikirkan oleh Ayub, ketiga sahabatnya dan juga Elihu sendiri. Berhadapan dengan kuasa Allah tersebut, Ayub merasakan kekaguman sekaligus keterbatasannya. Keterbatasan Ayub itu bahkan dinyatakannya dengan ungkapan, “tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayb 42:3).[154]
Selain itu, pesan Allah dari dalam badai juga menyadarkan Ayub bahwa ia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu (bdk. Ayb 42:6). Sejak dari semula, kebodohan manusia ialah berusaha menyamai Allah dengan keterbatasannya sendiri (bdk. Kej 3:5) dan menjadi tuan atas nasib mereka sendiri. Dengan cara seperti inilah Ayub juga menuntut sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri. Sekarang, ia menyadari keterbatasannya sebagai ciptaan. Penyadaran diri Ayub sebagai makhluk yang berasal dari tanah liat, debu dan abu membuat dirinya semakin berserah kepada Allah, Sang Tukang Periuk (Ayb 41:22).[155]
Dengan demikian, Kitab Ayub merupakan renungan tentang manusia dan menunjukkan hakikatnya sebagai ciptaan, dalam derita dan batas-batas kemampuannya (Ayb 14:1-2). Renungan ini menyangkut keringkihan manusia dalam hidupnya di atas tanah liat dan debu (Ayb 4:19; 10:9; bdk. Keb 9:15).[156]
4.4  Mendengar dan Melihat Allah
Dalam kisah-kisah Perjanjian Lama, modus kehadiran dan penampakan Allah kepada manusia dilakukan dengan berbagai cara. Teofani sering terjadi dalam peristiwa berupa manifestasi visual yang kemudian diikuti dengan penyampaian firman Allah. Berhadapan dengan teofani tersebut, manusia dapat mendengar firman atau sekaligus melihat penampakan Allah. Pengalaman Ayub menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekedar mendengar (tentang) Allah, tetapi melihat Allah dengan matanya sendiri (Ayb 42:5). George Savran membandingkan pengalaman Ayub ini (42:5) dengan dua kisah penampakan Allah dalam dunia Perjanjian Lama, yakni penampakan Allah kepada Musa, Harun, Nadab dan Abihu (Kel 24:1-11) serta penampakan Allah kepada Bileam (Bil 22:2-35).[157]
Kel 24:1-11 adalah salah satu dari beberapa narasi teofani di mana Yahweh tidak berbicara selama teofani itu sendiri. Para ahli membagi teks tersebut ke dalam dua bagian, yaitu ay. 1-2, 9-11 (teofani) dan ay. 3-8 (upacara perjanjian). Teofani ini menceritakan bagaimana Musa, Harun, Nadab, Abihu dan tujuh puluh tua-tua naik ke Gunung Sinai dengan tujuan ibadah, upacara pembacaan dekalog dan ritual perecikan darah bagi Israel. Intensitas dari teofani ini ditekankan dalam Kel 24:10, di mana Musa, Harun, Nadab, Abihu dan 70 tua-tua dapat melihat Allah secara langsung, “Mereka melihat Allah Israel…”. Musa, Harun, Nadab, Abihu dan 70 tua-tua telah melihat Allah, sementara bangsa Israel “hanya” mendengar Allah, melalui suara Musa. Dengan demikian, Kel 24:1-11 menunjukkan bahwa pengalaman “melihat” Allah memiliki nilai yang lebih unggul daripada pengalaman “mendengar”.[158]
Dalam perikop yang lain (Bil 22:2-35) dinyatakan bahwa Bileam memiliki kontak verbal dengan Yahweh sebelum melihat mal’akh (malaikat) Yahweh. Selain itu, pesan verbal yang ia terima dari Allah pada ay. 20 berisi informasi penting yang perlu diketahui, dan kata-kata itu hanya diulang oleh mal’akh pada ay. 35. Bileam telah mendengar suara Yahweh dalam mimpinya, namun kehadiran Yahweh tersebut dirasa kurang cukup. Baru setelah ia melihat mal’akh Yahweh, ia akhirnya percaya. Teofani ini kembali menekankan bahwa pengalaman “melihat” Yahweh memiliki nilai lebih dari sekedar “mendengar”.[159]
Perbandingan antara “mendengar” dan “melihat” Allah kembali bergema dalam perikop Ayb 42:1-6. Sebelumnya, Ayub telah mendengar tentang Tuhan melalui tradisi yang diturunkan dan diajarkan oleh para nenek moyangnya (8:8). Namun kini, Ayub memiliki dasar iman yang jauh lebih unggul daripada ajaran tradisional yang ia terima sebelumnya. Jawaban Ayub atas tantangan Yahweh ini merupakan pernyataan publik bahwa dia tidak hanya “mendengar” (tentang) Tuhan, tapi ia telah “melihat” Tuhan dengan matanya sendiri. Ayub mengalami pertemuan langsung dengan Allah yang hidup dan mendengar segala perkataan-Nya secara jelas.[160]
Berbeda dengan dua pengalaman teofani di atas, Ayub justru sejak awal memiliki keinginan untuk melihat Allah (Ayb 19:25-27). Ayub berharap dapat melihat Allah dalam sebuah persidangan dan mengajukan perkaranya di hadapan Allah. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan harapan Ayub. Allah hadir bukan dalam persidangan tetapi melalui badai atau angin puyuh (Ayb 38-42). Meski demikian, harapan Ayub untuk melihat Allah tetap terpenuhi, “… sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5b).[161]
Pengalaman Ayub berbeda dengan pengalaman Musa maupun Bileam. Dalam Kel 24, melihat Allah berarti bertatap muka dengan-Nya sebagai mitra dalam sebuah perjanjian dan itu pun hanya terjadi secara sepintas lalu. Dalam Bil 22, melihat Allah dalam bentuk mal’akh Yahweh berarti memahami pesan dan keputusan ilahi yang tak dapat diubah oleh manusia. Tetapi dalam Ayb 42:5 melihat Allah berarti melihat dunia melalui mata Allah. Dengan melihat Allah, Ayub memperoleh pandangan baru tentang kebijaksanaan yang tidak dapat dialami oleh tiga sahabatnya. Kini, Ayub telah melihat kompleksitas kosmos yang sebelumnya tak dapat dimengerti.[162]
Keinginan Ayub untuk melihat Allah dalam Ayb 19:26-27 terjadi dalam konteks metafora hukum yang dominan ketika menghadapi ‘penyiksa/penuduhnya’. Namun tanggapan Ayub dalam Ayb 42:1-6 telah meninggalkan aspek dari metafora hukum dan lebih menonjolkan aspek moral. Melihat Allah dalam 42:5 berarti merasakan kompleksitas moralnya, suatu kompleksitas yang tidak melihat dunia manusia sebagai fokus utama perhatian Allah.[163]
4.5  Pertobatan
Secara umum, Kitab Ayub mengisahkan pemberontakan iman dalam konteks dan situasi di zaman Ayub. Bentuk pemberontakan iman itu dilakukan Ayub dengan menolak dan menggugat doktrin ortodoks yang dipertahankan oleh ketiga sahabat Ayub. Ayub bersikeras menentang ketiga sahabatnya dengan mengatakan bahwa teori pembalasan di bumi tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak sesuai dengan pengalaman hidup Ayub. Sebagai orang yang tidak bersalah, Ayub tidak pantas menerima penderitaan yang sedemikian parah.[164]
Melalui penderitaan yang ia alami, Ayub merasa hubungannya dengan Allah telah terputus. Namun, Ayub berjuang terus dan berpegang pada Allah walaupun ia tidak memahami-Nya. Akhirnya, Tuhan menjawab Ayub dari tengah badai. Jawaban itu tidak sama seperti yang diharapkan Ayub. Tuhan tidak memberikan alasan atau membela tindakan-Nya atas kemalangan yang menimpa Ayub. Allah justru menampakkan diri sebagai Pencipta dan kehadiran-Nya tetap sebagai sebuah misteri. Penampakan Allah ini menjalin kembali hubungan dengan Ayub. Berkat penampakan Allah, Ayub akhirnya menyatakan pengakuannya, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb 42:5-6).[165]
Pengakuan Ayub tersebut muncul karena ia telah mengalami Allah secara personal. Pengalaman pribadi akan Allah mengubah segala sesuatu, baik penilaiannya terhadap diri sendiri maupun penilaiannya terhadap segala sesuatu yang ada dan terjadi. Dengan “mencabut perkataan dan menyesal”, Ayub mengakui dan meyakini bahwa ia telah berbuat dosa dan ia bertobat atas dosa-dosanya itu. Dosa yang dimaksud di sini  bukanlah dosa yang dilakukan Ayub sebelum ia menderita. Sebaliknya, Ayub berdosa karena telah menghakimi dan menuduh Allah, berbicara di luar pengetahuan serta mengklaim diri tidak berdosa di hadapan Allah dan sesamanya.[166] Jadi, pertobatan Ayub bukan terletak pada tataran moral melainkan sebuah iluminasi intelektual (pertobatan pikiran[167]). Inilah paradigma baru yang diterima oleh Ayub melalui teofani.[168]
Tanggapan Ayub atas teofani juga mengungkapkan bahwa ia dapat menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah. Paradigma dan pola pikir Ayub yang baru menegaskan kembali keyakinannya pada kekuasaan dan kedaulatan Allah. Ayub juga menerima kenyataan bahwa dirinya tidak mampu memahami karya Allah dan segala rancangan-Nya. Akhirnya, hubungan Ayub dengan Allah diperbarui dengan pertobatan. Inilah wujud rekonsiliasi, yaitu suatu ajakan damai yang ada dan terjadi dalam diri Ayub, dan sekaligus membawanya kepada suatu kebahagiaan hidup (bdk. Ayb 42:16-17).[169]


5.      Kesimpulan
Teofani dari dalam badai telah meremukkan hati Ayub, tetapi tidak meluluhlantakkannya sama sekali. Sebaliknya, Ayub membuka diri bagi kenyataan lain tentang gambaran Allah. Pidato Yahweh menuntun Ayub pada kesadaran baru akan kekuasaan Allah. Selama ia menderita, kekuasaan Allah dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang dipakai untuk melawan dirinya. Setelah memahami kuasa Allah secara positif, Ayub mulai menyadari bahwa kekuasaan Allah digunakan untuk mengatur kosmos sebagai tempat tinggal bagi seluruh ciptaan.
Teofani juga telah menghantar Ayub pada kesadaran akan pengetahuan yang tak terbatas dari Allah dan sekaligus kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas. Di hadapan ciptaan Allah (behemôt dan lewiatan), Ayub merasa tidak berarti. Ayub sungguh-sungguh insyaf akan kesombongannya, sebab di hadapan Allah manusia dapat disebut “tanpa pengertian”. Juga, ajaran tradisional tentang hukum pembalasan yang menjadi dasar “pengertian” dan kebijaksanaan bagi Ayub dengan ketiga sahabatnya juga tidak dapat dipertahankan lagi. Pengertian tradisional mereka tidak tahan uji, sebab ternyata penderitaan bukan melulu akibat dari dosa atau sebagai hukuman dan penolakan dari pihak Allah.
Ayub sebagai manusia yang menderita diberikan suatu pengalaman baru. Hubungan Ayub dengan Allah tidak lagi didasarkan atas “kata orang”, melainkan menjadi pengalaman pribadi. Ayub menerima suatu pernyataan Ilahi. Allah berbicara padanya dan dengan demikian menyatakan kehadiran-Nya. Ayub akhirnya dapat mengalami Allah, “…sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Ia menemukan keyakinannya pada Dia yang hadir baginya. Pengalaman mengubah segala sesuatu, baik penilaiannya terhadap dirinya sendiri maupun terhadap segala suatu yang terjadi.
Setelah menemukan sikap yang lebih positif ini, Ayub tidak lagi berdiam diri. Ia mencabut perkataannya dan menyesal. Penyesalan Ayub bukanlah atas dosa perampokan, perzinahan, penyembahan berhala, dan lain sebagainya. Yang disesali Ayub ialah dosanya yang lebih mendasar, yakni mempersalahkan Allah dalam usaha mempertahankan kebenarannya sendiri.
Usaha pertobatan Ayub melalui pengakuan imannya yang termuat dalam Ayb 42:1-6 dibenarkan oleh Allah. Sementara pendapat ketiga sahabat Ayub mendapat penolakan. Pembenaran sikap Ayub ini membawa akhir cerita dengan “happy ending”. Akhirnya, Allah menganugerahi keluarga yang baru dan umur yang panjang baginya.


















BAB IV




PENUTUP




Dalam bab IV ini, penulis hendak merumuskan rangkuman umum dari keseluruhan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian, penulis memberikan refleksi pastoral berkenaan dengan penderitaan Ayub dalam dunia dewasa ini bahwa pengalaman perjumpaan dengan Allah adalah kerinduan terdalam bagi orang yang beriman dan dalam penderitaan pun manusia dapat berjumpa serta mengalami Allah. Selain itu, penulis juga hendak memberikan refleksi tentang makna pertobatan atau rekonsiliasi sebagai jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan.
1.      Rangkuman Umum
Kitab Ayub dipandang sebagai karya sastra yang penting dan unggul, bukan hanya dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam keseluruhan sastra dunia. Topik sentral tentang orang saleh yang menderita dengan bahasa puisi yang memiliki kualitas dan mutu tinggi memberi alasan penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama dalam daftar Kitab-kitab Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai sastra yang paling unggul dalam daftar sastra dunia. Namun, keunggulan-keunggulan itu justru menjadikan Kitab Ayub sebagai karya yang sulit untuk dipahami. Apalagi, Kitab Ayub dianggap sebagai karya gabungan dari cerita rakyat kuno yang disadur kembali oleh para penyair anonim, sehingga strukur kitab ini sangat kompleks dan rumit untuk dimengerti.
Kitab Ayub telah memberikan gambaran tentang penderitaan yang dialami oleh seorang yang saleh, yakni Ayub sendiri. Penderitaan Ayub tersebut telah memunculkan fakta dan gugatan bahwa hukum pembalasan di bumi yang telah dihidupi dalam tradisi Yahudi tidak dapat dipertahankan lagi. Ayub, ketiga sahabatnya dan juga Elihu tidak dapat memahami secara tuntas arti penderitaan Ayub.
Ayub yang tidak menemukan jawaban atas deritanya mulai menggugat dan menghakimi Allah yang menurutnya sangat tidak adil. Ia kemudian menantang Allah untuk “mempertanggungjawabkan” perlakuan-Nya atas diri Ayub. Allah akhirnya memenuhi tantangan Ayub tersebut. Allah menampakkan diri-Nya kepada Ayub, sekaligus berbicara dengannya. Inilah teofani.
Meski Allah menampakkan diri kepada Ayub, Allah tidak memberi jawaban dan alasan langsung mengapa Ayub menderita. Allah justru memberikan pengertian baru bagi Ayub mengenai bagaimana ia harus bersikap di hadapan Allah. Penampakan Allah tersebut mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub atas teofani tersebut hendak menjawab sejumlah pertanyaan terkait persoalan atas penderitaan orang saleh. Bagaimana seseorang yang menderita harus bersikap terhadap Allah? Apakah Allah telah bertindak secara tidak adil? Bagaimana teofani itu dapat dimengerti oleh Ayub? Apa implikasi penampakan Allah tersebut bagi Ayub?
Tanggapan Ayub atas teofani tersebut tertuang dalam perikop Ayb 42:1-6. Perikop ini memuat tindakan afirmatif dari pihak Ayub atas penderitaannya yang tak terpahami sebagai bagian dari misteri Allah. Ayub menyadari bahwa melalui keterbatasannya, ia tidak akan pernah sampai memecahkan persoalan tentang misteri penderitaan.
Teofani telah membawa Ayub pada sikap tobat yang sejati. Sikap tobat itu dinyatakan dengan kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas berhadapan dengan pengetahuan Allah yang tak terbatas. Ayub sungguh-sungguh insyaf akan kesombongannya, sebab di hadapan Allah manusia dapat disebut “tanpa pengertian”. Ajaran tradisional tentang pembalasan di bumi membuktikan keterbatasan manusia dalam memahami Allah yang Mahakuasa.
Pertobatan Ayub juga membawanya kepada suatu pengalaman baru. Hubungan Ayub dengan Allah tidak lagi didasarkan atas “kata orang”, melainkan menjadi pengalaman pribadi. Ayub menerima suatu pernyataan Ilahi. Allah berbicara padanya dan dengan demikian menyatakan kehadiran-Nya. Ayub akhirnya dapat mengalami Allah, “…sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Pengalaman mengubah segala sesuatu, baik penilaiannya terhadap dirinya sendiri maupun terhadap segala suatu yang terjadi.
Kisah pertobatan Ayub dalam Ayb 42:1-6 dinyatakan dengan mencabut perkataannya dan menyesal karena telah mempersalahkan Allah dalam usaha mempertahankan kebenarannya sendiri. Sikap tobat Ayub tersebut mendapat pembenaran dari pihak Allah. Keadaan Ayub kemudian dipulihkan. Allah menganugerahkan harta kekayaan, keluarga besar dan umur yang panjang kepada Ayub (Ayb 42:10-17).
2.    Refleksi
Sikap-sikap Ayub yang paling menonjol dalam Ayb 42:1-6 adalah kerinduannya untuk berjumpa dengan Allah, pengakuannya atas misteri penderitaan dan sikap pertobatan atas “kesombongannya”. Kerinduan Ayub akan perjumpaan dengan Allah berangkat dari pengalaman deritanya yang tak terpahami. Salah satu dimensi pedagogis penderitaan dalam dunia Perjanjian Lama menyatakan bahwa penderitaan harus berfungsi untuk pertobatan, yaitu untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek (manusia). Maksud dari pertobatan ialah untuk mengalahkan kejahatan, yang dalam berbagai bentuknya masih ada dalam diri manusia.[170] Maka, penulis memberikan tiga pokok gagasan refleksi mengenai penderitaan dalam kaitannya dengan perjumpaan Allah-manusia dan pertobatan, sekaligus bercermin atas pengalaman Ayub.
2.1    Kerinduan akan Pengalaman Perjumpaan dengan Allah
Keinginan manusia untuk mengenal Allah sebagai realitas tertinggi sudah muncul sejak dahulu. Sebelum manusia beragama[171], ia sudah mengupayakan untuk mengenal dan berjumpa dengan Allah melalui pengalaman-pengalaman religius. Pengalaman religius ini mengarahkan manusia ke suatu transendensi, sesuatu yang melebihi manusia dan hidupnya.[172]
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai “mencipta” agama-agama sebagai sarana untuk mengenal dan berjumpa dengan Sang Ilahi. Dari sinilah muncul berbagai agama dan kepercayaan, seperti Hinduisme, Buddhisme, Dualisme dan agama-agama Abrahamistik. Hidup keagamaan diyakini dapat membawa manusia kepada realitas yang tertinggi, yang dalam dunia Kristen disebut Allah.[173] Untuk sampai kepada Allah, manusia membutuhkan iman.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, banyak orang mulai “menjauhi” Allah. Pandangan bahwa Allah sebagai pusat beralih kepada manusia, dari teosentris menjadi antroposentris. Hidup keagamaan mulai ditinggalkan sejalan dengan munculnya paham-paham yang bersifat ateistis dan humanistis. Bagi kaum ateis, ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional yang mereka miliki adalah bukti bahwa Allah itu tidak ada. Ironisnya, orang yang mengaku beragama pun juga mulai meninggalkan Allah. Inilah yang sering dikenal dengan ateisme praktis, yang mengaku menganut salah satu agama tetapi tidak berperilaku sesuai dengan agamanya itu.[174]
Gejala dan fenomena ini semakin membuktikan bahwa kerinduan manusia untuk berjumpa dengan Allah telah luntur dan hilang. Berhadapan dengan fenomena ini, para filsuf dan teolog Kristen modern berusaha merumuskan pemikiran yang rasional dan sistematis tentang relasi manusia dengan Allah. Hal ini tidak dimaksudkan untuk “merasionalkan” dan memasukkan Allah dalam kesempitan otak manusia, melainkan untuk memberi pendasaran rasional atas Allah yang diimani manusia. Bagaimanapun juga, Allah tetap menjadi misteri.[175]
Ayub yang bergulat dengan penderitaan yang tak terpahami memiliki kerinduan yang mendalam untuk berjumpa dengan Allah, penciptanya. Ia memiliki iman bahwa Allah pasti akan memperhatikan hambanya yang saleh. Kerinduannya akhirnya terjawab. Allah menampakkan diri secara istimewa dan menunjukkan kepedulian-Nya terhadap Ayub. Allah yang tampil di sini bukanlah Allah sebagai obyek pikiran, melainkan Allah yang hidup dan bersatu dengan pengalaman hidup Ayub.[176] Dengan demikian, Ayub telah menjadi figur bagi orang beriman yang memiliki kerinduan untuk berjumpa dengan Allah.
2.2    Mengalami Allah dalam Penderitaan
Penderitaan adalah pengalaman eksistensial manusia. Setiap manusia pasti pernah mengalami peristiwa duka dan derita dalam hidupnya. Ayub dalam kapasitasnya sebagai orang yang saleh dan jujur di mata Tuhan pun mengalami situasi itu. Pengalaman penderitaan Ayub ini kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan: Dari manakah penderitaan? Mengapa Allah mengizinkan manusia (yang saleh) menderita? Apakah Allah sungguh dapat mengatasi penderitaan?[177]
Dalam tradisi Israel, penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa. Hubungan antara penderitaan dan dosa itu dirumuskan dalam hukum pembalasan yang telah dihidupi oleh bangsa Israel sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Paham ortodoks ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya sampai munculnya ide tentang kebangkitan pada abad ke-2 sM.[178]
Selain diakibatkan oleh dosa, penderitaan juga dipahami sebagai sarana Allah untuk mendidik umat-Nya. Penderitaan dapat menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaan (Ams 3:11-12; Ayb 33:19-22; 1 Kor 11:32). Melalui penderitaan, Allah juga hendak memurnikan dan  mendekatkan manusia kepada-Nya (Mzm 66:8-12; bdk. Yak 1:12). Dengan demikian, penderitaan dapat membantu perjalanan manusia menuju Allah.[179]
Kedua pemecahan masalah tentang penderitaan di atas tidak dapat menjawab secara tuntas persoalan yang dialami oleh Ayub. Paham “pembalasan di bumi” tidak lagi memadai untuk menjawab penderitaan orang saleh seperti Ayub. Maka Allah menampakkan diri dan mengajak Ayub memberi perhatian bukan melulu pada persoalan penderitaan tetapi pada kebijaksanaan-Nya di dunia. Melaui teofani inilah, akhirnya Ayub dapat mengakui dan menerima penderitaan sebagai bagian dari misteri Allah yang tak terpahami. Hal ini senada dengan refleksi Beato Yohanes Paulus II yang menyatakan,
Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara penuh berdasarkan akal budi.[180]
Konsep tentang penderitaan yang tak terpahami dan hukum pembalasan di bumi dapat membuat orang jatuh ke dalam ateisme[181]. Berhadapan dengan misteri penderitaan, kaum ateis merumuskan sebuah silogisme kuno yang berbunyi demikian: Tuhan pada hakekatnya Mahabaik dan Mahakuasa. Jika Tuhan dapat mencegah penderitaan, tetapi Dia tidak melakukan, maka Dia bukan Mahabaik. Di pihak lain, jika Tuhan mau, tetapi tidak dapat mencegah penderitaan, maka Dia bukan Mahakuasa. Dari kalimat itu, dapat disimpulkan bahwa adanya penderitaan mengemukakan bukti: Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa itu tidak ada.[182]   
 Melalui silogisme di atas, kaum ateis nampaknya telah membuat jurang pemisah antara penderitaan dengan kebaikan dan kemahakuasaan Allah. Padahal bagi orang Kristen, realitas penderitaan menyatakan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan manusia. Melalui hasil refleksi Kristen tentang penderitaan, ada tiga hal yang bisa diterima mengenai penderitaan manusia. Pertama, beberapa bentuk penderitaan terjadi karena dosa dan penyalahgunaan kebebasan manusia. Kelalaian manusia akan tanggung jawabnya dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain atau orang banyak (misalnya: banjir di Bohorok, Lumpur Lapindo di Sidoarjo, pencemaran air di Sungai Ciliwung dan sebagainya). Kedua, penderitaan itu melampaui kemampuan dan kemungkinan manusia. Penderitaan semacam ini mempertanyakan tanggung jawab dari Allah agar Dia terlibat mengatasinya (misalnya: anak-anak cacat sejak lahir, gempa bumi dan tsunami di Aceh dan di Jepang atau badai Tornado di AS akhir-akhir ini). Ketiga, melalui penderitaan, manusia membutuhkan intervensi Allah dalam dunia melalui inkarnasi dan salib Kristus.[183]
Menurut perspektif iman kristiani, misteri penderitaan dalam Kitab Ayub terjawab secara tuntas dalam pewahyuan kasih Allah di kayu salib. Kasih dan korban cinta ilahi di salib merupakan sumber rahmat untuk menemukan makna penderitaan. Melalui korban-Nya di salib, Kristus memberdayakan manusia dengan kekuatan ilahi-Nya untuk memahami misteri ini. Kristus sendiri rela menapaki jalan penderitaan karena keagungan dan keluhuran cinta kasih-Nya kepada manusia dan demi keselamatan manusia. Akan tetapi, penderitaan Kristus di salib tidak dimaksudkan untuk mengakhiri penderitaan manusia, tetapi mengajarkan manusia untuk menghadapi setiap bentuk penderitaan dengan cinta dan korban serta membangun semangat solidaritas demi kebahagiaan dan keselamatan sesama.[184]
Peristiwa salib merupakan tanda Yesus memuliakan Allah, sehingga Dia juga dimuliakan oleh Allah. Salib Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya sejak awal dunia bagi orang lain, orang sakit dan orang-orang yang diasingkan. Tak ada cinta yang lebih besar selain cinta seorang sahabat yang rela menyerahkan hidupnya bagi sesamanya (Yoh 15:13). Penderitaan dapat disebut sebagai salib kalau penderitaan itu dialami karena membela orang tertindas dan memperjuangkan kebaikan dan kebenaran.[185]
Hingga kini, problem mengenai penderitaan tetap membayangi setiap manusia di seluruh muka bumi. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia juga telah berusaha untuk mengatasi penderitaannya. Sigmun Freud mencoba menelusuri penderitaan melalui ilmu psikologinya. Baginya, penderitaan adalah tanda kemarahan Tuhan, maka Allah itu adalah sadis. Selain itu Nietzsche mengatakan bahwa penderitaan melalui peristiwa salib itu merupakan kebodohan.[186]
Pernyataan dari kedua pemikir tersebut tetap tidak menjawab secara tuntas mengenai persoalan penderitaan di zaman ini. Penderitaan bukanlah suatu akhir yang bisa membuktikan bahwa Allah itu tidak Mahakuasa atau tidak Mahabaik. Allah itu kebaikan yang absolut. Allah merangkul semua yang ada di dunia ini, termasuk penderitaan. Maka, layaknya Ayub, manusia membutuhkan mata iman untuk mengerti kebijaksanaan Allah khususnya pada misteri penderitaan ini. Manusia semestinya dapat menyerahkan diri pada ketidakpahaman akan Tuhan. Pemahaman ini bukanlah kontra pemikiran, namun suatu ekspresi dari pemikiran orang beriman. Kebodohan Allah masih lebih kuat dari kebijaksanaan manusia (1 Kor 3:19).[187]
            Dengan demikian, bagi orang beriman, penderitaan dan kematian justru menjadi jalan menuju dan masuk ke kehidupan baru. Keyakinan ini juga dapat mendorong keberanian dan menumbuhkan ketabahan seseorang dalam menghadapi penderitaannya dengan setia. Terhadap realitas penderitaan, Rasul Paulus berkata, “Aku yakin, bahwa penderitaan di zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Dengan menderita, manusia berarti mengalami keberadaan dan misteri Allah.[188]
2.3    Rekonsiliasi sebagai Jalan menuju Kedamaian
Sebagaimana dengan penderitaan, dosa juga merupakan pengalaman mendasar dalam kehidupan manusia karena menyangkut kodrat manusia. Setiap manusia pasti berdosa.[189] Ayub yang diperkenalkan sebagai seorang yang saleh pun berdosa. Dosa Ayub bukanlah dosa pembunuhan, perampokan, perzinahan atau penyembahan berhala. Dosa Ayub lebih bersifat mendasar, yakni mempersalahkan dan menghakimi Allah. Selain itu, Ayub juga telah kehilangan rasa berdosanya.[190]
Melalui teofani (Ayb 38-42), Allah menyadarkan Ayub sebagai manusia yang sungguh terbatas. Teofani tersebut akhirnya mendapat tanggapan yang positif. Kesadaran akan keterbatasan manusia akhirnya juga dialami oleh Ayub dengan mencabut perkataannya dan melalui ungkapan penyesalannya (Ayb 42:1-6). Ayub menyadari bahwa dirinya telah berdosa karena melawan kedaulatan Allah.[191]
Dalam suatu kongres di Amerika Serikat tahun 1946, Paus Pius mengatakan bahwa dosa yang paling besar pada zaman itu ialah menghilangnya rasa berdosa. Orang tidak peduli lagi dengan dosa maut atau dosa ringan. Konsep-konsep tentang hukuman dosa, api penyucian dan neraka tidak lagi dipahami. Dengan demikian jalan untuk rekonsiliasi juga semakin menipis.[192] Beato Yahanes Paulus II dalam ajaran apostoliknya, Reconciliatio et Paenitentia menyatakan bahwa kehilangan rasa berdosa adalah suatu bentuk atau buah dari penyangkalan akan Allah. Penyangkalan ini bukan hanya berbentuk ateis, tetapi juga berbentuk sekularis.[193]
Dewasa ini, manusia juga sudah semakin kehilangan rasa berdosanya. Fenomena ini juga merambah ke dunia Kristen, khususnya orang-orang Katolik di Indonesia. Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Padang yang diselenggarakan tanggal 8-10 Mei 2009 yang lalu di Paroki Katedral St. Theresia Padang mengadakan sebuah survey dengan pertanyaan: Mengapa umat jarang mengaku dosa? Alasannya beragam. Dari sekian jawaban, 14,1 % responden menjawab bahwa mereka merasa tidak berdosa.[194] Fenomena ini juga sangat mungkin terjadi di paroki lain, keuskupan lain atau bahkan di seluruh dunia.
Berhadapan dengan fenomena-fenomena tersebut, manusia harus memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk terbatas yang memiliki kelemahan. Keterbatasan manusia itu jugalah yang dapat membantu usaha penyadaran dirinya sebagai orang yang berdosa. Dosa telah memutuskan hubungan yang intim antara manusia dengan Allah. Untuk menjalin relasi itu kembali dibutuhkan sebuah ungkapan tobat atau rekonsiliasi dari pihak manusia.
Ayub merupakan salah satu figur manusia yang mampu menerima kehendak Allah dalam deritanya sekaligus pribadi yang mau bertobat atas “kesombongannya”. Melalui pertobatannya, Ayub berdamai kembali dengan Allah. Dengan pertobatannya itu juga, Ayub dapat berpaling dari gambaran Tuhan yang palsu dan keliru kepada suatu pengetahuan yang lebih agung mengenai misteri Allah yang terselubung dalam ciptaan-Nya.





[1] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 13; bdk. Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 103.
[2] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 13-14.

[3] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 15.

[4] Istilah “monoteisme” secara etimologis berasal dari kata Yunani monos (satu, tunggal) dan theos (Tuhan). Artinya: suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah dan pencipta seluruh alam semesta. Istilah “monoteisme” biasanya dikonfrontasikan dengan “politeisme”, yakni paham ketuhanan yang mengajarkan ada banyak (polys) dewa atau tuhan. Pada umumnya sebutan -
“monoteisme” paling tepat dipakai untuk mengarakterisasikan paham Tuhan dalam agama-agama Semistik, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam. [Lihat J. Sudarminta – S.P. Lili Tjahjadi (ed.), Dunia, Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 70.]

[5] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 214.

[6] Hendrik Njiolah, Mengenal Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2001), hlm. 20-21; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 43-44.
[7] Hukum pembalasan di bumi adalah ajaran tradisional Yahudi yang menyatakan bahwa Allah akan memberkati orang yang setia terhadap Allah dan menghukum orang yang tidak setia. Biasanya, berkat dan hukuman Allah nyata dalam situasi hidup manusia di dunia ini. Orang yang setia dan saleh akan dikaruniai kesehatan, umur panjang, harta yang melimpah atau keturunan yang banyak. Sedangkan orang yang berdosa dan tidak setia akan dihukum dengan penderitaan fisik, penyakit, tanpa keturunan atau kematian di usia muda. [Lihat Oscar Lukefahr, Memahami dan Menafsir Kitab Suci secara Katolik (judul asli: A Catholic Guide to the Bible), diterjemahkan oleh V. Prabowo Shakti (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 120; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210.]

[8] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 102.

[9] St. Darmawijaya, Jiwa dan Semangat Perjanjian Lama: Pesan Para Bijak Bestari, jilid 3 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 66-67; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 20.
[10] Martin Harun, Marilah, Makanlah Hidanganku: Hikmat Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkotbah (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010), hlm. 95-96.

[11] Agus Santoso, “Problem dalam Penerjemahan Ayub 42:6”, dalam Forum Biblika, XXVI (2012), hlm. 36.
[12] Agus Santoso, “Problem …”, hlm. 36; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 102.

[13] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 102-103.

[14] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171.
[15] Martin Harun, Marilah …, hlm. 95-96.

[16] John E. Hartley, The New International Commentary on the Old Testament: The Book of Job (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1988), hlm. 487-537; bdk. Norman C. Habel, The Book of Job (London: SCM Press LTD., 1985), hlm. 575-586; bdk. juga Norman C. Habel, “The Verdict on/of  God at the End of Job”, dalam Concilium, IV (2004), hlm. 27.

[17] Ellen J. van Wolde, “Job 42:1-6: The Reversal of Job”, dalam Book of Job (Leuven: Leuven University Press, 1994), hlm 231, dikutip dari Danile Timmer, “God’s Speeches, Job’s Responses, and the Problem of Coherence in the Book of Job”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, 2/71 (April 2009), hlm. 296; bdk. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab: Ayub s/d Maleakhi (judul asli: Explore the Book), diterjemahkan oleh Sastro Soedirdjo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 59.
[18] Nama “Ayub” (Ibr. Iyyov), yang ditafsirkan sebagai “Di manakah Bapa(ku)?”, terdapat dalam surat-surat Amarna (sekitar 1350 sM) dan dalam Naskah-naskah Kutukan dari Mesir (sekitar 2000 sM). Dalam kedua tulisan ini, nama tersebut adalah nama pemimpin suku di Palestina dan sekitarnya. Selain itu, nama “Ayub” dapat juga dihubungkan dengan akar kata ʼ-y-b (menjadi musuh), yang ditafsirkan sebagai bentuk aktif (= lawan Allah) atau bentuk pasif (= orang yang diperlakukan sebagai musuh oleh Allah). Pendapat lain mengemukakan bahwa nama “Ayub” dihubungkan dengan kata ʼ-w-b dalam bahasa Arab, dengan arti “orang yang bertobat”. [Lihat W.S. LaSor et al., Pengantar Perjanjian Lama, jilid 2 (judul asli: Old Testament Survey), diterjemahkan oleh Lisda T. Gamadhi dan Lily W. Tjiputra (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm.110.]

[19] Keunggulan Kitab Ayub dilihat dari topik sentral tentang orang saleh yang menderita dengan sederetan segi seperti sikap si penderita, hubungan derita-tanpa-alasan dan keadilan Allah, dosa dan hukumannya, bicara benar tentang Allah, maupun bahasa puisi yang memiliki kualitas dan mutu tinggi. [Lihat Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 101.]
[20] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 101.
[21] Talmud berasal dari bahasa Ibrani yang berarti “pengajaran” berupa kumpulan karya sastra post-biblis yahudiah sebagai keterangan atau komentar atas Taurat. Nama “talmud” diberikan pada dua kumpulan penjelasan Yahudi atas Misnah (kumpulan penjelasan Palestina) dan kumpulan penjelasan Babel. Talmud Palestina diselesaikan pada tahun 450 Masehi. Sementara itu, Talmud Babel diselesaikan satu abad kemudian dari Talmud Palestina. [Lihat W.R.F. Browning, Kamus Alkitab (judul asli: A Dictionary of the Bible), diterjemahkan oleh Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 434.]

[22] R. Laird Harris, “The Book of Job and Its Doctrine of God”, dalam Grace Theological Journal, 133 (1972), hlm. 3-4.

[23] Daerah Us terletak di wilayah selatan Yordan. Namun, apakah lebih dekat dengan wilayah Utara Aram atau ke Selatan wilayah Edom, tidaklah jelas. Bagaimanapun juga, Ayub diperkenalkan sebagai seorang non-Israel. [Lihat Michael D. Guinan, “Ayub”, dalam Dianne Bergant – Robert J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (judul asli: Collegeville Bible Commentary), diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata – Lembaga Biblika Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 404.]
[24] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 29; bdk. St. Darmawijaya, Seluk Beluk Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 251.

[25] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 110; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 15; bdk. juga Larry J. Waters, “Reflections on Suffering from the Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 154 (Oktober-Desember 1997), hlm. 436.

[26] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 105.

[27] John E. Hartley, The New …, hlm. 15.
[28] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 110-111; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 29.

[29] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 108-109; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 106.
[30] Tokoh Daniel yang disebut dalam Kitab Yehezkiel tersebut tidak merujuk pada tokoh Daniel dalam Kitab Daniel, melainkan merujuk pada Daniel yang disebutkan dalam teks Ugarit (sebuah Legenda dari Aqht), yakni seorang pahlawan kuno (raja) yang         melakukan keadilan bagi kaum janda dan yatim. [Lihat R. Laird Harris, “The Book …”,  hlm. 4.]

[31] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 108-109; bdk. R. Laird Harris, “The Book …”, hlm. 4.

[32] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 109; bdk. R. Laird Harris, “The Book …”,  hlm. 5.

[33] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 29.
[34] Martin Harun, Marilah …, hlm. 59; bdk. Gregory W. Parsons, “The Structure and Purpose of the Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 138 (April-Juni 1981), hlm. 139.

[35] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 107-109; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 36-37; bdk. juga St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 68-71.
[36] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 107.
[37] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 113-117; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 36-37; bdk. juga St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 68-71.
[38] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 114; bdk. W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 121-125.

[39] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 124-125.
[40] John E. Hartley, The New …, hlm. 6-7.

[41] John E. Hartley, The New …, hlm. 7; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 104.

[42] John E. Hartley, The New …, hlm. 8.
[43] B. Lynne Newell, “Job: Repentant or Rebellious?”, dalam Westminster Theological Journal, 46 (1984), hlm. 300-301; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 104; bdk. juga W.S. LaSor et al., Pengantar …,  110; bdk. juga John E. Hartley, The New …, hlm. 7-9.

[44] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 110.

[45] Martin Harun, Marilah …, hlm. 27; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 101.
[46] Gregory W. Parsons, “Literary Features of the Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 138 (Juli-November 1981), hlm. 213; bdk. Michael D. Guinan, “Ayub”, hlm. 404.

[47] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 213-214.

[48] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 126.

[49] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 213.

[50] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 125.
[51] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 214.

[52] Gregory W. Parsons, “Guidelines for Understanding and Proclaiming the Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 151 (Oktober-Desember 1994), hlm. 399.

[53] Michael D. Guinan, “Ayub”, hlm. 404.
[54] Syeôl adalah suatu tempat tinggal semua orang mati yang terletak di bawah bumi (dalam kerangka kosmos Yahudi: cakrawala-bumi-dunia bawah). Dunia orang mati adalah dunia kegelapan (bdk. Kej 37:35; Bil 16:31-34; Ul 32:22; Ayb 3:13-19; 26:5-6). Orang-orang yang mati tidak dapat lagi memuji Allah (bdk. Mzm 6:5-6; Yes 38:13). Oleh karena itu, pemulihan kesehatan dan kebugaran menjadi alasan untuk bersyukur kepada Tuhan (Mzm 30:3). [Lihat Stefanus Pranjana, Setan menurut Orang Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 73; bdk. W.R.F. Browning, Kamus …, hlm. 429.] 

[55] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 73; bdk. juga C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 172-175.

[56] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 73.

[57] Dalam pembahasan selanjutnya, istilah ‘hukum pembalasan di bumi’ juga akan disebut dengan: doktrin ortodoks, ide/konsep tradisional dan (hukum) retribusi.

[58] David Clines, Job 1-20 (Dallas: Word, 1989), hlm. xxxix.
[59] N.T. Wright, The Resurrection of the Son of God (Minneapolis: Fortress Press, 2003), hlm. 86, dikutip dari V. Indra Sanjaya, “Hidup Sesudah Mati dalam Tradisi Yahudi”, dalam Wacana Biblika, 7/4 (Oktober-Desember 2007), hlm. 156.

[60] V. Indra Sanjaya, “Hidup Sesudah Mati dalam Tradisi Yahudi”, dalam Wacana Biblika, 7/4 (Oktober-Desember 2007), hlm. 156.
[61] Michael D. Guinan, “Ayub”, hlm. 418.

[62] V. Indra Sanjaya, “Hidup …”, hlm. 156.

[63] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 204-205.
[64] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 205-206; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 72.

[65] Bentuk jamak dari teks asli lebih tampak dalam kata “bani” daripada dalam kata “orang”, seperti yang dipakai oleh LAI. [Lihat Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 206.]

[66] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 206-207; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 72.

[67] Menurut para nabi (sebelum Yehezkiel), pembuangan ke Babel harus dipandang sebagai hukuman atas ketidaksetiaan bangsa sepanjang sejarahnya. Maka muncul banyak reaksi: mengapa kita dihukum, padahal leluhur yang berdosa? Ajaran Yehezkiel, terutama dalam bab 18, membuka mata bagi angkatan yang telah dibuang ke Babel bahwa mereka juga berdosa. Di samping itu, Yehezkiel menghubungkan pengharapan akan masa depan dengan suatu pertobatan individual daripada suatu pertobatan kolektif dari seluruh bangsa. [Lihat  Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 207.]

[68] Martin Harun, Marilah …, hlm. 57; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 73.

[69] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 207.

[70] Martin Harun, Marilah …, hlm. 57-58.
[71] Martin Harun, Marilah …, hlm. 58.

[72] Larry J. Waters, “Reflections …”, hlm. 442-443.

[73] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 36-37.
[74] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 39-40.

[75] Larry J. Waters, “Elihu’s Theology and His View of Suffering”, dalam Bibliotheca Sacra, 156 (April-Juni 1999), hlm. 151.

[76] Martin Harun, Marilah …, hlm. 58.
[77] Teofani berasal dari kata Yunani theophany (penampakan Allah). Teofani merupakan penyataan diri Allah yang dapat dilihat. Dengan mempertahankan keyakinan bahwa tidak ada orang yang dapat melihat Allah dan tetap hidup (Kel 19:21; 33:20; Hak 13:22), Perjanjian Lama menceritakan Allah yang menampakkan diri kepada Musa dan tokoh-tokoh lain (Kel 3:1-6; 33:17-23; 34:5-9; Yes 6:1-5). [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 313; bdk. W.R.F. Browning, Kamus …, hlm. 441.]

[78] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171.

[79] Martin Harun, Marilah …, hlm. 90; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 487.

[80] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 71.

[81] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[82] John E. Hartley, The New …, hlm. 488; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 174.

[83] Westermann, Structure of the Book of Job (Philadelphia: [tanpa penerbit], 1981), hlm. 106, dikutip dari John E. Hartley, The New …, hlm. 489.

[84] Orakel merupakan pesan ilahi. Dalam sejarah Yunani klasik, orakel dijadikan sarana untuk menerima nasihat-nasihat dari sang ilahi melalui imam-imamnya. Dalam Perjanjian Lama, dikenal orakel melalui batu undi (Urim dan Tumim). Orakel yang disampaikan oleh para nabi Perjanjian Lama pada abad ke-8 sampai abad ke-6 sM diabadikan dalam bentuk tulisan dan mendapatkan bentuk-bentuk nyata seperti perumpamaan dan nyanyian-nyanyian. [Lihat W.R.F. Browning, Kamus …, hlm. 358.]

[85] John E. Hartley, The New …, hlm. 489.
[86] Larry J. Waters, “Reflections …”, hlm. 446; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 177.

[87] Danile Timmer, “God’s Speeches, Job’s Responses, and the Problem of Coherence in the Book of Job”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, 2/71 (April 2009), hlm. 292.

[88] Martin Harun, Marilah …, hlm. 91.

[89] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[90] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 178.

[91] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[92] Martin Harun, Marilah …, hlm. 93-94.

[93] Behemôt dilukiskan sebagai jenis hewan yang liar. Dalam Kitab Suci edisi LAI, behemôt disebut dengan Kuda Nil. Sedangkan lewiatan diartikan sebagai hewan sejenis buaya. Nama behemôt dan lewiatan dikenal dari mitologi Kanaan sebagai nama dari kekuasaan chaos yang melawan segala usaha dari Sang Pencipta sampai mereka dikalahkan oleh-Nya. Dalam tradisi di dunia Timur Tengah Antik, kedua binatang tersebut dianggap sebagai simbol mitis dan kosmis. [Lihat Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 83-83; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184.]

[94] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184; bdk. Martin Harun, Marilah …, hlm. 94.

[95] Wim van der Weiden, Seni …, hlm.  184.
[96] Danile Timmer, “God’s Speeches …”, hlm. 297.

[97] John E. Hartley, The New …, hlm. 518.
[98] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27.
[99] Kitab Suci edisi Lembaga Alkitab Indonesia Terjemahan Baru merupakan Kitab Suci yang berisi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kitab Suci ini diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika, yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia. Penulisan selanjutnya hanya disebut dengan LAI TB.

[100] John E. Hartley, The New …, hlm. 487-537.
[101] Danile Timmer, “God’s Speeches …”, hlm. 298.

[102] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 575-586.

[103] John E. Hartley, The New …, hlm. 488.
[104] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27.

[105] J.G. Janzen, Job: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Atlanta: John Knox Press, 1985), hlm. 251-259.
[106] John E. Hartley, The New …, hlm. 534-537.
[107] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27; bdk. Norman C. Habel, The Book …, hlm. 577-578.
[108] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 578.

[109] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 578-579.
[110] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 579.
[111] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 581.

[112] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 581.

[113] Leo G. Perdue, Wisdom in Revolt: Metaphorical Theology in the Book of Job (New York: The Almond Press, 1991), hlm. 234-235; bdk. James L. Crenshaw, “Job”, dalam Barton – Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 488.
[114] John E. Hartley, The New …, hlm. 535.

[115] Kata benda mezimmâ sering digunakan untuk menyiratkan “rencana” yang jahat dan licik atau sejenis tipu muslihat (bdk. 21:27; Yer 11:15; Ams 12:2). Menurut Yeremia, “rencana/rancangan” Yahweh sering ditafsirkan sebagai ekspresi kemarahan Yahweh yang dianggap jahat oleh manusia, tetapi dalam perjalanan waktu, yang terungkap justru sebaliknya. Mungkin penulis Kitab Ayub menggunakan ungkapan ini untuk mengingatkan para pembaca atas rencana awal yang dibuat oleh Yahweh dan setan untuk menguji integritas Ayub. Ayub sendirilah yang nampaknya curiga atas rencana tersebut. Namun rencana Yahweh tetap tidak dapat dimengerti dan diduga-duga, bahkan oleh Ayub sendiri. [Lihat Norman C. Habel, The Book , hlm. 581; bdk. Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 29.]

[116] John E. Hartley, The New …, hlm. 535; bdk. S.R. Driver - G.B. Gray, A Critical and Exegetical Commentary on the Book of Job (Edinburgh: T. & T. Clark, 1921), hlm. 371.
[117] Norman C. Habel, The Book , hlm. 581; bdk. Leo G. Perdue, Wisdom , hlm. 235.

[118] Leo G. Perdue, Wisdom …, hlm. 235.
[119] Norman C. Habel, The Book , hlm. 581-582; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 536.

[120] Dariusz Iwanski, The Dynamics of Job’s Intercession, vol. 161 (Roma: Editrice Pontificio Istituto Biblico, 2006), hlm. 272.
[121] R.A.F. MacKenzie – Roland E. Murphy, “Job”, dalam Raymond E. Brown, et al. (ed.), The New Jerome Biblical Commentary (London: Geoffrey Chapman, 1997), hlm. 353.

[122] Edward Ho, “In the Eyes of the Beholder: Unmarked Attributed Quotations in Job”, dalam Journal Bible Literature, 4/128 (2009), hlm. 712; bdk. Leo G. Perdue, Wisdom …, hlm. 236.

[123] Dariusz Iwanski, The Dynamics …, hlm. 272.

[124] Edward Ho, “In the Eyes …”, hlm. 713.
[125] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.

[126] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.

[127] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[128] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[129] Norman C. Habel, The Book , hlm. 582; bdk. Leo G. Perdue, Wisdom , hlm. 236.

[130] John E. Hartley, The New …, hlm. 536-537; bdk. J.G. Janzen, Job …, hlm. 253.

[131] John E. Hartley, The New …, hlm. 536-537; bdk. Norman C. Habel, The Book , hlm. 582; bdk. juga J.G. Janzen, Job …, hlm. 253.
[132] John E. Hartley, The New …, hlm. 537; bdk. Norman C. Habel, The Book , hlm. 582.

[133] Norman C. Habel, The Book , hlm. 582.
[134] Norman C. Habel, The Book , hlm. 582; bdk. S.R. Driver - G.B. Gray, A Critical , hlm. 373.

[135] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[136] Norman C. Habel, The Book , hlm. 582-583; bdk. B. Lynne Newell, “Job …”, hlm. 314-315.

[137] Norman C. Habel, The Book , hlm. 583.

[138] Agus Santoso, “Problem …”, hlm. 45-46.
[139] Norman C. Habel, The Book , hlm. 583; bdk. J.G. Janzen, Job …, hlm. 255; bdk. juga Agus Santoso, “Problem …”, hlm. 46.

[140] Norman C. Habel, The Book , hlm. 583.
[141] John E. Hartley, The New …, hlm. 537.

[142] Y.M. Seto Marsunu, Allah Leluhur Kami: Tema-tema Teologis Taurat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 29; bdk. Surip Stanislaus, Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat dan Penderitaan Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 52-53; bdk. juga Fio Mascarenhas, “A Spirituality to Cope with Suffering”, dalam Vidyajyoti, 10/69 (Oktober 2005), hlm. 733.

[143] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 55.

[144] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 69-70.

[145] George V. Lobo, “Job and the Meaning of Unjust Suffering”, dalam Vidyajyoti, 2/56 (Februari 1990), hlm. 98.

[146] St. Darmawijaya, Seluk …, hlm. 254.

[147] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 69-70; bdk. St. Darmawijaya, Seluk …, hlm. 255-256; bdk. juga George V. Lobo, “Job and the Meaning …”, hlm. 100.
[148] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 139; bdk Surip Stanislaus, “Menderita untuk Mati?”, dalam Rohani, 03/50 (Maret 2003), hlm. 29.

[149] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 140.
[150] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 85.

[151] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 85-86.

[152] George V. Lobo, “Job and the Meaning …”, hlm. 100; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 86-87.
[153] Christopher Barth et al., Teologi Perjanjian Lama, jilid II (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 193.

[154] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 177-178; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 96.
[155] A.H. Konkel-Tremper Longman III, Cornerstone Biblical Commentary: Job, Ecclesiastes, and Song of Songs, vol. 6 (Carol, IL: Tyndale House Publishers, 2006), hlm. 239.

[156] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 87.
[157] George Savran, “Seeing is Believing: On the Relative Priority of Visual and Verbal Perception of the Divine”, dalam Biblical Interpretation, 17 (2009), hlm. 320.

[158] George Savran, “Seeing …”, hlm. 329-332.
[159] George Savran, “Seeing …”, hlm. 332-335.

[160] John E. Hartley, The New …, hlm. 536-537; bdk. Norman C. Habel, The Book , hlm. 582.

[161] George Savran, “Seeing …”, hlm. 360.
[162] George Savran, “Seeing …”, hlm. 359.

[163] George Savran, “Seeing …”, hlm. 359.
[164] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 43-44, 99.

[165] Christopher Barth et al., Teologi …, hlm. 191-192.
[166] B. Lynne Newell, “Job …”, hlm. 315; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 188.

[167] Pertobatan pikiran atau intelektual adalah perubahan dari keyakinan atau mitos yang keliru tentang kenyataan, objektivitas dan pengetahuan manusia. Tolok ukur objektivitas adalah sesuatu yang diterima manusia melalui pengalaman yang diperhitungkan dengan pengertian dan pengetahuan. Pertobatan ini terjadi dalam proses yang berkesinambungan yang menjungkirbalikkan dari “apa yang tampaknya begitu” (seolah) kepada “kenyataan yang sebenarnya”. Pertobatan ini berusaha mencari kenyataan yang benar atau yang sesungguhnya. Pertobatan ini pada hakekatnya adalah perubahan intelektual. Perubahan tersebut membuka dunia baru dalam pengetahuan dan intuisi, bukan hanya kenyataan lahiriah dan duniawi, tapi kenyataan batiniah dan rohani. Pertobatan ini menambah kearifan dan kebijaksanaan hidup. [Lihat Largus Nadeak, Moral Fundamental II: Dengan Hati Nurani Kembali ke Keutamaan (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2007), hlm 52. (Diktat).

[168] Philippe Guillaume, “Dismantling the Deconstruction of Job”, dalam Journal Bible Literature, 3/127 (2008), hlm. 494; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 102.

[169] B. Lynne Newell, “Job …”, hlm. 315; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 106.
[170] Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan) (Seri Dokumentasi Gerejawi no. 29), diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), no. 12. Penulisan selanjutnya hanya disebut SD dan diikuti dengan nomor.
[171] Agama dalam arti ini merupakan dimensi yang meresapi semua bidang kehidupan. Di pelbagai daerah di Afrika, di antara kaum Indian di Amerika dan suku-suku asli Asia menghayati hidup keagamaan melalui kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos yang diceritakan, ritus-ritus, doa-doa dan pelbagai kebiasaan lain. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 27.]

[172] Theo Huijbers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 68.

[173] Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 29-38.
[174] Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 45-46.

[175] Theo Huijbers, Manusia …, hlm. 248.
[176] Theo Huijbers, Manusia …, hlm. 249-250.

[177] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 119; bdk. SD, no. 9.

[178] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 56.
[179] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 64-65.

[180] SD, no. 11.

[181] Ateisme adalah pandangan yang menyangkal adanya Tuhan. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kaum ateis adalah orang-orang yang benar-benar menyangkal Allah, menolak gagasan-gagasan (yang mereka anggap keliru) tentang Allah, lebih mementingkan manusia daripada Allah, atau memprotes
adanya yang jahat di dunia ciptaan Allah yang Mahabaik. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 157.

[182] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 51; bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 222.

[183] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 72.

[184] SD, no. 13, 14.

[185] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 76.
[186] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.

[187] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.
[188] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 71-73.

[189] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no. 1872.

[190] Martin Harun, Marilah …, hlm. 96.

[191] Martin Harun, Marilah …, hlm. 95-96.
[192] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 25.

[193] Yohanes Paulus II, Exhortation Apostolic Reconciliation and Penance (Reconciliatio et Paenitentia) (Boston: Pauline Books & Media, 1984), no. 18.

[194] Alex I. Suwandi, “Pendidikan dan Pastoral Tobat” dalam Liturgi, 4/20 (Juli-Agustus 2009), hlm. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar