Minggu, 06 April 2014

OFISI


 
IBADAT HARIAN
Sejarah dan Makna Teologisnya

1.    Pengantar
Ibadat Harian merupakan doa yang memiliki latar belakang biblis, sehingga roh dan semangat yang ada padanya sungguh biblis. Hal itu dapat dilihat dari asal-usulnya yang berakar pada kebiasaan tradisional Bangsa Yahudi. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki keyakinan bahwa bagi Allah setiap hari harus dipersembahkan kurban persembahan, sekurang-kurangnya dua kali sehari: pagi dan sore.[1]
Selain memiliki aspek biblis, Ibadat Harian mengandung makna teologis yang sangat mendalam. Tulisan ini hendak memaparkan secara ringkas mengenai makna teologis dari Ibadat Harian yang sering kita rayakan.

2.    Pengertian
            Ibadat Harian merupakan terjemahan dari bahasa latin Liturgia Horarum, artinya ibadat resmi komunitas yang berkumpul pada waktu-waktu tertentu sepanjang hari dan malam untuk mendengarkan bacaan Kitab Suci (atau sumber lain) dan mendoakan atau menyanyikan Mazmur-mazmur serta doa-doa lain. Karena itu, Ibadat Harian dapat dimengerti sebagai serangkaian ibadat yang dilaksanakan oleh Gereja sepanjang hari pada waktu-waktu tertentu dan ibadat yang merangkum doa-doa seluruh umat beriman. Dalam ritus Romawi yang baru Ibadat Harian meliputi Ibadat Sore I, Ibadat Bacaan, Ibadat Pagi, Ibadat Siang, Ibadat Sore II, dan Ibadat Penutup. [2]
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Ibadat Harian adalah doa resmi Gereja, doa Kristus yang diteruskan oleh tubuh-Nya yaitu Gereja dan bukan doa pribadi. Doa itu adalah salah satu kelanjutan karya Yesus Kristus Imam Agung di dunia ini. Bersama dengan Kristus, kepalanya, Gereja menghadap Allah Bapa untuk memuji Dia atas nama semua orang dan untuk memohon belaskasih-Nya bagi mereka semua. Melalui Ibadat Harian itu Gereja menguduskan segala kegiatannya sepanjang hari dan mempersembahkannya kepada Allah. [3]

3.    Sejarah Perkembangan Praktek Ibadat Harian
3.1                 Pada Masa Gereja Perdana
Keberadaan orang Kristen Perdana tidak terlepas dari kehidupan kaum Yahudi, sebab sebagian besar orang Kristen Perdana berasal dari kaum Yahudi. Mereka masih sangat dipengaruhi oleh budaya maupun peribadatan kaum Yahudi. Salah satu pengaruh itu tampak pada kebiasaan orang kristen untuk berdoa bersama. Doa bersama itu mereka laksanakan di Kenisah atau di rumah-rumah.[4]
Seiring dengan perkembangan Jemaat Kristen pada masa itu, mereka pun kerap kali datang ke tempat-tempat peribadatan dan kenisah Yerusalem untuk berdoa. Kebiasaan itu sejalan dengan meneladani kebiasan Yesus sendiri yang selalu berdoa dan mengikuti perintah Yesus kepada para murid-muridnya untuk melakukan hal yang sama. Jemaat Perdana (Gereja) menyadari tugasnya sebagai Gereja yang berdoa dan doa-doa yang bersumber dan berdasar Kitab Suci, khususnya Kitab Mazmur. Dalam doa bersama itu dibacakan kutipan-kutipan dari Kitab Suci dan kutipan ini justru membantu mereka untuk menyadarkan diri atas seluruh karya keselamatan Tuhan lewat Wafat dan kebangkitan-Nya yang merupakan puncak rencana Bapa.[5]

3.2                 Pada Abad III hingga Abad VI
Sejak awal abad II, Bapa-bapa Gereja menyebutkan bahwa umat Kristen di beberapa daerah pada waktu itu sering berkumpul untuk menjalankan doa pagi dan sore. Dalam doa pagi dan doa sore umat berdoa di bawah pimpinan uskup dan para imam. Doa itu terdiri atas madah, mazmur, pembacaan Kitab Suci serta doa spontan. Menjelang pesta-pesta besar, umat berkumpul bersama untuk berdoa dan mendengarkan bacaan Kitab Suci dan mempersiapkan diri bagi pesta.[6]
Kebiasaan doa harian itu juga diungkapkan oleh St. Hypoliptus (tahun 215) dalam Traditio Apostolica. Dalam Traditio Apostolica, Hypoliptus menegaskan pentingnya melaksanakan ibadat harian pada jam-jam yang telah ditentukan, sebab setiap waktu doa yang dilakukan pada jam yang telah ditetapkan berhubungan langsung dengan kerangka sejarah keselamatan serta memiliki makna yang dalam atas karya penebusan Kristus. Makna waktu-waktu doa itu dijelaskan sebagai berikut: ibadat malam adalah doa yang lebih menekankan misteri paskah; ibadat pagi lebih bersifat eskatologis artinya berhubungan dengan harapan akan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya; doa subuh (ketika ayam berkokok), doa jam tiga, keenam dan kesembilan serta doa sore hari merupakan kesadaran Gereja yang terlibat dalam karya penebusan Kristus.[7]
Pada abad keempat, yakni setelah masa penganiayaan berakhir, Gereja mengalami perkembangan. Pelaksanaan doa pagi dan doa sore yang terdiri atas madah, mazmur, pembacaan Kitab Suci serta doa spontan tidak lagi dilaksanakan di rumah tetapi di gereja. Mereka berkumpul bersama di gereja, baik awam maupun klerus bersama-sama menjalankan ibadat harian dan ibadat itu dipimpin oleh uskup. Doa bersama itu diwajibkan bagi semua anggota Gereja, baik kaum awam maupun klerus. Doa bersama itu dikenal dengan sebutan Liturgi Ibadat Harian Katedral. [8]
Sekitar abad keenam, perkembangan biara semakin pesat di seluruh wilayah Gereja dan pengaruh para rahib bertambah besar dalam Gereja, banyak juga dari kalangan para rahib yang menjadi pemimpin Gereja, seperti paus dan uskup. Sebagai seorang mantan rahib, paus dan uskup tetap berpegang pada kebiasaan hidup membiara bagi hidup pribadinya dan orang-orang di sekitarnya.[9]
3.3                 Pada Abad Pertengahan
            Pada awal abad pertengahan, Liturgi Ibadat Harian sudah menjadi acara harian bagi para klerus dan petugas gerejani. Mereka biasa berkumpul bersama di gereja katedral untuk menjalankan Liturgi Ibadat Harian dan biasanya para klerus menyanyikannya, kecuali jika ada halangan serius.[10]
Sejak abad X Liturgi Ibadat Harian tidak lagi dijalankan secara bersama-sama di Gereja melainkan dilaksanakan secara pribadi. Perubahan itu terjadi dengan ditandainya beberapa peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Salah satunya ialah perkembangan beberapa ordo yang lahir pada abad ketigabelas, khususnya Ordo Fransiskan dan Dominikan. Dalam Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan ada aturan khusus bagi para anggotanya, yakni mereka tidak terikat pada aturan-aturan hidup membiara yang mengharuskan mereka berada di dalam biara. Hal itu disebabkan para anggota kedua ordo tersebut lebih banyak membaktikan waktunya untuk pewartaan dan katekese, sehingga mereka tidak dapat lagi secara teratur berkumpul di kapel biara untuk berdoa bersama. [11]
Bagi para klerus pelaksanaan ibadat harian sebagai doa pribadi juga merupakan akibat dari minimnya pengetahuan umat tentang bahasa Latin. Banyak umat waktu itu buta huruf dan tidak dapat membaca atau tidak mengerti bahasa Latin yang adalah bahasa resmi yang digunakan dalam buku Liturgi Ibadat Harian. Karena mereka tidak mengerti bahasa Latin, maka mereka tidak datang ke Katedral untuk mengambil bagian dalam Ibadat Harian. Hal itu juga turut mempengaruhi susunan Ibadat Katedral yang berubah. Ibadat harian yang dipimpin oleh uskup dan dihadiri banyak klerus tetapi sedikit umat, akhirnya menciptakan kemungkinan besar bagi kaum klerus untuk mendaraskan bersama doa-doa yang sebelumnya biasa digunakan oleh kaum biarawan-biarawan saja.[12]
Sejak abad pertengahan brevir[13] mengalami beberapa pembaharuan, khususnya sesudah teknik percetakan muncul pada abad kelima belas. Brevir menjadi buku doa yang paling umum bagi klerus. Tidak lama sesudahnya doa brevir menjadi kewajiban bagi para klerus. Dalam prakteknya, selama abad-abad terakhir ini brevir menjadi doa pribadi yang wajib bagi klerus. Mereka memakai brevir sebagai doa harian yang didaraskan secara pribadi. Hal itu ternyata mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan brevir. Di kalangan para klerus brevir kerapkali dilakukan tanpa memperhatikan maksud asli dan isinya.[14]

3.4    Konsili Vatikan II
Dalam konsili Vatikan II (1962-1965), pembaharuan liturgi menduduki tempat yang penting. Pembaharuan liturgi terasa terutama dalam pembaharuan mengenai Ibadat Harian. Pembaharuan tentang Ibadat harian itu secara khusus dibahas dalam dokumen Konstitusi Liturgi.[15]
Meskipun pembaharuan terhadap Ibadat Harian yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan II itu kurang memenuhi harapan, banyak orang mengusulkan pembaharuan lebih radikal lagi. Namun ada sejumlah pokok yang patut diperhatikan, yaitu Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Ibadat Harian bukanlah ibadat perseorangan, melainkan ibadat umat yang menampakkan dan menyangkut seluruh tubuh Gereja. Ibadat Harian bukan eksklusif doa para klerus dan rahib, atau biarawan-biarawan. Perayaan Ibadat Harian menjadi perayaan gerejani yang dilakukan oleh uskup bersama umat dan para imam. Perayaan ibadat gerejani itu menghadirkan Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Partisipasi umat untuk ibadat pagi dan sore pada Hari Minggu dan pesta sangat dianjurkan, teristimewa di paroki, yang merupakan sel inti keuskupan di bawah pimpinan pastor setempat yang mewakili uskup, sebab umat paroki itu menghadirkan Gereja yang tersebar di seluruh dunia.[16]
4.    Makna Teologis Ibadat Harian[17]
4.1    Ibadat Harian adalah Doa Yesus
Ibadat Harian sebagai doa Yesus didasarkan pada dua tradisi, yakni kebiasaan doa Yahudi dan pandangan Perjanjian Baru. Dua sumber tersebut dapat dirumuskan dalam dua pokok pikiran tentang doa Yesus Kristus.
Pertama, Yesus memang tidak merumuskan suatu definisi doa, namun Ia memberikan pemahaman kepada murid-muridnya tentang doa sekaligus memberi perintah kepada mereka untuk senantiasa berdoa. Beberapa contoh perkataan Yesus tentang doa adalah sebagai berikut:
·         “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:5).
·         “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan” (Mat 6:7).
Yesus tidak hanya memberi perintah kepada para muridnya supaya senantiasa berdoa, namun Ia langsung memberikan teladan hidup melalui doa-doa-Nya. Berikut ini beberapa contoh konkrit yang dilakukan Yesus berkaitan dengan hidup doa-Nya, yaitu kunjungan Yesus ke Kenisah, berdoa di sinagoga-sinagoga, mendaraskan doa pagi dan malam, melambungkan mazmur dan Shema[18].
Pokok pikiran yang kedua mengenai doa Yesus adalah keyakinan yang amat kuat dalam diri para rasul bahwa Yesus selalu menyertai mereka dengan Roh Kudus. Para rasul dan jemaat perdana percaya bahwa Yesus selalu berada di tengah mereka, terutama ketika mereka berkumpul dan berdoa. Hal ini karena Yesus pernah bersabda, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20).
 Dari dua pokok pemikiran di atas, kita dapat memahami bahwa setiap kali merayakan Ibadat Harian, sebenarnya kita mengalami kehadiran Yesus Kristus yang sedang berdoa bersama umat-Nya dalam persatuan dengan Roh Kudus. Dengan demikian Yesus sebenarnya telah memberi contoh yang baik untuk berdoa sekaligus mengajar kita bagaimana seharusnya berdoa.

4.2     Ibadat Harian sebagai Kenangan akan Misteri Kristus
Dengan merayakan Ibadat Harian, Kristus hadir sekaligus membuat misteri penyelamatan terwujud kembali. Simbol-simbol waktu yang digunakan dalam Ibadat Harian mengungkapkan keseluruhan misteri Kristus sebagai Matahari keadilan dan kesetiaan serta sebagai Terang yang menghalau kegelapan dosa manusia.
Melalui pendarasan mazmur dan pembacaan Kitab Suci, kita mengalami hadirnya misteri Sabda yang berdaya cipta dan menyelamatkan. Melalui doa pada waktu-waktu yang sudah ditentukan (misal: sore hari), kita mengalami hadirnya misteri Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Ibadat Harian menghadirkan kembali kurban Yesus Kristus sebagai ungkapan syukur pujian-Nya kepada Allah Bapa.

4.3     Ibadat Harian sebagai Doa Gereja
Ibadat Harian merupakan doa liturgis dan doa seluruh Gereja. Itu berarti bahwa Ibadat Harian bersifat umum karena merupakan kegiatan dari Yesus bersama anggota Gereja. Dalam hal ini, umat beriman sebagai anggota Gereja haruslah menyesuaikan keinginan dan perasaan pribadinya dengan yang dimiliki oleh Kristus dan persekutuan beriman.
Umat beriman mengambil bagian dalam doa Yesus dan dengan kuasa Roh Kudus yang mempersatukan mereka dalam membentuk satu persekutuan. Doa mengungkapkan hakikat yang paling mendalam dari Gereja sebagai satu persekutuan.
Dengan demikian Ibadat Harian adalah doa tanpa henti dari semua umat beriman sebagai satu persekutuan bersama Kristus sang Kepala, yang dirayakan pada jam-jam tertentu dan dihayati dalam Roh dan kebenaran untuk semakin mengalami misteri Kristus yang menguduskan dan menyelamatkan.




4.4     Simbol-simbol Utama dalam Ibadat Harian
4.4.1   Simbol Waktu
Seluruh masa hidup Yesus di dunia ini memberi makna yang sebenarnya terhadap “kurun waktu” yang dilewati oleh manusia. Ada dua alasan mengapa waktu memiliki dimensi teologis. Pertama, Allah mewahyukan diri-Nya dalam waktu dan sejarah. Kehadiran Allah dalam “kurun waktu” tertentu membuat waktu dan sejarah tidak lagi menjadi masa yang membawa kehancuran, kesedihan, kesengsaraan, atau keputusasaan, melainkan menjadi saat untuk mengalami keselamatan, kebahagiaan, dan kekudusan. Alasan kedua, hidup dan karya Yesus berada dalam sejarah manusia (pada masa tertentu). Melalui kehadiran-Nya dalam sejarah, Yesus membawa harapan akan keselamatan abadi.
Ibadat Harian yang dirayakan pada waktu-waktu tertentu memiliki makna kristologis dan soteriologis dalam Yesus Kristus. Berikut makna kristologis dari waktu-waktu dalam Ibadat Harian:
a.       Waktu pagi (Ibadat Pagi) merupakan saat terbitnya matahari, yaitu saat kebangkitan Yesus sebagai matahari keadilan dan kesetiaan.
b.      Waktu sore (Ibadat Sore) merupakan saat terbenamnya matahari, yaitu saat kematian dan masuknya Yesus ke dalam dunia orang mati untuk membangkitkan mereka kembali.
c.       Waktu malam (Ibadat Malam) merupakan saat kelam atau gelap gulita yang menantang orang untuk berjaga-jaga penuh harapan dalam doa sambil menantikan datangnya sang pengantin, yakni Yesus Kristus sendiri.
d.      Jam ketiga atau tertia (pkl. 09.00, Ibadat Siang sebelum jam 12.00) merupakan saat turunnya Roh Kudus ke atas para rasul (Kis 2:15), menurut tafsiran Tertulianus dan Siprianus.

4.4.2   Simbol Terang dan Kegelapan
Ada banyak ungkapan simbolis dari terang yang ditemukan dalam doa-doa. Pada umumnya terang yang dimaksud bersumber dari matahari atau lilin. Terang yang bersumber dari matahari memiliki arti sebagai berikut:
a.       Terang itu datang dari atas yang adalah ciptaan Allah sendiri.
b.      Terang itu menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup segala makhluk.
c.       Matahari melambangkan kesetiaan. Ia selalu terbit setiap hari, meski kadang terhalang oleh awan dan hujan.
Yesus Kristus adalah matahari sejati. Layaknya matahari, Yesus adalah Putra Allah yang datang dari atas, dari Allah sendiri. Kehadiran-Nya sangat dibutuhkan oleh seluruh ciptaan. Seluruh hidup Yesus, terutama kebangkitan-Nya merupakan saksi jelas dari kasih dan kebaikan Allah untuk semua orang. Yesus adalah matahari keadilan, yang karya penyelamatan-Nya berlaku untuk semua orang dan di segala jaman.
Selain simbol terang, dalam Ibadat Harian juga digunakan simbol kegelapan. Kegelapan adalah keadaan di mana orang tidak dapat melihat, tidak dapat mengetahui, tidak dapat bergerak atau berjalan. Kegelapan melambangkan keadaan manusia yang berdosa, di mana seseorang tidak menemukan jalan untuk maju atau mundur, tidak ada jalan keluar. Dalam situasi seperti itu terdapat ketakutan, keputusasaan dan kematian.

4.4.3   Simbol Pendupaan
Pendupaan adalah warisan tradisi dari dunia Timur Tengah. Di Timur Tengah Kuno, dupa dipakai untuk menghalau bau busuk atau roh jahat. Sementara bagi orang Yahudi, dupa digunakan untuk memuji Allah ketika membawa persembahan. Kemudian tradisi ini diteruskan oleh Gereja sampai sekarang.
Pendupaan untuk Ibadat Pagi dan Ibadat Sore dimulai sekitar abad ke-IV. Pendupaan dalam ibadat melambangkan:
a.       Pujian dan kemuliaan kepada Tuhan
b.      Persembahan-korban kepada Tuhan sumber segala anugerah dan kebaikan.
c.       Doa dan syukur kepada Tuhan.
d.      Penghormatan dan sujud kepada Tuhan yang hadir dalam persekutuan beriman yang sedang berdoa.

5.    Kesimpulan
Ibadat Harian mengungkapkan dan meliputi seluruh hidup dan karya persekutuan beriman. Dalam tataran tertentu, Ibadat harian merupakan sebagian dari puncak pengalaman hidup dan karya persekutuan. Melalui perayaan ini, kita mengalami karya penyelamatan Allah yang diwujudkan oleh Yesus Kristus serta mengambil bagian dalam misteri-Nya.
Jadi, Ibadat Harian sebenarnya adalah pelayanan kita bagi Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, yang dilaksanakan dalam Roh dan kebenaran. Dengan demikian melalui Ibadat Harian, kita dapat mengalami terus menerus misteri Yesus Kristus demi kemuliaan Allah dan keselamatan semua manusia.




[1] Gerardus Widyo-Soewondo. “Sejarah Ibadat Harian”, dalam Liturgi, Vol 18, (2007), hlm. 23; bdk. Bernandus Boli Ujan, Memahami Ibadat Harian: Doa Tanpa Henti Dari Semua Anggota Gereja, (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 15-16.

[2] Gerald O’ Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 109; bdk. Bernandus Boli Ujan, Memahami, hlm 10-11.
[3] Wim Van Der Weiden, Mazmur dalam Ibadat Harian (Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 1990), hlm.1.

[4] Bernandus Boli Ujan, Memahami..., hlm. 17-18].

[5] P. Brandshaw, Daily Prayer in the Early Church, (New York: Oxford University Press),  hlm. 24.

[6] Robert Taff, The Liturgy of The Hour in East and West (Collegiville: The Liturgical Press, 1985), hlm. 14-20; bdk. Bosco Da Cunha, Merayakan Karya Keselamatan dalam Kerangka Tahun Liturgi, (tanpa tempat dan penerbit, tahun penerbit), hlm. 76. (diktat)

[7] Robert Taff, The Liturgy ..., hlm. 21-23.

[8] Bernandus Boli Ujan, Memahami ..., hlm. 53

[9] Robert Taff, The Liturgy ...., hlm. 307-308.

[10] Pada masa itu Liturgi Ibadat Harian sudah mendapat bentuk yang tetap; setiap ibadat memuat madah, beberapa mazmur, bacaan Kitab suci dan doa. Di biara serta di geeja Katedral, ibadat ini biasanya dinyanyikan oleh segenap rahib dan imam yang ambil bagian dalam perayaan, kecuali jika da halangan serius. [Lihat. Robert Taff, The Liturgy ...., hlm. 297-299; bdk. Wim Van Der Weiden Mazmur ...., hlm. 4.]

[11] Bernandus Boli Ujan, Memahami ..., hlm. 52.

[12] Bernandus Boli Ujan, Memahami ..., hlm. 52; bdk. Robert Taff, The Liturgy ..., hlm. 299-300.

[13] Kata “brevir” memiliki kesamaan arti dengan Ibadat Harian.
[14] Wim Van Der Weiden, Mazmur ..., hlm. 5.

[15] Wim Van Der Weiden, Mazmur ..., hlm. 5.

[16] Konsili Vatikan II, “Konstitusi tentang Liturgi” (SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 84.

[17] Pokok pembahasan ini disarikan dari Bernandus Boli Ujan, Memahami ..., hlm. 57-73.

[18] Shema berasal dari bahasa ibrani, artinya dengarkanlah. Kata “Shema” merupakan kata pertama doa yang bentuknya tersusun dari Ul 6: 4-9; 11: 13-21 dan Bil 15: 37-41. Dalam rumusan yang lebih pendek doa itu berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6: 4-5). [Lihat Gerald O’ Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi ..., hlm. 295].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar