Minggu, 06 April 2014

PARADOKS CINTA



PARADOKS CINTA SEBAGAI PANGGILAN

1.      Pengantar
Manusia adalah ciptaan dan sekaligus pencipta. Manusia lahir dalam lingkungan dan situasi tertentu. Dalam dirinya, manusia memiliki keotonomian diri. Di sisi lain manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup di tengah-tengah sosial kemasyarakatan. Kini, yang menjadi persoalan adalah, apakah melalui relasiku dengan makhluk atau manusia lain dapat mengurangi keotonomian diri manusia tersebut?
Seorang filsuf Yahudi, Martin Buber membedakan tiga jenis relasi antara manusia, yaitu relasi “aku-itu”, relasi “aku-dia” dan relasi “aku-engkau”.

2.      Paradoks Cinta sebagai Panggilan

Aku-Itu
Dalam relasi “aku-itu”, sesama diperlakukan sebagai objek. Sesama dibutuhkan sejauh mereka menguntungkan bagiku. Aku tidak membutuhkan sesama jika memang tidak menguntungkan. Pada dasarnya bahwa relasi ini terjadi hanya karena diriku bisa memanfaatkan orang lain. relasi ini tidak memberikan kesempatan bagi sesama untuk mengakui keotonomian diri mereka.
Menurut Sartre, relasi ini “aku-itu” terjadi karena kebencian. Sesama hanya dipandang sebagai ancaman yang dapat melemahkan keotonomian diriku. Oleh karena itu, aku benci dengan orang lain dan meniadakan sesamaku sebagai subjek. Dalam relasiku dengan Allah, Sartre juga berpendapat bahwa Allah harus ditiadakan, karena keberadaan Allah membuat diriku tidak bebas, tidak otonom. Dengan demikian nyatalah bahwa hidup sosial manusia menurut sartre tetap merupakan suatu kegagalan dan tidak masuk akal.

Aku-Dia
            Dalam relasi “aku-dia”, sesamaku bukan menjadi objek semata melainkan sebagai subjek. Namun relasi ini masih terlalu menekankan keotonomian diriku sehingga sikapku terhadap sesama adalah acuh tak acuh. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi percekcokan dalam pergaulanku dengan sesama. Demikianlah relasi yang terjadi di dunia modern masa kini. Manusia sudah disibukkan dengan dirinya sendiri. Tentu bahwa relasi “aku-dia” kurang menunjukkan sikap dasar yang sesuai dengan panggilan hidup manusia. Hal ini disebabkan oleh individualitas yang terlalu diagung-agungkan, sehingga hidup manusia tidak terarah kepada diri orang lain.

Aku-Engkau
            Relasi “aku-engkau” ini dianggap sebagai relasi yang baik dan sempurna daripada kedua relasi di atas, karena manusia sudah terarah kepada suatu kesatuan di mana keunikan tidak terhapus, melainkan diakui dan diteguhkan. Di sini, sesama bukanlah suatu benda, sesama juga bukan objek yang harus dibenci. Sikap acuh tak acuh juga tidak berlaku di dalam relasi ini.
Relasi “aku-engkau” menuju ke arah cinta yang sejati. Di dalam cinta, aku dapat menghayati suatu iklim pergaulan yang di dalamnya semua orang dapat menjadi diri, di mana mereka tetap memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing. Pengaruh pribadi yang satu atas pribadi yang lain dalam relasi cinta bersifat bebas, aktif, dan kreatif. Dalam kesatuan cinta, perbadaan dan keunikan bukan menjadi rintangan, melainkan dihayati sebagai suatu yang memperkaya. Dalam relasi ini, otonomi dan kebebasan sesama diakui kreativitasnya dirangsang.
            I love you because you are you. Demikianlah relasi yang sangat ideal terhadap sesama. Aku berelasi dengan sesama bukan karena aku mengharapkan sesuatu dari mereka, namun karena sesama sebagai pribadi yang khas dan unik. Semakin sempurna cinta, maka sesama semakin diakui dan dihargai dalam keunikannya.

3.      Penutup – Refleksi
Manusia adalah makhluk sosial. Namun terkadang manusia lupa dengan identitasnya sebagai makhluk yang bermasyarakat. Sesama terkadang justru dianggap sebagai benda atau objek yang hanya dimanfaatkan oleh sebagian besar orang. Manusia mulai mengeruk keuntungan dari sesama tanpa memikirkan nasib mereka. Maka yang terjadi dewasa ini adalah kemiskinan yang merajalela. Di sisi lain, manusia mulai acuh tak acuh dengan sesamanya. Kepekaan sosial sudah luntur, bahkan semakin menghilang. Hal ini yang sering terjadi di kalangan atau di dunia politik dan bisnis.
Melalui relasi “aku-engkau”, hubungan manusia yang renggang itu dipulihkan. Cinta adalah simbol utama yang dipakai untuk menjalai relasi antara diriku dengan sesama. Melalui cinta, aku semakin menghargai keberadaan orang lain sebagai pribadi yang sama-sama memiliki keotonomian diri. Relasi itu sungguh-sungguh tercipta karena aku menyadari bahwa sesama bukanlah objek yang bisa dimanipulasi.
Dalam permenungan kristiani yang lebih dalam, relasi “aku-engkau” berkembang menjadi relasi “aku-ENGKAU”. Artinya bahwa  ENGKAU ini bukan hanya terarah kepada sesama melainkan terarah kepada Allah. Dengan demikian relasi cinta itu terjalin antara manusia dengan Allah. Hal ini berarti Allah bukan dijadikan sebagai objek melainkan sebagai Pribadi yang penuh cinta. Allah juga tidak dijadikan sebagai tempat untuk mencari keuntungan diri. Justru relasi “aku-ENGKAU” terjalin karena Allah mengasihi manusia sebagai pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar