IBADAT
HARIAN
Sejarah
dan Makna Teologisnya
1.
Pengantar
Ibadat Harian merupakan
doa yang memiliki latar belakang biblis, sehingga roh dan semangat yang ada
padanya sungguh biblis. Hal itu dapat dilihat dari asal-usulnya yang berakar
pada kebiasaan tradisional Bangsa Yahudi. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa
yang memiliki keyakinan bahwa bagi Allah setiap hari harus dipersembahkan
kurban persembahan, sekurang-kurangnya dua kali sehari: pagi dan sore.[1]
Selain memiliki aspek
biblis, Ibadat Harian mengandung makna teologis yang sangat mendalam. Tulisan
ini hendak memaparkan secara ringkas mengenai makna teologis dari Ibadat Harian
yang sering kita rayakan.
2.
Pengertian
Ibadat
Harian merupakan terjemahan dari bahasa latin Liturgia Horarum, artinya ibadat resmi komunitas yang berkumpul
pada waktu-waktu tertentu sepanjang hari dan malam untuk mendengarkan bacaan
Kitab Suci (atau sumber lain) dan mendoakan atau menyanyikan Mazmur-mazmur
serta doa-doa lain. Karena itu, Ibadat Harian dapat dimengerti sebagai
serangkaian ibadat yang dilaksanakan oleh Gereja sepanjang hari pada
waktu-waktu tertentu dan ibadat yang merangkum doa-doa seluruh umat beriman.
Dalam ritus Romawi yang baru Ibadat Harian meliputi Ibadat Sore I, Ibadat
Bacaan, Ibadat Pagi, Ibadat Siang, Ibadat Sore II, dan Ibadat Penutup. [2]
Konsili Vatikan II
menegaskan bahwa Ibadat Harian adalah doa resmi Gereja, doa Kristus yang
diteruskan oleh tubuh-Nya yaitu Gereja dan bukan doa pribadi. Doa itu adalah
salah satu kelanjutan karya Yesus Kristus Imam Agung di dunia ini. Bersama
dengan Kristus, kepalanya, Gereja menghadap Allah Bapa untuk memuji Dia atas
nama semua orang dan untuk memohon belaskasih-Nya bagi mereka semua. Melalui
Ibadat Harian itu Gereja menguduskan segala kegiatannya sepanjang hari dan
mempersembahkannya kepada Allah. [3]
3.
Sejarah
Perkembangan Praktek Ibadat Harian
3.1
Pada
Masa Gereja Perdana
Keberadaan orang Kristen
Perdana tidak terlepas dari kehidupan kaum Yahudi, sebab sebagian besar orang
Kristen Perdana berasal dari kaum Yahudi. Mereka masih sangat dipengaruhi oleh
budaya maupun peribadatan kaum Yahudi. Salah satu pengaruh itu tampak pada
kebiasaan orang kristen untuk berdoa bersama. Doa bersama itu mereka laksanakan
di Kenisah atau di rumah-rumah.[4]
Seiring dengan
perkembangan Jemaat Kristen pada masa itu, mereka pun kerap kali datang ke
tempat-tempat peribadatan dan kenisah Yerusalem untuk berdoa. Kebiasaan itu
sejalan dengan meneladani kebiasan Yesus sendiri yang selalu berdoa dan
mengikuti perintah Yesus kepada para murid-muridnya untuk melakukan hal yang
sama. Jemaat Perdana (Gereja) menyadari tugasnya sebagai Gereja yang berdoa dan
doa-doa yang bersumber dan berdasar Kitab Suci, khususnya Kitab Mazmur. Dalam
doa bersama itu dibacakan kutipan-kutipan dari Kitab Suci dan kutipan ini
justru membantu mereka untuk menyadarkan diri atas seluruh karya keselamatan
Tuhan lewat Wafat dan kebangkitan-Nya yang merupakan puncak rencana Bapa.[5]
3.2
Pada
Abad III hingga Abad VI
Sejak awal abad II,
Bapa-bapa Gereja menyebutkan bahwa umat Kristen di beberapa daerah pada waktu
itu sering berkumpul untuk menjalankan doa pagi dan sore. Dalam doa pagi dan
doa sore umat berdoa di bawah pimpinan uskup dan para imam. Doa itu terdiri
atas madah, mazmur, pembacaan Kitab Suci serta doa spontan. Menjelang
pesta-pesta besar, umat berkumpul bersama untuk berdoa dan mendengarkan bacaan
Kitab Suci dan mempersiapkan diri bagi pesta.[6]
Kebiasaan doa harian
itu juga diungkapkan oleh St. Hypoliptus (tahun 215) dalam Traditio Apostolica. Dalam Traditio
Apostolica, Hypoliptus menegaskan pentingnya melaksanakan ibadat harian
pada jam-jam yang telah ditentukan, sebab setiap waktu doa yang dilakukan pada
jam yang telah ditetapkan berhubungan langsung dengan kerangka sejarah
keselamatan serta memiliki makna yang dalam atas karya penebusan Kristus. Makna
waktu-waktu doa itu dijelaskan sebagai berikut: ibadat malam adalah doa yang
lebih menekankan misteri paskah; ibadat pagi lebih bersifat eskatologis artinya
berhubungan dengan harapan akan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya;
doa subuh (ketika ayam berkokok), doa jam tiga, keenam dan kesembilan serta doa
sore hari merupakan kesadaran Gereja yang terlibat dalam karya penebusan
Kristus.[7]
Pada abad keempat,
yakni setelah masa penganiayaan berakhir, Gereja mengalami perkembangan.
Pelaksanaan doa pagi dan doa sore yang terdiri atas madah, mazmur, pembacaan
Kitab Suci serta doa spontan tidak lagi dilaksanakan di rumah tetapi di gereja.
Mereka berkumpul bersama di gereja, baik awam maupun klerus bersama-sama
menjalankan ibadat harian dan ibadat itu dipimpin oleh uskup. Doa bersama itu
diwajibkan bagi semua anggota Gereja, baik kaum awam maupun klerus. Doa bersama
itu dikenal dengan sebutan Liturgi Ibadat Harian Katedral. [8]
Sekitar abad keenam,
perkembangan biara semakin pesat di seluruh wilayah Gereja dan pengaruh para
rahib bertambah besar dalam Gereja, banyak juga dari kalangan para rahib yang
menjadi pemimpin Gereja, seperti paus dan uskup. Sebagai seorang mantan rahib,
paus dan uskup tetap berpegang pada kebiasaan hidup membiara bagi hidup
pribadinya dan orang-orang di sekitarnya.[9]
3.3
Pada
Abad Pertengahan
Pada
awal abad pertengahan, Liturgi Ibadat Harian sudah menjadi acara harian bagi
para klerus dan petugas gerejani. Mereka biasa berkumpul bersama di gereja katedral
untuk menjalankan Liturgi Ibadat Harian dan biasanya para klerus
menyanyikannya, kecuali jika ada halangan serius.[10]
Sejak abad X Liturgi
Ibadat Harian tidak lagi dijalankan secara bersama-sama di Gereja melainkan
dilaksanakan secara pribadi. Perubahan itu terjadi dengan ditandainya beberapa
peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Salah satunya ialah perkembangan
beberapa ordo yang lahir pada abad ketigabelas, khususnya Ordo Fransiskan dan
Dominikan. Dalam Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan ada aturan khusus bagi para
anggotanya, yakni mereka tidak terikat pada aturan-aturan hidup membiara yang
mengharuskan mereka berada di dalam biara. Hal itu disebabkan para anggota
kedua ordo tersebut lebih banyak membaktikan waktunya untuk pewartaan dan
katekese, sehingga mereka tidak dapat lagi secara teratur berkumpul di kapel
biara untuk berdoa bersama. [11]
Bagi para klerus
pelaksanaan ibadat harian sebagai doa pribadi juga merupakan akibat dari
minimnya pengetahuan umat tentang bahasa Latin. Banyak umat waktu itu buta
huruf dan tidak dapat membaca atau tidak mengerti bahasa Latin yang adalah
bahasa resmi yang digunakan dalam buku Liturgi Ibadat Harian. Karena mereka
tidak mengerti bahasa Latin, maka mereka tidak datang ke Katedral untuk
mengambil bagian dalam Ibadat Harian. Hal itu juga turut mempengaruhi susunan
Ibadat Katedral yang berubah. Ibadat harian yang dipimpin oleh uskup dan
dihadiri banyak klerus tetapi sedikit umat, akhirnya menciptakan kemungkinan
besar bagi kaum klerus untuk mendaraskan bersama doa-doa yang sebelumnya biasa
digunakan oleh kaum biarawan-biarawan saja.[12]
Sejak abad pertengahan brevir[13]
mengalami beberapa pembaharuan, khususnya sesudah teknik percetakan muncul pada
abad kelima belas. Brevir menjadi buku doa yang paling umum bagi klerus. Tidak
lama sesudahnya doa brevir menjadi kewajiban bagi para klerus. Dalam
prakteknya, selama abad-abad terakhir ini brevir menjadi doa pribadi yang wajib
bagi klerus. Mereka memakai brevir sebagai doa harian yang didaraskan secara
pribadi. Hal itu ternyata mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan dan
penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan brevir. Di kalangan para klerus
brevir kerapkali dilakukan tanpa memperhatikan maksud asli dan isinya.[14]
3.4
Konsili
Vatikan II
Dalam konsili Vatikan
II (1962-1965), pembaharuan liturgi menduduki tempat yang penting. Pembaharuan
liturgi terasa terutama dalam pembaharuan mengenai Ibadat Harian. Pembaharuan
tentang Ibadat harian itu secara khusus dibahas dalam dokumen Konstitusi
Liturgi.[15]
Meskipun pembaharuan
terhadap Ibadat Harian yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan II itu kurang
memenuhi harapan, banyak orang mengusulkan pembaharuan lebih radikal lagi. Namun
ada sejumlah pokok yang patut diperhatikan, yaitu Konsili Vatikan II menegaskan
bahwa Ibadat Harian bukanlah ibadat perseorangan, melainkan ibadat umat yang
menampakkan dan menyangkut seluruh tubuh Gereja. Ibadat Harian bukan eksklusif doa para klerus dan rahib,
atau biarawan-biarawan. Perayaan Ibadat Harian menjadi perayaan gerejani yang
dilakukan oleh uskup bersama umat dan para imam. Perayaan ibadat gerejani itu
menghadirkan Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Partisipasi umat untuk ibadat pagi dan sore
pada
Hari Minggu dan pesta sangat dianjurkan, teristimewa di paroki, yang merupakan
sel inti keuskupan di bawah pimpinan pastor setempat yang mewakili uskup, sebab
umat paroki itu menghadirkan Gereja yang tersebar di seluruh dunia.[16]
4. Makna Teologis Ibadat Harian[17]
4.1 Ibadat Harian adalah Doa Yesus
Ibadat Harian sebagai
doa Yesus didasarkan pada dua tradisi, yakni kebiasaan doa Yahudi dan pandangan
Perjanjian Baru. Dua sumber tersebut dapat dirumuskan dalam dua pokok pikiran
tentang doa Yesus Kristus.
Pertama,
Yesus
memang tidak merumuskan suatu definisi doa, namun Ia memberikan pemahaman
kepada murid-muridnya tentang doa sekaligus memberi perintah kepada mereka
untuk senantiasa berdoa. Beberapa contoh perkataan Yesus tentang doa adalah
sebagai berikut:
·
“Dan apabila kamu berdoa, janganlah
berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri
dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka
dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat
upahnya” (Mat 6:5).
·
“Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu
bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka
menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan” (Mat 6:7).
Yesus tidak hanya
memberi perintah kepada para muridnya supaya senantiasa berdoa, namun Ia
langsung memberikan teladan hidup melalui doa-doa-Nya. Berikut ini beberapa
contoh konkrit yang dilakukan Yesus berkaitan dengan hidup doa-Nya, yaitu
kunjungan Yesus ke Kenisah, berdoa di sinagoga-sinagoga, mendaraskan doa pagi
dan malam, melambungkan mazmur dan Shema[18].
Pokok pikiran yang kedua mengenai doa Yesus adalah
keyakinan yang amat kuat dalam diri para rasul bahwa Yesus selalu menyertai
mereka dengan Roh Kudus. Para rasul dan jemaat perdana percaya bahwa Yesus
selalu berada di tengah mereka, terutama ketika mereka berkumpul dan berdoa.
Hal ini karena Yesus pernah bersabda, “Sebab di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20).
Dari dua pokok
pemikiran di atas, kita dapat memahami bahwa setiap kali merayakan Ibadat
Harian, sebenarnya kita mengalami kehadiran Yesus Kristus yang sedang berdoa
bersama umat-Nya dalam persatuan dengan Roh Kudus. Dengan demikian Yesus
sebenarnya telah memberi contoh yang baik untuk berdoa sekaligus mengajar kita
bagaimana seharusnya berdoa.
4.2 Ibadat Harian sebagai Kenangan akan
Misteri Kristus
Dengan merayakan Ibadat
Harian, Kristus hadir sekaligus membuat misteri penyelamatan terwujud kembali.
Simbol-simbol waktu yang digunakan dalam Ibadat Harian mengungkapkan
keseluruhan misteri Kristus sebagai Matahari keadilan dan kesetiaan serta
sebagai Terang yang menghalau kegelapan dosa manusia.
Melalui pendarasan
mazmur dan pembacaan Kitab Suci, kita mengalami hadirnya misteri Sabda yang
berdaya cipta dan menyelamatkan. Melalui doa pada waktu-waktu yang sudah
ditentukan (misal: sore hari), kita mengalami hadirnya misteri Kristus melalui
kematian dan kebangkitan-Nya. Ibadat Harian menghadirkan kembali kurban Yesus
Kristus sebagai ungkapan syukur pujian-Nya kepada Allah Bapa.
4.3 Ibadat Harian sebagai Doa Gereja
Ibadat Harian merupakan
doa liturgis dan doa seluruh Gereja. Itu berarti bahwa Ibadat Harian bersifat
umum karena merupakan kegiatan dari Yesus bersama anggota Gereja. Dalam hal
ini, umat beriman sebagai anggota Gereja haruslah menyesuaikan keinginan dan
perasaan pribadinya dengan yang dimiliki oleh Kristus dan persekutuan beriman.
Umat beriman mengambil
bagian dalam doa Yesus dan dengan kuasa Roh Kudus yang mempersatukan mereka
dalam membentuk satu persekutuan. Doa mengungkapkan hakikat yang paling
mendalam dari Gereja sebagai satu persekutuan.
Dengan demikian Ibadat
Harian adalah doa tanpa henti dari semua umat beriman sebagai satu persekutuan
bersama Kristus sang Kepala, yang dirayakan pada jam-jam tertentu dan dihayati
dalam Roh dan kebenaran untuk semakin mengalami misteri Kristus yang
menguduskan dan menyelamatkan.
4.4 Simbol-simbol Utama dalam Ibadat
Harian
4.4.1 Simbol Waktu
Seluruh masa hidup
Yesus di dunia ini memberi makna yang sebenarnya terhadap “kurun waktu” yang
dilewati oleh manusia. Ada dua alasan mengapa waktu memiliki dimensi teologis. Pertama, Allah mewahyukan diri-Nya dalam waktu dan sejarah.
Kehadiran Allah dalam “kurun waktu” tertentu membuat waktu dan sejarah tidak
lagi menjadi masa yang membawa kehancuran, kesedihan, kesengsaraan, atau
keputusasaan, melainkan menjadi saat untuk mengalami keselamatan, kebahagiaan,
dan kekudusan. Alasan kedua, hidup
dan karya Yesus berada dalam sejarah manusia (pada masa tertentu). Melalui
kehadiran-Nya dalam sejarah, Yesus membawa harapan akan keselamatan abadi.
Ibadat Harian yang
dirayakan pada waktu-waktu tertentu memiliki makna kristologis dan soteriologis
dalam Yesus Kristus. Berikut makna kristologis dari waktu-waktu dalam Ibadat
Harian:
a. Waktu
pagi (Ibadat Pagi) merupakan saat terbitnya matahari, yaitu saat kebangkitan
Yesus sebagai matahari
keadilan dan kesetiaan.
b. Waktu
sore (Ibadat Sore) merupakan saat terbenamnya matahari, yaitu saat kematian dan
masuknya Yesus ke dalam dunia orang mati untuk membangkitkan mereka kembali.
c. Waktu
malam (Ibadat Malam) merupakan saat kelam atau gelap gulita yang menantang
orang untuk berjaga-jaga penuh harapan dalam doa sambil menantikan datangnya
sang pengantin, yakni Yesus Kristus sendiri.
d. Jam
ketiga atau tertia (pkl. 09.00, Ibadat Siang sebelum jam 12.00) merupakan saat
turunnya Roh Kudus ke atas para rasul (Kis 2:15), menurut tafsiran Tertulianus
dan Siprianus.
4.4.2 Simbol Terang dan Kegelapan
Ada banyak ungkapan
simbolis dari terang yang ditemukan dalam doa-doa. Pada umumnya terang yang
dimaksud bersumber dari matahari atau lilin. Terang yang bersumber dari
matahari memiliki arti sebagai berikut:
a. Terang
itu datang dari atas yang adalah ciptaan Allah sendiri.
b. Terang
itu menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup segala makhluk.
c. Matahari
melambangkan kesetiaan. Ia selalu terbit setiap hari, meski kadang terhalang
oleh awan dan hujan.
Yesus Kristus adalah
matahari sejati. Layaknya matahari, Yesus adalah Putra Allah yang datang dari
atas, dari Allah sendiri. Kehadiran-Nya sangat dibutuhkan oleh seluruh ciptaan.
Seluruh hidup Yesus, terutama kebangkitan-Nya merupakan saksi jelas dari kasih
dan kebaikan Allah untuk semua orang. Yesus adalah matahari keadilan, yang
karya penyelamatan-Nya berlaku untuk semua orang dan di segala jaman.
Selain simbol terang,
dalam Ibadat Harian juga digunakan simbol kegelapan. Kegelapan adalah keadaan
di mana orang tidak dapat melihat, tidak dapat mengetahui, tidak dapat bergerak
atau berjalan. Kegelapan melambangkan keadaan manusia yang berdosa, di mana
seseorang tidak menemukan jalan untuk maju atau mundur, tidak ada jalan keluar.
Dalam situasi seperti itu terdapat ketakutan, keputusasaan dan kematian.
4.4.3 Simbol Pendupaan
Pendupaan adalah
warisan tradisi dari dunia Timur Tengah. Di Timur Tengah Kuno, dupa dipakai
untuk menghalau bau busuk atau roh jahat. Sementara bagi orang Yahudi, dupa
digunakan untuk memuji Allah ketika membawa persembahan. Kemudian tradisi ini
diteruskan oleh Gereja sampai sekarang.
Pendupaan untuk Ibadat
Pagi dan Ibadat Sore dimulai sekitar abad ke-IV. Pendupaan dalam ibadat
melambangkan:
a. Pujian
dan kemuliaan kepada
Tuhan
b. Persembahan-korban
kepada Tuhan sumber segala anugerah dan kebaikan.
c. Doa
dan syukur kepada Tuhan.
d. Penghormatan
dan sujud kepada Tuhan yang hadir dalam persekutuan beriman yang sedang berdoa.
5. Kesimpulan
Ibadat Harian
mengungkapkan dan meliputi seluruh hidup dan karya persekutuan beriman. Dalam
tataran tertentu, Ibadat harian merupakan sebagian dari puncak pengalaman hidup
dan karya persekutuan. Melalui perayaan ini, kita mengalami karya penyelamatan
Allah yang diwujudkan oleh Yesus Kristus serta mengambil bagian dalam
misteri-Nya.
Jadi, Ibadat Harian
sebenarnya adalah pelayanan kita bagi Allah dengan perantaraan Yesus Kristus,
yang dilaksanakan dalam Roh dan kebenaran. Dengan demikian melalui Ibadat
Harian, kita dapat mengalami terus menerus misteri Yesus Kristus demi kemuliaan
Allah dan keselamatan semua manusia.
[1] Gerardus Widyo-Soewondo.
“Sejarah Ibadat Harian”, dalam Liturgi, Vol 18, (2007), hlm. 23;
bdk. Bernandus Boli
Ujan, Memahami Ibadat Harian: Doa Tanpa
Henti Dari Semua Anggota Gereja, (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 15-16.
[2] Gerald O’ Collins – Edward G.
Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology),
diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.
109;
bdk. Bernandus Boli
Ujan, Memahami…, hlm 10-11.
[3] Wim Van Der Weiden, Mazmur
dalam Ibadat Harian (Yogyakarta:
Fakultas Teologi Wedabhakti, 1990), hlm.1.
[5] P. Brandshaw, Daily Prayer in the Early Church, (New York:
Oxford University Press), hlm. 24.
[6] Robert Taff, The Liturgy of The Hour in East and West (Collegiville:
The Liturgical Press, 1985), hlm. 14-20; bdk. Bosco Da Cunha, Merayakan Karya Keselamatan dalam Kerangka
Tahun Liturgi, (tanpa tempat dan penerbit, tahun penerbit), hlm. 76.
(diktat)
[7] Robert Taff, The Liturgy ..., hlm. 21-23.
[8] Bernandus Boli Ujan, Memahami ..., hlm. 53
[9] Robert Taff, The Liturgy ...., hlm. 307-308.
[10] Pada masa itu Liturgi Ibadat
Harian sudah mendapat bentuk yang tetap; setiap ibadat memuat madah, beberapa
mazmur, bacaan Kitab suci dan doa. Di biara serta di geeja Katedral, ibadat ini
biasanya dinyanyikan oleh segenap rahib dan imam yang ambil bagian dalam
perayaan, kecuali jika da halangan serius. [Lihat. Robert Taff, The Liturgy ...., hlm. 297-299; bdk. Wim
Van Der Weiden Mazmur ...., hlm. 4.]
[12] Bernandus Boli
Ujan, Memahami ..., hlm. 52; bdk.
Robert Taff, The Liturgy ..., hlm.
299-300.
[14] Wim Van Der Weiden, Mazmur ..., hlm. 5.
[15] Wim Van Der Weiden, Mazmur ..., hlm. 5.
[16] Konsili Vatikan
II, “Konstitusi tentang Liturgi”
(SC), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 84.
[18] Shema berasal dari bahasa ibrani, artinya dengarkanlah. Kata “Shema” merupakan kata pertama doa yang
bentuknya tersusun dari Ul 6: 4-9; 11: 13-21 dan Bil 15: 37-41. Dalam rumusan
yang lebih pendek doa itu berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu
Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6: 4-5). [Lihat Gerald O’
Collins – Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi ..., hlm. 295].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar