BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pemilihan
Tema
Dalam
sejarah hidup manusia, penderitaan merupakan salah satu tema klasik, menarik
dan besar. Problem tentang penderitaan ini juga sungguh serius lantaran kita
dapat melihat berbagai reaksi manusia ketika berhadapan dengan penderitaan.
Tatkala menderita, manusia bisa saja frustasi dan merasa dirinya tak berarti. Hal
yang lebih mengejutkan ialah ketika manusia harus melewati penderitaan yang
dianggapnya tragis. Ia bisa saja berontak terhadap dirinya dan memandang
hidupnya tak bermakna hingga harus memilih bunuh diri untuk mengakhiri
penderitaannya.[1]
Namun
bagi manusia yang mau dan mampu berpikir, pengalaman-pengalaman pahit yang
mengakibatkan penderitaan dapat menjadi sebuah sarana untuk menemukan makna kehidupan di dunia ini. Melalui
kemampuannya dalam berpikir dan mengolah hidupnya, manusia semestinya bersedia
untuk bersikap realistis terhadap kehidupan ini. Dengan keyakinan demikian,
manusia akan mampu menyiasati realitas penderitaan yang dihadapinya.[2]
Bagi
orang beriman kristiani, pengalaman
menderita
tidak boleh diabaikan begitu saja. Dewasa ini, tidak jarang dijumpai
saudara-saudari seiman yang rela meninggalkan imannya dan mulai meragukan
adanya kasih Allah, karena
pengalaman tragis yang menimpa dirinya. Berhadapan dengan kenyataan inilah,
orang kristiani memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian iman. Dengan
demikian kita dapat menemukan jejak-jejak keadilan dan kasih Allah dalam
situasi gelap dan pahit sekalipun.[3]
Ada saatnya orang dapat memaklumi penderitaan yang dia
terima, khususnya di saat orang itu telah melakukan pelanggaran serius yang
melanggar hukum atau moral. Penderitaan yang disebabkan oleh pelanggaran atau
kelalaian manusia itu sendiri sering dianggap sebagai hal yang wajar. Akan
tetapi apabila penderitaan itu dialami oleh orang yang dikategorikan
tidak bersalah, orang saleh, atau tidak berdosa, maka penderitaan itu sulit untuk dipahami dan diterima oleh manusia pada
umumnya.
Dalam hidup keagamaan monoteistis[4],
kenyataan orang saleh yang menderita sering menimbulkan pertanyaan yang secara langsung
dihubungkan dengan sifat pokok Allah yang diperkenalkan dalam Kitab Suci, yakni
adil dan penuh kasih.
Bagaimanakah Allah yang adil dapat menyebabkan penderitaan bagi orang yang
setia kepada-Nya?[5]
Berhadapan
dengan tema klasik dan besar ini, Kitab Ayub menyajikan kisah mengenai
penderitaan orang saleh, yaitu Ayub sendiri. Ia adalah seorang yang takut akan
Allah, jujur dan benar. Namun, tiba-tiba ia dicobai oleh setan dengan sepengetahuan
atau seizin dari Allah. Pencobaan
itu menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya musnah, anak-anaknya mati,
kesehatannya juga hancur dan para sahabatnya menuduhnya sebagai pendosa.
Bahkan, istrinya sendiri tidak
percaya lagi padanya. Saat itulah Ayub merasa sungguh-sungguh menderita dan
kesepian. Ayub yang sadar
tidak berdosa mulai memberontak kepada Tuhan. Ia merasa tidak pantas untuk
menderita separah itu. Maka ia mulai mempertanyakan dan mencari keadilan Tuhan. Lebih
dari itu, Ayub mulai menghakimi
Allah.[6]
Pencarian
akan makna keadilan ini terangkum pada bagian puisi dalam Kitab Ayub, terutama bagian dialog
antara Ayub dan ketiga sahabatnya (bab 4-27). Tema pokok dalam bagian dialog
tersebut adalah konflik antara pendapat tradisional, yakni hukum pembalasan di
bumi[7]
yang dikemukakan oleh ketiga sahabat Ayub dengan kritik Ayub yang
memperkenalkan diri sebagai bukti bahwa pendapat tradisional itu tidak dapat
dipertahankan. Dalam konteks ini, penulis Kitab Ayub mau melawan ide tradisional mengenai hukum
pembalasan di bumi.[8]
Dialog
yang tidak menemukan titik temu antara
Ayub dengan ketiga sahabatnya akhirnya ditutup dengan teofani (Ayb
38-42),
di mana Allah menyatakan
diri secara khusus kepada Ayub. Dalam teofani ini, Allah menuntun Ayub kepada pemahaman betapa besar dan
dalamnya misteri penderitaan manusia yang harus diterima dalam sikap iman.
Keheningan
dan kesepian di hadapan Allah membuka kesempatan untuk memahami Allah secara
lain. Keheningan ini akan berubah menjadi sabda dan pembicaraan yang membuka
wajah Allah.[9]
Penampakan
Allah tersebut akhirnya mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub.
Tanggapan Ayub tersebut secara eksplisit tertuang dalam Ayb 42:1-6. Di sini,
Ayub mengakui keterbatasannya berhadapan dengan kebesaran Allah. Ayub juga menemukan
suatu sikap baru dalam menghadapi misteri penderitaannya. Sikap itu dinyatakan
Ayub dengan ungkapan tobat yang sungguh mendalam, yakni atas dosanya yang telah
mempertahankan kebenarannya sendiri.[10]
Teofani itu kemudian menimbulkan sejumlah
pertanyaan menarik:
Bagaimana seseorang (Ayub) yang menderita harus bersikap terhadap Allah?
Bagaimana teofani itu dapat dimengerti oleh Ayub? Apa implikasi penampakan
Allah tersebut bagi Ayub?
2.
Perumusan dan Pembatasan Tema
Kitab
Ayub diawali dengan cerita mengenai kesalehan Ayub yang tak tertandingi. Ayub
digambarkan sebagai tokoh yang ideal dalam kesalehan hidup manusia. Kesalehan
itu diungkapkan oleh penulis Kitab Ayub dengan kata Ibrani tām,
yang artinya “sempurna”. Jati diri Ayub yang saleh (“sempurna”) dipertegas
dalam Ayb 1:22 dan Ayb 2:10, di mana
Ayub dilukiskan sebagai pribadi yang tidak berdosa baik dalam ucapan maupun dalam tindakannya.[11]
Segala
predikat dan reputasi kesalehan Ayub yang positif seolah berubah drastis ketika
Ayub mengungkapkan isi hatinya pada bab 3. Dalam awal bab 3 ini, tokoh Ayub
muncul sangat berbeda dengan Ayub yang sabar dan saleh dari kedua bab pertama.
Kini, muncul seorang penderita yang berusaha mencari sikapnya yang tepat di
hadapan Allah dan sesamanya, dalam keadaan penuh derita fisik dan psikis yang
amat parah. Penderitaan dan kemalangan yang luar biasa itu mengarahkan Ayub
kepada persoalan mendasar: “Di manakah
keadilan?”[12]
Pencarian
keadilan ini menjadi bahan perdebatan antara Ayub dan ketiga sahabatnya (bab 3-27). Baik Ayub maupun ketiga sahabatnya
sama-sama mengakui bahwa penderitaan berasal dari Allah dan penderitaan itu
adalah akibat dari dosa. Namun,
persoalannya
adalah ketiga sahabat Ayub mengatakan bahwa Ayub berdosa, sedangkan Ayub
sendiri merasa diri sebagai orang yang tidak berdosa. Ketiga sahabat Ayub
meminta Ayub untuk bertobat, sementara Ayub justru menantang Allah supaya
‘mempertanggungjawabkan’ perlakuan yang tidak adil atas dirinya. Tantangan Ayub
itu kemudian mendapat tanggapan dari pihak Allah melalui teofani (bab 38-42).[13]
Dalam
bagian teofani ini, pengarang Kitab Ayub berusaha membawa masalah Ayub, si
penderita yang saleh, kepada pemecahan. Melalui teofani, Allah menuntun Ayub
kepada suatu pengertian baru dalam memahami
masalah penderitaan. Allah tidak menjawab langsung keluhan-keluhan Ayub
tentang penderitaannya. Penderitaan Ayub tetap menjadi sebuah misteri Allah
yang tidak akan dapat dipahami secara tuntas oleh Ayub.[14]
Kini, teofani Allah tersebut mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub.
Tanggapan Ayub atas teofani tersebut secara jelas tertuang dalam Ayb 42:1-6.
Tanggapan Ayub inilah yang menjadi pokok pergumulan skripsi ini, yaitu
pengakuan akan misteri penderitaan sebagai bagian dari misteri Allah.
Selanjutnya, pengakuan ini mengarahkan Ayub pada sikap tobat yang sejati.[15]
Ungkapan “pertobatan” (pembaharuan
diri) yang terdapat
dalam Ayb 42:1-6 dipandang sebagai
penarikan kembali segala perkara dan dakwaan yang telah diajukan Ayub kepada Yahweh.[16]
Selain itu, teks
ini juga berisi
ulasan tentang Ayub yang mendapatkan kembali beragam aspek pengetahuan yang
sungguh berbeda antara dirinya dan Yahweh. Perikop
ini merupakan klimaks dari seluruh isi Kitab Ayub.[17]
Ini berarti Ayb 42:1-6 memiliki keistimewaan tersendiri dalam Kitab Ayub.
Berangkat dari gagasan tersebut, penulis akan membatasi diri untuk membahas
perikop Ayb 42:1-6.
Teofani dan tanggapan Ayub adalah pengakuan atas keterbatasan Ayub
berhadapan dengan kebesaran Allah dan pengakuan Ayub atas misteri penderitaan.
Pengakuan tersebut akhirnya membawa Ayub pada sikap sesal dan tobat yang
sejati. Sikap tobat itu diungkapkan Ayub dengan mencabut perkataannya dan
menyesal karena telah menggugat dan mempersalahkan perlakuan Allah atas dirinya.
Maka, berdasarkan perumusan dan pembatasan tema di atas, penulis memberi judul
skripsi ini: Pertobatan Ayub
sebagai Tanggapan atas
Teofani: Uraian Eksegetis-Teologis atas Ayb 42:1-6.
3. Tujuan Penulisan
Skripsi ini memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai. Pertama,
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan studi program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Filsafat
Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Kedua, skripsi ini
dibuat dengan tujuan untuk mendalami dan memperluas cakrawala penulis mengenai
satu dari sekian tema Kitab Suci, khususnya Kitab Ayub. Melalui pembahasan
skripsi ini, penulis juga berharap mampu mendeskripsikan bagaimana proses
pergumulan Ayub dalam usahanya untuk mencapai pertobatan yang terdapat dalam
Ayb 42:1-6.
4. Metode Penelitian dan
Penulisan
Metode yang dipakai penulis dalam mengelola karya ilmiah ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library
research). Bahan-bahan penulisan skripsi ini tersedia dalam buku-buku dan
artikel-artikel. Bahan-bahan tersebut akan dipelajari dan diolah secara
sistematis sesuai dengan tema yang dipilih oleh penulis.
Dalam perumusan dan penyusunan hasil penelitian ini, penulis akan
menggunakan metode analisis eksegetis dan teologis. Analisis eksegetis akan terfokus
pada perikop Ayb 42:1-6. Sementara itu, dalam analisis teologis, selain
terfokus pada teks bahasan, penulis juga akan menguraikan gagasan-gagasan
teologis yang terkandung dalam Kitab Ayub yang terkait dengan perikop yang
bersangkutan.
5. Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari empat bab.
Keseluruhan bab tersebut akan disajikan dengan sistematika berikut ini:
Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab
ini, penulis hendak memaparkan mengenai latar belakang pemilihan tema,
perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penelitian dan
penulisan, serta sistematika penyajian.
Bab II merupakan hantaran umum. Dalam
bab ini akan diuraikan seputar Kitab Ayub. Perhatian khusus akan diberikan pada
hukum pembalasan di bumi dan teofani dalam Kitab Ayub (38-42). Bab ini, akan
diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Bab III merupakan inti dari skripsi ini. Di dalamnya, penulis
memaparkan ulasan eksegetis-teologis atas Ayb 42:1-6. Pertama-tama penulis akan menjelaskan secara
eksegetis tentang pertobatan Ayub sebagai tanggapan atas
teofani. Kemudian,
penulis akan menarik poin-poin teologis atas kisah pertobatan Ayub dalam Ayb
42:1-6 dan perikop-perikop yang bersangkutan dengan teks tersebut. Bab
ini akan diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Bab IV merupakan bagian penutup dari
skripsi ini. Pada bagian ini, penulis akan menyajikan rangkuman umum atas
seluruh pambahasan yang telah dipaparkan. Kemudian penulis akan memberikan
refleksi atas keseluruhan isi
skripsi
yang telah disajikan tersebut.
BAB
II
HANTARAN
UMUM
1. Pengantar
Kitab
Ayub[18]
dipandang sebagai karya sastra yang penting dan unggul[19],
bukan hanya dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam keseluruhan sastra
dunia. Namun, keunggulan-keunggulan di dalamnya justru menjadikan kitab ini
sulit untuk dipahami. Apalagi, kitab ini dianggap sebagai karya gabungan dari
cerita rakyat kuno yang disadur kembali oleh para penyair kemudian.[20]
Untuk
mendalami Kitab Ayub tersebut, penulis mengemukakan tiga pokok bahasan dalam
bab II ini. Pembahasan pertama adalah ulasan mengenai seputar Kitab Ayub. Dalam
poin ini, penulis menyajikan uraian singkat mengenai pengarang, waktu
penulisan, struktur dan jenis sastra Kitab Ayub serta kesejajarannya dengan
naskah yang beredar di dunia Timur Tengah Antik. Pokok bahasan yang kedua
adalah ulasan tentang hukum pembalasan di bumi. Sedangkan poin ketiga merupakan
ulasan mengenai teofani dalam Kitab Ayub. Tema tentang hukum pembalasan dan
teofani sangat penting dalam memahami Kitab Ayub dan secara khusus dalam
memahami bab III yang menjadi bagian inti dalam penulisan skripsi ini.
2. Seputar Kitab Ayub
Dalam
pembahasan berikut akan dijelaskan secara ringkas mengenai latar belakang Kitab
Ayub, yakni gambaran mengenai pengarang dan waktu penulisan kitab. Setelah itu
akan dijelaskan perihal struktur Kitab Ayub dan kesejajarannya dengan
karya-karya sastra yang telah beredar di dunia Timur Tengah Antik.
2.1 Pengarang
Tradisi Yahudi yang tertuang
dalam Talmud[21]
(Baba Bathra 14b) menyebutkan bahwa penulis Kitab Ayub adalah Musa. Ada dua
argumen yang mendukung tradisi tersebut. Pertama, Kitab Ayub diterima oleh
orang-orang Yahudi walaupun tokoh dan nuansa kitab ini bukan berasal dari
Yahudi. Penerimaan seperti ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat sehingga
dapat mengalahkan rasa nasionalisme bangsa Yahudi sendiri. Kedua, latar
belakang cerita dalam kitab ini menyiratkan situasi pada masa patriakh sebelum zaman Musa.[22]
Ada juga yang berpendapat bahwa penulis Kitab Ayub bukanlah
seorang Yahudi. Alasannya bahwa seluruh kisah dalam kitab ini bercerita tentang
tokoh-tokoh yang bersifat sangat kosmopolitan, yang tidak terikat pada satu
budaya Yahudi semata. Tanah Us[23],
daerah asal Ayub semakin memperkuat alasan bahwa penulis adalah seorang bukan Yahudi.
Walaupun hipotesis ini dapat diterima, kitab ini telah diakui secara umum
ditulis oleh seorang Yahudi dalam bahasa Ibrani.[24]
Meskipun dua hipotesis di atas telah berusaha menjelaskan ciri dan karakter
penulis Kitab Ayub, namun para ahli
sepertinya tetap sepakat bahwa penulis Kitab Ayub ialah seorang anonim. Penulis kitab
menyembunyikan identitasnya di belakang karyanya.[25]
Seorang penyair anonim itu ingin mengungkapkan
pandangan kritis terhadap keterangan-keterangan dari para guru kebijaksanaan
mengenai hubungan mutlak antara tindakan manusia dan nasibnya, yang dikenal
dengan hukum pembalasan di bumi. Agar pandangan kritis itu lebih mudah diterima
dan menarik perhatian pembaca, maka penyair memanfaatkan suatu kisah yang sudah
tua dan terkenal mengenai seorang penderita yang saleh, yakni Ayub.[26]
Hartley dan sebagian besar ahli berpendapat bahwa penulis Kitab Ayub terhitung
sebagai seorang bijak kuno yang tertarik dengan ilmu-ilmu kebijaksanaan yang mengajarkan kepatuhan dan
kesetiaan pada ajaran tertentu. Kebijaksanaan itu mengajarkan manusia untuk
takut akan Yahweh.[27]
Selain itu, penulis Kitab Ayub ialah seorang yang memiliki kepekaan yang besar
terhadap keadaan manusia yang menderita dan mempunyai pemahaman teologis yang
mendalam tentang penderitaan. Ia menguasai kebudayaan-kebudayaan kuno di dunia
Timur Tengah
Antik dan memiliki pengetahuan luas, serta terampil di bidang sastra.[28]
2.2 Waktu
Penulisan
Baik
para rabi dahulu maupun para ahli kitab modern tidak sepakat mengenai waktu
penulisan Kitab Ayub. Banyak ahli menganggap bahwa bagian prolog (Ayb 1-2) dan
epilog (Ayb 42:7-17) yang ditulis dalam bentuk prosa berasal dari zaman kuno,
sedangkan bagian puisi (Ayb 3:1-42:6) berasal dari periode kemudian.[29]
Bagian ini adalah keterangan bahwa
bagian prolog dan epilog dari Kitab Ayub berasal dari zaman yang lebih kuno. Pertama,
Ayb 1:5 mengisahkan bahwa Ayub sendirilah yang mempersembahkan kurban bakaran.
Tindakan ini juga dilakukan oleh Abraham atau Yakub yang mempersembahkan kurban
bakaran tanpa melalui perantaraan seorang imam (Ayb 1:5; bdk. Kej 22:13;
31:54). Kedua, harta kekayaan Ayub yang terdiri dari domba, unta, lembu dan
keledai, sama dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh Abraham dan Yakub (Ayb
1:3; bdk. Kej 12:16; 32:5). Ketiga, masa hidup atau usia Ayub yang mencapai 140
tahun sesuai dengan masa hidup orang-orang yang ada dalam kitab Taurat (Ayb
42:16; bdk. Kej 25:7). Keempat, seorang pahlawan kuno yang saleh bernama Ayub
disebut oleh Yehezkiel bersamaan dengan Nuh dan Daniel[30]
(Yeh 14:14,20). Keempat ciri tersebut mengindikasikan bahwa kisah prosa ini
benar-benar kuno dan diturunkan oleh tradisi sejak kejadiannya, yakni sekitar
tahun 1000 sM atau sebelumnya.[31]
Sementara
itu para ahli seperti LaSor dan Harris menganggap bahwa bagian puisi berasal dari waktu
yang lebih muda karena alasan berikut: Kitab Ayub memiliki kemiripan dengan
Kitab Yeremia (bdk. Ayb 3:3-26 dan Yer 20:14-18), dengan akhir Kitab Yesaya
(terutama nyanyian Hamba Yahweh yang menderita Yes 52:13-53:12), dan dengan
Kitab Amsal (bdk. Ayb 15:7,8 dan Ams
8:22,25). Kemiripan-kemiripan tersebut menunjukkan situasi pada abad ke-7 sM
atau sesudahnya.[32]
Para
ahli mengakui bahwa amatlah sulit untuk menentukan secara pasti kapan kitab ini
ditulis. Buku ini diyakini sudah bebas beredar dan diterjemahkan sekitar abad
pertama sebelum Masehi. Ada yang mengatakan kitab ini ditulis sekitar masa-masa
Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku ini diakui telah ditulis sekitar
tahun 600 sM.[33]
2.3 Struktur
Kitab
Kitab Ayub terdiri atas dua bagian yang sangat
berbeda yaitu bagian prosa (Ayb 1-2 dan 42:7-17) dan bagian puisi (Ayb
3:1-42:6).[34]
Bagian prosa menempati prolog dan epilog. Secara umum struktur Kitab Ayub
bagian prosa dapat disusun sebagai berikut:
a. Prolog (bab 1-2)
- Ayb 1:1-5 :
Ayub diperkenalkan
- Ayb 1:6-12 :
Dialog pertama: Yahweh-Iblis
- Ayb 1:13-22 :
Kemalangan pertama
- Ayb 2:1-7a :
Dialog kedua: Yahweh-Iblis
- Ayb 2:7b-10 :
Kemalangan terakhir
- Ayb 2:11-13 :
Kunjungan ketiga sahabat Ayub
b. Epilog (bab 42:7-17)
- Ayb 42:7-10 :
Dialog Yahweh-Elifas
-
Ayb 42:11-17 : Keadaan Ayub dipulihkan[35]
Setelah
Ayb 2:13, penyair membuka cerita untuk memasukkan sisipan (kisah puisi) ke
dalam satu bagian cerita Ayub. Ayb 2:13 mencatat bahwa ketiga teman Ayub tidak
mengucapkan sepatah kata pun padahal Ayb 42:7 mengandaikan ada pembicaraan di
antara Ayub dan ketiga sahabatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
bagian baru dari penyair (setelah Ayb 2:13) menggantikan satu (atau beberapa)
adegan dialog antara Ayub dengan teman-temannya. Di samping itu, dalam kisah prosa yang asli
ternyata sudah ada suatu dialog Yahweh-Ayub yang dihilangkan ketika bagian
puisi disisipkan. Dialog itu diganti dengan dialog panjang yang terdapat dalam
38:1-42:6. Dialog Yahweh-Ayub dalam bagian prosa mempermudah penyair dalam
menyisipkan karyanya.[36]
Sementara
itu bagian puisi Kitab Ayub (Ayb 3:1-42:6) dapat disusun dengan struktur
sebagai berikut:
a. Ayb 3 :
Keluhan Ayub (monolog pertama)
b. Ayb 4-27 :
Dialog
· Ronde I (4-14) :
Ayb 4-5 : Pidato pertama Elifas
Ayb 6-7 : Pembelaan Ayub atas pidato
Elifas
Ayb 8 : Pidato pertama Bildad
Ayb
9-10 : Pembelaan Ayub atas
pidato Bildad
Ayb 11 : Pidato pertama Zofar
Ayb
12-14 : Pembelaan Ayub atas
pidato Zofar
· Ronde II (15-21) :
Ayb
15 : Pidato kedua
Elifas
Ayb
16-17 : Pembelaan Ayub atas
pidato Elifas
Ayb
18 : Pidato kedua
Bildad
Ayb
19 : Pembelaan Ayub atas
pidato Bildad
Ayb
20 : Pidato kedua Zofar
Ayb
21 : Pembelaan Ayub
atas pidato Zofar
· Ronde III (22-27) :
Ayb 22 : Pidato ketiga
Elifas
Ayb 23-24:1-17 : Pembelaan Ayub atas pidato
Elifas
Ayb 25:1-6; 26:5-14 : Pidato ketiga Bildad
Ayb 26:1-4; 27-31 :
Pembelaan Ayub atas pidato Bildad
c. Ayb 28 :
Madah Kebijaksanaan
d. Ayb 29-31 :
Ratapan Ayub (monolog kedua)
e. Ayb 32-37 :
Pidato Elihu
Dari skema pada bagian puisi di
atas dapat diterangkan beberapa hal. Pertama, monolog pertama dari Ayub (bab 3)
diimbangi dengan monolog yang panjang (bab 29-31). Kedua, antara kedua monolog
ditempatkan suatu dialog panjang yang terdiri atas tiga rangkaian pidato dari
Ayub dan teman-temannya (bab 4-27). Ketiga, dialog Yahweh-Ayub (38:1-42:6) berhubungan
langsung dengan monolog yang kedua (29-31), yang berakhir dengan suatu harapan
untuk menghadap Yahweh (31:35-37). Keempat, hubungan bab 31 dan bab 38 diputuskan oleh beberapa
pidato dari Elihu, yang merupakan tambahan pada bagian puisi. Melalui sisipan
yang besar ini, kelompok guru kebijaksanaan mencoba menangkis pengaruh negatif
dari “kemenangan” kritik Ayub atas pendapat ketiga sahabatnya. Kelima, menurut
pandangan yang umum “madah kebijaksanaan” yang terdapat pada bab 28 juga
merupakan suatu tambahan yang disisipkan kemudian oleh penyair atau oleh
seorang redaktur yang lain.[38]
Kitab Ayub dianggap sebagai karya
gabungan antara bagian prosa dengan bagian puisi. Namun banyak ahli yang
menyimpulkan bahwa kitab ini tidak dapat dimengerti dengan menganalisisnya
menjadi bagian-bagian yang terpisah. Kitab ini tetap harus dipahami sebagai
satu karya sebagaimana adanya sekarang.[39]
2.4 Kajian
Sastra
Ada dua hal yang hendak dijelaskan dalam bagian
ini. Pertama, pembahasan mengenai ciri sastra Kitab Ayub yang memiliki
kesejajaran dengan sastra kuno yang telah beredar di sekitar Timur Tengah
Antik. Kedua, ulasan mengenai bentuk dan jenis sastra yang termuat dalam Kitab
Ayub.
2.4.1 Kesejajaran
dengan Sastra Timur Tengah Antik
Sastra
kebijaksanaan Israel memiliki banyak kesejajaran dengan sastra di Timur Tengah
Antik, tak terkecuali dengan Kitab Ayub sendiri. Kisah mengenai orang saleh
yang menderita seperti dalam Kitab Ayub memiliki kemiripan dengan kisah-kisah
kuno yang sudah beredar di kawasan Timur Tengah Antik.[40]
Ini menunjukkan bahwa kisah mengenai orang saleh yang
menderita bukanlah klaim dunia Israel. Berikut ini disebutkan beberapa teks kuno yang memiliki kesejajaran dengan
Kitab Ayub.
Pertama,
teks dari Mesir Kuno yang berjudul “Kisah Petani yang Fasih Berbicara”. Teks
yang berasal dari abad ke-21 sM ini terdiri dari sembilan pidato berbentuk
puisi yang ditempatkan di antara prolog dan epilog yang berbentuk prosa. Teks
ini mengisahkan seorang petani yang menuntut keadilan kepada pihak pemerintah
karena dirinya merasa dirugikan oleh pegawai tinggi. Melalui kefasihannya dalam
berpidato, petani tersebut menyampaikan keluhannya perihal ketidakadilan yang
menimpa dirinya, meski perjuangan itu sangat beresiko.[41]
Kedua,
teks dari Mesir yang berjudul “Dialog tentang Bunuh Diri”. Teks ini mengisahkan
seorang pahlawan kuno yang mengalami keputusasaan dalam menghadapi derita yang
amat dalam. Rasa lelah dan kecewa atas persoalan hidup, membuat pahlawan
tersebut memilih untuk mati. Namun jika bunuh diri, ia takut bahwa jiwanya juga
ikut mati. Hal inilah yang juga dialami oleh Ayub, yakni keinginan untuk mati
ketimbang menanggung penderitaan (bdk. Ayb 7:15).[42]
Selain
kedua teks di atas, ada beberapa kisah kuno dari dunia Timur Tengah Antik yang
memiliki kesejajaran dengan Kitab Ayub. Kisah-kisah itu antara lain: Teodise
dari Babel yang berisi dialog antara seorang yang menderita dengan
sahabat-sahabatnya; cerita dari Sumeria yang berjudul “Manusia dan Dewanya”;
Nasihat-Nasihat Ipu-wer; “Ludlul bel
Nemeqi” (Aku akan Memuji Tuhan yang Bijaksana), dan dongeng dari India
mengenai Hariscandra.[43]
Meski
memiliki kesejajaran dengan teks-teks kuno yang beredar di sekitar Timur Tengah
Antik, Kitab Ayub tetap memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat esensial.
Perbedaan-perbedaan dalam teologi, etika, nada dan suasana antara Kitab Ayub
dengan teks-teks kuno di Timur Tengah Antik yang sedemikian mencolok makin menampakkan keunikan dari kitab
ini yang tidak tergantung pada naskah-naskah sebelumnya. Keunikan Kitab Ayub ini terletak pada koherensi uraiannya tentang
tema kesengsaraan manusia, ciri monoteisme yang sangat kentara, pelukisan
tokoh-tokoh utama dalam keseluruhan kisah, keindahan lirik dari puisi-puisinya,
serta situasi dan kisah dramatis dari seorang yang menghadapi “beban yang tak
terpahami”.[44] Keunikan-keunikan inilah yang menjadi alasan
penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama dalam daftar Kitab-kitab
Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai sastra yang paling unggul
dalam daftar sastra dunia.[45]
2.4.2 Bentuk
dan Jenis Sastra
Para
ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai jenis dan bentuk sastra dari
kisah yang termuat dalam Kitab Ayub. Berikut ini dikemukakan beberapa jenis
sastra yang ditemukan oleh para ahli seputar Kitab Ayub ini.
Pertama, kitab ini dikenal sebagai sastra yang berisi gugatan. Karena banyaknya tema-tema tentang hukum dalam kitab ini,
para ahli berpendapat bahwa lingkup yuridis merupakan latar belakang dari kitab
ini.[46]
Kitab Ayub dipahami sebagai gugatan Ayub kepada Allah, di mana
sahabat-sahabatnya berfungsi sebagai saksi (yang tampaknya kontra terhadap
gugatan Ayub).[47]
Sementara itu, dalam tema peradilan tersebut Allah berperan sebagai yang
tertuduh dan terdakwa, meskipun pada dasarnya Dialah Hakim atas Ayub dan
sahabat-sahabatnya.[48]
Kedua, Kitab Ayub memiliki ciri ratapan.[49]
Teori ini menganggap bahwa Kitab Ayub bukan semacam perbincangan biasa mengenai
penderitaan yang dapat ditemukan dalam sastra hikmat, tetapi suatu hasil
penelitian yang mendalam dan bersifat pribadi.[50]
Ketiga, beberapa ahli
berpendapat bahwa Kitab ini berisi perdebatan
filosofis, yang memiliki kemiripan dengan perdebatan filosofis yang termuat
dalam naskah yang beredar di sekitar dunia Timur Tengah Antik.[51]
Selain itu, beberapa ahli lain juga berpendapat bahwa Kitab Ayub merupakan
kisah sejenis komedi, tragedi, perumpamaan, ataupun sejenis epik (kisah sejarah
kepahlawanan).[52]
Dalam skripsi ini, Kitab Ayub
dilihat sebagai sastra hikmat kebijaksanaan dan ungkapan hukum. Dalam dunia
biblis, hikmat kebijaksanaan dibagi dalam dua aspek. Pertama, hikmat
kebijaksanaan itu ditemukan dalam pengalaman hidup manusia sehari-hari dan
dirumuskan dalam bentuk perumpamaan. Kedua, hikmat tradisional mengajarkan
bahwa hidup yang baik dan benar pada umumnya akan menghasilkan anugerah hidup,
terutama kesuburan dan kesejahteraan. Pengalaman Ayub justru mempertanyakan
ajaran tersebut secara serius.[53]
Kritik yang tajam atas hikmat kebijaksanaan tradisional tersebut melahirkan
pertanyaan baru apakah dalam Kitab Ayub hukum pembalasan di bumi dapat
dipertahankan.
3. Hukum Pembalasan di Bumi dalam
Kitab Ayub
Menurut para ahli Kitab Suci, ide mengenai hidup
di akhirat baru muncul pada abad ke-2 sebelum Masehi (bdk.
Dan 12:2-3; 2 Mak 7:9,11,14,23; Keb 2-3). Sebelum ide tentang
hidup setelah mati muncul, orang Israel meyakini bahwa orang mati akan pergi ke
suatu tempat di bawah bumi yang disebut syeôl[54],
di mana mereka yang telah mati baik kaya maupun miskin, tua atau muda, baik
atau jahat akan berada dalam suatu eksistensi semu saja yang sebetulnya tidak
tepat disebut “hidup” lagi.[55]
Jadi, jika
pembalasan hendak dijalankan, maka
satu-satunya tempat yang tepat ialah di dunia ini, yakni ketika manusia masih
hidup. Orang yang benar (saleh) di hadapan Allah akan mendapat kebahagiaan,
berupa harta kekayaan, keturunan dan umur yang panjang. Sedangkan orang fasik
(berdosa) yang hidupnya tidak benar di hadapan Allah akan mendapat ganjaran
yang setimpal berupa penyakit (penderitaan), kemiskinan dan kematian di usia
muda. Inilah ide tradisional Israel mengenai hukum pembalasan.[56]
Dalam hukum pembalasan[57]
diyakini bahwa ada korespondensi antara tindakan yang dilakukan dengan nasib
seseorang.[58]
3.1 Hidup
Sesudah Mati dalam Tradisi Yahudi menurut Kitab Ayub
Ajaran tradisional mengenai hukum pembalasan di bumi menjadi pokok
perdebatan dalam Kitab Ayub, terutama pada bagian dialog (Ayb 4-27). Hal
tersebut terjadi karena konsep kehidupan sesudah kematian belum muncul dalam
Kitab Ayub.
Berkenaan dengan konsep kehidupan setelah kematian,
N. T. Wright membuat
tiga tahap perkembangan:
pertama, tidak ada harapan sama sekali bagi orang yang meninggal; tahap kedua,
muncul keyakinan bahwa kasih kuasa Allah yang begitu besar tidak bisa
dipatahkan oleh kematian; dan tahap ketiga, lahirnya keyakinan bahwa orang mati
akan dibangkitkan.[59]
Berdasarkan
tahap-tahap di atas, Kitab Ayub kiranya dapat ditempatkan pada tahap yang
pertama. Kitab Ayub tidak memberi harapan bagi mereka yang meninggal. Sebagai
gambaran, Kitab Ayub sendiri sering dipahami sebagai ungkapan protes keras
manusia di hadapan ketidakadilan Tuhan: mengapa orang yang saleh menderita?
Ayub bahkan berani menantang Allah untuk beperkara,[60]
Ah,
semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka
akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan kata-kata
pembelaan. Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku
dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya kepadaku (Ayb 23:3-5).
Ayat-ayat
di atas (Ayb 23:3-5) penuh dengan istilah teknis hukum. Pencobaan yang sangat
berat yang diyakini Ayub berasal dari Allah begitu kuat menekannya sehingga ia
ingin mengajukan perkaranya ke pengadilan (bdk. Ayb 9:13-21; 13:14-27). Di sini
Ayub tidak menginginkan seorang pengantara (wasit). Ia sudah siap untuk
memperjuangkan perkaranya sendiri. Ia yakin akan terbukti tidak bersalah.[61]
Protes
Ayub yang sedemikian keras sebenarnya bisa dipahami jika memang tidak ada
hidup-sesudah-mati. Jika hidup sesudah mati ada, rasanya Ayub tidak perlu
bersikap seperti itu karena dia dapat mengharapkan keadilan Allah pada saat yang
akan datang. Tidak adanya pengharapan akan hidup sesudah mati semakin
dipertegas dalam Ayb 14:7-12, “Jika pohon ditebang ia akan bertunas kembali,
tetapi jika manusia mati... tidak berdayalah ia... berbaring dan tidak bangkit
lagi ...”.[62]
3.2 Problematika
Hukum Pembalasan di Bumi dalam Kitab Ayub
Di saat bangsa Israel
masih hidup sebagai masyarakat nomad atau seminomad, mereka hidup dalam struktur
sosial yang cukup sederhana, yakni sebuah keluarga yang dipimpin oleh seorang
kepala keluarga. Kepala keluarga tersebut mewakili seluruh keluarga dalam
relasinya dengan suku yang lain. Struktur kepala keluarga dan suku tersebut
bertahan cukup lama, bahkan ketika bangsa Israel sudah menjadi sedenter.[63]
Struktur kolektif tersebut terbawa dalam konsep hukum pembalasan. Suatu
contoh secara jelas termuat dalam Yos 6-7. Dalam Yos 6 dikisahkan bahwa bangsa
Israel dilarang untuk memakai barang-barang rampasan perang. Namun setelah
dilakukan pemeriksaan, ada seorang Israel yang bernama Akhan didapati mencuri
satu jubah, emas dan perak. Akibat dari perbuatannya, seluruh bangsa Israel
ikut menanggung dosanya:[64]
Tetapi bani[65]
Israel berubah setia dengan mengambil barang-barang yang dikhususkan itu,
karena Akhan bin Karmi bin Zabdi bin Zerah, dari suku Yehuda, mengambil sesuatu
dari barang-barang yang dikhususkan itu. Lalu bangkitlah murka TUHAN terhadap bani Israel (Yos
7:1).
Sistem suku dan keluarga yang kuno itu secara lambat laun
mengalami perubahan. Pembagian daerah yang dilakukan oleh Raja Salomo dan
proses urbanisasi telah mendobrak sistem kekeluargaan dan kesukuan di Israel.
Urbanisasi membawa perkembangan suatu daerah menjadi kota besar yang
penduduknya berasal dari semua suku Israel dan Yehuda. Para warga kota itu
lama-kelamaan terlepas dari suku dan keluarga besarnya sehingga timbul
masyarakat yang semakin individualistis.[66]
Selanjutnya, pada masa
pembuangan, pandangan umat Israel terhadap individu semakin mengalami
perubahan. Pada masa ini, nasib seorang manusia tidak lagi disamakan dengan
nasib bangsa.[67]
Masing-masing manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Nabi
Yehezkiel,
misalnya, menegaskan bahwa setiap manusia yang makan buah mentah, giginya
sendiri yang menjadi ngilu (bdk. Yeh 18:2).[68]
Perkembangan tersebut mengubah pandangan mengenai
hukum pembalasan. Pembalasan kolektif tidak dapat dipertahankan lagi dan
diganti dengan sistem pembalasan individual. Kitab Ulangan juga menunjukkan
sistem pembalasan yang bersifat individual, “Janganlah ayah dihukum mati karena
anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus
dihukum mati karena dosanya sendiri” (Ul 24:16). Pembalasan itu sendiri akan
terjadi di dunia ini.[69]
Perhatian bagi peranan individu menimbulkan
problematika baru dalam Kitab Ayub. Dalam kenyataannya orang yang saleh dan
orang yang menjalankan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh tidak selalu
menerima ganjaran atau nasib mujur sebagaimana dijanjikan oleh hikmat
tradisional. Nabi Yeremia juga mengalami pengalaman yang tidak sesuai dengan
doktrin ortodoks itu. Ia harus menanggung penderitaan berat meskipun ketulusan
hatinya diketahui Tuhan. Dalam kepahitan, ia mengeluh, “Mengapa mujur
orang-orang fasik?” (Yer 12:1-3).[70]
Problematika hukum pembalasan bagi setiap individu ini mendapat ungkapan yang
paling tajam dalam Kitab Ayub.[71]
Absennya paham mengenai hidup sesudah mati dalam
Kitab Ayub menjadikan kitab ini sarat akan perdebatan mengenai hukum pembalasan
di bumi. Berkaitan dengan hukum pembalasan ini, ketiga sahabat Ayub memiliki
pendekatan masing-masing berhadapan dengan masalah penderitaan yang dialami
oleh Ayub. Meski demikian, konsep mereka mengenai penderitaan memiliki
kesamaan. Mereka menganggap bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub adalah
akibat dari dosa yang telah dilakukan oleh Ayub sendiri. Maka dari itu, ketiga sahabatnya
memberikan solusi yang sama kepada Ayub, yakni meminta supaya Ayub bertobat.
Dengan demikian, Tuhan akan memulihkan nasibnya.[72]
Berhadapan
dengan argumen ketiga sahabatnya, Ayub memiliki pandangannya sendiri berkaitan
dengan penderitaan. Ayub yakin bahwa ia sama sekali tidak berdosa sehingga ia
tidak pantas menerima penderitaan itu. Ia merasa penderitaannya merupakan suatu
bentuk ketidakadilan yang tidak semestinya dialami oleh orang saleh sepertinya.
Di sinilah letak keseluruhan debat dari doktrin tradisional dalam kitab ini.[73]
Meski
demikian perlu disadari bahwa dalam Kitab Ayub, doktrin ortodoks telah
diwariskan secara turun-temurun oleh para tetua (bdk. Ayb 8:8). Jadi, sangatlah
sulit untuk menolak adanya doktrin ini, karena dengan menolak paham tersebut
berarti menolak kebijaksanaan yang telah ada dan diakui oleh bangsa Israel pada
masa itu. Pada zaman itu, doktrin ini diyakini mengandung suatu kebenaran.
Dalam Ayb 4:12-21 Elifas berhasil mengokohkan doktrin tersebut atas dasar
otoritas yang berasal dari inspirasi ilahi, yang memiliki kesamaan dengan
masalah ketidakmurnian manusia di hadapan Allah.[74]
Teori retribusi tetap menjadi prinsip keadilan dan kebenaran Allah, serta tidak
menentang kemurahan, karunia dan cinta kasih Allah terhadap umat-Nya.[75]
Perdebatan teologis mengenai hukum pembalasan antara
Ayub dan ketiga sahabatnya tersebut menunjukkan bahwa problematika mengenai
hukum pembalasan di bumi dalam kitab Ayub tidak terpecahkan. Tampaknya Kitab
Ayub tidak berpretensi memecahkan masalah teologis sebesar itu. Kitab ini
kiranya hanya berupaya melukiskan pergumulan seorang beriman dalam penderitaan
dan bagaimana manusia bersikap terhadap Allah ketika ia ditimpa kemalangan yang
teramat dalam.[76]
4. Teofani: Allah Menjawab
Setelah
perdebatan panjang tanpa titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya
(termasuk Elihu, tokoh keempat) mengenai doktrin ortodoks, Allah angkat bicara.
Sabda Allah kepada Ayub inilah yang disebut teofani[77].
Pada bagian teofani ini (38:1-42:6), penulis Kitab Ayub mencoba memecahkan
persoalan yang dialami Ayub.[78]
Allah
memang menampakkan diri pada Ayub, namun Ayub tidak menemukan penjelasan
mengenai penderitaan yang ia alami.[79]
Teofani yang berisi jawaban Allah tersebut tampak kurang relevan terhadap apa
yang terjadi dalam keseluruhan kisah, terutama perdebatan mengenai doktrin
ortodoks. Di sini Allah seakan-akan melupakan persoalan yang dari semula
diperdebatkan dan dialami oleh Ayub.[80]
Meski
kaitan antara nasib Ayub dan jawaban Allah nampak kurang relevan, Allah tetap
ingin memberikan pemecahan atas derita Ayub. Melalui penampakan dan dialog
dengan Ayub, Allah menuntun Ayub kepada pengertian dan pengetahuan yang baru,
yakni suatu insight yang memajukan
pemikiran dengan paradigma yang baru. Pengertian baru inilah yang kemudian
membuat Ayub bertobat.[81]
Teofani
atau pidato Allah ini terdiri dari dua bagian, yakni pidato pertama
(38:1-39:35) dan pidato kedua (40:1-41:25). Kedua pidato Allah tersebut diikuti
dengan jawaban singkat dari Ayub (39:36-38; 42:1-6). Pidato Allah ini memiliki
campuran dari beberapa bentuk sastra, yakni nyanyian pujian, sengketa,
interogasi atas si terdakwa, dan mitos-mitos pertempuran ilahi dengan makhluk-makhluk purbakala yang menjadikan
bagian kisah ini lebih unik dan menarik.[82]
Westermann
berpendapat bahwa pidato Allah ini berhubungan erat dengan ratapan dan gugatan
Ayub atas penderitaan yang dialaminya. Melalui pidato-Nya, Allah memenuhi
tuntutan dan gugatan Ayub. Serentetan pertanyaan retoris dari Allah kepada Ayub
menunjukkan bahwa di hadapan-Nya Ayub tidak dapat berbuat apa-apa. Allah telah
memenangkan gugatan atas persoalan Ayub.[83]
Allah memberikan kata-kata pengharapan kepada Ayub sebagai tanggapan atas
ratapan dan keluhannya, mirip dengan orakel[84]
keselamatan.[85]
4.1 Teofani
yang Pertama
Pada teofani yang pertama ini, Allah
hendak menunjukkan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan dan
penyelenggaran-Nya kepada Ayub. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan
stabilitas dalam kosmos: bumi, laut, matahari, dunia bawah, terang dan gelap,
cuaca dan benda-benda langit (38:4-38).[86]
Timmer mengungkapkan bahwa melalui kisah penciptaan kosmos tersebut
kebijaksanaan ilahi dipertahankan.[87]
Pidato yang pertama ini sarat akan
pertanyaan-pertanyaan retoris yang mau menunjukkan keterbatasan Ayub di hadapan
Allah. Ayub ditegur karena ia mempersoalkan hikmat Allah. Bahkan melalui
pengertiannya yang dangkal tersebut, Ayub berani menghakimi dan mencela Allah.
Padahal, justru Ayub sendiri yang tidak dapat menyelami hikmat Allah. Hikmat
Allah jauh melampaui kemampuan manusia.[88]
Teofani ini juga bertujuan untuk
meredam kekecewaan dan kemarahan Ayub yang terwujud dalam tindakannya yang
mencela dan menghakimi Allah (bdk. Ayb 9:24; 12:6; 10:3). Allah hendak
menjadikan Ayub rendah hati sehingga ia mampu menerima penderitaannya dengan penuh
kesabaran. Selain itu, teofani juga hendak menunjukkan kenyataan diri Ayub yang
kecil dan terbatas. Ia tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan Allah,
sekaligus dalam hubungannya dengan keseluruhan tatanan ciptaan-Nya.[89]
Keterbatasan Ayub sebagai manusia di
hadapan Allah mencakup tiga bidang. Pertama, Ayub memiliki usia yang terbatas.
Ia belum hadir sewaktu Allah menciptakan langit dan bumi, “Di mana engkau
ketika Aku meletakkan dasar bumi?” (Ayb 38:4; bdk. 38:19-21). Kedua, Ayub
memiliki pengetahuan yang terbatas. Dalam pidato-Nya yang pertama,
ungkapan-ungkapan ironis seperti: “Apakah engkau mengetahui ...?” dan “... tentu engkau
mengenal ...?”, dipakai Allah untuk
mengungkapkan keterbatasan pengetahuan Ayub. Ketiga, Ayub memiliki kekuasaan
yang lemah. Meskipun manusia diberi kuasa atas seluruh ciptaan di bumi (bdk.
Kej 1-2; Mzm 8), namun kekuasaan dan kedaulatan manusia itu sungguh terbatas.[90]
Dengan demikian, teofani ini
merupakan penegasan keterbatasan diri Ayub di hadapan Allah, sekaligus terhadap
tatanan ciptaan lain yang bukan manusia. Ini pula dasar pertobatan Ayub, di
mana ia tidak hanya merasa kecil di
hadapan Allah saja, tetapi juga di hadapan ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Hal
ini diungkapkan dalam Ayb 39:37-38,
“Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan
kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak
akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan”.[91]
4.2 Teofani
yang Kedua
Teofani yang kedua dimulai dengan pertanyaan “Apakah
engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat
membenarkan dirimu?” (Ayb 40:3). Pertanyaan ini menjadi kunci untuk memahami
dialog antara Ayub dengan Allah. Sepanjang dialog dengan ketiga sahabatnya,
Ayub telah mempertahankan kebenarannya, dan mencari agar kebenaran itu diakui
oleh sahabat-sahabatnya, juga oleh Allah. Pertanyaan Allah tersebut hendak
menyadarkan Ayub bahwa manusia tidak dapat membenarkan diri dan mempersalahkan
Allah, terlebih ketika manusia mempunyai ukurannya sendiri tentang kebenaran
dan keadilan.[92]
Pada teofani yang kedua ini, Allah memakai behemôt dan lewiatan[93]
sebagai lambang kekuasaan yang paling hebat di dunia ciptaan. Kedua binatang
tersebut memperlihatkan kemahakuasaan Allah dan sekaligus memperlihatkan
ketidakberdayaan manusia.[94]
Ketidakberdayaan terhadap kedua binatang yang dialami oleh setiap manusia,
termasuk Ayub, memperkuat kesan dalam diri Ayub bahwa unsur misteri Allah amat
kuat dan dalam. Kedalaman misteri Allah tersebut menjadikan Ayub semakin tunduk
di hadapan
misteri Allah dan tindakan-tindakan-Nya.[95]
Teofani yang kedua ini secara implisit hendak
menyatakan bahwa Allah tidak ingin menjadikan Ayub sebagai lawan-Nya dan
membiarkan Ayub dalam situasi yang kacau.[96]
Allah senantiasa mengatasi penolakan Ayub dengan lembut dan membimbingnya pada
sikap penyerahan total.[97]
Teofani ini (baik yang pertama maupun yang kedua)
hendak membawa Ayub sampai pada sikap pasrah akan kuasa ilahi. Selain itu,
teofani ini memberi suatu pemahaman dan pengertian baru bagi Ayub mengenai
Allah. Inilah yang menjadi pergumulan penulis dalam seluruh skripsi ini, yang
akan diulas secara lebih mendalam pada bab III.
5. Kesimpulan
Kitab Ayub yang memuat tema pokok mengenai kisah
manusia saleh yang menderita memiliki kemiripan dengan naskah-naskah kuno yang
beredar di dunia Timur Tengah Antik. Ayub sebagai tokoh utama dalam kitab ini
diperkenalkan sebagai “model purba” bagi umat Israel dan seluruh umat manusia,
yakni sebagai model bagi orang yang mengalami penderitaan yang tak dapat
dipahami. Inilah alasan penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama dalam daftar
Kitab-kitab Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai sastra yang
paling unggul dalam daftar sastra dunia.
Hukum pembalasan di bumi menjadi tema sentral dalam
bagian dialog antara Ayub dengan ketiga sahabatnya (Ayb 4-27). Penderitaan Ayub
inilah yang menimbulkan banyak reaksi di kalangan sahabat-sahabatnya. Doktrin
ortodoks menyebutkan bahwa orang saleh harus diganjar dengan kebaikan sedangkan
orang berdosa harus dihukum. Perdebatan teologis mengenai hukum pembalasan
antara Ayub dan ketiga sahabatnya ini menunjukkan bahwa problematika mengenai
doktrin ortodoks dalam kitab Ayub tidak terpecahkan. Tampaknya kitab ini tidak
berpretensi untuk menyelesaikan masalah teologis sebesar itu. Kitab Ayub
kiranya hanya berupaya untuk melukiskan pergumulan seorang beriman dalam
penderitaan dan bagaimana manusia bersikap terhadap Allah ketika ia ditimpa
kemalangan yang teramat dalam.
Berhadapan dengan keluhan, ratapan dan gugatan-gugatan
Ayub, Allah tidak tinggal diam. Allah menampakkan diri kepada Ayub melalui
badai. Namun, Allah tidak memberi jawaban dan alasan mengapa Ayub menderita.
Allah justru memberikan pengertian baru bagi Ayub mengenai bagaimana ia harus
bersikap di hadapan Allah. Jawaban Allah inilah akhirnya membawa Ayub keluar
dari dunia manusia, sekaligus menempatkan dirinya dalam konteks tatanan ciptaan
lain yang bukan manusia di dalam kosmos. Di sinilah letak pertobatan Ayub di
mana ia tidak hanya
merasa kecil di hadapan Allah saja, melainkan di hadapan ciptaan-ciptaan Allah
yang lain juga.
BAB
III
TEOFANI
DAN PERTOBATAN
AYUB
1. Pengantar
Dalam bab II telah dijelaskan
secara ringkas seputar Kitab Ayub, ide pembalasan di bumi dan teofani yang
termuat dalam Ayb 38-42.
Kini dalam bab III, yang merupakan inti dari pembahasan skripsi ini hendak
disajikan pembahasan yang lebih mendalam mengenai tanggapan Ayub atas
penampakan Allah yang termuat dalam Ayb 42:1-6.
Ayub yang sejak awal bergumul
dengan pengalaman derita yang tak terpahami mulai mendapatkan jawaban dari
pihak Allah melalui teofani. Ayub menanggapi teofani tersebut dengan rendah
hati dan mengakui keterbatasannya. Inilah wujud dari pertobatan Ayub berhadapan
dengan kebesaran Allah. Penulis menyajikan pembahasan bab III ini dengan
mengulas perikop Ayb 42:1-6 secara eksegetis dan teologis. Pembahasan ini
didahului dengan ulasan tentang kesatuan dan struktur teks Ayb 42:1-6.
2. Kesatuan dan Struktur Ayb 42:1-6
Sebelum menganalisis Ayb
42:1-6 secara eksegetis dan
teologis, penulis terlebih dahulu menyajikan pembahasan mengenai kesatuan
literer perikop tersebut. Pembahasan ini penting untuk melihat apakah teks ini
dapat dibahas sebagai satu bagian utuh yang terpisah dari teks-teks yang
mendahului dan teks berikutnya.
2.1 Kesatuan
Ayb 42:1-6
Akhir dari kisah
Ayub memang telah lama menjadi topik pembahasan yang hangat di kalangan ahli
tafsir Kitab Suci. Ada yang menganggap bahwa akhir kisah Ayub harus terkait
dengan lima bab terakhir (Ayb 38-42). Ada juga yang menganggap bahwa bab 42
dapat dibahas secara terpisah dari bab sebelumnya.[98]
Maka, persoalan pertama yang perlu dijawab ialah apakah Ayb 42:1-6 merupakan
satu kesatuan literer yang memungkinkan untuk dibahas? Untuk melihat kesatuan
teks tersebut, penulis menggunakan beberapa keterangan ahli, seperti Danile
Timmer, J.G. Janzen, Norman C. Habel dan John E. Hartley. Masing-masing dari mereka
memiliki pendekatan yang berbeda.
Dalam Kitab Suci edisi Lembaga Alkitab Indonesia
Terjemahan Baru[99],
Ayb 42:1-6 merupakan satu rangkaian dari jawaban Allah (teofani) kepada Ayub
(38-42). Secara sekilas, Ayb 38-42 dapat dilihat sebagai satu kesatuan literer.
Berdasarkan struktur literernya, Hartley membagi
perikop ini menjadi empat bagian besar: dua bagian
teofani dengan tanggapannya masing-masing. Pertama, Ayb 38:1-39:35 adalah teofani pertama yang berisi introduksi dan pembukaan
tantangan Yahweh terhadap Ayub, litani pertanyaan Yahweh dan undangan bagi Ayub
untuk menjawab pertanyaan Yahweh tentang ciptaan. Kedua,
Ayb 39:36-38 adalah tanggapan pertama Ayub atas teofani pertama. Ketiga, Ayb 40:1-41:25
adalah teofani kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuatan Ayub
dan lukisan tentang ramalan dua binatang buas. Keempat, Ayb 42:1-6 berisi tanggapan kedua Ayub atas teofani
yang kedua.[100]
Pembagian yang dikemukakan Hartley tersebut agak sejalan
dengan Timmer. Namun, Timmer membagi bagian teofani ini dalam bagian yang lebih
kecil. Ia memasukkan perikop 42:1-6 sebagai satu bagian dari Ayb 40:1-42:6. Menurutnya,
Ayb 42:1-6 hanya tanggapan Ayub atas teofani yang kedua dan terpisah dari
teofani yang pertama. Pembagiannya adalah sebagai berikut: introduksi (40:1-9),
litani pertanyaan Yahweh yang kedua (40:10-41:25) dan jawaban Ayub (42:1-6).[101]
Berbeda dengan dua pendapat di atas, Habel
menempatkan teks Ayb 42:1-6 sebagai satu kesatuan dari keseluruhan bab 42. Ia
menyebutkan bahwa keseluruhan bab 42 adalah pemulihan atas nasib Ayub yang
diawali dari kisah pengakuan Ayub (42:1-6). Menurut
Habel, Ayb 42:1-6 sangat terkait erat
dengan Ayb 42:7-17.[102]
Meski teks Ayb 42:1-6 masuk dalam bagian Ayb
38:1-42:6 dan terkait erat dengan Ayb
42:7 dst., namun perikop Ayb 42:1-6 tetap memiliki satu kesatuan literer
sehingga bagian ini dapat dibahas secara khusus. Pertama, Ayb 38:1-42:6 memuat
dua bagian pidato Yahweh. Masing-masing dari pidato tersebut ditanggapi dengan
jawaban singkat dari pihak Ayub (Ayb 39:37-38 dan 42:1-6). Ini berarti bahwa
Ayb 42:1-6 merupakan tanggapan langsung atas teofani yang kedua. Ayb 42:1,
“Maka jawab Ayub kepada Tuhan …”, telah mengindikasikan bahwa teofani telah usai.
Litani pernyataan Yahweh tentang behemôt dan
lewiatan mendapat tanggapan yang
positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub tersebut telah menandai suatu babak
yang baru setelah teofani.[103]
Kedua, jenis sastra perikop Ayb 42:1-6 sebenarnya
sudah cukup memberi alasan bahwa perikop ini dapat dipisahkan dengan ayat
sesudahnya (Ayb 42:7 dst.). Penulis Kitab Ayub telah
membedakan jenis sastra antara Ayb
42:1-6 dengan perikop sesudahnya. Ayb 42:1-6 berbentuk puisi sedangkan Ayb 42:7-17
berbentuk prosa. Beberapa ahli berpendapat bahwa Ayb 42:7-10 merupakan tambahan
kemudian yang dipakai untuk menghubungkan antara kisah puisi dengan bagian
prosa. Kata-kata Ayub telah terhenti sampai Ayb 42:6, sementara Ayb 42:7-10 ini
lebih mengarah pada keputusan Yahweh atas nasib Ayub dan teman-temannya yang
terkait dengan nuansa hukum yang mendasari seluruh struktur Kitab Ayub.[104]
Janzen
mengungkapkan bahwa perikop Ayb 42:1-6 merupakan satu kesatuan literer. Ia
memberi tema perikop ini pertobatan sebagai tanggapan Ayub kepada Yahweh.
Janzen melihat teks ini sebagai kisah dengan mutu sastra yang tinggi.
Pembagiannya adalah sebagai berikut: awal pengakuan Ayub (42:2ab), kutipan dari
pidato yang pertama dan tanggapan Ayub (42:3ab), kutipan pidato yang kedua
(42:4ab), permulaan dari kata penutup Ayub (42:5), kata-kata penutup Ayub
(42:6).[105]
Meski Hartley menempatkan perikop ini ke dalam
satu bagian besar dalam pidato Allah (Ayb 38:1-42:6), ia tetap memberikan
perhatian khusus pada perikop Ayb 42:1-6 sebagai jawaban Ayub atas teofani yang
muncul dari dalam badai. Menurutnya, perikop Ayb 42:1-6 adalah ungkapan
ketidaklayakan Ayub berhadapan dengan Sang Pencipta. Ia membagi perikop ini ke
dalam dua bagian besar. Pertama, ay. 1-3 adalah ungkapan penyesalan dan pengakuan Ayub atas
kata-katanya yang berada di luar pengetahuannya. Kedua, ay. 4-6 adalah
penyerahan diri Ayub kepada Yahweh yang telah menampakkan diri di hadapannya.
Kemudian Hartley menyajikan struktur internal dan memberikan komentar atas Ayb 42:1-6 ke dalam bagian yang lebih kecil, yakni:
·
Ayb 42:1-2 : Pengakuan akan Kekuasaan dan Kebijaksanaan
Allah
·
Ayb 42:3 : Pengakuan atas Keterbatasan Pengetahuan
Manusia
·
Ayb 42:4 : Undangan untuk Berperkara
·
Ayb 42:5 : Pengakuan atas
Kehadiran Yahweh
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis mengikuti
pembagian yang dikemukakan oleh Hartley di atas. Sementara untuk bagian struktur Ayb 42:1-6,
penulis mengikuti uraian yang dikemukakan oleh Habel.
2.2 Struktur
Ayb 42:1-6
Ironi dan ambiguitas dari kata-kata terakhir Ayub
(42:1-6) telah menyebabkan sejumlah besar interpretasi. Pertama, Ayub
benar-benar menyerah kepada kehendak Allah, bertobat atas sikapnya yang arogan
dan dengan rendah hati menghadap Allahnya. Kedua, Ayub diperdamaikan dengan
Allah melalui teofani. Dia mengakui bahwa Allah yang mengatur kosmos, dan bukan
manusia. Ketiga, pengakuan Ayub hanyalah sebuah ironi. Ayub hanya berupaya
untuk meredakan “amarah” Yahweh yang muncul dari dalam badai. Keempat, pidato
terakhir Ayub mengungkapkan sikap pembangkangan Ayub yang terakhir. Meskipun
mengakui keterbatasan akan pengetahuannya, Ayub tetap menilai bahwa Yahweh telah bersikap arogan dalam memperlakukan manusia yang sedang
putus asa.[107]
Bagaimana konflik antara Allah dan manusia dalam
plot ini diselesaikan? Bagaimana pidato terakhir Ayub dapat membawa pemecahan?
Habel menjawab permasalahan ini dengan menganalisis struktur teks 42:1-6 dalam
kesatuannya dengan 38:1-42:6. Struktur pidato Ayub dapat diuraikan seperti
berikut ini:
Bagian I
A. Pengakuan (Konsesi Ayub)
Aku tahu bahwa engkau sanggup melakukan
segala sesuatu 42:2
B. Kutipan (Tantangan Yahweh)
Siapakah dia yang menyelubungi keputusan
tanpa pengetahuan 3a
C. Maklumat (Pengakuan Ayub)
Itulah sebabnya (lākēn), tanpa pengertian aku telah
bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
dan
yang tidak kuketahui 3b-c
Bagian II
B’. Kutipan (Tantangan Yahweh)
Dengarlah, aku akan menanyai engkau, supaya engkau
memberitahu aku 4
A’. Pengakuan (Pengalaman Ayub)
Aku telah mendengar tetapi sekarang aku melihat engkau 5
C’. Maklumat (Pembalikan Ayub)
Oleh sebab itu (ʻal-kēn)
aku mencabut perkataanku dan
duduk
dalam debu dan abu[108] 6
Dua
bagian dari pidato terakhir Ayub tersebut berkaitan erat dengan tantangan
Yahweh yang dikutip hampir kata demi kata oleh Ayub (ay. 3a, 4). Kutipan
pertama pada ay. 3a (bdk. 38:2) membuka rangkaian pertanyaan Yahweh dalam
pidatonya dari dalam badai (38:4 dst.). Ayub menanggapi tantangan Yahweh ini
dengan pengakuan atas kuasa Yahweh yang dapat mengontrol rencana kosmik (ay. 2) dan pengakuan atas kebodohannya
(ay.
3b-c). Kata kunci pada bagian pertama dari jawaban Ayub (ay. 2-3) adalah kata kerja “tahu” (ydʻ). Ayub “tahu” bahwa Tuhan memiliki
kekuatan superior. Ia juga mengakui
ketidaktahuannya tentang kebijaksanaan yang tersembunyi di balik “rencana”
ciptaan dan tatanan kosmis. Dengan demikian, bagian pertama dari plot pemecahan
ini adalah pengakuan atas integritas Yahweh.[109]
Tantangan Yahweh yang dikutip pada
ay. 4 tidak meminta sebuah pengakuan dari Ayub, melainkan sebuah seruan Yahweh
yang harus didengarkan. Sebelumnya, Ayub telah menantang Yahweh dan menyajikan
perkaranya di hadapan-Nya. Ayub sungguh-sungguh ingin menghadap Yahweh secara
langsung.
Yahweh memenuhi permintaan Ayub dengan benar-benar hadir di hadapannya dan Ayub
akhirnya “melihat”-Nya. Dengan demikian integritas Ayub juga dibenarkan.
Rumusan “oleh sebab itu” (ʻal-kēn,
ay. 6a) yang sesuai dan sejajar dengan “itulah sebabnya” (lākēn, ay. 3b), menunjukkan dua reaksi Ayub atas tantangan Yahweh,
yakni pengakuan atas keterbatasan pengetahuannya dan penarikan kembali gugatan
Ayub terhadap “lawan”-nya sebagai ungkapan penyesalan
dengan duduk di atas debu dan abu.[110]
3.
Uraian Eksegetis
atas Ayb 42:1-6
Dalam pembahasan berikut
ini, penulis hendak menyajikan ulasan eksegetis atas Ayb 42:1-6. Poin-poin
eksegetis yang hendak dibahas adalah sebagai berikut: pengakuan akan kekuasaan
dan kebijaksanaan Allah, pengakuan atas keterbatasan pengetahuan manusia,
undangan untuk berperkara, pengakuan atas kehadiran Yahweh dan pengakuan kesalahan.
3.1 Pengakuan
akan Kekuasaan dan Kebijaksanaan Allah (Ayb 42:1-2)
Maka jawab Ayub kepada TUHAN: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak
ada rencana-Mu yang gagal”.
Kedua ayat di
atas (42:1-2) merupakan garis pembuka dari rangkaian jawaban Ayub atas
tantangan Yahweh yang kedua (Ayb 40-41) di mana pidato Yahweh ini melanjutkan
pidato-Nya yang pertama (Ayb 38:1-39:35). Kedua pidato Yahweh ini bukanlah
suatu jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan Ayub dalam ratapan-ratapannya.
Yahweh lebih terfokus pada rencana kosmik dan tata kelola alam ciptaan yang
keadilannya justru diragukan oleh Ayub. Melalui karya
ciptaan tersebut, Yahweh ingin menuntun Ayub kepada insight baru.[111]
Jawaban Ayub (ay.
2) menggemakan kembali pengakuan Ayub sebelumnya bahwa Allah memang memiliki
kebijaksanaan dan kekuatan untuk menciptakan dan menghancurkan. Dalam bagian
awal Kitab Ayub, kekuatan Allah yang bersifat destruktif (merusak dan
menghancurkan) nampak lebih dominan daripada kekuatan dalam pemeliharaan
tatanan ciptaan (bdk. Ayb 12:13 dst.). Melalui kekuatan dan kebesaran Allah tersebut,
sekarang Ayub “tahu” bahwa Allah
memiliki kapasitas untuk melaksanakan setiap rencananya atas kosmos (bdk. Kej
11:6).[112]
Tanggapan Ayub ini juga menggemakan kembali peristiwa menara Babel, di mana
manusia yang telah dipenuhi dengan keangkuhan, berusaha menolak kedaulatan
Yahweh dan ingin menentukan nasib mereka sendiri tanpa campur tangan Allah. Berkat kesombongan dan
keangkuhan itu, Allah mengacaubalaukan bahasa mereka. Ayub yang sebelumnya juga
bersengketa, bersikap angkuh dan menolak kedaulatan Allah, kini dapat mengakui
kekuasaan Allah.[113]
Rumusan “Aku
tahu” (yāḏaʽtî) biasanya merupakan
ungkapan atau pengakuan seorang pemohon atas terkabulnya doa-doa atau ratapannya (bdk.
Mzm 20:7; 41:12; 56:10). Dengan mengakui bahwa Allah dapat melakukan segala
sesuatu, Ayub menerima argumen Yahweh sebagai jawaban atas keluhan dan
pengakuan dirinya yang tidak bersalah.[114]
Ayub memang
memegang teguh keyakinannya bahwa Tuhan itu Mahakuasa. Keyakinan ini nampak dalam
pidato-pidatonya (bdk. Ayb 6:4; 13:3). Namun dalam ratapan-ratapannya, Ayub
kemudian mempertanyakan tindakan Allah yang tampaknya justru bertentangan dengan
norma keadilan yang dipahami Ayub. Kedua pidato Yahweh itu
(38-42) kemudian memberi jawaban atas keadilan yang dituntut oleh Ayub dan
menegaskan kembali kebijaksanaan Allah yang mesti diakui oleh Ayub. Akhirnya,
Ayub mengakui bahwa tidak ada “rencana” (mezimmâ[115],
yaitu “rencana yang terinci”) Yahweh
yang dapat digagalkan atau dihalangi. Pengakuan Ayub menunjukkan kepercayaannya
bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi terlaksana dalam kerangka
kebijaksanaan ilahi.[116]
3.2
Pengakuan atas Keterbatasan Pengetahuan Manusia
(Ayb 42:3)
Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan
tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa
pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan
yang tidak kuketahui.
Ayat 3a, “Firman-Mu: Siapakah dia
yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan?” merupakan sebuah kutipan dari pidato Yahweh (bdk. Ayb 38:2) yang
ditempatkan di dalam mulut Ayub. Kata-kata dari pihak Yahweh ini menunjukkan
Ayub sebagai manusia yang melawan “rencana” (‘ēṣā) Sang Ilahi melalui ketidaktahuannya. Yahweh juga hendak
menunjukkan bahwa Ayub memang tidak memiliki pengertian apa-apa tentang ciptaan
dan diri-Nya (bdk. Ayb 38:4).[117]
Kutipan atas
pertanyaan Yahweh kepada Ayub (Ayb 38:2, “Siapakah dia yang menggelapkan
keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?”) juga
dimaksudkan untuk menunjukkan kehinaan manusia yang telah berani mempertanyakan
keadilan Allah. Berhadapan dengan pertanyaan ini, Ayub tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa diam (Ayb 39:7). Kini, setelah melalui proses dan pergulatan yang
panjang, Ayub mulai menyadari kebesaran Allah yang nampak dalam sejarah dan
penciptaan alam semesta.[118]
Dengan mengutip
kata-kata dari pidato Yahweh, secara eksplisit dan resmi Ayub menanggapi tantangan
Yahweh, “lawan”-nya. Tanggapan Ayub (ay.
3b) merupakan pengakuan publik bahwa dia sungguh-sungguh tidak memiliki
pengetahuan dan kebijaksanaan atau “pengertian” apa pun berhadapan dengan
rencana kosmik Yahweh (bdk. Ayb 38:4b).
Kebijaksanaan atau pengertian ini kiranya terletak di balik rencana awal Yahweh dalam kosmos
(bdk. Ayb 28:7, 38:4). Ayub mengakui ada hal-hal yang melampaui dirinya, yaitu
“keajaiban” yang berada di luar pemahaman manusia (bdk. Ayb 9:10; 37:5; 14) dan
hikmat tersembunyi di balik tatanan dunia (bdk. Ayb 11:6). Ayub menyadari bahwa
kebijaksanaan ilahi berada di luar kemampuan manusia dan tak terpahami. Maka,
Ayub mengakui bahwa di hadapan Yahweh, dia tidak memiliki kebijaksanaan apa pun. Meski
demikian perhatian Ayub bukan mengarah pada pencarian hikmat tersebut,
melainkan pada kehadiran Allah dalam pengadilan.[119]
Ayb 42:3 ini juga
menunjukkan bahwa pidato Yahweh telah memberi pengetahuan baru bagi Ayub. Ayub
memperoleh perspektif baru tentang dunia dan rancangan Allah atasnya. Hal ini
tidak berarti bahwa Ayub memahami sepenuhnya akan keajaiban Tuhan, tapi
sekurang-kurangnya ia memperoleh jaminan bahwa hanya Allah yang memegang
kendali atas pengetahuan manusia. Dengan perspektif yang baru, Ayub
sungguh-sungguh memahami bahwa Allah tidak dapat dimasukkan ke dalam konsep dan
kerangka pikir manusia yang sempit dan terbatas.[120]
Pengakuan Ayub
akan kekuatan dan kebesaran Allah dalam ayat ini sebenarnya bukan hal yang
baru.[121]
Dalam Ayb 12:13, Ayub menyatakan bahwa kebijaksanaan dan kekuatan adalah milik
Allah. Namun Ayub melihat bahwa kekuatan itu hanya dipakai Allah untuk
mengacaubalaukan manusia dan alam semesta. Maka, setelah mengalami Allah
melalui teofani, pemahaman Ayub akan kekuatan dan hikmat Allah telah
dimurnikan. Allah adalah pencipta sekaligus penjaga dan pemelihara tatanan semesta.[122]
Melalui
pidato-pidato-Nya, Yahweh tidak bermaksud untuk menjadikan Ayub sebagai
lawan-Nya. Sebaliknya, Yahweh selalu berada di pihak Ayub. Yahweh yang berpihak
pada Ayub ditunjukkan dengan membantu dan mengatasi persoalan Ayub yang selalu
bercokol pada doktrin ortodoks Perjanjian Lama, “… jika aku tidak berdosa,
berarti Engkau telah bertindak tidak adil” (bdk. Ayb 19:6). Yahweh memang tidak
menjawab persoalan Ayub tersebut, namun Ia justru memberi Ayub kebijaksanaan
baru agar Ayub dapat menerima kenyataan yang telah dilawannya.[123]
Kebijaksanaan baru ini membawa Ayub keluar dari kebodohannya sendiri.[124]
Dalam keluhannya,
Ayub telah menilai bahwa Allah memperlakukan dirinya secara tidak adil (Ayb
19:6). Kini, ia mengakui bahwa ia telah berbicara di luar pengetahuan dan pengertiannya.
Ayub telah mendekati dosa kesombongan dengan mengklaim diri memiliki wawasan
yang lebih baik dari Tuhan dalam segala hal di bumi. [125]
Pada titik ini penting untuk dinyatakan kembali bahwa penderitaan Ayub
bukanlah disebabkan oleh dosa-dosanya. Penderitaan itu juga
bukanlah hukuman karena Ayub telah mencela dan menghakimi Allah. Itulah sebabnya di sini Ayub tidak mengakui
keberdosaannya. Walaupun penderitaan Ayub memang bukan akibat dari dosanya,
tetapi Tuhan tetap menyadarkan Ayub
supaya rasa tak berdosanya tidak berubah menjadi kebanggaan semu. Rasa percaya
dirinya telah membuat Ayub bercokol pada keyakinannya sendiri dan menghakimi
serta mempersalahkan Allah atas nasibnya. Maka, Yahweh menyadarkan Ayub akan
kelemahannya sebagai manusia melalui teofani. Ayub merendahkan diri di hadapan
Allah. Ia mengakui bahwa dirinya salah mengutarakan perkaranya dengan berbicara
mengenai hal-hal di luar kemampuannya.[126]
Dengan mengambil
jalan ini, Ayub menegaskan bahwa sikap kerendahan hati sangat penting dalam
hubungannya yang vital dengan Allah. Pengakuan Ayub telah menunjukkan bahwa ia
bersedia melayani Allah dengan sepenuh hati dan bukan untuk mencari kepentingan
pribadi atau pembenaran atas keyakinannya sendiri. Kepercayaan Yahweh akan
hamba-Nya dalam menghadapi tantangan setan (bdk. Ayb 1:9-11) telah diselesaikan
Ayub dengan sempurna.[127]
3.3
Undangan untuk Berperkara (Ayb
42:4)
Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman;
Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
Ayat 4 ini merupakan pengulangan
kata-kata Yahweh yang termuat dalam Ayb 40:2, “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau
memberitahu Aku”. Sebelumnya, Ayub telah memberi
kesempatan kepada Allah untuk berbicara atau menjawab keluhan hamba-Nya (Ayb
13:22). Kini sebaliknya, Allah memerintah Ayub untuk mendengarkan tanggapan
yang akan ditawarkan-Nya. Ada kemungkinan bahwa kalimat “Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu
Aku” diformulasikan untuk sebuah sidang di peradilan. Ada juga anggapan bahwa
ayat 4 ini hanya sekadar kutipan dari kata-kata Yahweh yang mirip dengan ayat
sebelumnya (ay. 3). Dalam kasus apa pun, Hartley beranggapan bahwa ayat ini
berfungsi untuk menyoroti pengakuan kesalahan Ayub atas rasa
ketidakberdosaannya di hadapan Yahweh.[128]
Sementara itu, melalui ayat 4 ini, Habel
dan Perdue menyatakan bahwa bagian kedua dari pengakuan Ayub (Ayb 42:4-6) tidak
sejajar dengan pengakuan pertama (Ayb 42:1-3). Bagian ini bukan hanya sekedar
pengakuan akan kebesaran Yahweh atau pengakuan atas keterbatasan Ayub, tetapi
lebih mengarah pada perubahan sikap dan pola pikir Ayub sendiri. Pernyataan
dari tantangan Yahweh yang termuat dalam ayat 4 ini menuntut Ayub untuk
memberikan alasan atas perkara yang ia ajukan pada Yahweh.[129]
3.4 Pengakuan
atas Kehadiran Yahweh (Ayb 42:5)
Hanya dari
kata orang saja aku mendengar
tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Pada bagian dialog
dengan para sahabatnya, Ayub telah mendengar tentang Tuhan melalui tradisi yang
diturunkan dan diajarkan oleh para nenek moyangnya (Ayb 8:8). Ayub adalah orang
yang sungguh-sungguh menghidupi ajaran leluhur. Namun kini, Ayub memiliki dasar
iman yang jauh lebih unggul daripada ajaran tradisi yang ia terima sebelumnya.
Wawasan baru tentang Allah yang diperoleh Ayub melalui pidato ilahi sungguh
kontras dengan tradisi dan pandangan teman-temannya. [130]
Pengakuan Ayub atas kehadiran Yahweh ini merupakan pernyataan publik bahwa dia
tidak hanya “mendengar” (tentang) Tuhan, tapi ia telah “melihat” Tuhan dengan
matanya sendiri. Ayub mengalami pertemuan langsung dengan Allah yang hidup dan
mendengar segala perkataan-Nya secara jelas.[131]
Dalam teofani,
Ayub memang “melihat” Allah. Namun teofani ini tetap mengandung unsur
misteri. Kedatangan Yahweh mirip dengan
penampakan-Nya kepada Musa di Sinai (bdk. Kel 19), sehingga Ayub tidak
disilaukan dan mati oleh kekudusan-Nya. Dengan “melihat” Tuhan melalui matanya
sendiri, harapan Ayub telah terpenuhi (bdk. Ayb
19:26-27). Namun sesuatu yang ajaib terjadi di sini
seperti dialami Musa: walaupun telah
“melihat” Tuhan, ia masih hidup. Tradisi biblis dalam Perjanjian Lama
mengajarkan bahwa seseorang yang melihat Allah akan mengalami kematian. Hal ini
diungkapkan oleh Manoah kepada isterinya, “Kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah” (bdk. Hak 13:22). Namun,
tokoh-tokoh pilihan Allah seperti Yakub, Musa dan Harun mengalami keajaiban
yang dialami oleh Ayub. Mereka telah
“melihat” Allah, tapi mereka tidak mati (bdk. Kej 32:30; Kel 24:10). [132]
Dalam penggambaran
penyair, suara dari dalam badai bukanlah sekedar “bisikan” dari yang ilahi
(bdk. Ayb 26:14), melainkan sebuah pidato langsung dari Allah dan bukti hidup
kehadiran-Nya. Suara dari dalam badai itu merupakan tanda kehadiran Allah bagi
Ayub, sama halnya dengan suara yang muncul dari semak terbakar yang dialami
oleh Musa (Kel 3:1-6).[133]
Bagi Ayub, dengan melihat Allah
berarti keinginannya untuk bertemu dengan Allah terpenuhi. Allah benar-benar hadir dan menampakkan diri bagi Ayub meski masalah penderitaannya tetap tak terjawab oleh Ayub sendiri. Bagi
Allah, kehadiran-Nya adalah bukti bahwa integritas Ayub diakui. Yahweh datang
untuk mengakui Ayub sebagai seorang pahlawan yang perkaranya tidak bisa
diabaikan. Sekalipun begitu, Ayub tetap dinyatakan bersalah, sebab telah
menghakimi Allah menurut pengertiannya sendiri.[134]
3.5 Pengakuan
Kesalahan (Ayb 42:6)
Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.
Ayub merendahkan diri dan
menyesal. Ia mengakui bahwa dirinya tidak lebih baik dari debu dan abu yang
telah ia duduki. Ayub telah mengambil keputusan yang tepat di hadapan Allah
yang kudus. Pengalaman Ayub ini serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh
Abraham ketika ia berusaha campur tangan atas nasib Sodom dan Gomora, “Sesungguhnya aku telah
memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu” (bdk. Kej 18:27). Ayub meninggalkan semua kebanggaan
palsu dan mengakui bahwa Allah telah menunjukkan keadilan-Nya sehingga ia harus
duduk di luar kota, di tumpukan abu.[135]
Ungkapan
“penyesalan dengan duduk dalam abu dan debu” mengidentifikasi Ayub sebagai
penderita yang sungguh hina. Ayub sendiri memahami bahwa “debu” adalah simbol
kematian (Ayb 4:19) atau tempat orang mati yang merupakan akhir hidup setiap manusia (Ayb 10:9;
17:16). Ungkapan “debu dan abu”
cenderung berkonotasi sebagai penyangkalan diri dan suatu hal yang tak berharga
(Ayb 30:19; Kej 18:27). “Abu” juga terkait dengan tindakan ritual perkabungan
dan ratapan (bdk. Est 4:1,3; Yun 3:6).[136]
Dengan
memakai istilah “debu dan abu”, nampaknya penulis kisah puisi ingin
menyelaraskan bagian prosa (prolog) dengan akhir kisah bagian puisi. “Debu dan
abu” merujuk kembali ke episode dalam prolog di mana Ayub memisahkan diri dari
masyarakat dengan duduk di antara abu (Ayb 2:8). Saat itu teman-teman Ayub
menyatakan simpati atas penderitaannya dengan melemparkan debu ke udara (Ayb
2:12). Penyair memakai istilah “debu dan abu” untuk memberi status dan peran
Ayub sebagai penderita yang terisolasi dan penggugat yang terhina. [137]
Kini
Ayub siap untuk meninggalkan perannya sebagai penggugat dengan mencabut perkataannya yang dipakai
untuk menantang kedaulatan Allah. Kata kerja “mencabut” merupakan terjemahan
Kitab Suci LAI TB dari kata ʽemeʽas
(berakar dari kata mʽs) yang
berarti mengabaikan, menolak, memandang hina. Dalam Kitab Ayub, kata ini
dipakai sebanyak 12 kali, yaitu 8 kali dalam arti profan dan 4 kali dalam arti
teologis (3 kali dengan subyek Allah dan 1 kali dengan subyek manusia). Kata mʽs ini memiliki dua makna yang ambigu.
Makna yang pertama yaitu mengabaikan, menolak, memandang hina. Sementara makna
yang lain ialah melarutkan atau mencurahkan.[138]
Dengan
melihat struktur semantis tersebut, kata kerja mʽs di sini memiliki hubungan erat dengan kata kerja sesudahnya nḥm yang diterjemahkan LAI TB dengan “menyesal”. Menurut Habel, kata kerja nāhamʻal [sic] berarti “bertobat” dalam arti “perubahan pikiran
terhadap suatu hal”. Ayub telah memutuskan untuk “mengubah pikiran” atas
perkara dan keluhan-keluhannya, dan siap untuk kembali ke kehidupan normal
lagi.[139]
Itulah
alasan mengapa Ayub menarik dan mencabut perkataannya sendiri. Kehadiran Yahweh
dan tanggapan Ayub mengungkapkan kesia-siaan manusia yang ingin mengejar
ganjaran hukum atau pembalasan atas gugatannya. Tindakan Ayub ini merupakan
bentuk pertobatan batin dan penyerahan diri secara total yang dilakukan melalui
“perubahan/pertobatan pikiran”.[140]
Sementara
itu menurut Hartley istilah “menyesal” (niham) berarti berbalik dari rencana yang
telah dijalankan dan mengambil arah atau jalan baru. Kata tersebut
menyiratkan sebuah tekad yang kuat untuk
mengubah arah hidup, tetapi bukan sebuah sikap penyesalan. Dengan menarik
perkataan atas rasa tak bersalahnya, Ayub menyerahkan seluruh sisa-sisa
pembenaran dirinya kepada Yahweh. Sekarang Ayub telah menemukan harga dirinya
dalam relasinya dengan Yahweh, bukan dalam jalannya sendiri. Dengan demikian
Ayub telah menyerahkan nasibnya ke tangan Tuhan. Ayub memiliki keyakinan bahwa
dengan “melihat” Tuhan, ia dapat menanggung nasib apa pun juga.[141]
4. Uraian Teologis atas Ayb 42:1-6
Setelah menguraikan teks Ayb 42:1-6 secara
eksegetis, dalam pembahasan berikut ini, penulis hendak menyajikan suatu ulasan
teologis atas perikop Ayb 42:1-6. Teks-teks biblis lain akan disinggung sejauh
terkait dengan perikop Ayb 42:1-6. Ada pun poin-poin teologis itu antara lain:
misteri penderitaan, rencana dan kebebasan Allah, keterbatasan manusia, mendengar
dan melihat Allah serta
pertobatan.
4.1 Misteri
Penderitaan
Kisah penciptaan yang termuat dalam Kej 1:1-2:4a dan Kej
2:4b-25 melukiskan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dengan baik adanya.
Sejak semula Allah tidak menghendaki adanya penderitaan. Penderitaan baru
muncul ketika manusia diusir dari Taman Eden. Tindakan pengusiran dari Taman Eden
berarti pengusiran manusia dari suasana yang baik, sehingga manusia mengalami
suasana yang tidak baik, yakni suasana penderitaan. Penderitaan terjadi karena
manusia berbuat dosa. Maka, dosalah yang menjadi penyebab adanya penderitaan. [142]
Keyakinan bahwa
penderitaan adalah akibat dari dosa dihidupi dalam tradisi Yahudi secara turun-temurun. Kisah pembunuhan
Habel oleh Kain, saudaranya (Kej 4:1-16) dan penghancuran menara Babel (Kej
11:1-9) semakin memperjelas bahwa penderitaan adalah akibat langsung dari dosa.
Pandangan tentang penderitaan sebagai akibat dari dosa ini bertumpu pada
kepercayaan akan “keadilan Allah” dan paham “pembalasan di bumi”. Paham ini
mengajarkan bahwa Allah akan mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat
(lihat bab II). Namun, lambat laun ide pembalasan di bumi mulai digugat seiring
dengan munculnya fakta bahwa orang-orang baik pun mengalami penderitaan. Kitab
Ayub menyajikan argumentasi bahwa konsep retribusi tidak bisa dipertahankan
lagi.[143]
Ayub yang tampil sebagai
orang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb 1:1,8; 2:3)
justru ditimpa penderitaan (Ayb 1:13-19; 2:7-8). Ayub pun membantah tuduhan
ketiga sahabatnya bahwa penderitaannya adalah akibat dari dosa-dosanya (Ayb
16:19-21; 23:3-5, 10-12, 27:2-6). Maka, Ayub merasa tidak pantas menerima
penderitaan.[144]
Penderitaan
dan nasib buruk tidak dapat selalu dikaitkan sebagai akibat dari dosa. Dalam
penderitaan juga terkandung tujuan pedagogis yang dipakai Allah sebagai sarana
untuk mendidik umat-Nya. Melalui penderitaan, Allah hendak menuntun si pendosa
kembali kepada kesetiaannya (Ayb 33:19-22).[145]
Dengan pemahaman demikian, Ayub telah menggugat ajaran tradisional bahwa
tidak ada hubungan langsung antara dosa dan penderitaan. Ayub yang berperan sebagai
tokoh yang berani menderita, akhirnya mencoba memahami kehendak Ilahi yang tampak dalam penderitaannya. Dalam
penderitaan itulah ia kemudian berhadapan dengan Allah yang berwajah pencipta
dan penuh misteri.[146]
Dengan mengalami dan menyadari penderitaan, Ayub mengakui keterbatasannya.
Hasilnya, Ayub mengakui misteri Allah dan dengan tenang menerima penderitaannya
sebagai bagian dari misteri Allah Sang Pencipta, “Sekarang mataku sendiri
memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku, dan dengan menyesal
aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb 42:5b-6). Ayub memang membela kehormatannya,
tetapi ia juga menyadari keterbatasannya di hadirat Allah. Hanya orang yang
tidak mengenal batas yang berani menuntut yang Ilahi. Kesombongan inilah yang
dikritik dalam Kitab Ayub.[147]
4.2 Rencana
dan Kebebasan Allah
Ajaran tradisional tentang
pembalasan di bumi yang digemakan oleh ketiga sahabat Ayub tidak dapat
dipertahankan lagi ketika dihadapkan dengan kebebasan Allah dalam menjalankan
rancangan-Nya. Bukan hanya ketiga teman Ayub, Ayub sendiri pun juga tidak dapat
mengerti tujuan yang dikehendaki Allah melalui penderitaan yang menurutnya tidak
sepatutnya ia terima. Kegagalan Ayub dan sahabat-sahabatnya dalam usaha
memecahkan masalah penderitaan menunjukkan bahwa penderitaan adalah bagian dari
rencana dan kebebasan Allah yang penuh misteri.[148]
Pengarang Kitab Ayub menggambarkan Allah yang tidak
terikat pada rancangan manusia atau pada pemahaman manusia tentang diri-Nya.
Apa yang dilakukan Allah muncul dengan bebas dari kehendak dan sifat-Nya sendiri. Allah memilih untuk
menciptakan dan memelihara alam semesta, memulai dan menguasai gerak sejarah,
berkarya sesuai dengan urutan dan pola yang terperinci, serta melampaui
batas-batasnya. Dengan demikian, Kitab Ayub hendak mengajarkan bahwa Dialah Tuhan
dan Ia yang membuat rancangan-Nya atas ciptaan. Manusia tidak akan mungkin
dapat menggagalkan rencana-Nya. Itulah sebabnya Ayub berkata, “Aku tahu, bahwa Engkau
sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb 42:2).[149]
Penulis Kitab Ayub juga
menyadari sepenuhnya bahwa penderitaan sebagai misteri tidak dapat hanya
dipikirkan dan dipecahkan dengan teori teologi. Penderitaan yang muncul dalam
Kitab Ayub adalah sebuah keluhan panjang manusia terhadap keterbatasan pikiran
dan kesempitan hatinya. Penulis Kitab Ayub meyakini bahwa terhadap penderitaan
ada “keputusan” yang berada di atas jangkauan manusia (Ayb 38:2).[150]
Allah tidak membutuhkan
afirmasi manusia dalam menjalankan rencana dan keputusan-Nya. Berhadapan dengan
rencana dan keputusan Allah, manusia hanya dapat berserah diri. Inilah yang
akhirnya dilakukan oleh Ayub. Pengakuan atas kebesaran Allah dan penyerahan
diri Ayub adalah wujud dan inti pengakuan imannya (Ayb 42:2,5). [151]
Dengan demikian, Kitab Ayub
adalah kitab pengakuan iman, yakni suatu rumusan pengalaman mistik yang muncul
dari pengalaman derita yang mendalam. Dari kegelapan penderitaan itulah orang
sampai pada terang kasih Allah yang bebas dalam karya-Nya. Namun kebebasan
Allah bukanlah suatu primat untuk menguasai habis-habisan. Allah memang
berdaulat, tetapi kedaulatan-Nya tidak untuk memperlakukan manusia semena-mena.
Ia berdaulat dalam kasih-Nya. Dialah yang menentukan keputusan atas ciptaan,
namun keputusan itu didasarkan pada kasih.[152]
Manusia memang tidak dapat memahami jalan, kebenaran dan rancangan-Nya. Namun,
orang yang berpegang pada kasih Allah, yang ditemuinya secara rahasia, akan
diselamatkan.[153]
4.3
Keterbatasan Manusia
Pidato
Yahweh kepada Ayub menekankan kuasa Allah dalam ciptaan dan
penyelenggaraan-Nya. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam
kosmos: bumi, laut, langit dan bintang. Seluruh tatanan ciptaan itu melampaui
pengetahuan manusia. Artinya, kekuasaan Tuhan melebihi apa yang pernah
dipikirkan oleh Ayub, ketiga sahabatnya dan juga Elihu sendiri. Berhadapan
dengan kuasa Allah tersebut, Ayub merasakan kekaguman sekaligus
keterbatasannya. Keterbatasan Ayub itu bahkan dinyatakannya dengan ungkapan, “tanpa
pengertian aku telah bercerita tentang
hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayb 42:3).[154]
Selain
itu, pesan Allah dari dalam badai juga menyadarkan Ayub bahwa ia berasal dari
debu dan akan kembali menjadi debu (bdk. Ayb 42:6). Sejak dari semula,
kebodohan manusia ialah berusaha menyamai Allah dengan keterbatasannya sendiri
(bdk. Kej 3:5) dan menjadi tuan atas nasib mereka sendiri. Dengan cara seperti
inilah Ayub juga menuntut sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri. Sekarang,
ia menyadari keterbatasannya sebagai ciptaan. Penyadaran diri Ayub sebagai makhluk yang berasal dari tanah liat,
debu dan abu membuat dirinya semakin berserah kepada Allah, Sang Tukang Periuk
(Ayb 41:22).[155]
Dengan
demikian, Kitab Ayub merupakan renungan tentang manusia dan menunjukkan
hakikatnya sebagai ciptaan, dalam derita dan batas-batas kemampuannya (Ayb
14:1-2). Renungan ini menyangkut keringkihan manusia dalam hidupnya di atas
tanah liat dan debu (Ayb 4:19; 10:9; bdk. Keb 9:15).[156]
4.4 Mendengar
dan Melihat Allah
Dalam kisah-kisah Perjanjian
Lama, modus kehadiran dan penampakan Allah kepada manusia dilakukan dengan
berbagai cara. Teofani sering terjadi dalam peristiwa berupa manifestasi visual
yang kemudian diikuti dengan penyampaian firman Allah. Berhadapan dengan
teofani tersebut, manusia dapat mendengar
firman atau sekaligus melihat
penampakan Allah. Pengalaman Ayub menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekedar
mendengar (tentang) Allah, tetapi melihat Allah dengan matanya sendiri (Ayb
42:5). George Savran membandingkan pengalaman Ayub ini (42:5) dengan dua kisah
penampakan Allah dalam dunia Perjanjian Lama, yakni penampakan Allah kepada
Musa, Harun, Nadab dan Abihu (Kel 24:1-11) serta penampakan Allah kepada Bileam
(Bil 22:2-35).[157]
Kel 24:1-11 adalah salah satu
dari beberapa narasi teofani di mana Yahweh tidak berbicara selama teofani itu
sendiri. Para ahli membagi teks tersebut ke dalam dua bagian, yaitu ay. 1-2,
9-11 (teofani) dan ay. 3-8 (upacara perjanjian). Teofani ini menceritakan
bagaimana Musa, Harun, Nadab, Abihu dan tujuh puluh tua-tua naik ke Gunung
Sinai dengan tujuan ibadah, upacara pembacaan dekalog dan ritual perecikan
darah bagi Israel. Intensitas dari teofani ini ditekankan dalam Kel 24:10, di mana Musa, Harun,
Nadab, Abihu dan 70 tua-tua dapat melihat Allah secara langsung, “Mereka
melihat Allah Israel…”. Musa, Harun, Nadab, Abihu dan 70 tua-tua telah melihat Allah, sementara bangsa Israel
“hanya” mendengar Allah, melalui suara Musa. Dengan demikian, Kel 24:1-11
menunjukkan bahwa pengalaman “melihat” Allah memiliki nilai yang lebih unggul
daripada pengalaman “mendengar”.[158]
Dalam perikop yang lain (Bil
22:2-35) dinyatakan bahwa Bileam memiliki kontak verbal dengan Yahweh sebelum
melihat mal’akh (malaikat) Yahweh. Selain itu, pesan verbal yang
ia terima dari Allah pada ay. 20 berisi informasi penting yang perlu diketahui,
dan kata-kata itu hanya diulang oleh mal’akh
pada ay. 35. Bileam telah mendengar suara Yahweh dalam mimpinya, namun
kehadiran Yahweh tersebut dirasa kurang cukup. Baru setelah ia melihat mal’akh Yahweh, ia akhirnya percaya.
Teofani ini kembali menekankan bahwa pengalaman “melihat” Yahweh memiliki nilai
lebih dari sekedar “mendengar”.[159]
Perbandingan antara
“mendengar” dan “melihat” Allah kembali bergema dalam perikop Ayb 42:1-6.
Sebelumnya, Ayub telah mendengar tentang Tuhan melalui tradisi yang diturunkan
dan diajarkan oleh para nenek moyangnya (8:8). Namun kini, Ayub memiliki dasar
iman yang jauh lebih unggul daripada ajaran tradisional yang ia terima
sebelumnya. Jawaban Ayub atas tantangan Yahweh ini merupakan pernyataan publik
bahwa dia tidak hanya “mendengar” (tentang) Tuhan, tapi ia telah “melihat”
Tuhan dengan matanya sendiri. Ayub mengalami pertemuan langsung dengan Allah
yang hidup dan mendengar segala perkataan-Nya secara jelas.[160]
Berbeda dengan dua pengalaman
teofani di atas, Ayub justru sejak awal memiliki keinginan untuk melihat Allah
(Ayb 19:25-27). Ayub berharap dapat melihat Allah dalam sebuah persidangan dan
mengajukan perkaranya di hadapan Allah. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan
harapan Ayub. Allah hadir bukan dalam persidangan tetapi melalui badai atau
angin puyuh (Ayb 38-42). Meski demikian, harapan Ayub untuk melihat Allah tetap terpenuhi, “…
sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5b).[161]
Pengalaman Ayub berbeda
dengan pengalaman Musa maupun Bileam. Dalam Kel 24, melihat Allah berarti
bertatap muka dengan-Nya sebagai mitra dalam sebuah perjanjian dan itu pun
hanya terjadi secara sepintas lalu. Dalam Bil 22, melihat Allah dalam bentuk mal’akh Yahweh berarti memahami pesan
dan keputusan ilahi yang tak dapat diubah oleh manusia. Tetapi dalam Ayb 42:5
melihat Allah berarti melihat dunia melalui mata Allah. Dengan melihat Allah,
Ayub memperoleh pandangan baru tentang kebijaksanaan yang tidak dapat dialami
oleh tiga sahabatnya. Kini, Ayub telah melihat kompleksitas kosmos yang
sebelumnya tak dapat dimengerti.[162]
Keinginan Ayub untuk melihat
Allah dalam Ayb 19:26-27 terjadi dalam konteks metafora hukum yang dominan
ketika menghadapi ‘penyiksa/penuduhnya’. Namun tanggapan Ayub dalam Ayb 42:1-6
telah meninggalkan aspek dari metafora hukum dan lebih menonjolkan aspek moral.
Melihat Allah dalam 42:5 berarti merasakan kompleksitas moralnya, suatu
kompleksitas yang tidak melihat dunia manusia sebagai fokus utama perhatian
Allah.[163]
4.5 Pertobatan
Secara
umum, Kitab Ayub mengisahkan pemberontakan iman dalam konteks dan situasi di zaman
Ayub. Bentuk pemberontakan iman itu dilakukan Ayub dengan menolak dan menggugat
doktrin ortodoks yang dipertahankan oleh ketiga sahabat Ayub. Ayub bersikeras
menentang ketiga sahabatnya dengan mengatakan bahwa teori pembalasan di bumi
tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak sesuai dengan pengalaman hidup
Ayub. Sebagai orang yang tidak bersalah, Ayub tidak pantas menerima penderitaan
yang sedemikian parah.[164]
Melalui
penderitaan yang ia alami, Ayub merasa hubungannya dengan Allah telah terputus.
Namun, Ayub berjuang terus dan berpegang pada Allah walaupun ia tidak
memahami-Nya. Akhirnya, Tuhan menjawab Ayub dari tengah badai. Jawaban itu
tidak sama seperti yang diharapkan Ayub. Tuhan tidak memberikan alasan atau
membela tindakan-Nya atas kemalangan yang menimpa Ayub. Allah justru
menampakkan diri sebagai Pencipta dan kehadiran-Nya tetap sebagai sebuah
misteri. Penampakan Allah ini menjalin kembali hubungan dengan Ayub. Berkat
penampakan Allah, Ayub akhirnya menyatakan pengakuannya, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau,
tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut
perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb 42:5-6).[165]
Pengakuan Ayub tersebut muncul karena ia telah
mengalami Allah secara personal. Pengalaman pribadi akan Allah mengubah segala
sesuatu, baik penilaiannya terhadap diri sendiri maupun penilaiannya terhadap
segala sesuatu yang ada dan terjadi. Dengan “mencabut perkataan dan menyesal”,
Ayub mengakui dan meyakini bahwa ia telah berbuat dosa dan ia bertobat atas
dosa-dosanya itu. Dosa yang dimaksud di sini
bukanlah dosa yang dilakukan Ayub sebelum ia menderita. Sebaliknya, Ayub
berdosa karena telah menghakimi dan menuduh Allah, berbicara di luar
pengetahuan serta mengklaim diri tidak berdosa di hadapan Allah dan sesamanya.[166]
Jadi, pertobatan Ayub bukan terletak pada tataran moral melainkan sebuah iluminasi intelektual (pertobatan
pikiran[167]).
Inilah paradigma baru yang diterima oleh Ayub melalui teofani.[168]
Tanggapan Ayub atas teofani juga mengungkapkan bahwa
ia dapat menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah. Paradigma dan pola
pikir Ayub yang baru menegaskan kembali keyakinannya pada kekuasaan dan
kedaulatan Allah. Ayub juga menerima kenyataan bahwa dirinya tidak mampu memahami
karya Allah dan segala rancangan-Nya. Akhirnya, hubungan Ayub dengan Allah
diperbarui dengan pertobatan. Inilah wujud rekonsiliasi, yaitu suatu ajakan
damai yang ada dan terjadi dalam diri Ayub, dan sekaligus membawanya kepada
suatu kebahagiaan hidup (bdk. Ayb 42:16-17).[169]
5. Kesimpulan
Teofani
dari dalam badai telah meremukkan hati Ayub, tetapi tidak meluluhlantakkannya sama sekali. Sebaliknya, Ayub
membuka diri bagi kenyataan lain tentang gambaran Allah. Pidato Yahweh menuntun
Ayub pada kesadaran baru akan kekuasaan Allah. Selama ia menderita, kekuasaan
Allah dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang dipakai untuk melawan
dirinya. Setelah memahami kuasa Allah secara positif, Ayub mulai menyadari
bahwa kekuasaan Allah digunakan untuk mengatur kosmos sebagai tempat tinggal
bagi seluruh ciptaan.
Teofani
juga telah menghantar Ayub pada kesadaran akan pengetahuan yang tak terbatas
dari Allah dan sekaligus kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas. Di
hadapan ciptaan Allah (behemôt dan lewiatan), Ayub merasa tidak berarti.
Ayub sungguh-sungguh insyaf akan kesombongannya, sebab di hadapan Allah manusia
dapat disebut “tanpa pengertian”. Juga, ajaran tradisional tentang hukum pembalasan yang
menjadi dasar “pengertian”
dan kebijaksanaan bagi Ayub dengan ketiga sahabatnya juga tidak dapat dipertahankan lagi.
Pengertian tradisional mereka tidak tahan uji, sebab ternyata penderitaan bukan
melulu akibat dari dosa atau sebagai hukuman dan penolakan dari pihak Allah.
Ayub
sebagai manusia yang menderita diberikan suatu pengalaman baru. Hubungan Ayub
dengan Allah tidak lagi didasarkan atas “kata orang”, melainkan menjadi
pengalaman pribadi. Ayub menerima suatu pernyataan Ilahi. Allah berbicara
padanya dan dengan demikian menyatakan kehadiran-Nya. Ayub akhirnya dapat
mengalami Allah, “…sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Ia
menemukan keyakinannya pada Dia yang hadir baginya. Pengalaman mengubah segala
sesuatu, baik penilaiannya terhadap dirinya sendiri maupun terhadap segala
suatu yang terjadi.
Setelah
menemukan sikap yang lebih positif ini, Ayub tidak lagi berdiam diri. Ia
mencabut perkataannya dan menyesal. Penyesalan Ayub bukanlah atas dosa
perampokan, perzinahan, penyembahan berhala, dan lain sebagainya. Yang disesali
Ayub ialah dosanya yang lebih mendasar, yakni mempersalahkan Allah dalam usaha
mempertahankan kebenarannya sendiri.
Usaha
pertobatan Ayub melalui pengakuan imannya yang termuat dalam Ayb 42:1-6
dibenarkan oleh Allah. Sementara pendapat ketiga sahabat Ayub mendapat
penolakan. Pembenaran sikap Ayub ini membawa akhir cerita dengan “happy ending”. Akhirnya, Allah
menganugerahi keluarga yang baru dan umur yang panjang baginya.
BAB IV
PENUTUP
Dalam
bab IV ini, penulis hendak merumuskan rangkuman umum dari keseluruhan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian, penulis memberikan refleksi
pastoral berkenaan dengan penderitaan Ayub dalam dunia dewasa ini bahwa pengalaman perjumpaan dengan Allah adalah kerinduan
terdalam bagi orang yang beriman dan dalam penderitaan pun
manusia dapat berjumpa serta mengalami
Allah. Selain itu, penulis juga hendak memberikan refleksi tentang makna
pertobatan atau rekonsiliasi sebagai jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan.
1.
Rangkuman Umum
Kitab Ayub dipandang sebagai karya sastra yang
penting dan unggul, bukan hanya dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam
keseluruhan sastra dunia. Topik sentral tentang orang saleh yang menderita
dengan bahasa puisi yang memiliki kualitas dan mutu tinggi memberi alasan penempatan Kitab Ayub pada urutan pertama
dalam daftar Kitab-kitab Kebijaksanaan dan sekaligus kitab yang memuat nilai
sastra yang paling unggul dalam daftar sastra dunia.
Namun, keunggulan-keunggulan itu justru menjadikan Kitab Ayub sebagai karya
yang sulit untuk dipahami. Apalagi, Kitab Ayub dianggap sebagai karya gabungan
dari cerita rakyat kuno yang disadur kembali oleh para penyair anonim, sehingga
strukur kitab ini sangat kompleks dan rumit untuk dimengerti.
Kitab Ayub telah memberikan gambaran tentang
penderitaan yang dialami oleh seorang yang saleh, yakni Ayub sendiri.
Penderitaan Ayub tersebut telah memunculkan fakta dan gugatan bahwa hukum
pembalasan di bumi yang telah dihidupi dalam tradisi Yahudi tidak dapat
dipertahankan lagi. Ayub, ketiga sahabatnya dan juga Elihu tidak dapat memahami
secara tuntas arti penderitaan Ayub.
Ayub yang tidak menemukan
jawaban atas deritanya mulai menggugat dan menghakimi Allah yang menurutnya
sangat tidak adil. Ia kemudian menantang Allah untuk “mempertanggungjawabkan”
perlakuan-Nya atas diri Ayub. Allah akhirnya memenuhi tantangan Ayub tersebut.
Allah menampakkan diri-Nya kepada Ayub, sekaligus berbicara dengannya. Inilah
teofani.
Meski
Allah menampakkan diri kepada Ayub, Allah tidak memberi jawaban dan alasan
langsung mengapa Ayub menderita. Allah justru memberikan pengertian baru bagi
Ayub mengenai bagaimana ia harus bersikap di hadapan Allah. Penampakan Allah
tersebut mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub atas
teofani tersebut hendak menjawab sejumlah pertanyaan terkait persoalan atas
penderitaan orang saleh. Bagaimana seseorang yang menderita harus bersikap
terhadap Allah? Apakah Allah telah bertindak secara tidak adil? Bagaimana
teofani itu dapat dimengerti oleh Ayub? Apa implikasi penampakan Allah tersebut
bagi Ayub?
Tanggapan
Ayub atas teofani tersebut tertuang dalam perikop Ayb 42:1-6. Perikop ini
memuat tindakan afirmatif dari pihak Ayub atas penderitaannya yang tak
terpahami sebagai bagian dari misteri Allah. Ayub menyadari bahwa melalui
keterbatasannya, ia tidak akan pernah sampai memecahkan persoalan tentang
misteri penderitaan.
Teofani
telah membawa Ayub pada sikap tobat yang sejati. Sikap tobat itu dinyatakan
dengan kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas berhadapan dengan
pengetahuan Allah yang tak terbatas. Ayub sungguh-sungguh insyaf akan
kesombongannya, sebab di hadapan Allah manusia dapat disebut “tanpa
pengertian”. Ajaran tradisional tentang pembalasan di bumi membuktikan
keterbatasan manusia dalam memahami Allah yang Mahakuasa.
Pertobatan
Ayub juga membawanya kepada suatu pengalaman baru. Hubungan Ayub dengan Allah
tidak lagi didasarkan atas “kata orang”, melainkan menjadi pengalaman pribadi.
Ayub menerima suatu pernyataan Ilahi. Allah berbicara padanya dan dengan
demikian menyatakan kehadiran-Nya. Ayub akhirnya dapat mengalami Allah,
“…sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Pengalaman mengubah
segala sesuatu, baik penilaiannya terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
segala suatu yang terjadi.
Kisah
pertobatan Ayub dalam Ayb 42:1-6 dinyatakan dengan mencabut perkataannya dan
menyesal karena telah mempersalahkan
Allah dalam usaha mempertahankan kebenarannya sendiri. Sikap tobat Ayub tersebut mendapat
pembenaran dari pihak Allah. Keadaan Ayub kemudian dipulihkan. Allah
menganugerahkan harta kekayaan, keluarga besar dan umur yang panjang kepada
Ayub (Ayb 42:10-17).
2.
Refleksi
Sikap-sikap
Ayub yang paling menonjol dalam Ayb 42:1-6 adalah kerinduannya untuk berjumpa dengan Allah, pengakuannya
atas misteri penderitaan dan sikap pertobatan atas “kesombongannya”. Kerinduan Ayub akan perjumpaan dengan Allah berangkat
dari pengalaman deritanya yang tak terpahami. Salah satu
dimensi pedagogis penderitaan dalam dunia Perjanjian Lama menyatakan bahwa
penderitaan harus berfungsi untuk pertobatan, yaitu untuk membangun kembali
kebaikan dalam subyek (manusia). Maksud dari pertobatan ialah untuk mengalahkan
kejahatan, yang dalam berbagai bentuknya masih ada dalam diri manusia.[170]
Maka, penulis memberikan tiga
pokok gagasan refleksi mengenai penderitaan dalam kaitannya dengan perjumpaan Allah-manusia dan pertobatan,
sekaligus bercermin atas pengalaman Ayub.
2.1
Kerinduan akan Pengalaman Perjumpaan dengan Allah
Keinginan manusia untuk mengenal Allah
sebagai realitas tertinggi sudah muncul sejak dahulu. Sebelum manusia beragama[171],
ia sudah mengupayakan untuk mengenal dan berjumpa dengan Allah melalui
pengalaman-pengalaman religius. Pengalaman religius ini mengarahkan manusia ke
suatu transendensi, sesuatu yang melebihi manusia dan hidupnya.[172]
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia
mulai “mencipta” agama-agama sebagai sarana untuk mengenal dan berjumpa dengan
Sang Ilahi. Dari sinilah muncul berbagai agama dan kepercayaan, seperti
Hinduisme, Buddhisme, Dualisme dan agama-agama Abrahamistik. Hidup keagamaan
diyakini dapat membawa manusia kepada realitas yang tertinggi, yang dalam dunia
Kristen disebut Allah.[173]
Untuk sampai kepada Allah, manusia membutuhkan iman.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan
ilmu pengetahuan, banyak orang mulai “menjauhi” Allah. Pandangan bahwa Allah
sebagai pusat beralih kepada manusia, dari teosentris menjadi antroposentris.
Hidup keagamaan mulai ditinggalkan sejalan dengan munculnya paham-paham yang
bersifat ateistis dan humanistis. Bagi kaum ateis, ilmu pengetahuan dan
pemikiran rasional yang mereka miliki adalah bukti bahwa Allah itu tidak ada.
Ironisnya, orang yang mengaku beragama pun juga mulai meninggalkan Allah.
Inilah yang sering dikenal dengan ateisme praktis, yang mengaku menganut salah
satu agama tetapi tidak berperilaku sesuai dengan agamanya itu.[174]
Gejala dan fenomena ini semakin membuktikan
bahwa kerinduan manusia untuk berjumpa dengan Allah telah luntur dan hilang.
Berhadapan dengan fenomena ini, para filsuf dan teolog Kristen modern berusaha
merumuskan pemikiran yang rasional dan sistematis tentang relasi manusia dengan
Allah. Hal ini tidak dimaksudkan untuk “merasionalkan” dan memasukkan Allah
dalam kesempitan otak manusia, melainkan untuk memberi pendasaran rasional atas
Allah yang diimani manusia. Bagaimanapun juga, Allah tetap menjadi misteri.[175]
Ayub yang bergulat dengan penderitaan yang
tak terpahami memiliki kerinduan yang mendalam untuk berjumpa dengan Allah,
penciptanya. Ia memiliki iman bahwa Allah pasti akan memperhatikan hambanya
yang saleh. Kerinduannya akhirnya terjawab. Allah menampakkan diri secara
istimewa dan menunjukkan kepedulian-Nya terhadap Ayub. Allah yang tampil di
sini bukanlah Allah sebagai obyek pikiran, melainkan Allah yang hidup dan
bersatu dengan pengalaman hidup Ayub.[176]
Dengan demikian, Ayub telah menjadi figur bagi orang beriman yang memiliki
kerinduan untuk berjumpa dengan Allah.
2.2
Mengalami Allah dalam Penderitaan
Penderitaan adalah
pengalaman eksistensial manusia. Setiap manusia pasti pernah mengalami
peristiwa duka dan derita dalam hidupnya. Ayub dalam kapasitasnya sebagai orang
yang saleh dan jujur di mata Tuhan pun mengalami situasi itu. Pengalaman
penderitaan Ayub ini kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan: Dari manakah
penderitaan? Mengapa Allah mengizinkan manusia (yang saleh) menderita? Apakah
Allah sungguh dapat mengatasi penderitaan?[177]
Dalam tradisi Israel,
penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa. Hubungan antara penderitaan dan dosa
itu dirumuskan dalam hukum pembalasan yang telah dihidupi oleh bangsa Israel
sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Paham ortodoks ini berlangsung hingga
berabad-abad lamanya sampai munculnya ide tentang kebangkitan pada abad ke-2
sM.[178]
Selain diakibatkan oleh
dosa, penderitaan juga dipahami sebagai sarana Allah untuk mendidik umat-Nya.
Penderitaan dapat menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaan (Ams 3:11-12;
Ayb 33:19-22; 1 Kor 11:32). Melalui penderitaan, Allah juga hendak memurnikan
dan mendekatkan manusia kepada-Nya (Mzm
66:8-12; bdk. Yak 1:12). Dengan demikian, penderitaan dapat membantu perjalanan
manusia menuju Allah.[179]
Kedua pemecahan masalah
tentang penderitaan di atas tidak dapat menjawab secara tuntas persoalan yang
dialami oleh Ayub. Paham “pembalasan di bumi” tidak lagi memadai untuk menjawab
penderitaan orang saleh seperti Ayub. Maka Allah menampakkan diri dan mengajak
Ayub memberi perhatian bukan melulu pada persoalan penderitaan tetapi pada
kebijaksanaan-Nya di dunia. Melaui teofani inilah, akhirnya Ayub dapat mengakui
dan menerima penderitaan sebagai bagian dari misteri Allah yang tak terpahami.
Hal ini senada dengan refleksi Beato Yohanes Paulus II yang menyatakan,
Memang benar bahwa penderitaan
mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan,
tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu
kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. Penderitaan Ayub adalah
penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai
suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara penuh
berdasarkan akal budi.[180]
Konsep tentang penderitaan
yang tak terpahami dan hukum pembalasan di bumi dapat membuat orang jatuh ke
dalam ateisme[181].
Berhadapan dengan misteri penderitaan, kaum ateis merumuskan sebuah silogisme
kuno yang berbunyi demikian: Tuhan pada hakekatnya Mahabaik dan Mahakuasa. Jika
Tuhan dapat mencegah penderitaan, tetapi Dia tidak melakukan, maka Dia bukan
Mahabaik. Di pihak lain, jika Tuhan mau, tetapi tidak dapat mencegah
penderitaan, maka Dia bukan Mahakuasa. Dari kalimat itu, dapat disimpulkan
bahwa adanya penderitaan mengemukakan bukti: Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa
itu tidak ada.[182]
Melalui silogisme di atas, kaum ateis
nampaknya telah membuat jurang pemisah antara penderitaan dengan kebaikan dan
kemahakuasaan Allah. Padahal bagi orang Kristen, realitas penderitaan
menyatakan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan manusia. Melalui hasil refleksi
Kristen tentang penderitaan, ada tiga hal yang bisa diterima mengenai
penderitaan manusia. Pertama, beberapa bentuk penderitaan terjadi karena dosa
dan penyalahgunaan kebebasan manusia. Kelalaian manusia akan tanggung jawabnya
dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain atau orang banyak (misalnya:
banjir di Bohorok, Lumpur Lapindo di Sidoarjo, pencemaran air di Sungai
Ciliwung dan sebagainya). Kedua, penderitaan itu melampaui kemampuan dan
kemungkinan manusia. Penderitaan semacam ini mempertanyakan tanggung jawab dari
Allah agar Dia terlibat mengatasinya (misalnya: anak-anak cacat sejak lahir,
gempa bumi dan tsunami di Aceh dan di Jepang atau badai Tornado di AS akhir-akhir
ini). Ketiga, melalui penderitaan, manusia membutuhkan intervensi Allah dalam
dunia melalui inkarnasi dan salib Kristus.[183]
Menurut
perspektif iman kristiani, misteri penderitaan dalam Kitab Ayub terjawab secara
tuntas dalam pewahyuan kasih Allah di kayu salib. Kasih dan korban cinta ilahi di
salib merupakan sumber rahmat untuk menemukan makna penderitaan. Melalui
korban-Nya di salib, Kristus memberdayakan manusia dengan kekuatan ilahi-Nya
untuk memahami misteri ini. Kristus sendiri rela menapaki jalan penderitaan
karena keagungan dan keluhuran cinta kasih-Nya kepada manusia dan demi
keselamatan manusia. Akan tetapi, penderitaan Kristus di salib tidak
dimaksudkan untuk mengakhiri penderitaan manusia, tetapi mengajarkan manusia
untuk menghadapi setiap bentuk penderitaan dengan cinta dan korban serta
membangun semangat solidaritas demi kebahagiaan dan keselamatan sesama.[184]
Peristiwa salib merupakan
tanda Yesus memuliakan Allah, sehingga Dia juga dimuliakan oleh Allah. Salib
Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya sejak awal dunia bagi orang lain, orang sakit
dan orang-orang yang diasingkan. Tak ada cinta yang lebih besar selain cinta
seorang sahabat yang rela menyerahkan hidupnya bagi sesamanya (Yoh 15:13).
Penderitaan dapat disebut sebagai salib kalau penderitaan itu dialami karena
membela orang tertindas dan memperjuangkan kebaikan dan kebenaran.[185]
Hingga kini, problem
mengenai penderitaan tetap membayangi setiap manusia di seluruh muka bumi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia juga
telah berusaha untuk mengatasi penderitaannya. Sigmun Freud mencoba menelusuri
penderitaan melalui ilmu psikologinya. Baginya, penderitaan adalah tanda
kemarahan Tuhan, maka Allah itu adalah sadis. Selain itu Nietzsche mengatakan
bahwa penderitaan melalui peristiwa salib itu merupakan kebodohan.[186]
Pernyataan dari kedua
pemikir tersebut tetap tidak menjawab secara tuntas mengenai persoalan
penderitaan di zaman ini. Penderitaan bukanlah suatu akhir yang bisa
membuktikan bahwa Allah itu tidak Mahakuasa atau tidak Mahabaik. Allah itu
kebaikan yang absolut. Allah merangkul semua yang ada di dunia ini, termasuk
penderitaan. Maka, layaknya Ayub, manusia membutuhkan mata iman untuk mengerti
kebijaksanaan Allah khususnya pada misteri penderitaan ini. Manusia semestinya
dapat menyerahkan diri pada ketidakpahaman akan Tuhan. Pemahaman ini bukanlah
kontra pemikiran, namun suatu ekspresi dari pemikiran orang beriman. Kebodohan
Allah masih lebih kuat dari kebijaksanaan manusia (1 Kor 3:19).[187]
Dengan
demikian, bagi orang beriman, penderitaan dan kematian justru menjadi jalan
menuju dan masuk ke kehidupan baru. Keyakinan ini juga dapat mendorong
keberanian dan menumbuhkan ketabahan seseorang dalam menghadapi penderitaannya
dengan setia. Terhadap realitas penderitaan, Rasul Paulus berkata, “Aku yakin,
bahwa penderitaan di zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Dengan menderita,
manusia berarti mengalami keberadaan dan misteri Allah.[188]
2.3
Rekonsiliasi sebagai Jalan menuju Kedamaian
Sebagaimana dengan
penderitaan, dosa juga merupakan pengalaman mendasar dalam kehidupan manusia
karena menyangkut kodrat manusia. Setiap manusia pasti berdosa.[189]
Ayub yang diperkenalkan sebagai seorang yang saleh pun berdosa. Dosa Ayub
bukanlah dosa pembunuhan, perampokan, perzinahan atau penyembahan berhala. Dosa
Ayub lebih bersifat mendasar, yakni mempersalahkan dan menghakimi Allah. Selain
itu, Ayub juga telah kehilangan rasa berdosanya.[190]
Melalui teofani (Ayb 38-42), Allah menyadarkan Ayub
sebagai manusia yang sungguh terbatas. Teofani tersebut akhirnya mendapat
tanggapan yang positif. Kesadaran akan keterbatasan manusia akhirnya juga
dialami oleh Ayub dengan mencabut perkataannya dan melalui ungkapan
penyesalannya (Ayb 42:1-6). Ayub menyadari bahwa dirinya telah berdosa karena
melawan kedaulatan Allah.[191]
Dalam suatu kongres di
Amerika Serikat tahun 1946, Paus Pius mengatakan bahwa dosa yang paling besar
pada zaman itu ialah menghilangnya rasa berdosa. Orang tidak peduli lagi dengan
dosa maut atau dosa ringan. Konsep-konsep tentang hukuman dosa, api penyucian
dan neraka tidak lagi dipahami. Dengan demikian jalan untuk rekonsiliasi juga
semakin menipis.[192]
Beato Yahanes Paulus II dalam ajaran apostoliknya, Reconciliatio et Paenitentia menyatakan bahwa kehilangan rasa
berdosa adalah suatu bentuk atau buah dari penyangkalan akan Allah.
Penyangkalan ini bukan hanya berbentuk ateis, tetapi juga berbentuk sekularis.[193]
Dewasa ini, manusia juga
sudah semakin kehilangan rasa berdosanya. Fenomena ini juga merambah ke dunia
Kristen, khususnya orang-orang Katolik di Indonesia. Musyawarah Pastoral
(Muspas) Keuskupan Padang yang diselenggarakan tanggal 8-10 Mei 2009 yang lalu
di Paroki Katedral St. Theresia Padang mengadakan sebuah survey dengan pertanyaan:
Mengapa umat jarang mengaku dosa? Alasannya beragam. Dari sekian jawaban, 14,1
% responden menjawab bahwa mereka merasa tidak berdosa.[194]
Fenomena ini juga sangat mungkin terjadi di paroki lain, keuskupan lain atau
bahkan di seluruh dunia.
Berhadapan dengan
fenomena-fenomena tersebut, manusia harus memiliki kesadaran bahwa dirinya
adalah makhluk
terbatas yang memiliki kelemahan. Keterbatasan manusia itu jugalah yang dapat
membantu usaha penyadaran dirinya sebagai orang yang berdosa. Dosa telah
memutuskan hubungan yang intim antara manusia dengan Allah. Untuk menjalin
relasi itu kembali dibutuhkan sebuah ungkapan tobat atau rekonsiliasi dari
pihak manusia.
Ayub merupakan salah satu
figur manusia yang mampu menerima kehendak Allah dalam deritanya sekaligus pribadi yang mau bertobat atas
“kesombongannya”. Melalui pertobatannya, Ayub berdamai kembali dengan Allah.
Dengan pertobatannya itu juga, Ayub dapat berpaling dari gambaran Tuhan yang
palsu dan keliru kepada suatu pengetahuan yang lebih agung mengenai misteri
Allah yang terselubung dalam ciptaan-Nya.
[1] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu
Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 13; bdk. Wim
van der Weiden, Seni Hidup: Sastra
Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 103.
[2] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 13-14.
[3] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 15.
[4] Istilah “monoteisme” secara etimologis berasal
dari kata Yunani monos (satu,
tunggal) dan theos (Tuhan). Artinya:
suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah dan
pencipta seluruh alam semesta. Istilah “monoteisme” biasanya dikonfrontasikan
dengan “politeisme”, yakni paham ketuhanan yang mengajarkan ada banyak (polys) dewa atau tuhan. Pada umumnya
sebutan -
“monoteisme” paling tepat dipakai untuk mengarakterisasikan paham Tuhan
dalam agama-agama Semistik, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam. [Lihat J.
Sudarminta – S.P. Lili Tjahjadi (ed.), Dunia,
Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 70.]
[5] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 214.
[6] Hendrik Njiolah, Mengenal Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2001), hlm. 20-21; bdk. Johanes Robini M. - H.J.
Suhendra, Penderitaan …, hlm. 43-44.
[7] Hukum pembalasan di bumi adalah ajaran
tradisional Yahudi yang menyatakan bahwa Allah akan memberkati orang yang setia
terhadap Allah dan menghukum orang yang tidak setia. Biasanya, berkat dan
hukuman Allah nyata dalam situasi hidup manusia di dunia ini. Orang yang setia
dan saleh akan dikaruniai kesehatan, umur panjang, harta yang melimpah atau
keturunan yang banyak. Sedangkan orang yang berdosa dan tidak setia akan
dihukum dengan penderitaan fisik, penyakit, tanpa keturunan atau kematian di
usia muda. [Lihat Oscar Lukefahr, Memahami
dan Menafsir Kitab Suci secara Katolik (judul asli: A Catholic Guide to the Bible), diterjemahkan oleh V. Prabowo
Shakti (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 120; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210.]
[8] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 102.
[9] St. Darmawijaya, Jiwa dan Semangat Perjanjian Lama: Pesan Para Bijak Bestari, jilid
3 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 66-67;
bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan
…, hlm. 20.
[10] Martin Harun, Marilah,
Makanlah Hidanganku: Hikmat Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkotbah (Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2010), hlm. 95-96.
[11] Agus Santoso,
“Problem dalam Penerjemahan Ayub 42:6”, dalam Forum Biblika, XXVI (2012), hlm. 36.
[12] Agus Santoso, “Problem …”, hlm. 36; bdk. Wim van
der Weiden, Seni …, hlm. 102.
[13] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 102-103.
[14] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171.
[15] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 95-96.
[16] John E.
Hartley, The New International Commentary
on the Old Testament: The Book of Job (Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1988), hlm. 487-537; bdk. Norman C. Habel, The Book of Job (London: SCM Press LTD.,
1985), hlm. 575-586; bdk. juga Norman C. Habel, “The Verdict on/of God at the End of Job”, dalam Concilium, IV (2004), hlm. 27.
[17] Ellen J. van Wolde, “Job 42:1-6: The Reversal of
Job”, dalam Book of Job (Leuven:
Leuven University Press, 1994), hlm 231, dikutip dari Danile Timmer, “God’s
Speeches, Job’s Responses, and the Problem of Coherence in the Book of Job”,
dalam The Catholic Biblical Quarterly,
2/71 (April 2009), hlm. 296; bdk. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab: Ayub s/d Maleakhi (judul asli: Explore the Book), diterjemahkan oleh
Sastro Soedirdjo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 59.
[18] Nama “Ayub” (Ibr. Iyyov), yang ditafsirkan sebagai “Di manakah Bapa(ku)?”, terdapat
dalam surat-surat Amarna (sekitar 1350 sM) dan dalam Naskah-naskah Kutukan dari
Mesir (sekitar 2000 sM). Dalam kedua tulisan ini, nama tersebut adalah nama
pemimpin suku di Palestina dan sekitarnya. Selain itu, nama “Ayub” dapat juga
dihubungkan dengan akar kata ʼ-y-b (menjadi
musuh), yang ditafsirkan sebagai bentuk aktif (= lawan Allah) atau bentuk pasif
(= orang yang diperlakukan sebagai musuh oleh Allah). Pendapat lain
mengemukakan bahwa nama “Ayub” dihubungkan dengan kata ʼ-w-b dalam bahasa Arab, dengan arti “orang yang bertobat”. [Lihat W.S.
LaSor et al., Pengantar Perjanjian Lama,
jilid 2 (judul asli: Old Testament Survey),
diterjemahkan oleh Lisda T. Gamadhi dan Lily W. Tjiputra (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994), hlm.110.]
[19] Keunggulan Kitab Ayub dilihat dari topik sentral
tentang orang saleh yang menderita dengan sederetan segi seperti sikap si
penderita, hubungan derita-tanpa-alasan dan keadilan Allah, dosa dan
hukumannya, bicara benar tentang Allah, maupun bahasa puisi yang memiliki
kualitas dan mutu tinggi. [Lihat Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 101.]
[20] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 101.
[21] Talmud berasal dari bahasa Ibrani yang berarti
“pengajaran” berupa kumpulan karya sastra post-biblis
yahudiah sebagai keterangan atau komentar atas Taurat. Nama “talmud” diberikan
pada dua kumpulan penjelasan Yahudi atas Misnah (kumpulan penjelasan Palestina)
dan kumpulan penjelasan Babel. Talmud Palestina diselesaikan pada tahun 450
Masehi. Sementara itu, Talmud Babel diselesaikan satu abad kemudian dari Talmud
Palestina. [Lihat W.R.F. Browning, Kamus
Alkitab (judul asli: A Dictionary of
the Bible), diterjemahkan oleh Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 434.]
[22] R. Laird Harris, “The Book of Job and Its
Doctrine of God”, dalam Grace Theological
Journal, 133 (1972), hlm. 3-4.
[23] Daerah Us terletak di wilayah selatan Yordan.
Namun, apakah lebih dekat dengan wilayah Utara Aram atau ke Selatan wilayah
Edom, tidaklah jelas. Bagaimanapun juga, Ayub diperkenalkan sebagai seorang
non-Israel. [Lihat Michael D. Guinan, “Ayub”, dalam Dianne Bergant –
Robert J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab
Perjanjian Lama (judul asli: Collegeville
Bible Commentary), diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata – Lembaga Biblika
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 404.]
[24] Johanes Robini
M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …,
hlm. 29; bdk. St. Darmawijaya, Seluk
Beluk Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 251.
[25] W.S. LaSor et
al., Pengantar …, hlm. 110; bdk. John
E. Hartley, The New …, hlm. 15; bdk.
juga Larry J. Waters, “Reflections on Suffering from the Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 154 (Oktober-Desember
1997), hlm. 436.
[26] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 105.
[27] John E. Hartley, The New …, hlm. 15.
[28] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 110-111; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 29.
[29] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 108-109; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 106.
[30] Tokoh Daniel yang disebut dalam Kitab Yehezkiel
tersebut tidak merujuk pada tokoh Daniel dalam Kitab Daniel, melainkan merujuk
pada Daniel yang disebutkan dalam teks Ugarit (sebuah Legenda dari Aqht), yakni
seorang pahlawan kuno (raja) yang
melakukan keadilan bagi kaum janda dan yatim. [Lihat R. Laird Harris, “The Book
…”, hlm. 4.]
[31] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 108-109; bdk. R. Laird Harris, “The Book …”, hlm.
4.
[32] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 109; bdk. R. Laird Harris, “The Book …”, hlm. 5.
[33] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 29.
[34] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 59; bdk. Gregory W. Parsons, “The Structure and Purpose of the Book
of Job”, dalam Bibliotheca Sacra, 138
(April-Juni 1981), hlm. 139.
[35] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 107-109; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 36-37; bdk. juga St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 68-71.
[36] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 107.
[37] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 113-117; bdk. John E. Hartley, The New …, hlm. 36-37; bdk. juga St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 68-71.
[38] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 114; bdk. W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 121-125.
[39] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 124-125.
[40] John E. Hartley, The New …, hlm. 6-7.
[41] John E. Hartley, The New …, hlm. 7; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 104.
[42] John E. Hartley, The New …, hlm. 8.
[43] B. Lynne Newell, “Job: Repentant or Rebellious?”,
dalam Westminster Theological Journal,
46 (1984), hlm. 300-301; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 104; bdk. juga W.S. LaSor et al., Pengantar …, 110; bdk. juga
John E. Hartley, The New …, hlm. 7-9.
[44] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 110.
[45] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 27; bdk. Wim van der Weiden, Seni
…, hlm. 101.
[46] Gregory W. Parsons, “Literary Features of the
Book of Job”, dalam Bibliotheca Sacra,
138 (Juli-November 1981), hlm. 213; bdk. Michael D. Guinan, “Ayub”, hlm. 404.
[47] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 213-214.
[48] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 126.
[49] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 213.
[50] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 125.
[51] Gregory W. Parsons, “Literary …”, hlm. 214.
[52] Gregory W. Parsons, “Guidelines for Understanding
and Proclaiming the Book of Job”, dalam Bibliotheca
Sacra, 151 (Oktober-Desember 1994), hlm. 399.
[54] Syeôl
adalah suatu tempat tinggal semua orang mati yang terletak di bawah bumi (dalam
kerangka kosmos Yahudi: cakrawala-bumi-dunia bawah). Dunia orang mati adalah
dunia kegelapan (bdk. Kej 37:35; Bil 16:31-34; Ul 32:22; Ayb 3:13-19; 26:5-6).
Orang-orang yang mati tidak dapat lagi memuji Allah (bdk. Mzm 6:5-6; Yes 38:13).
Oleh karena itu, pemulihan kesehatan dan kebugaran menjadi alasan untuk
bersyukur kepada Tuhan (Mzm 30:3). [Lihat Stefanus Pranjana, Setan menurut Orang Katolik (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 73; bdk. W.R.F. Browning, Kamus …, hlm. 429.]
[55] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 73; bdk. juga C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
hlm. 172-175.
[56] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 210; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 73.
[57] Dalam pembahasan selanjutnya, istilah ‘hukum
pembalasan di bumi’ juga akan disebut dengan: doktrin ortodoks, ide/konsep
tradisional dan (hukum) retribusi.
[58] David Clines, Job
1-20 (Dallas: Word, 1989), hlm. xxxix.
[59] N.T. Wright, The
Resurrection of the Son of God (Minneapolis: Fortress Press, 2003), hlm.
86, dikutip dari V. Indra Sanjaya, “Hidup Sesudah Mati dalam Tradisi Yahudi”,
dalam Wacana Biblika, 7/4
(Oktober-Desember 2007), hlm. 156.
[60] V. Indra Sanjaya, “Hidup Sesudah Mati dalam
Tradisi Yahudi”, dalam Wacana Biblika,
7/4 (Oktober-Desember 2007), hlm. 156.
[62] V. Indra Sanjaya, “Hidup …”, hlm. 156.
[63] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 204-205.
[64] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 205-206; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 72.
[65] Bentuk jamak dari teks asli lebih tampak dalam
kata “bani” daripada dalam kata “orang”, seperti yang dipakai oleh LAI. [Lihat
Wim van der Weiden, Seni …, hlm.
206.]
[66] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 206-207; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 72.
[67] Menurut para nabi (sebelum Yehezkiel), pembuangan
ke Babel harus dipandang sebagai hukuman atas ketidaksetiaan bangsa sepanjang
sejarahnya. Maka muncul banyak reaksi: mengapa kita dihukum, padahal leluhur
yang berdosa? Ajaran Yehezkiel, terutama dalam bab 18, membuka mata bagi
angkatan yang telah dibuang ke Babel bahwa mereka juga berdosa. Di samping itu,
Yehezkiel menghubungkan pengharapan akan masa depan dengan suatu pertobatan
individual daripada suatu pertobatan kolektif dari seluruh bangsa. [Lihat Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 207.]
[68] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 57; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa
…, hlm. 73.
[69] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 207.
[70] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 57-58.
[71] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 58.
[72] Larry J. Waters, “Reflections …”, hlm. 442-443.
[73] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 36-37.
[74] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 39-40.
[75] Larry J. Waters, “Elihu’s Theology and His View
of Suffering”, dalam Bibliotheca Sacra,
156 (April-Juni 1999), hlm. 151.
[76] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 58.
[77] Teofani berasal dari kata Yunani theophany (penampakan Allah). Teofani
merupakan penyataan diri Allah yang dapat dilihat. Dengan mempertahankan
keyakinan bahwa tidak ada orang yang dapat melihat Allah dan tetap hidup (Kel
19:21; 33:20; Hak 13:22), Perjanjian Lama menceritakan Allah yang menampakkan
diri kepada Musa dan tokoh-tokoh lain (Kel 3:1-6; 33:17-23; 34:5-9; Yes 6:1-5).
[Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A
Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 313; bdk. W.R.F. Browning, Kamus …, hlm. 441.]
[78] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171.
[79] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 90; bdk. John E. Hartley, The
New …, hlm. 487.
[80] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 71.
[81] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 171; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[82] John E. Hartley, The New …, hlm. 488; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 174.
[83] Westermann, Structure
of the Book of Job (Philadelphia: [tanpa penerbit], 1981), hlm. 106,
dikutip dari John E. Hartley, The New …,
hlm. 489.
[84] Orakel merupakan pesan ilahi. Dalam sejarah
Yunani klasik, orakel dijadikan sarana untuk menerima nasihat-nasihat dari sang
ilahi melalui imam-imamnya. Dalam Perjanjian Lama, dikenal orakel melalui batu
undi (Urim dan Tumim). Orakel yang disampaikan oleh para nabi Perjanjian Lama pada
abad ke-8 sampai abad ke-6 sM diabadikan dalam bentuk tulisan dan mendapatkan
bentuk-bentuk nyata seperti perumpamaan dan nyanyian-nyanyian. [Lihat W.R.F.
Browning, Kamus …, hlm. 358.]
[85] John E. Hartley, The New …, hlm. 489.
[86] Larry J. Waters, “Reflections …”, hlm. 446; bdk.
Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 177.
[87] Danile Timmer, “God’s Speeches, Job’s Responses,
and the Problem of Coherence in the Book of Job”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, 2/71 (April 2009), hlm. 292.
[88] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 91.
[89] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[90] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 178.
[91] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 73.
[92] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 93-94.
[93] Behemôt
dilukiskan sebagai jenis hewan yang liar. Dalam Kitab Suci edisi LAI, behemôt disebut dengan Kuda Nil.
Sedangkan lewiatan diartikan sebagai
hewan sejenis buaya. Nama behemôt dan
lewiatan dikenal dari mitologi Kanaan
sebagai nama dari kekuasaan chaos yang
melawan segala usaha dari Sang Pencipta sampai mereka dikalahkan oleh-Nya.
Dalam tradisi di dunia Timur Tengah Antik, kedua binatang tersebut dianggap
sebagai simbol mitis dan kosmis. [Lihat Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 83-83; bdk. Wim van
der Weiden, Seni …, hlm. 184.]
[94] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184; bdk. Martin Harun, Marilah …, hlm. 94.
[95] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184.
[96] Danile Timmer, “God’s Speeches …”, hlm. 297.
[97] John E. Hartley, The New …, hlm. 518.
[98] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27.
[99] Kitab Suci edisi Lembaga Alkitab Indonesia Terjemahan
Baru merupakan Kitab Suci yang berisi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Kitab Suci ini diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan
Kitab-kitab Deuterokanonika, yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika
Indonesia. Penulisan selanjutnya hanya disebut dengan LAI TB.
[100] John E. Hartley, The New …, hlm. 487-537.
[101] Danile Timmer, “God’s Speeches …”, hlm. 298.
[102] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 575-586.
[103] John E. Hartley, The New …, hlm. 488.
[104] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27.
[105] J.G. Janzen, Job:
Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Atlanta:
John Knox Press, 1985), hlm. 251-259.
[106] John E. Hartley, The New …, hlm. 534-537.
[107] Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 27; bdk.
Norman C. Habel, The Book …, hlm. 577-578.
[108] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 578.
[109] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 578-579.
[110] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 579.
[111] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 581.
[112] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 581.
[113] Leo G. Perdue, Wisdom in Revolt: Metaphorical
Theology in the Book of Job (New
York: The Almond Press, 1991), hlm. 234-235; bdk. James L. Crenshaw, “Job”,
dalam Barton – Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (New York:
Oxford University Press, 2001), hlm. 488.
[114] John E. Hartley, The New …, hlm. 535.
[115] Kata benda mezimmâ
sering digunakan untuk menyiratkan “rencana” yang jahat dan licik atau
sejenis tipu muslihat (bdk. 21:27; Yer 11:15; Ams 12:2). Menurut Yeremia,
“rencana/rancangan” Yahweh sering ditafsirkan sebagai ekspresi kemarahan Yahweh
yang dianggap jahat oleh manusia, tetapi dalam perjalanan waktu, yang terungkap
justru sebaliknya. Mungkin penulis Kitab Ayub menggunakan ungkapan ini untuk
mengingatkan para pembaca atas rencana awal yang dibuat oleh Yahweh dan setan
untuk menguji integritas Ayub. Ayub sendirilah yang nampaknya curiga atas
rencana tersebut. Namun rencana Yahweh tetap tidak dapat dimengerti dan
diduga-duga, bahkan oleh Ayub sendiri. [Lihat Norman C. Habel, The Book …, hlm.
581; bdk. Norman C. Habel, “The Verdict …”, hlm. 29.]
[116] John E. Hartley, The New …, hlm. 535; bdk. S.R. Driver - G.B. Gray, A Critical and Exegetical Commentary on the
Book of Job (Edinburgh: T. & T. Clark, 1921), hlm. 371.
[118] Leo G. Perdue, Wisdom …, hlm. 235.
[120] Dariusz Iwanski, The Dynamics of Job’s Intercession, vol. 161 (Roma: Editrice
Pontificio Istituto Biblico, 2006), hlm. 272.
[121] R.A.F.
MacKenzie – Roland E. Murphy, “Job”, dalam Raymond E. Brown, et al. (ed.), The New Jerome Biblical Commentary (London:
Geoffrey Chapman, 1997), hlm. 353.
[122] Edward Ho, “In the
Eyes of the Beholder: Unmarked Attributed Quotations in Job”, dalam Journal Bible Literature, 4/128 (2009), hlm. 712; bdk. Leo G. Perdue, Wisdom …, hlm. 236.
[123] Dariusz Iwanski, The Dynamics …, hlm. 272.
[125] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[126] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[127] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[128] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[130] John E. Hartley, The New …, hlm. 536-537; bdk. J.G. Janzen, Job …, hlm. 253.
[131] John E. Hartley, The New …, hlm. 536-537; bdk. Norman C. Habel, The Book …, hlm. 582; bdk. juga J.G.
Janzen, Job …, hlm. 253.
[135] John E. Hartley, The New …, hlm. 536.
[138] Agus Santoso, “Problem …”, hlm. 45-46.
[139] Norman C. Habel, The Book …, hlm. 583; bdk. J.G. Janzen, Job …, hlm. 255; bdk. juga Agus Santoso,
“Problem …”, hlm. 46.
[141] John E. Hartley, The New …, hlm. 537.
[142] Y.M. Seto Marsunu, Allah Leluhur Kami: Tema-tema Teologis Taurat (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 29; bdk. Surip Stanislaus, Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat dan Penderitaan Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 52-53; bdk. juga Fio Mascarenhas, “A
Spirituality to Cope with Suffering”, dalam Vidyajyoti,
10/69 (Oktober 2005), hlm. 733.
[143] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 55.
[144] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 69-70.
[145] George V. Lobo, “Job and the Meaning of Unjust
Suffering”, dalam Vidyajyoti, 2/56
(Februari 1990), hlm. 98.
[146] St. Darmawijaya, Seluk …, hlm. 254.
[147] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 69-70; bdk. St. Darmawijaya, Seluk …, hlm. 255-256; bdk. juga George V. Lobo, “Job and the
Meaning …”, hlm. 100.
[148] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 139; bdk Surip Stanislaus, “Menderita untuk
Mati?”, dalam Rohani, 03/50 (Maret 2003), hlm. 29.
[149] W.S. LaSor et al., Pengantar …, hlm. 140.
[150] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 85.
[151] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 85-86.
[152] George V. Lobo, “Job and the Meaning …”, hlm.
100; bdk. St. Darmawijaya, Jiwa …,
hlm. 86-87.
[153] Christopher Barth et al., Teologi Perjanjian Lama, jilid II (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 193.
[154] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 177-178; bdk. Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 96.
[155] A.H. Konkel-Tremper Longman III, Cornerstone Biblical Commentary: Job,
Ecclesiastes, and Song of Songs, vol. 6 (Carol, IL: Tyndale House
Publishers, 2006), hlm. 239.
[156] St. Darmawijaya, Jiwa …, hlm. 87.
[157] George Savran, “Seeing is Believing: On the
Relative Priority of Visual and Verbal Perception of the Divine”, dalam Biblical Interpretation, 17 (2009), hlm. 320.
[158] George Savran, “Seeing …”, hlm. 329-332.
[159] George Savran, “Seeing …”, hlm. 332-335.
[161] George Savran, “Seeing …”, hlm. 360.
[162] George Savran, “Seeing …”, hlm. 359.
[163] George Savran, “Seeing …”, hlm. 359.
[164] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 43-44, 99.
[165] Christopher Barth et al., Teologi …, hlm. 191-192.
[166] B. Lynne Newell, “Job …”, hlm. 315; bdk. Wim van
der Weiden, Seni …, hlm. 188.
[167] Pertobatan pikiran atau intelektual adalah
perubahan dari keyakinan atau mitos yang keliru tentang kenyataan, objektivitas
dan pengetahuan manusia. Tolok ukur objektivitas adalah sesuatu yang diterima
manusia melalui pengalaman yang diperhitungkan dengan pengertian dan
pengetahuan. Pertobatan ini terjadi dalam proses yang berkesinambungan yang
menjungkirbalikkan dari “apa yang tampaknya begitu” (seolah) kepada “kenyataan
yang sebenarnya”. Pertobatan ini berusaha mencari kenyataan yang benar atau
yang sesungguhnya. Pertobatan ini pada hakekatnya adalah perubahan intelektual.
Perubahan tersebut membuka dunia baru dalam pengetahuan dan intuisi, bukan
hanya kenyataan lahiriah dan duniawi, tapi kenyataan batiniah dan rohani.
Pertobatan ini menambah kearifan dan kebijaksanaan hidup. [Lihat Largus Nadeak,
Moral Fundamental II: Dengan Hati Nurani
Kembali ke Keutamaan (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2007), hlm 52. (Diktat).
[168] Philippe Guillaume, “Dismantling the
Deconstruction of Job”, dalam Journal
Bible Literature, 3/127 (2008), hlm. 494; bdk. Johanes Robini M. - H.J.
Suhendra, Penderitaan …, hlm. 102.
[169] B. Lynne Newell, “Job …”, hlm. 315; bdk. Johanes
Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …,
hlm. 106.
[170] Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Salvifici Doloris (Penderitaan yang
Menyelamatkan) (Seri Dokumentasi Gerejawi no. 29), diterjemahkan oleh J.
Hadiwikarta (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), no. 12. Penulisan
selanjutnya hanya disebut SD dan diikuti dengan nomor.
[171] Agama dalam arti ini merupakan dimensi yang
meresapi semua bidang kehidupan. Di pelbagai daerah di Afrika, di antara kaum
Indian di Amerika dan suku-suku asli Asia menghayati hidup keagamaan melalui
kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos yang diceritakan, ritus-ritus, doa-doa dan
pelbagai kebiasaan lain. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 27.]
[172] Theo Huijbers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 68.
[173] Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 29-38.
[174] Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 45-46.
[175] Theo Huijbers, Manusia …, hlm. 248.
[176] Theo Huijbers, Manusia …, hlm. 249-250.
[177] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 119; bdk. SD, no. 9.
[178] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 56.
[179] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 64-65.
[180] SD, no. 11.
[181] Ateisme adalah pandangan yang menyangkal adanya
Tuhan. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kaum ateis adalah orang-orang yang
benar-benar menyangkal Allah, menolak gagasan-gagasan (yang mereka anggap keliru)
tentang Allah, lebih mementingkan manusia daripada Allah, atau memprotes
adanya yang jahat di dunia ciptaan Allah yang Mahabaik. [Lihat Adolf
Heuken, Ensiklopedi Gereja, jilid I
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 157.
[182] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 51; bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar …, hlm. 222.
[183] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 72.
[184] SD, no. 13, 14.
[185] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 76.
[186] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.
[187] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.
[188] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 71-73.
[189] Katekismus
Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995),
no. 1872.
[190] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 96.
[191] Martin Harun, Marilah
…, hlm. 95-96.
[192] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 25.
[193] Yohanes Paulus II, Exhortation Apostolic Reconciliation and Penance (Reconciliatio et Paenitentia) (Boston:
Pauline Books & Media, 1984), no. 18.
[194] Alex I. Suwandi, “Pendidikan dan Pastoral Tobat”
dalam Liturgi, 4/20 (Juli-Agustus
2009), hlm. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar