Pembagian Pakaian dan Pengundian Jubah Yesus oleh Para
Prajurit
Yohanes 19:23-24[1]
Abstraksi
Peristiwa pembagian pakaian dan
pengundian jubah Yesus merupakan kisah yang cukup singkat. Tampaknya penginjil
berpikir tentang Mzm. 22:19, “Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka,
dan mereka membuang undi atas jubahku”. Tetapi tidak begitu saja dapat
dikatakan bahwa penginjil membuat cerita berdasarkan teks itu. Sebaliknya dapat
dipikirkan, detil cerita ini diingat karena dapat dimengerti maknanya
berdasarkan teks Perjanjian Lama (Bdk. Yoh. 19:24). Yesus, seperti Petrus (Kis.
12:4) dijaga empat regu tentara, maka pakaiannya dibagi empat, sedangkan jubah-Nya diundi.
Mungkinkah Yohanes berpikir simbolis? Jubah melambangkan Gereja yang tidak
terbagi. Tapi gagasan seperti ini baru muncul pada zaman St. Siprianus.[2]
Pengantar
Kisah
sengsara mendapat tempat yang istimewa dalam keempat Injil. Tak terkecuali dalam Injil Yohanes. Kebangkitan Kristus tidak
menutupi bagian yang menyedihkan dari kehidupan Yesus. Sebaliknya, dalam terang
kebangkitan dipahami arti seluruh hidup-Nya, khususnya kisah-kisah dramatis,
yaitu; penolakan, sengsara, dan wafat-Nya.[3]
Sepintas
lalu di antara kesengsaraan dan kebangkitan terdapat pertentangan yang tidak
terdamaikan: sengsara adalah kekalahan,
sedangkan kebangkitan adalah kemenangan yang menutup kekalahan itu; sengsara
merendahkan, kebangkitan meninggikan dan memuliakan.
Kebangkitan menerangkan peristiwa sengsara dan menjadikan peristiwa sengsara
dan kebangkitan sebagai suatu realitas penyelamatan yang tak terpisahkan. Kemuliaan kebangkitan menyatakan nilai pengorbanan
dan menunjukkan bahwa sebenarnya sengsara
bukanlah kekalahan, melainkan suatu perjuangan yang penuh kemenangan sekaligus
merupakan pemenuhan rencana Tuhan.[4]
Pembagian
pakaian dan pengundian jubah Yesus oleh
para prajurit merupakan bagian dari kisah sengsara Yesus ketika disalibkan.
Dalam kisah inipun ditegaskan bahwa segalanya telah tertulis dalam Kitab Suci
dan kisah tersebut merupakan semacam penggenapan dari Kitab Suci.
Catatan Awal
Apakah
dasar kesatuan unit Yoh. 19:23-24, sehingga Yohanes memberi perhatian khusus
pada peristiwa pembagian pakaian Yesus ini? Hal ini sangat dimungkinkan bahwa
sumber Yohanes memberikan uraian yang begitu rinci. Dalam sejarah tradisi,
pembentukan teks dapat digambarkan sebagai berikut: kutipan langsung oleh
sinoptik kemudian direproduksi secara lengkap, tepatnya setelah Mzm. 22:19,
Mzm. 21:19 LXX, dan sesuai dengan parallelismus
membrorum dalam ayat Mazmur,
pembagian pakaian pakaian (i`ma,tia plural) dibedakan dari pembuangan undi untuk jubah (i`ma,tismoj
singular). Hal ini menjadi semacam
refleksi Yohanes yang lebih luas didasarkan pada firman Kitab Suci (PL) dibandingkan kisah yang ada pada Injil Sinoptik.[5]
Tujuan
yang lebih mendalam patut dipertimbangkan untuk tulisan teologis Yohanes
tersebut. Beberapa ekseget tidak menemukan sesuatu dalam jubah mulus Yesus, di
mana penginjil memahaminya secara simbolis, tetapi penginjil sendiri tidak
memberikan indikasi yang memadai, dan dalam upaya-upaya menginterpretasi tidak
sungguh memuaskan. Titik tolak yang lebih baik untuk menemukan perhatiannya
bisa ditemukan dalam ayat 24c dimana Yohanes telah menyusun sebuah kalimat
kontras yang menghubungkan para prajurit dengan wanita yang berdiri di bawah
salib (kisah selanjutnya). Kisah pembagian pakaian, dalam cara ini, semacam
sebuah kontras dengan adegan berikutnya yaitu antara perempuan dan kata-kata
Yesus kepada ibu-Nya dan murid yang Dia kasihi. Hal itu tidak mengesampingkan
apa yang dilihat penginjil, yaitu sesuatu yang lebih signifikan mendalam dari
aksi para prajurit, suatu cara yang sama seperti setelah kematian Yesus, yakni
penikaman lambung Yesus (ay. 32-34),
tetapi mungkin dengan pengamatan ini, kita mendapat perhatiannya yang
semakin dekat.[6]
Tafsir Yohanes 19:23-24
Ayat 23
(Pembagian pakaian Yesus dan Interpretasi mengenai Jubah Yesus)
Adalah
suatu kebiasaan bagi para prajurit yang melakukan penyaliban mendapat hak dari
milik si tersalib. Menurut tradisi, para prajurit yang menyalibkan Yesus
membagi pakaian-Nya menjadi empat bagian, satu bagian untuk masing-masing
prajurit. Hal ini memungkinkan bahwa ada empat prajurit yang terlibat dalam eksekusi
itu.[7]
Dari laporan ini (sumber Yohanes), kita tentu tidak bisa menghitung berapa
banyak potongan pakaian yang dipakai Yesus. Tulisan ini dibuat untuk menanggapi
firman dari Kitab Suci yang seharusnya
sudah memiliki sumbernya.[8]
Jubah itu tidak terbuat dari potongan kain yang terpisah, melainkan merupakan
satu potong tenunan dari atas ke bawah tanpa jahitan. Menurut Schnackenburg, model pakaian
ini banyak dikenakan di wilayah Palestina waktu itu, dan tidak menunjukkan
sesuatu yang aneh atau mahal harganya. Uraian yang ada mau memberikan alasan
mengapa tentara tidak merobek jubah sehingga kata-kata Kitab Suci terpenuhi (ay. 24).[9]
Josephus menyatakan pada
kita bahwa citwvn (pakaian)
imam agung pada waktu itu merupakan satu jenis dengan apa yang dikenakan oleh
Yesus, yakni satu tenunan dan tanpa jahitan. Yohanes mungkin menginginkan kita
untuk membedakan referensi kegiatan imam agung Kristus yang rela memberikan
diri-Nya sampai mati. Komentator Kristen, baik klasik maupun modern memahami
jubah tanpa jahitan itu sebagai sebuah acuan akan kesatuan pengikut Kristus,
berhimpun bersama melalui kematian-Nya.[10]
Sementara itu kutipan M. F. Wiles
tentang Teodorus dari Mopsuestia memberikan beberapa arti mengenai jubah Yesus
tersebut: “Jubah mulus Kristus merupakan satu tenunan dari atas ke bawah.
Menurut Origenes, hal itu melambangkan keseluruhan ajaran Kristus, menurut
Siprianus hal itu melambangkan kesatuan Gereja, dan bagi Sirilus melambangkan
kesucian dari kelahiran Kristus. Sementara itu Theodorus meyakini bahwa pakaian
seperti itu sudah menjadi gaya atau metode menenun yang paling umum pada zaman
Kristus”.[11]
Ayat 24 (Penggenapan Nubuat Perjanjian Lama)
Pada ayat 23 telah dijelaskan bahwa jubah Yesus tersebut merupakan satu tenunan saja. Maka para
prajurit memutuskan untuk tidak membaginya tetapi memberikan kepada salah
seorang dari mereka yang memenangi undian. Mereka membuang undi untuk
menentukan siapa yang beruntung. Yohanes melihat kejadian ini sebagai penggenapan dari Kitab Suci (Mzm. 22:19[12]).[13] Namun
Yohanes membedakan antara pakaian/the ‘clothes’ (robe) dan pakaian/the ‘clothing’ (tunic), sebaliknya pemazmur hanya menggunakan
ungkapan-ungkapan paralel untuk membedakan objek yang sama. Untuk menekankan
perlindungan Allah, jubah tersebut tidak dibagi-bagi, yang mungkin saja memiliki
kesatuan makna dengan Mzm 22:11.[14] Sekali
lagi kita melihat pokok pikiran ini
bahwa Allah telah menghedakinya, sehingga pengundian yang terjadi ialah atas kehendak Allah dan bukan karena manusia. Oleh
karena itu maka para prajurit bertindak sebagaimana yang mereka lakukan.[15]
Catatan Akhir
Kita telah tahu bahwa seorang ‘penjahat’ (Yesus) dikawal oleh empat serdadu ke tempat hukuman mati.
Salah satu keuntungan bagi mereka ialah pakaian si korban itu. Biasanya pakaian
lengkap orang Yahudi terdiri dari sepatu, ikat kepala, ikat pinggang, baju dan
jubah luar. Ada empat serdadu dan ada lima potong barang. Mereka membuang undi,
masing-masing mendapat bagiannya, tapi baju masih sisa. Baju itu tidak berjahit
dan merupakan satu potongan kain yang utuh. Kalau kain itu dipotong empat
bagian akan membuat kain itu tidak berguna lagi, maka perlu diundi lagi untuk
mengetahui siapa yang akan mendapatkannya. Ada banyak hal dalam gambaran yang
hidup ini.
Pertama, Studdert Kennedy mempunyai sebuah syair tentang
peristiwa di atas. Menurutnya serdadu-serdadu itu adalah penjudi. Dalam arti
tertentu Yesus juga seorang penjudi, karena Dia telah
mempertaruhkan segala sesuatu karena kesetiaan-Nya kepada Allah. Dia
mempertaruhkan segala sesuatu karena Salib. Inilah himbauan-Nya yang terakhir
dan terbesar kepada manusia,
dan juga tindakan kepatuhan yang terakhir dan terbesar terhadap Allah.
Maka jelaslah bahwa dalam arti tertentu setiap orang kristen adalah penjudi,
karena setiap orang
kristen harus berani ambil risiko demi nama-Nya.
Kedua, seorang pelukis melukis Kristus berdiri dengan
tangan-Nya yang menunjukkan luka tusukan paku dibentangkan di kota yang modern.
Tidak seorang pun melihat kepada-Nya, kecuali seorang jururawat muda dari rumah
sakit dan di bawah lukisan itu ada pertanyaan: “Acuh tak acuhkah kamu sekalian
yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah” (Rat 1:12). Lukisan itu menggambarkan sikap masa bodoh dunia
terhadap Kristus. Di kayu Salib Kristus sedang mati disertai penderitaan yang
terdalam, dan di kaki salib para serdadu membuang undi seolah-olah apa yang
terjadi di kayu salib itu bukan apa-apa. Jadi yang menjadi tragedi bukanlah
permusuhan dunia ini terhadap Kristus, melainkan sikap masa bodoh dunia yang
memandang kasih Allah seolah-olah tidak berarti sama sekali.
Ketiga, masih ada dua hal lain lagi yang perlu kita
perhatikan di dalam gambaran ini. Sebuah dongeng mengatakan bahwa Maria
sendirilah yang telah menenun baju yang tidak berjahit itu sebagai pemberian
terakhir kepada anaknya waktu Yesus
meninggalkan rumah untuk menunaikan tugas-Nya di dunia ini. Jika ini memang
benar (kemungkinan sekali memang demikian,
karena memang kebiasaan ibu-ibu Yahudi berbuat demikian) ada duka kepedihan dalam gambar para serdadu
yang tidak mempunyai rasa kepekaan dan yang sedang mengundi baju Yesus yang
adalah pemberian ibu-Nya.
Akan tetapi ada sesuatu yang setengah tersembunyi di sini.
Baju Yesus itu tidak berjahit, dari atas sampai ke bawah satu tenunan saja.
Seperti itulah juga baju lenan yang dipakai oleh imam besar. Fungsi imam ialah
untuk menjadi penghubung antara Allah dan manusia. Kata Latin untuk imam ialah pontifex yang berarti pembangun
jembatan. Maka seorang imam harus membangun jembatan antara Allah dan manusia.
Tak seorang pun yang telah melakukan hal itu seperti yang dilakukan oleh Yesus.
Dialah Imam Besar yang sempurna. Melalui Dia manusia dapat datang kepada Allah.
Sekali lagi kita melihat adanya arti kembar dalam sekian banyak
pernyataan-pernyataan Yohanes, yakni arti yang ada pada permukaan dan arti yang
lebih dalam. Cerita Yohanes tentang baju Yesus yang tidak berjahit itu bukan
hanya lukisan tentang macam pakaian yang dipakai oleh Yesus. Cerita itu juga
menyatakan kepada kita bahwa Yesus adalah imam yang sempurna, yang membuka
jalan yang sempurna bagi semua manusia untuk datang kepada Allah.
Terakhir, dalam peristiwa penyaliban Yesus ini, Yohanes
melihat suatu penggenapan nubuat Perjanjian Lama. Ia mengutip kata-kata
pemazmur: “Mereka
membagi-bagi pekaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku” (Mzm 22:19).
[1]
Sesudah prajurit-prajurit itu menyalibkan Yesus, mereka mengambil pakaian-Nya
lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian - dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu
tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka
berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa
potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang
mendapatnya.” Demikianlah hendaknya supaya genaplah yang ada tertulis dalam
Kitab Suci: “Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka
membuang undi atas jubah-Ku.” Hal itu telah dilakukan prajurit-prajurit itu.
[2] I.
Suharyo, Kisah Sengsara Yesus dalam Injil
Sinoptik (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 50.
[3] I.
Suharyo, Kisah..., hlm 10.
[4] I.
Suharyo, Kisah..., hlm 10.
[5] Why does John pay such attention to
the sharing of the garments? It is very possible that his source gave so
detailed an account of it. In the
history of tradition the development can be pictured as follows: the indirect
citation by the synoptic was later reproduced in full, and, indeed, precisely
after Ps 22:19, Ps 21:19 LXX, and, in accordance with the parallelismus
membrorum in the psalm verse, the sharing of the garments (i`ma,tia plural) was distinguished
from the drawing of lots for the tunic (i`ma,tismoj singular). Such a kind of more extensive
reflection based on the word of scripture, would be well-suited to a source
which is to be dated later than the synoptic. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, vol. 3. (Tunbridge Wells: Burns
& Oates, 1982), hlm. 272.]
[6] A deeper purpose can rightly be
supposed for John's theologically considered account. Not a few exegetes
discover it in the seamless tunic, which the evangelist is supposed to have
understood symbolically; but he himself gives no kind of indication, and the
attempts at interpretation do not really satisfy. A better starting-point for
discovering his intention might be found in v. 24c where he has composed a
linking sentence that contrasts the soldiers concerned (v. 25) with the women
standing by the cross. The scene of
the sharing of the garments is, in this way, a kind of contrast to the
following scene with the women and Jesus' words to his mother and the disciple
whom he loved. That does not rule out the evangelist's seeing something more
deeply significant in the action of the soldiers, in the same way as, after the
death of Jesus, in the piercing of Jesus' side (vv. 32-34); but, perhaps, with
this observation, we are getting nearer to his intention. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].
[7] It was
customary for the soldiers who performed a crucifixion to take the clothing of
the executed man. It was a recognized perquisite of their office. In accordance
with this custom the soldiers who crucified Jesus divided His clothing into
four, one part for each soldier. It is this which enables us to see that there
were four soldiers concerned in this execution. [Lihat Leon Morris, The New International Commentary on The New
Testament: The Gospel According to St. John (Michigan: WM. B. Eerdmans
Publishing Co., 1971), hlm. 808-809.
[8] For this report (of the Johannine
source) we certainly may not count how many pieces of clothing Jesus wore. The
account is made to correspond to the scriptural saying, which must, therefore,
already have belonged to the source. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].
[9] It is described further in what
follows: without seam, woven from top to bottom. This mode of manufacture has
also been identified elsewhere in the Palestine of that time, and need not
indicate anything unusual or especially cost1y. The description is there to
give a reason in the context why the soldiers did not tear the tunic so that
the words of scripture were fulfilled. [Lihat Rudolf Schnackenburg, The Gospel…, hlm. 273].
[10] Josephus
tells us that the high priest's citwn was of this type, woven in one piece. John may
wish us to discern a reference to Christ's priestly activity as He offered
Himself in death. Christian commentators, both ancient and modern, have
sometimes seen in the seamless robe a reference to the unity of Christ's
followers, gathered together through His death. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 809].
[11] M. F.
Wiles's citation of Theodore of Mopsuestia has point: "Christ's seamless
robe woven from the top, which suggested to Origen the wholeness of Christ's
teaching, to Cyprian the unity of the church, and to Cyril the virgin birth of
Christ, receives from Theodore no other comment than that such methods of
weaving were common in the time of Christ. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 809].
[13] Accordingly
the soldiers decided not to divide it up among them but to give it to one of
their number as it was. They cast lots to determine who should be the fortunate
fellow. John sees in this the literal fulfilment of a certain passage of
Scripture (Ps. 22:18). [Lihat Leon Morris, The
New International…, hlm. 809].
[14] He distinguishes between the
‘clothes’ (the robe) and the ‘clothing’ (the tunic), whereas the psalmist only
used parallel expressions to designate the same object. In order to underline
God’s protection the tunic is not devided, which probably meaning of unity
similar to that in Ps. 22:11. [Lihat John Barton and John Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (Greet
Clarendon Street: Oxford University Press, 2001), hlm. 995].
[15] Once again we
see his master-thought that God was over all that was done, so directing things that
His will was accomplished, and not that of puny man. It was because of this is that the
soldiers acted as they did. [Lihat Leon Morris, The New International…, hlm. 810].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar