Kamis, 10 April 2014

Pertanian Organik



Pertanian Organik di Era Globalisasi
Suatu Tinjauan Moral atas Usaha Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup


1.      Pengantar
Tata ekonomi global yang berlaku pada masa kini adalah sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut menciptakan hubungan internasional yang tidak seimbang antara negara maju dan negara yang sedang berkembang. Perusahaan-perusahaan asing mulai mengeksploitasi hasil bumi dari negara-negara berkembang. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut memainkan peranan nesar dalam menguras kekayaan berkembang.
Masalah yang ditimbulkan dari munculnya perusahaan multinasional ternyata sangat kompleks. Salah satu persoalan yang muncul ialah kerusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup dapat diibaratkan sebagai pohon (induk atau inangnya), sedangkan sistem ekonomi kapitalis adalah parasit (“benalu”) yang ganas. “Parasit-parasit ganas” itu telah menyebar ke area budi daya pertanian yang tidak bertanggung jawab, seperti Revolusi Hijau yang sarat agrokimia. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari sistem tersebut meresap ke dalam tanah dan pada akhirnya meresap juga ke dalam hasil-hasil bumi yang akan dikonsumsi manusia maupun hewan.[1]
Menanggapi persoalan yang sedemikian kompleks, negara Indonesia yang notabene negara agraris bersama para pakar pertanian telah membuat terobosan untuk mengurangi masalah kerusakan lingkungan dengan sistem pertanian organik.

2.      Krisis Lingkungan Hidup sebagai Masalah Moral
Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Masalah ini terutama dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia. Sifat tamak dan rakus masih melekat pada manusia dewasa ini. Ketamakan tersebut yang akhirnya menimbulkan persoalan terhadap yang lain, termasuk lingkungan hidup yang terus menjadi sasaran dari kepentingan mereka sendiri.[2] 
Kepentingan pribadi atau kelompok tersebut kemudian menjadi ancaman terhadap masa depan bumi dan manusia. Masalah yang muncul bukan hanya kekurangan bahan makanan di permukaan bumi, namun juga memunculkan masalah terhadap suhu bumi yang semakin panas. Penebangan pohon, limbah-limbah pabrik, dan pemakaian bahan-bahan kimia, termasuk beragam pestisida dalam dunia petanian kian memperbesar lubang pada lapisan ozon. Hal ini mengakibatkan hujan semakin jarang, dan tanah menjadi kering. Pengelolaan kekayaan juga mulai tidak direncanakan secara matang.[3]
Krisis lingkungan hidup disadari secara langsung atau tidak langsung disebabkan juga oleh bisnis modern khususnya oleh cara berproduksi dalam industri yang berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Polusi yang disebabkan oleh bisnis modern mencapai suatu tahap global dan tidak terbatas pada daerah industri saja. Pertanian dan peternakan yang dijalankan secara besar-besaran tidak terluput lagi dengan pencemaran umum itu. Sebaliknya, sektor-sektor itu pun mempunyai andil besar dalam merusak lingkungan hidup.[4]
Krisis ekologi atau kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah moral. Kita harus menyadari bahwa tanggung jawab akan keseimbangan tatanan ciptaan adalah unsur esensial iman. Kemajuan ilmu teknologi dan pengetahuan tentu tidak dapat kita terima kalau bertentangan dengan tatanan alam. Kemajuan teknologi yang merusak lingkungan hidup telah melanggar moral. Dalam hal ini, tubuh manusia pun termasuk lingkungan hidup. Sementara itu, melestarikan lingkungan hidup merupakan sebuah kewajiban moral.[5]
Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah membebankan alam di atas ambang toleransi. Penggunaan pestisida dan herbisida memainkan peranan besar terhadap punahnya spesies kehidupan yang saat ini belum dimanfaatkan. Menurut perkiraan para ahli, sekitar 7 persen dari jumlah spesies di daerah non-tropis kini telah punah dan di daerah tropis sekitar 1 persen.[6]
Sistem pertanian organik ini menjadi salah satu bentuk kesadaran moral manusia untuk menjaga dan merawat tatanan ciptaan Allah.
3.      Lingkungan Hidup sebagai the Commons
The Commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduknya. Seringkali the commons disebut padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya.[7]
Menurut Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat dibandingkan dengan proses menghilangnya the commons. Di sini tidak ada solusi teknis yang tepat. Pemakaian pupuk buatan hanya merupakan solusi teknis yang bersifat sementara dan tidak menangani masalah pada akarnya. Jalan keluar yang efektif terletak di bidang moral, yakni dengan membatasi kebebasan. Solusi ini memang bersifat moral karena pembatasan kebebasan harus dilandaskan pada sikap adil.[8] Keterangan ini mau menegaskan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral yang harus segera diatasi secara tepat.

4.      Pertanian Modern Menuju Pertanian Organik
Sejalan dengan makin banyaknya bahaya yang ditimbulkan oleh pertanian modern, seperti pemakaian pestisida, herbisida dan pupuk kimia terhadap lingkungan, maka dampak negatif pertanian modern mulai mendapatkan perhatian. Meskipun pakar lingkungan mulai memperhatikan masalah yang berhubungan dengan bahan kimia pertanian sejak sekitar tahun 1950, tetapi perhatian terhadap dampak penggunaan pupuk kimia mulai tampak pada akhir tahun tujuh puluhan, setelah residu pupuk, terutama nitrogen, diketahui telah mencemari air tanah sebagai air minum dan bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia.[9]
Sejak akhir tahun delapan puluhan, mulai tampak terjadinya tanda-tanda “kelelahan” pada tanah pertanian dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengolahan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi.[10]
Kebutuhan pangan di masa-masa yang akan datang akan meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, terutama di Indonesia. Dengan demikian kebutuhan masukan teknologi tinggi berupa pupuk semakin meningkat, demikian juga kebutuhan pestisida akan lebih besar diperlukan dari pada saat ini. Hal ini merupakan tantangan para pakar bidang pertanian untuk mencari teknologi alternatif dalam mencukupi kebutuhan pangan dengan kualitas yang baik dan menyehatkan, tetapi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.[11]
Para pakar pertanian dan lembaga swadaya masyarakat berusaha mengembangkan alternatif yang bertujuan untuk merehabilitasi tanah yang sedang “sakit” karena berbagai bahan kimia. Salah satu usaha meningkatkan kesehatan tanah adalah membangun kesuburan tanah yang dilaksanakan dengan cara meningkatkan kandungan bahan organik melalui kearifan tradisional.[12]
Pemakaian pupuk organik diharapkan mampu memperbaiki kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, tetapi aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsinya. Usaha mempertahankan kesehatan tanah, melindungi lingkungan, dan mempertahankan pertanian berkelanjutan sesuai dengan pertumbuhan penduduk menjadi tantangan pembangunan pertanian sampai sekarang ini.[13]
Masalah yang akan dihadapi pada masa yang akan datang ialah menentukan kebijakan untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah penduduk dan usaha mempertahankan kesehatan tanah, perlindungan lingkungan serta produktivitas yang berkelanjutan. Penerapan sistem pertanian alternatif yang berwawasan lingkungan merupakan konsep yang pemasyarakatannya memerlukan waktu yang relatif panjang.[14]

5.      Pertanian Organik di Era Globalisasi yang Berwawasan Lingkungan
            Arus globalisasi sudah tidak dapat dibendung lagi untuk merasuk ke seluruh aspek kehidupan, baik secara cepat maupun lambat. Dampak yang terjadi akibat arus globalisasi ini tampaknya telah berimbas pada lingkungan hidup manusia. Di bidang pertanian, pengaruh tersebut juga tak dapat dihindari. Maka, untuk mengurangi dan sekaligus menanggulangi kerusakan lingkungan, para pakar pertanian dan lembaga swadaya petani membuka terobosan untuk menggalang pertanian organik sebagai sistem pertanian yang ramah lingkungan di era globalisasi ini.[15]
            Istilah ‘pertanian organik’ merujuk pada usaha pertanian dengan menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Melalui sistem ini, para petani juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti pemakaian pupuk organik (kompos). Dengan demikian, pertanian organik merupakan suatu gerakan kembali ke alam.[16]
            Pertanian organik membatasi ketergantungan pada pupuk anorganik dan bahan kimia pertanian lainnya. Hama tanaman ditanggulangi menggunakan bioherbisida dan insektisida organik yang dikombinasikan dengan pengelolaan tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila pertanian organik dikelola secara baik, maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat bahan-bahan kimia.
            Pertanian organik cenderung melindungi tanah dari kerusakan akibat erosi. Berkaitan dengan hal ini, pertanian organik tidak mengakibatkan kerusakan tanah akibat pengolahan yang dalam. Melalui pengolahan tanah yang baik, dapat diketahui kebutuhan hara tanaman serta kondisi lingkungan dan ekologi dapat diperbaiki dan dilindungi tanpa harus tergantung pada pupuk kimia dan pestisida. Dengan demikian konsep pertanian organik dapat diuji dari sudut keamanannya terhadap manusia, hewan, flora, fauna, dan tanah. Melalui pertanian organik keragaman semua kehidupan dapat ditingkatkan dengan harmonis dalam alam, tanpa harus melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.[17]

6.      Perkembangan Pertanian Organik
            Menurut pakar ekologi, teknologi modern dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, tetapi mengorbankan lingkungan dengan meningkatnya kerusakan yang terjadi pada permukaan bumi, seperti kerusakan hutan, penurunan keragaman hayati, penurunan kesuburan tanah, akumulasi senyawa kimia di dalam tanah maupun perairan, erosi, dan kerusakan lainnya. Hal ini menjadi dilema berkepanjangan antara meningkatkan produksi  pangan  dengan  menggunakan produk / bahan kimia dan usaha pelestarian lingkungan yang berusaha membatasi penggunaan-penggunaan bahan tersebut. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan tidak terkendali mempunyai dampak negatif yang sama terhadap lingkungan.[18]
            Pada waktu dunia mengalami krisis energi fosil yang terjadi sekitar tahun tujuh puluhan, banyak negara industri telah berupaya untuk mencari teknologi alternatif sebagai pengganti produk-produk kimia pemberantas hama. Ketika harga energi fosil meningkat, pupuk organik sebagai pupuk alternatif mulai populer kembali setelah cukup lama tidak pernah dimanfaatkan dalam program pemupukan. Krisis ini juga melanda negara-negara berkembang sehingga pupuk anorganik semakin langka untuk didapatkan. Sejak krisis tersebut, banyak negara mulai mengganti pupuk pabrik dengan pupuk organik sebagai nutrisi tanaman.[19]
            Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah dan upaya menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Melalui pertanian organik, kita disadarkan tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia dalam kerusakan lingkungan.

7.      Prinsip Pertanian Organik
Ada tiga prinsip yang disusun sebagai norma atau etika dalam pengembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesehatan, ekologi, dan keadilan. Secara bersamaan, perinsip-prinsip pertanian organik itu disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian yang lebih baik.[20]
Pertama, prinsip kesehatan. Pertanian organik sebaiknya meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, dan manusia sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengungkapkan bahwa semua sistem kesehatan dan organisme dari yang terkecil di dalam tanah, hingga manusia memiliki ketergantungan.
Kedua, prinsip ekologi. Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi yang hidup, bekerja dengannya, menyesuaikan, dan mendukungnya. Hal ini menekankan bahwa produksi didasarkan pada proses-proses ekologi dari asupan-asupan eksternal. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi dari lingkungan produksi yang khusus.[21]
Ketiga, prinsip keadilan dihadapkan pada pola hubungan antarmanusia dan pola hubungan antara manusia dan mahkluk hidup lainnya. Pada prinsip ini, penekanannya terletak pada cara melakukan dan memelihara hubungan untuk memastikan keadilan berupa keseteraan, saling menghormati, keadilan dan saling memelihara. Oleh karena itu, pertanian organik merupakan sistem yang hidup dan dinamis. Maka pertanian organik yang dilakukan praktik merupakan suatu cara produksi yang sangat mandiri, berkelanjutan, aman, dan lebih sehat dibandingkan pertanian konvensional yang memakai produk-produk kimia.[22]
            Selain itu, demi terciptanya ekologi yang sehat, pertanian organik memiliki beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi, yakni:[23]
a.       Memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman, terutama pengelolaan bahan organik dan meningkatkan kehidupan biologi tanah.
b.      Memaksimalkan ketersediaan dan keseimbangan daur hara, melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur pupuk dari luar usaha tani.
c.       Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas, udara, dan air dengan cara mengelola iklim mikro, pengelolaan air, dan pencegahan erosi.
d.      Mambatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat hama dan penyakit dengan melaksanakan usaha preventif melaui perlakuan yang aman.
e.       Pemanfaatan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergisme dengan cara mengkombinasikan fungsi keragaman sistem pertanaman terpadu.

Masing-masing prinsip di atas mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produktivitas, keamanan, kelangsungan dan identitas masing-masing usaha tani, tergantung pada kesempatan dan pembatas faktor lokal (kendala sumber daya) dan dalam banyak hal sangat tergantung pada permintaan pasar. Pada prinsipnya, aliran hara terjadi secara konstan. Unsur hara yang hilang atau terangkut erosi dan volantisasi harus digantikan.[24]

8.      Tujuan Pengembangan Pertanian Organik
Memperoleh hasil usaha yang maksimal adalah tujuan dari setiap petani dalam mengelola tanaman. Usaha pertanian merupakan kegiatan hidup yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan alam. Selain tujuan dan harapan dari setiap petani pengembangan pertanian organik memiliki tujuan jangka panjang, yakni sebagai berikut:[25]
a.       Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian.
b.      Memasyarakatkan kembali budi daya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budi daya pertanian yang berkelanjutan.
c.       Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia lainnya.
d.      Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan yang menyebabkan pencemaran lingkungan.
e.       Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi akibat pengolahan tanah yang intensif.
f.       Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun, dan merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian.
g.      Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara penyediaan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya.
h.      Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupu global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian.

Selain tujuan jangka panjang, pengembangan pertanian organik juga mempunyai tujuan jangka pendek, antara lain :
a.       Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit.
b.      Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.
c.       Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budi daya organik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan.
d.      Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan pertanian mampu berproduksi secara berkesinambungan untuk kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.

9.      Kesimpulan  
            Sikap dasar dan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh paham tentang lingkungan hidup.[26] Manusia hidup dan tinggal dalam lingkungan alam yang telah disediakan Allah bagi manusia. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam yang indah ini. Namun demi kepentingan pribadi maupun kelompok, manusia mulai mengeksploitasi alam sesuai kehendaknya sendiri. Alam mulai tidak bersahabat lagi dengan manusia. Kerusakan alam tidak dapat dihindari. Itu semua menjadi tanggung jawab manusia secara moral, karena manusia memiliki kehendak dan akal budi.
            Pertanian organik menjadi sebuah sarana moral manusia untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang sedang sakit ini. Sistem pertanian organik ini berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Dengan adanya kesadaran manusia akan pentingmya menjaga lingkungan hidup, maka alam ciptaan Allah sungguh menjadi lebih bermakna sebagai tempat manusia berpijak di dunia ini.

           


Bibliografi

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Chang,William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Sutanto, Rachman. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Winangun, Y. Wartaya. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005.



[1] G. Oetomo, Pr., “Kekuatan dan Kelemahan Dunia Pertanian dalam Konteks Tata Ekonomi Global, Kerusakan Lingkungan Hidup, Tata Pembangunan Pertanian, dan Pedesaan Lestari, dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 18.

[2] Dr. William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 29.

[3] Dr. William Chang, Moral…, hlm.30.

[4] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 309.

[5] G. Oetomo, Pr., “Kekuatan…, hlm. 27.

[6] K. Bertens, Pengantar…, hlm. 315.
[7] K. Bertens, Pengantar…, hlm. 316.

[8] K. Bertens, Pengantar…, hlm. 317.

[9] Rachman Sutanto, Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 15.

[10] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 16.
[11] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 16.

[12] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 16.

[13] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 16.

[14] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 17.
[15] Soenarto Notosoedarmo, “Pertanian Berwawasan Lingkungan: Tanggapan terhadap Tantangan Globalisasi, dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 123.

[16] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 20.

[17] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 22.
[18] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 23.

[19] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 23-24.

[20] dr. Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan dari Sisi Kesehatan dan Lingkungan, dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 63.

[21] dr. Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan..., hlm. 63.

[22] dr. Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan..., hlm. 64.

[23] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 25.

[24] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 25.

[25] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 17-18.
[26] Dr. William Chang, Moral…, hlm.  66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar