Minggu, 06 April 2014

Kisah Sengsara Kristus



Pembagian Pakaian dan Pengundian Jubah Yesus oleh Para Prajurit
Yohanes 19:23-24[1]

Abstraksi
Peristiwa pembagian pakaian dan pengundian jubah Yesus merupakan kisah yang cukup singkat. Tampaknya penginjil berpikir tentang Mzm. 22:19, “Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku”. Tetapi tidak begitu saja dapat dikatakan bahwa penginjil membuat cerita berdasarkan teks itu. Sebaliknya dapat dipikirkan, detil cerita ini diingat karena dapat dimengerti maknanya berdasarkan teks Perjanjian Lama (Bdk. Yoh. 19:24). Yesus, seperti Petrus (Kis. 12:4) dijaga empat regu tentara, maka pakaiannya dibagi empat, sedangkan jubah-Nya diundi. Mungkinkah Yohanes berpikir simbolis? Jubah melambangkan Gereja yang tidak terbagi. Tapi gagasan seperti ini baru muncul pada zaman St. Siprianus.[2]


Pengantar
            Kisah sengsara mendapat tempat yang istimewa dalam keempat Injil. Tak terkecuali dalam Injil Yohanes. Kebangkitan Kristus tidak menutupi bagian yang menyedihkan dari kehidupan Yesus. Sebaliknya, dalam terang kebangkitan dipahami arti seluruh hidup-Nya, khususnya kisah-kisah dramatis, yaitu; penolakan, sengsara, dan wafat-Nya.[3]
            Sepintas lalu di antara kesengsaraan dan kebangkitan terdapat pertentangan yang tidak terdamaikan: sengsara adalah kekalahan, sedangkan kebangkitan adalah kemenangan yang menutup kekalahan itu; sengsara merendahkan, kebangkitan meninggikan dan memuliakan. Kebangkitan menerangkan peristiwa sengsara dan menjadikan peristiwa sengsara dan kebangkitan sebagai suatu realitas penyelamatan yang tak terpisahkan. Kemuliaan kebangkitan menyatakan nilai pengorbanan dan menunjukkan bahwa sebenarnya sengsara bukanlah kekalahan, melainkan suatu perjuangan yang penuh kemenangan sekaligus merupakan pemenuhan rencana Tuhan.[4]
            Pembagian pakaian dan pengundian jubah Yesus oleh para prajurit merupakan bagian dari kisah sengsara Yesus ketika disalibkan. Dalam kisah inipun ditegaskan bahwa segalanya telah tertulis dalam Kitab Suci dan kisah tersebut merupakan semacam penggenapan dari Kitab Suci.

Catatan Awal
            Apakah dasar kesatuan unit Yoh. 19:23-24, sehingga Yohanes memberi perhatian khusus pada peristiwa pembagian pakaian Yesus ini? Hal ini sangat dimungkinkan bahwa sumber Yohanes memberikan uraian yang begitu rinci. Dalam sejarah tradisi, pembentukan teks dapat digambarkan sebagai berikut: kutipan langsung oleh sinoptik kemudian direproduksi secara lengkap, tepatnya setelah Mzm. 22:19, Mzm. 21:19 LXX, dan sesuai dengan parallelismus membrorum  dalam ayat Mazmur, pembagian pakaian pakaian (i`ma,tia plural) dibedakan dari pembuangan undi untuk jubah (i`ma,tismoj singular). Hal ini menjadi semacam refleksi Yohanes yang lebih luas didasarkan pada firman Kitab Suci (PL) dibandingkan kisah yang ada pada Injil Sinoptik.[5]
            Tujuan yang lebih mendalam patut dipertimbangkan untuk tulisan teologis Yohanes tersebut. Beberapa ekseget tidak menemukan sesuatu dalam jubah mulus Yesus, di mana penginjil memahaminya secara simbolis, tetapi penginjil sendiri tidak memberikan indikasi yang memadai, dan dalam upaya-upaya menginterpretasi tidak sungguh memuaskan. Titik tolak yang lebih baik untuk menemukan perhatiannya bisa ditemukan dalam ayat 24c dimana Yohanes telah menyusun sebuah kalimat kontras yang menghubungkan para prajurit dengan wanita yang berdiri di bawah salib (kisah selanjutnya). Kisah pembagian pakaian, dalam cara ini, semacam sebuah kontras dengan adegan berikutnya yaitu antara perempuan dan kata-kata Yesus kepada ibu-Nya dan murid yang Dia kasihi. Hal itu tidak mengesampingkan apa yang dilihat penginjil, yaitu sesuatu yang lebih signifikan mendalam dari aksi para prajurit, suatu cara yang sama seperti setelah kematian Yesus, yakni penikaman lambung Yesus (ay. 32-34),  tetapi mungkin dengan pengamatan ini, kita mendapat perhatiannya yang semakin dekat.[6]
Tafsir Yohanes 19:23-24

Ayat 23 (Pembagian pakaian Yesus dan Interpretasi mengenai Jubah Yesus)
            Adalah suatu kebiasaan bagi para prajurit yang melakukan penyaliban mendapat hak dari milik si tersalib. Menurut tradisi, para prajurit yang menyalibkan Yesus membagi pakaian-Nya menjadi empat bagian, satu bagian untuk masing-masing prajurit. Hal ini memungkinkan bahwa ada empat prajurit yang terlibat dalam eksekusi itu.[7] Dari laporan ini (sumber Yohanes), kita tentu tidak bisa menghitung berapa banyak potongan pakaian yang dipakai Yesus. Tulisan ini dibuat untuk menanggapi firman  dari Kitab Suci yang seharusnya sudah memiliki sumbernya.[8] Jubah itu tidak terbuat dari potongan kain yang terpisah, melainkan merupakan satu potong tenunan dari atas ke bawah tanpa jahitan. Menurut Schnackenburg, model pakaian ini banyak dikenakan di wilayah Palestina waktu itu, dan tidak menunjukkan sesuatu yang aneh atau mahal harganya. Uraian yang ada mau memberikan alasan mengapa tentara tidak merobek jubah sehingga kata-kata Kitab Suci terpenuhi (ay. 24).[9]
            Josephus menyatakan pada kita bahwa citwvn (pakaian) imam agung pada waktu itu merupakan satu jenis dengan apa yang dikenakan oleh Yesus, yakni satu tenunan dan tanpa jahitan. Yohanes mungkin menginginkan kita untuk membedakan referensi kegiatan imam agung Kristus yang rela memberikan diri-Nya sampai mati. Komentator Kristen, baik klasik maupun modern memahami jubah tanpa jahitan itu sebagai sebuah acuan akan kesatuan pengikut Kristus, berhimpun bersama melalui kematian-Nya.[10] Sementara itu kutipan  M. F. Wiles tentang Teodorus dari Mopsuestia memberikan beberapa arti mengenai jubah Yesus tersebut: “Jubah mulus Kristus merupakan satu tenunan dari atas ke bawah. Menurut Origenes, hal itu melambangkan keseluruhan ajaran Kristus, menurut Siprianus hal itu melambangkan kesatuan Gereja, dan bagi Sirilus melambangkan kesucian dari kelahiran Kristus. Sementara itu Theodorus meyakini bahwa pakaian seperti itu sudah menjadi gaya atau metode menenun yang paling umum pada zaman Kristus”.[11]

Ayat 24 (Penggenapan Nubuat Perjanjian Lama)
            Pada ayat 23 telah dijelaskan bahwa jubah Yesus tersebut merupakan satu tenunan saja. Maka para prajurit memutuskan untuk tidak membaginya tetapi memberikan kepada salah seorang dari mereka yang memenangi undian. Mereka membuang undi untuk menentukan siapa yang beruntung. Yohanes melihat kejadian ini sebagai penggenapan dari Kitab Suci (Mzm. 22:19[12]).[13] Namun Yohanes membedakan antara pakaian/the ‘clothes’ (robe) dan pakaian/the ‘clothing’ (tunic), sebaliknya pemazmur hanya menggunakan ungkapan-ungkapan paralel untuk membedakan objek yang sama. Untuk menekankan perlindungan Allah, jubah tersebut tidak dibagi-bagi, yang mungkin saja memiliki kesatuan makna dengan Mzm 22:11.[14] Sekali lagi kita melihat pokok pikiran ini  bahwa Allah telah menghedakinya, sehingga pengundian yang terjadi ialah atas kehendak Allah dan bukan karena manusia. Oleh karena itu maka para prajurit bertindak sebagaimana yang mereka lakukan.[15]

Catatan Akhir
Kita telah tahu bahwa seorang penjahat’ (Yesus) dikawal oleh empat serdadu ke tempat hukuman mati. Salah satu keuntungan bagi mereka ialah pakaian si korban itu. Biasanya pakaian lengkap orang Yahudi terdiri dari sepatu, ikat kepala, ikat pinggang, baju dan jubah luar. Ada empat serdadu dan ada lima potong barang. Mereka membuang undi, masing-masing mendapat bagiannya, tapi baju masih sisa. Baju itu tidak berjahit dan merupakan satu potongan kain yang utuh. Kalau kain itu dipotong empat bagian akan membuat kain itu tidak berguna lagi, maka perlu diundi lagi untuk mengetahui siapa yang akan mendapatkannya. Ada banyak hal dalam gambaran yang hidup ini.
Pertama, Studdert Kennedy mempunyai sebuah syair tentang peristiwa di atas. Menurutnya serdadu-serdadu itu adalah penjudi. Dalam arti tertentu Yesus juga seorang penjudi, karena Dia telah mempertaruhkan segala sesuatu karena kesetiaan-Nya kepada Allah. Dia mempertaruhkan segala sesuatu karena Salib. Inilah himbauan-Nya yang terakhir dan terbesar kepada manusia, dan juga tindakan kepatuhan yang terakhir dan terbesar terhadap Allah. Maka jelaslah bahwa dalam arti tertentu setiap orang kristen adalah penjudi, karena setiap orang kristen harus berani ambil risiko demi nama-Nya.
Kedua, seorang pelukis melukis Kristus berdiri dengan tangan-Nya yang menunjukkan luka tusukan paku dibentangkan di kota yang modern. Tidak seorang pun melihat kepada-Nya, kecuali seorang jururawat muda dari rumah sakit dan di bawah lukisan itu ada pertanyaan: “Acuh tak acuhkah kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah (Rat 1:12). Lukisan itu menggambarkan sikap masa bodoh dunia terhadap Kristus. Di kayu Salib Kristus sedang mati disertai penderitaan yang terdalam, dan di kaki salib para serdadu membuang undi seolah-olah apa yang terjadi di kayu salib itu bukan apa-apa. Jadi yang menjadi tragedi bukanlah permusuhan dunia ini terhadap Kristus, melainkan sikap masa bodoh dunia yang memandang kasih Allah seolah-olah tidak berarti sama sekali.
Ketiga, masih ada dua hal lain lagi yang perlu kita perhatikan di dalam gambaran ini. Sebuah dongeng mengatakan bahwa Maria sendirilah yang telah menenun baju yang tidak berjahit itu sebagai pemberian terakhir kepada anaknya waktu Yesus meninggalkan rumah untuk menunaikan tugas-Nya di dunia ini. Jika ini memang benar (kemungkinan sekali memang demikian, karena memang kebiasaan ibu-ibu Yahudi berbuat demikian) ada duka kepedihan dalam gambar para serdadu yang tidak mempunyai rasa kepekaan dan yang sedang mengundi baju Yesus yang adalah pemberian ibu-Nya.
Akan tetapi ada sesuatu yang setengah tersembunyi di sini. Baju Yesus itu tidak berjahit, dari atas sampai ke bawah satu tenunan saja. Seperti itulah juga baju lenan yang dipakai oleh imam besar. Fungsi imam ialah untuk menjadi penghubung antara Allah dan manusia. Kata Latin untuk imam ialah pontifex yang berarti pembangun jembatan. Maka seorang imam harus membangun jembatan antara Allah dan manusia. Tak seorang pun yang telah melakukan hal itu seperti yang dilakukan oleh Yesus. Dialah Imam Besar yang sempurna. Melalui Dia manusia dapat datang kepada Allah. Sekali lagi kita melihat adanya arti kembar dalam sekian banyak pernyataan-pernyataan Yohanes, yakni arti yang ada pada permukaan dan arti yang lebih dalam. Cerita Yohanes tentang baju Yesus yang tidak berjahit itu bukan hanya lukisan tentang macam pakaian yang dipakai oleh Yesus. Cerita itu juga menyatakan kepada kita bahwa Yesus adalah imam yang sempurna, yang membuka jalan yang sempurna bagi semua manusia untuk datang kepada Allah.
Terakhir, dalam peristiwa penyaliban Yesus ini, Yohanes melihat suatu penggenapan nubuat Perjanjian Lama. Ia mengutip kata-kata pemazmur: Mereka membagi-bagi pekaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku (Mzm 22:19).



[1] Sesudah prajurit-prajurit itu menyalibkan Yesus, mereka mengambil pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian -  dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatnya.” Demikianlah hendaknya supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: “Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.” Hal itu telah dilakukan prajurit-prajurit itu.

[2] I. Suharyo, Kisah Sengsara Yesus dalam Injil Sinoptik (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 50.

[3] I. Suharyo, Kisah..., hlm 10.
[4] I. Suharyo, Kisah..., hlm 10.

[5] Why does John pay such attention to the sharing of the garments? It is very possible that his source gave so detailed an account of it. In the history of tradition the development can be pictured as follows: the indirect citation by the synoptic was later reproduced in full, and, indeed, precisely after Ps 22:19, Ps 21:19 LXX, and, in accordance with the parallelismus membrorum in the psalm verse, the sharing of the garments (i`ma,tia plural) was distinguished from the drawing of lots for the tunic (i`ma,tismoj  singular). Such a kind of more extensive reflection based on the word of scripture, would be well-suited to a source which is to be dated later than the synoptic. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, vol. 3. (Tunbridge Wells: Burns & Oates, 1982), hlm. 272.]

[6] A deeper purpose can rightly be supposed for John's theologically consid­ered account. Not a few exegetes discover it in the seamless tunic, which the evangelist is supposed to have understood symbolically; but he himself gives no kind of indication, and the attempts at interpretation do not really satisfy. A better starting-point for discovering his intention might be found in v. 24c where he has composed a linking sentence that contrasts the soldiers concerned (v. 25) with the women standing by the cross. The scene of the sharing of the garments is, in this way, a kind of contrast to the following scene with the women and Jesus' words to his mother and the disciple whom he loved. That does not rule out the evangelist's seeing something more deeply significant in the action of the soldiers, in the same way as, after the death of Jesus, in the piercing of Jesus' side (vv. 32-34); but, perhaps, with this observation, we are getting nearer to his intention. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].

[7] It was customary for the soldiers who performed a crucifixion to take the clothing of the executed man. It was a recognized perquisite of their office. In accordance with this custom the soldiers who crucified Jesus divided His clothing into four, one part for each soldier. It is this which enables us to see that there were four soldiers concerned in this execution. [Lihat Leon Morris, The New International Commentary on The New Testament: The Gospel According to St. John (Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Co., 1971), hlm. 808-809.

[8] For this report (of the Johannine source) we certainly may not count how many pieces of clothing Jesus wore. The account is made to correspond to the scriptural saying, which must, therefore, already have belonged to the source. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].

[9] It is described further in what follows: without seam, woven from top to bottom. This mode of manufacture has also been identified elsewhere in the Palestine of that time, and need not indicate anything unusual or especially cost1y. The description is there to give a reason in the context why the soldiers did not tear the tunic so that the words of scripture were fulfilled. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].

[10] Josephus tells us that the high priest's citwn was of this type, woven in one piece. John may wish us to discern a reference to Christ's priestly activity as He offered Himself in death. Christian commentators, both ancient and modern, have sometimes seen in the seamless robe a reference to the unity of Christ's followers, gathered together through His death. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 809].
[11] M. F. Wiles's citation of Theodore of Mopsuestia has point: "Christ's seamless robe woven from the top, which suggested to Origen the wholeness of Christ's teaching, to Cyprian the unity of the church, and to Cyril the virgin birth of Christ, receives from Theodore no other comment than that such methods of weaving were common in the time of Christ. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 809].

[12] Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.

[13] Accordingly the soldiers decided not to divide it up among them but to give it to one of their number as it was. They cast lots to determine who should be the fortunate fellow. John sees in this the literal fulfilment of a certain passage of Scripture (Ps. 22:18). [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 809].

[14] He distinguishes between the ‘clothes’ (the robe) and the ‘clothing’ (the tunic), whereas the psalmist only used parallel expressions to designate the same object. In order to underline God’s protection the tunic is not devided, which probably meaning of unity similar to that in Ps. 22:11. [Lihat John Barton and John Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (Greet Clarendon Street: Oxford University Press, 2001), hlm. 995].

[15] Once again we see his master-thought that God was over all that was done, so directing things that His will was accomplished, and not that of puny man. It was because of this is that the soldiers acted as they did. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 810].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar