PARADOKS CINTA SEBAGAI PANGGILAN
1. Pengantar
Manusia adalah ciptaan dan sekaligus pencipta. Manusia lahir dalam
lingkungan dan situasi tertentu. Dalam dirinya, manusia memiliki keotonomian
diri. Di sisi lain manusia
adalah makhluk sosial. Ia hidup di tengah-tengah sosial kemasyarakatan.
Kini, yang menjadi
persoalan adalah, apakah melalui relasiku dengan makhluk atau manusia lain
dapat mengurangi keotonomian diri manusia tersebut?
Seorang filsuf Yahudi, Martin Buber membedakan tiga jenis relasi antara
manusia, yaitu relasi “aku-itu”, relasi “aku-dia” dan relasi “aku-engkau”.
2. Paradoks Cinta sebagai Panggilan
Aku-Itu
Dalam relasi “aku-itu”, sesama
diperlakukan sebagai objek. Sesama dibutuhkan sejauh mereka menguntungkan
bagiku. Aku tidak membutuhkan sesama jika memang tidak menguntungkan. Pada
dasarnya bahwa relasi ini terjadi hanya karena diriku bisa memanfaatkan orang
lain. relasi ini tidak memberikan kesempatan bagi sesama untuk mengakui
keotonomian diri mereka.
Menurut Sartre, relasi ini “aku-itu” terjadi karena kebencian. Sesama
hanya dipandang sebagai ancaman yang dapat melemahkan keotonomian diriku. Oleh
karena itu, aku benci dengan orang lain dan meniadakan sesamaku sebagai subjek.
Dalam relasiku dengan Allah, Sartre juga berpendapat bahwa Allah harus
ditiadakan, karena keberadaan Allah membuat diriku tidak bebas, tidak otonom.
Dengan demikian nyatalah bahwa hidup sosial manusia menurut sartre tetap
merupakan suatu kegagalan dan tidak masuk akal.
Aku-Dia
Dalam relasi “aku-dia”, sesamaku
bukan menjadi objek semata melainkan sebagai subjek. Namun relasi ini masih
terlalu menekankan keotonomian diriku sehingga sikapku terhadap sesama adalah
acuh tak acuh. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi percekcokan dalam
pergaulanku dengan sesama. Demikianlah relasi yang terjadi di dunia modern masa
kini. Manusia sudah disibukkan dengan dirinya sendiri. Tentu bahwa relasi
“aku-dia” kurang menunjukkan sikap dasar yang sesuai dengan panggilan hidup
manusia. Hal ini disebabkan oleh individualitas yang terlalu diagung-agungkan,
sehingga hidup manusia tidak terarah kepada diri orang lain.
Aku-Engkau
Relasi “aku-engkau” ini dianggap
sebagai relasi yang baik dan sempurna daripada kedua relasi di atas, karena
manusia sudah terarah kepada suatu kesatuan di mana keunikan tidak terhapus,
melainkan diakui dan diteguhkan. Di sini, sesama bukanlah suatu benda, sesama
juga bukan objek yang harus dibenci. Sikap acuh tak acuh juga tidak berlaku di
dalam relasi ini.
Relasi “aku-engkau” menuju ke arah cinta yang sejati. Di dalam cinta, aku
dapat menghayati suatu iklim pergaulan yang di dalamnya semua orang dapat
menjadi diri, di mana mereka tetap memiliki kekhasan dan keunikannya
masing-masing. Pengaruh pribadi yang satu atas pribadi yang lain dalam relasi
cinta bersifat bebas, aktif, dan kreatif. Dalam kesatuan cinta, perbadaan dan
keunikan bukan menjadi rintangan, melainkan dihayati sebagai suatu yang memperkaya.
Dalam relasi ini, otonomi dan kebebasan sesama diakui kreativitasnya
dirangsang.
I love you because you are you. Demikianlah relasi yang sangat ideal terhadap sesama. Aku
berelasi dengan sesama bukan karena aku mengharapkan sesuatu dari mereka, namun
karena sesama sebagai pribadi yang khas dan unik. Semakin sempurna cinta, maka
sesama semakin diakui dan dihargai dalam keunikannya.
3. Penutup – Refleksi
Manusia adalah makhluk sosial. Namun terkadang manusia lupa dengan
identitasnya sebagai makhluk yang bermasyarakat. Sesama terkadang justru
dianggap sebagai benda atau objek yang hanya dimanfaatkan oleh sebagian besar
orang. Manusia mulai mengeruk keuntungan dari sesama tanpa memikirkan nasib
mereka. Maka yang terjadi dewasa ini adalah kemiskinan yang merajalela. Di sisi
lain, manusia mulai acuh tak acuh dengan sesamanya. Kepekaan sosial sudah
luntur, bahkan semakin menghilang. Hal ini yang sering terjadi di kalangan atau
di dunia politik dan bisnis.
Melalui relasi “aku-engkau”, hubungan manusia yang renggang itu
dipulihkan. Cinta adalah simbol utama yang dipakai untuk menjalai relasi antara
diriku dengan sesama. Melalui cinta, aku semakin menghargai keberadaan orang
lain sebagai pribadi yang sama-sama memiliki keotonomian diri. Relasi itu
sungguh-sungguh tercipta karena aku menyadari bahwa sesama bukanlah objek yang
bisa dimanipulasi.
Dalam permenungan kristiani yang lebih dalam, relasi “aku-engkau”
berkembang menjadi relasi “aku-ENGKAU”. Artinya bahwa ENGKAU ini bukan hanya terarah kepada sesama
melainkan terarah kepada Allah. Dengan demikian relasi cinta itu terjalin
antara manusia dengan Allah. Hal ini berarti Allah bukan dijadikan sebagai
objek melainkan sebagai Pribadi yang penuh cinta. Allah juga tidak dijadikan
sebagai tempat untuk mencari keuntungan diri. Justru relasi “aku-ENGKAU”
terjalin karena Allah mengasihi manusia sebagai pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar