Pertanian Organik di Era Globalisasi
Suatu Tinjauan Moral atas Usaha
Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup
1.
Pengantar
Tata ekonomi global yang berlaku pada masa kini adalah
sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut menciptakan hubungan internasional
yang tidak seimbang antara negara maju dan negara yang sedang berkembang.
Perusahaan-perusahaan asing mulai mengeksploitasi hasil bumi dari negara-negara
berkembang. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut memainkan peranan
nesar dalam menguras kekayaan berkembang.
Masalah yang ditimbulkan dari munculnya perusahaan
multinasional ternyata sangat kompleks. Salah satu persoalan yang muncul ialah kerusakan
lingkungan hidup. Lingkungan hidup dapat diibaratkan sebagai pohon (induk atau
inangnya), sedangkan sistem ekonomi kapitalis adalah parasit (“benalu”) yang
ganas. “Parasit-parasit ganas” itu telah menyebar ke area budi daya pertanian
yang tidak bertanggung jawab, seperti Revolusi Hijau yang sarat agrokimia.
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari sistem tersebut meresap ke dalam
tanah dan pada akhirnya meresap juga ke dalam hasil-hasil bumi yang akan
dikonsumsi manusia maupun hewan.[1]
Menanggapi persoalan yang sedemikian kompleks, negara
Indonesia yang notabene negara
agraris bersama para pakar pertanian telah membuat terobosan untuk mengurangi
masalah kerusakan lingkungan dengan sistem
pertanian organik.
2.
Krisis Lingkungan Hidup sebagai Masalah Moral
Krisis
lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Masalah ini
terutama dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, seperti halnya
Indonesia. Sifat tamak dan rakus masih melekat pada manusia dewasa ini.
Ketamakan tersebut yang akhirnya menimbulkan persoalan terhadap yang lain,
termasuk lingkungan hidup yang terus menjadi sasaran dari kepentingan mereka
sendiri.[2]
Kepentingan
pribadi atau kelompok tersebut kemudian menjadi ancaman terhadap masa depan
bumi dan manusia. Masalah yang muncul bukan hanya kekurangan bahan makanan di
permukaan bumi, namun juga memunculkan masalah terhadap suhu bumi yang semakin
panas. Penebangan pohon, limbah-limbah pabrik, dan pemakaian bahan-bahan kimia,
termasuk beragam pestisida dalam dunia petanian kian memperbesar lubang pada
lapisan ozon. Hal ini mengakibatkan hujan semakin jarang, dan tanah menjadi
kering. Pengelolaan kekayaan juga mulai tidak direncanakan secara matang.[3]
Krisis
lingkungan hidup disadari secara langsung atau tidak langsung disebabkan juga
oleh bisnis modern khususnya oleh cara berproduksi dalam industri yang
berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Polusi yang disebabkan oleh bisnis modern
mencapai suatu tahap global dan tidak terbatas pada daerah industri saja.
Pertanian dan peternakan yang dijalankan secara besar-besaran tidak terluput
lagi dengan pencemaran umum itu. Sebaliknya, sektor-sektor itu pun mempunyai
andil besar dalam merusak lingkungan hidup.[4]
Krisis
ekologi atau kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah moral. Kita harus
menyadari bahwa tanggung jawab akan keseimbangan tatanan ciptaan adalah unsur
esensial iman. Kemajuan ilmu teknologi dan pengetahuan tentu tidak dapat kita
terima kalau bertentangan dengan tatanan alam. Kemajuan
teknologi yang merusak lingkungan hidup telah melanggar moral. Dalam hal ini,
tubuh manusia pun termasuk lingkungan hidup. Sementara itu, melestarikan
lingkungan hidup merupakan sebuah kewajiban moral.[5]
Inti
masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu dan
teknologi canggih telah membebankan alam di atas ambang toleransi. Penggunaan
pestisida dan herbisida memainkan peranan besar terhadap punahnya spesies
kehidupan yang saat ini belum dimanfaatkan. Menurut perkiraan para ahli,
sekitar 7 persen dari jumlah spesies di daerah non-tropis kini telah punah dan
di daerah tropis sekitar 1 persen.[6]
Sistem
pertanian organik ini menjadi salah satu bentuk kesadaran moral manusia untuk
menjaga dan merawat tatanan ciptaan Allah.
3.
Lingkungan Hidup sebagai the Commons
The Commons adalah
ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan
dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduknya. Seringkali the commons disebut padang rumput yang
dipakai oleh semua penduduk kampung sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya.[7]
Menurut
Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat dibandingkan
dengan proses menghilangnya the commons. Di
sini tidak ada solusi teknis yang tepat. Pemakaian pupuk buatan hanya merupakan
solusi teknis yang bersifat sementara dan tidak menangani masalah pada akarnya.
Jalan keluar yang efektif terletak di bidang moral, yakni dengan membatasi kebebasan. Solusi
ini memang bersifat moral karena pembatasan kebebasan harus dilandaskan pada
sikap adil.[8]
Keterangan ini mau menegaskan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah
moral yang harus segera diatasi secara tepat.
4.
Pertanian Modern Menuju Pertanian Organik
Sejalan dengan makin banyaknya bahaya yang ditimbulkan
oleh pertanian modern, seperti pemakaian pestisida, herbisida dan pupuk kimia
terhadap lingkungan, maka dampak negatif pertanian modern mulai mendapatkan
perhatian. Meskipun pakar lingkungan mulai memperhatikan masalah yang
berhubungan dengan bahan kimia pertanian sejak sekitar tahun 1950, tetapi
perhatian terhadap dampak penggunaan pupuk kimia mulai tampak pada akhir tahun tujuh
puluhan, setelah residu pupuk, terutama nitrogen, diketahui telah mencemari air
tanah sebagai air minum dan bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia.[9]
Sejak akhir tahun delapan puluhan, mulai tampak
terjadinya tanda-tanda “kelelahan” pada tanah pertanian dan penurunan
produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman
tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas
unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengolahan hara secara intensif melalui
bermacam-macam paket teknologi.[10]
Kebutuhan pangan di masa-masa yang akan datang akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, terutama di Indonesia.
Dengan demikian kebutuhan masukan teknologi tinggi berupa pupuk semakin
meningkat, demikian juga kebutuhan pestisida akan lebih besar diperlukan dari
pada saat ini. Hal ini merupakan tantangan para pakar bidang pertanian untuk
mencari teknologi alternatif dalam mencukupi kebutuhan pangan dengan kualitas
yang baik dan menyehatkan, tetapi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.[11]
Para pakar pertanian dan lembaga swadaya masyarakat
berusaha mengembangkan alternatif yang bertujuan untuk merehabilitasi tanah
yang sedang “sakit” karena berbagai bahan kimia. Salah satu usaha meningkatkan
kesehatan tanah adalah membangun kesuburan tanah yang dilaksanakan dengan cara
meningkatkan kandungan bahan organik melalui kearifan tradisional.[12]
Pemakaian pupuk organik diharapkan mampu memperbaiki
kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, tetapi aman dan
menyehatkan manusia yang mengkonsumsinya. Usaha mempertahankan kesehatan tanah,
melindungi lingkungan, dan mempertahankan pertanian berkelanjutan sesuai dengan
pertumbuhan penduduk menjadi tantangan pembangunan pertanian sampai sekarang
ini.[13]
Masalah yang akan dihadapi pada masa yang akan datang
ialah menentukan kebijakan untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah penduduk
dan usaha mempertahankan kesehatan tanah, perlindungan lingkungan serta
produktivitas yang berkelanjutan. Penerapan sistem pertanian alternatif yang
berwawasan lingkungan merupakan konsep yang pemasyarakatannya memerlukan waktu
yang relatif panjang.[14]
5.
Pertanian Organik di Era Globalisasi yang Berwawasan
Lingkungan
Arus globalisasi sudah tidak dapat dibendung lagi untuk merasuk ke seluruh
aspek kehidupan, baik secara cepat maupun lambat. Dampak yang terjadi akibat
arus globalisasi ini tampaknya telah berimbas pada lingkungan hidup manusia. Di
bidang pertanian, pengaruh tersebut juga tak dapat dihindari. Maka, untuk
mengurangi dan sekaligus menanggulangi kerusakan lingkungan, para pakar
pertanian dan lembaga swadaya petani membuka terobosan untuk menggalang
pertanian organik sebagai sistem pertanian yang ramah lingkungan di era
globalisasi ini.[15]
Istilah
‘pertanian organik’ merujuk pada usaha pertanian dengan menghindarkan bahan
kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk
memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Melalui sistem ini, para petani juga berusaha
untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki
kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti pemakaian pupuk organik
(kompos). Dengan demikian, pertanian organik merupakan suatu gerakan kembali ke alam.[16]
Pertanian organik membatasi ketergantungan pada pupuk anorganik dan bahan
kimia pertanian lainnya. Hama tanaman ditanggulangi menggunakan bioherbisida
dan insektisida organik yang dikombinasikan dengan pengelolaan tanaman yang
baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila pertanian organik dikelola
secara baik, maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat bahan-bahan
kimia.
Pertanian
organik cenderung melindungi tanah dari kerusakan akibat erosi. Berkaitan
dengan hal ini, pertanian organik tidak mengakibatkan kerusakan tanah akibat
pengolahan yang dalam. Melalui pengolahan tanah yang baik, dapat diketahui
kebutuhan hara tanaman serta kondisi lingkungan dan ekologi dapat diperbaiki
dan dilindungi tanpa harus tergantung pada pupuk kimia dan pestisida. Dengan
demikian konsep pertanian organik dapat diuji dari sudut keamanannya terhadap
manusia, hewan, flora, fauna, dan tanah. Melalui pertanian organik keragaman
semua kehidupan dapat ditingkatkan dengan harmonis dalam alam, tanpa harus
melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.[17]
6.
Perkembangan
Pertanian Organik
Menurut
pakar ekologi, teknologi modern dianggap berhasil menanggulangi kerawanan
pangan, tetapi mengorbankan lingkungan dengan meningkatnya kerusakan yang
terjadi pada permukaan bumi, seperti kerusakan hutan, penurunan keragaman
hayati, penurunan kesuburan tanah, akumulasi senyawa kimia di dalam tanah
maupun perairan, erosi, dan kerusakan lainnya. Hal ini menjadi dilema
berkepanjangan antara meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan
produk / bahan kimia dan usaha pelestarian
lingkungan yang berusaha membatasi penggunaan-penggunaan bahan tersebut.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan tidak terkendali mempunyai dampak
negatif yang sama terhadap lingkungan.[18]
Pada
waktu dunia mengalami krisis energi fosil yang terjadi sekitar tahun tujuh
puluhan, banyak negara industri telah berupaya untuk mencari teknologi
alternatif sebagai pengganti produk-produk kimia pemberantas hama. Ketika harga
energi fosil meningkat, pupuk organik sebagai pupuk alternatif mulai populer
kembali setelah cukup lama tidak pernah dimanfaatkan dalam program pemupukan.
Krisis ini juga melanda negara-negara berkembang sehingga pupuk anorganik
semakin langka untuk didapatkan. Sejak krisis tersebut, banyak negara mulai
mengganti pupuk pabrik dengan pupuk organik sebagai nutrisi tanaman.[19]
Pada
prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan
masukan teknologi rendah dan upaya menuju pembangunan pertanian yang
berkelanjutan. Melalui pertanian organik, kita disadarkan tentang potensi
teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia dalam kerusakan
lingkungan.
7.
Prinsip Pertanian Organik
Ada
tiga prinsip yang disusun sebagai norma atau etika dalam
pengembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip
kesehatan, ekologi, dan keadilan. Secara bersamaan, perinsip-prinsip pertanian
organik itu disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian
yang lebih baik.[20]
Pertama, prinsip
kesehatan. Pertanian organik sebaiknya meningkatkan kesehatan tanah, tanaman,
hewan, dan manusia sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
mengungkapkan bahwa semua sistem kesehatan dan organisme dari yang terkecil di
dalam tanah, hingga manusia memiliki ketergantungan.
Kedua, prinsip ekologi. Pertanian
organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi yang hidup, bekerja
dengannya, menyesuaikan, dan mendukungnya. Hal ini menekankan bahwa produksi
didasarkan pada proses-proses ekologi dari asupan-asupan eksternal. Makanan dan
kesejahteraan diperoleh melalui ekologi dari lingkungan produksi yang khusus.[21]
Ketiga, prinsip
keadilan dihadapkan pada pola hubungan antarmanusia dan pola hubungan antara
manusia dan mahkluk hidup lainnya. Pada prinsip ini, penekanannya terletak pada
cara melakukan dan memelihara hubungan untuk memastikan keadilan berupa
keseteraan, saling menghormati, keadilan dan saling memelihara. Oleh karena
itu, pertanian organik merupakan sistem yang hidup dan dinamis. Maka pertanian
organik yang dilakukan praktik merupakan suatu cara produksi yang sangat
mandiri, berkelanjutan, aman, dan lebih sehat dibandingkan pertanian
konvensional yang memakai produk-produk kimia.[22]
Selain itu, demi terciptanya ekologi
yang sehat, pertanian organik memiliki beberapa prinsip dasar yang harus
dipenuhi, yakni:[23]
a. Memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan
pertumbuhan tanaman, terutama pengelolaan bahan organik dan meningkatkan
kehidupan biologi tanah.
b. Memaksimalkan ketersediaan dan keseimbangan daur hara,
melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur pupuk dari luar
usaha tani.
c. Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas,
udara, dan air dengan cara mengelola iklim mikro, pengelolaan air, dan
pencegahan erosi.
d. Mambatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat hama
dan penyakit dengan melaksanakan usaha preventif melaui perlakuan yang aman.
e. Pemanfaatan
sumber genetika (plasma nutfah) yang
saling mendukung dan bersifat sinergisme dengan cara mengkombinasikan fungsi
keragaman sistem pertanaman terpadu.
Masing-masing
prinsip di atas mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produktivitas,
keamanan, kelangsungan dan identitas masing-masing usaha tani, tergantung pada
kesempatan dan pembatas faktor lokal (kendala sumber daya) dan dalam banyak hal
sangat tergantung pada permintaan pasar. Pada prinsipnya, aliran hara terjadi secara konstan. Unsur hara yang hilang
atau terangkut erosi dan volantisasi harus digantikan.[24]
8.
Tujuan
Pengembangan Pertanian Organik
Memperoleh hasil usaha yang maksimal adalah tujuan dari
setiap petani dalam mengelola tanaman. Usaha pertanian merupakan kegiatan hidup
yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan alam. Selain tujuan dan harapan
dari setiap petani pengembangan pertanian organik memiliki tujuan jangka
panjang, yakni sebagai berikut:[25]
a.
Melindungi
dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang
pertanian.
b.
Memasyarakatkan
kembali budi daya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budi daya
pertanian yang berkelanjutan.
c.
Membatasi
terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta
bahan kimia lainnya.
d.
Mengurangi
ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan yang
menyebabkan pencemaran lingkungan.
e.
Meningkatkan
usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi akibat
pengolahan tanah yang intensif.
f.
Mengembangkan
dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki
petani secara turun-temurun, dan merangsang kegiatan penelitian pertanian
organik oleh lembaga penelitian.
g.
Membantu
meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara penyediaan produk-produk
pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya.
h.
Meningkatkan
peluang pasar produk organik, baik domestik maupu global dengan jalan menjalin
kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian.
Selain tujuan jangka panjang, pengembangan pertanian
organik juga mempunyai tujuan jangka pendek, antara lain :
a.
Ikut
serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan
pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit.
b.
Membantu
menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam
rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.
c.
Mengembangkan
dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budi daya organik sebagai mata
pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa
menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan.
d.
Mempertahankan
dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan pertanian mampu
berproduksi secara berkesinambungan untuk kebutuhan generasi sekarang dan yang
akan datang.
9.
Kesimpulan
Sikap dasar dan
perilaku manusia terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh paham
tentang lingkungan hidup.[26]
Manusia hidup dan tinggal dalam lingkungan alam yang
telah disediakan Allah bagi manusia. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk
menjaga dan memelihara lingkungan alam yang indah ini. Namun demi kepentingan pribadi maupun kelompok,
manusia mulai mengeksploitasi alam sesuai kehendaknya sendiri. Alam mulai tidak
bersahabat lagi dengan manusia. Kerusakan alam tidak dapat dihindari. Itu semua
menjadi tanggung jawab manusia secara moral, karena manusia memiliki kehendak
dan akal budi.
Pertanian
organik menjadi sebuah sarana moral manusia untuk menyelamatkan lingkungan
hidup yang sedang sakit ini. Sistem pertanian organik ini berpijak pada
kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan
kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang
baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Dengan adanya kesadaran manusia akan
pentingmya menjaga lingkungan hidup, maka alam ciptaan Allah sungguh menjadi
lebih bermakna sebagai tempat manusia berpijak di dunia ini.
Bibliografi
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Chang,William.
Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Sutanto,
Rachman. Pertanian Organik: Menuju
Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Winangun, Y. Wartaya. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era
Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
[1] G.
Oetomo, Pr., “Kekuatan dan Kelemahan Dunia Pertanian dalam Konteks Tata Ekonomi
Global, Kerusakan Lingkungan Hidup, Tata Pembangunan Pertanian, dan Pedesaan
Lestari”, dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun Karakter Petani Organik Sukses
dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 18.
[2] Dr. William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 29.
[3] Dr. William Chang, Moral…, hlm.30.
[4]
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 309.
[5] G.
Oetomo, Pr., “Kekuatan…, hlm. 27.
[6] K.
Bertens, Pengantar…, hlm. 315.
[7] K.
Bertens, Pengantar…, hlm. 316.
[8] K.
Bertens, Pengantar…, hlm. 317.
[9]
Rachman Sutanto, Pertanian Organik:
Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 15.
[10]
Rachman Sutanto, Pertanian Organik…,
hlm. 16.
[11]
Rachman Sutanto, Pertanian Organik…,
hlm. 16.
[12]
Rachman Sutanto, Pertanian Organik…,
hlm. 16.
[13]
Rachman Sutanto, Pertanian Organik…,
hlm. 16.
[14] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 17.
[15] Soenarto
Notosoedarmo, “Pertanian Berwawasan Lingkungan: Tanggapan terhadap Tantangan
Globalisasi”,
dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun
Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius,
2005), hlm. 123.
[16] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 20.
[17] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 22.
[18] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 23.
[19] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 23-24.
[20] dr.
Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan dari Sisi Kesehatan dan
Lingkungan”, dalam Y. Wartaya Winangun, SJ. (ed.), Membangun Karakter Petani Organik Sukses
dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 63.
[21] dr.
Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan..., hlm. 63.
[22] dr.
Rini Damayanti Siregar, “Pertanian Berkelanjutan..., hlm. 64.
[23] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 25.
[24] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 25.
[25] Rachman Sutanto, Pertanian Organik…, hlm. 17-18.
[26] Dr. William Chang, Moral…, hlm. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar