AJARAN PLOTINOS DALAM KONSEP NEO-PLATONISME[1]
I. Riwayat Hidup[2]
Kisah hidup Plotinos berasal dari buku Vita Plotini yang ditulis oleh Porpyrius, salah seorang dari
muridnya. Menurut data yang ada di buku ini, Plotinos lahir di Lycopolis di
Mesir pada tahun 204 M atau 205 M. Pada umur 28 tahun, dia mulai tergerak untuk
mempelajari filsafat. Setelah sekian guru yang dia ikuti, akhirnya Plotinos
menemukan seorang guru yang cocok baginya, yakni Ammonius Saccas (175-242 M).
Ajaran gurunya tersebut ternyata dapat memenuhi cita-citanya.
Setelah gurunya meninggal dunia pada tahun 242, Plotinus mengikuti Kaisar
Gordianus dalam peperangan di dunia Timur dengan maksud untuk mempelajari
filsafat Persia dan India. Kaisar Gordianus mengalami kekalahan sehingga
riwayat hidup Plotinos pun ikut terancam.
Plotinos adalah seorang filsuf yang memberi ajaran dengan kata-kata dan
tingkah laku. Ia adalah orang yang memiliki moralitas yang tinggi dan hidup
rohaninya sangat mendalam. Bahkan, untuk memenuhi cita-citanya akan hal-hal
rohani, ia mengabaikan kejasmaniannya.
Menurut Porpyrius, Plotinos melakukan laku tapa sebagai penolakannya
terhadap kejasmaniannya. Dia juga
menjauhkan diri dari semua makanan daging. Lebih dari itu, Plotinos juga
ramah bagi semua orang yang membutuhkan bantuannya.
Setelah beberapa waktu Porphyrius meninggalkanOp een bepaald moment heeft Plotinus geprobeerd
Gallienus te interesseren in de wederopbouw van een verlaten nederzetting in Campania , bekend als de 'Stad van de Filosofen', waar de
inwoners zouden leven op basis van de " Wetten " van Plato . Roma, Plotinos meninggal dunia karena sakit. Ia menemui
ajalnya di Campagna pada tahun 270. Ia berpendapat bahwa apa yang menurut
ukuran dunia disebut kebesaran dan kemuliaan tidak pernah ia cari, bahkan
dengan sengaja Plotinos menjauhi kehormatan. Oleh karena itulah ia tidak pernah
berbicara tentang asal dan tangal kelahirannya.
II. Ajaran-ajaran Plotinos[3]
A. Metafisika
1.
Pengantar
Menurut Plotinos, suatu Ada yang
sempurna itu tentu mewahyukan atau menyatakan diri sendiri dengan melahirkan Ada yang mirip kepadanya. Dalam
pandangan ini seluruh kosmos atau semesta alam harus dipandang sebagai rantai,
di mana bagian yang atas (lebih sempurna) melahirkan bagian di bawahnya yang
kalah sempurna. Bagian yang berada di paling atas ialah Hyang Eka, Yang Satu dan Satu-Satunya, yang
oleh Plotinos juga disebut “Kebaikan yang mutlak” dan “kebaikan yang memberi kebaikan
kepada yang lain sebagai bagian”.
Hyang Eka itu adalah sesuatu yang menjadi dasar segala-galanya, tetapi
tidak berdasar sendiri atas apapun juga. Demikian dibedakan antara Yang Mutlak
dan yang relatif (terhubung), yang tidak tergantung dan yang tergantung, sambil
hubungannya pun tampak juga. Kata-kata “tergantung”, “hubungan”, dan lain-lain,
tidak digunakan untuk menunjuk realitas, yang tidak sempurna itu.
Plotinos mengemukakan bahwa yang
ada di bawah Hyang Eka itu bukan saja “dari”, melainkan juga “ke”, atau dapat
digambarkan dengan gerak sirkulasi. Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa Hyang
Eka itu juga merupakan sesuatu yang diinginkan oleh segala-galanya.[4]
2.
Hyang Eka[5]
Dasar yang tertinggi adalah kesatuan yang mutlak. Dasar ini berada dengan
kekuatannya sendiri; barangkali untuk meneruskan pikiran yang di dalamnya dapat
kita katakan bahwa Dasar yang tertinggi itu: Meng-ada. Maksud dari kata ini yaitu untuk mengatakan adanya Prinsip
yang terdasar itu berdasarkan kodratnya sendiri, bahwa adanya itu secara
mutlak, dari diri sendiri dan karena diri sendiri. Jadi, Hyang Eka itu sempurna
dan tak terhingga. Dari kata-kata ini tampaklah kesulitan pikiran kita untuk
mengatakan apa yang sebetulnya tidak dapat dikatakan. “Dia adalah lebih tinggi
daripada yang kita sebut Ada, Dia
terlalu tinggi dan terlalu besar, dan sebab itu tidak dapat disebut Ada.” Apabila kita menyebut “ber-ada” atau “mempunyai ada” itu artinya kesempunaannya berkurang karena
adanya hanya dengan “ber”, jadi yang ada dan adanya itu tidak identik, jadi
kesempurnaannya juga bukan “kepurnaan” (purna artinya penuh betul-betul), jadi
hanya merupakan partisipasi dari Hyang Eka. Jadi Hyang Eka bukanlah
partisipasi, melainkan yang memberi partisipasi. Karena Hyang Eka bukanlah
partisipasi, jadi tidak dapat tidak dapat dipandang segaris dengan
barang-barang lain.[6]
Kita tidak mempunyai pengertian dan pikiran tentang Hyang Eka. Kita dapat
berbicara tentang Hyang Eka, namun tidak sampai mengenai “pengertian” Hyang Eka
secara penuh. Oleh karena itu, untuk menyebut Hyang Eka, kita tidak dapat
mengatakan apakah Hyang Eka itu,
melainkan bukan apakah Hyang Eka itu.
Tidak ada sesuatu pun yang menyebabkan pikiran kita menjadi “sia-sia belaka, meskipun (dalam pada itu)
bukan Hyang Eka sendirilah yang (dengan langsung) kita katakan.”[7]
Alasan bahwa prinsip tertinggi itu disebut Hyang Eka yaitu untuk
menunjukkan transendensinya. Setiap barang yang ada itu tunggal, eka, tetapi
ketunggalan dan keekaannya itu tidak sempurna karena susunannya. Sebaliknya,
Dasar yang tertinggi itu sama sekali bukan susunan, sebab itu Eka yang
sempurna, bahkan Maha Sempurna dan dengan singkat disebut Hyang Eka.
Oleh karena Hyang Eka itu sempurna, maka Hyang Eka disebut “di atas Ada, di atas pikiran yang mendahului
semua gerak dan semua pikiran”. Dengan ini, Plotinos tidak memungkiri adanya
pengertian itu berlainan dari konsep kita tentang pengertian. “Tidak benarlah
bahwa Hyang Eka itu tidak berpengertian, sedangkan Hyang Eka tidak mengerti diri
sendiri atau tidak berpikir. Kiranya Hyang Eka tidak dimasukkan dalam golongan
barang-barang yang berpikir, karena Hyang Eka dipandang sebagai pikiran.”[8]
3.
Doktrin Plotinos tentang Allah
Allah adalah absolut dan transenden. Dia adalah Yang Satu (Hyang Eka),
melampaui segala pikiran dan segala yang ada. Dia tak terkatakan dan tak
terpahami. Yang Satu tersebut tidak dapat disamakan dengan jumlah benda-benda
tertentu, karena setiap benda membutuhkan Sumber atau Prinsip, dan Prinsip
tersebut harus nyata dari mereka dan dengan logis mendahului mereka.[9]
Menurutnya, Allah tidak termasuk dunia ini, tetapi termasuk dunia yang
tidak diamati, yang mengatasi dunia ini. Ia adalah esa, tanpa pembandingan,
dalam arti bahwa Ia tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga, karena tiada
sesuatu di samping-Nya. Selanjutnya, Ia mengatasi segala hal yang berlawanan,
karena Ia adalah esa secara sempurna. Akal manusia tidak dapat menembus sampai
kepada-Nya, karena akal manusia masih ada tindakan memikir dan pikiran dan
masih ada subyek dan obyek. Allah tidak berpredikat dan tidak mempunyai sifat.
Pada-Nya tidak dapat dikatakan apakah Ia mempunyai kesadaran dan kehendak atau
tidak.
Ajaran plotinos tentang Allah ini dipengaruhi oleh Neopythagorisme dan
Platonisme Tengah serta oleh terpengaruh oleh ajaran Philo, yaitu bahwa Allah
adalah yang Esa, yang Pertama, yang Kekal, yang Tertinggi dan yang Terbaik,
yang mengatasi segala perlawanan dan bebas dari segala pengertian, karena Allah
adalah sempurna dalam diri-Nya sendiri.[10]
4.
Emanasi
Pikiran dasar Plotinos adalah emanasi.[11]
Emanasi artinya segala-galanya mengalir keluar dari Hyang Eka, dan mengalirnya
itu dengan niscaya, atau tidak dapat tidak mengalir. Dengan demikian, kebenaran
tentang hakikat ciptaan baru dikatakan setengah.
Proses emanasi ini tidak hanya dapat dikatakan mengalir “dari”, melainkan
juga mengalir “ke” Subyek yang memproyeksikan (remanasi). Jadi, proses
mengalirnya tersebut dengan gerak sirkulasi. Kata-kata “dari” dan “ke” tidak
boleh dipandang secara fisik, dunia “spasial”, melainkan mesti dipandang sebagai
“struktur dalam” dari segala sesuatu yang tercipta.[12]
Proses pengaliran atau emanasi ini terjadi secara terus-menerus dari
Sumbernya. Semakin jauh proses aliran tersebut dari Sumbernya, maka semakin
tidak sempurnalah keadaannya. Emanasi terjadi secara bertahap atau
berpangkat-pangkat. Tahapan yang dimaksud antara lain:
a. Tahap
pertama (Nous atau Roh)
Nous atau Roh merupakan
gambaran atau “arca” yang pertama dari kodrat Hyang Eka. Nous itu “memikir”. Dengan sengaja tidak ditulis “berpikir”,
melainkan memikir. Nous dan aksi
memikir itu sama. Nous dilahirkan
oleh Hyang Eka, maka kesempurnaannya tidak sepadan, karena pada tahap ini Hyang
Eka telah membedakan diri dalam kedwitunggalan.
Nous merupakan dualitas atau
keduaan antara subyek dan obyek. Nous
mengerti Hyang Eka, tetapi tidak dapat “mengatakan” pengertiannya itu dalam
satu kata atau idea, sebab di dalam Nous
ada banyak idea-idea yang oleh Plato disebut dunia idea-idea.
Di dalam Nous, idea-idea itu
dipersatukan menjadi prinsip keaktifan yang mengadakan barang-barang di
bawahnya. Oleh karena itu, idea-idea itu bukan hanya contoh (seperti dalam
ajaran Plato), melainkan juga kekuatan-kekuatan aksi. Jadi, dunia idea-idea
Plato diganti dengan persona atau pribadi dari suatu Roh, yang karena
partisipasinya, memiliki kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Nous “berhadapan” dengan Hyang
Eka dan memandang-Nya dengan intuisi atau dengan kata lain kodrat Nous disebut
“menghadap-memandang-dengan-intuisi”.[13]
b. Tahap
kedua (Psyche atau Jiwa Semesta Alam)
Psyche merupakan sudut luar
dari Nous. Psyche muncul dari Nous,
sebab itu Psyche kalah sempurna
dengan Nous. Psyche memerlukan pemikiran, memerlukan refleksi dan hanya dengan
jalan ini dapat mengerti idea-idea yang ada di dalam Nous.
Plotinos juga membedakan antara jiwa yang bersifat dewata (jadi lebih
tinggi) dan jiwa yang lebih rendah. Jiwa yang lebih rendah melihat jiwa yang
lebih tinggi, tetapi dengan cara yang tidak sempurna, seakan-akan seperti dalam
impian. Proses “memandang” tersebut melahirkan lukisan-lukisan yang
menjadi bentuk barang-barang jasmani. Bentuk tersebut merupakan bayangan yang
terendah dari realitas yang lebih tinggi dan gradasi, yang terendah pula dari Ada.
Bentuk-bentuk itu tertangkap dengan pancaindra karena bersatu dengan
“materi umum” yang juga lahir dari semesta alam.
Jiwa semesta alam menjiwai segala-galanya. Jiwa-jiwa lainnya juga termuat
dalam jiwa dunia tersebut. Makin tampaklah bahwa jiwa dunia itu sebagai
kebhinekaan. Jiwa-jiwa itu dipersatukan dalam jiwa dunia. Jiwa dunia itu
identik dengan setiap jiwa dan jiwa-jiwa lainnya itu identik dengan jiwa dunia sehingga
setiap jiwa memuat setiap jiwa lainnya. Jiwa dunia itu bersifat dewata dan kekal
adanya.
Jiwa berfungsi sebagai penghubung atau pengantara antara Nous dan benda. Sama halnya dengan Nous, jiwa adalah suatu kedwitunggalan,
yang terdiri dari identitas dan perubahan atau kesamaan dan variasi. Di antara
jiwa dunia dan dunia benda, terdapat jiwa-jiwa perorangan. Secara
keseluruhannya, jiwa dunia hadir pada setiap jiwa. Masing-masing seolah-olah mendukung
seluruh jagat raya dalam dirinya.
Jiwa perorangan mewujudkan suatu pengungkapan jiwa dunia. Sebelum manusia
dilahirkan, jiwa sudah ada. Maka, menurut Plotinos, ada yang disebut
praeksistensi jiwa dan ada juga perpindahan jiwa.
c. Tahap
ketiga (Materia Umum atau Benda)
Materia umum adalah “substratum” atau dasar yang dengan bentuk-bentuk
dari jiwa dunia menyusun barang-barang jasmani. Materia umum dapat diibaratkan
degan tanah liat yang menjadi dasar atau bahan barang-barang. Tanah liat juga
dapat menerima bentuk atau rupa, misalnya bentuk genting, pot, atau batu-bata.
Materia sendiri tidak melahirkan. Jiwa Hyang Eka, Prinsip yang tertinggi
dapat dikatakan berada di atas Ada,
maka materia umum dapat disebut di bawah Ada.
Materia umum tidak berbentuk sama sekali, melainkan sebagai kegelapan yang
tanpa rupa. Meskipun materia umum telah menerima rupa, tetap saja materia ini
dalam keadaan kacau. Oleh karena itu materia umum menjadi prinsip segala
kejelekan.
Materia umum merupakan lapisan dasar segala hal yang tampak, tetapi pada
dirinya sediri tidak memiliki realitas. Materia umum hanya suatu potensi, suatu
kemungkinan yang memungkinkan segala sesuatu berada dalam ruang dan waktu. Agar
kemungkinan itu menjadi kenyataan duperlukan suatu bentuk. Bentuk terdapat pada
jiwa dunia sendiri, yaitu sepanjang jiwa dunia ini dipandang sebagai Logos atau
sebagai idea dunia yang tampak.
Penyatuan bentuk dan materia menyebabkan adanya dunia. Demikianlah jagat
raya mewujudkan suatu gambaran dunia idea. Seluruh jagat raya adalah suatu
kesatuan yang organis. Di dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi,
sehingga segala kekuatan dihubungkan yang satu dengan yang lain. Semua bekerja
sama demi kepentingan keseluruhan.
B. Etika
Plotinos mengemukakan bahwa jiwa harus mengalami kesatuan dengan
hypostasis yang lebih tinggi karena dengan jalan ini jiwa mendapat cahaya dari
atas, yang pada hakekatnya dari Hyang Eka sendiri. Hyang Eka itu menurut
kodratnya juga berupa cahaya. Cahaya itu menyinari Nous dan Nous menjadi
sumber cahaya bagi jiwa.[14]
Dalam psikologinya, Plotinos
mengangkat tiga bagian / tingkatan di dalam jiwa manusia. Tingkatan yang
pertama dan tertinggi adalah Nous. Nous tidak terkontaminasi dengan
bahan-bahan tertentu dan tetap berakar dalam pemahaman dunia, namun sejauh jiwa
masuk dalam kesatuannya dengan badan untuk membentuk suatu penggabungan. Kesatuan
inilah yang menjadi tujuan akhir manusia.[15]
Tujuan hidup manusia ialah kembali
dipersatukannya dengan “Yang ilahi”. Menurut Plotinos, jalan kembali atau
remanasi ini mengalami tahapan-tahapan atau bertingkat-tingkat, sama dengan
ajaran emanasi. Tiga tahap yang dimaksud adalah:[16]
1.
Kabajikan Umum
Arti dari kebajikan umum ini yaitu
memiliki pengetahuan tentang yang baik (hikmat), memiliki keberanian,
mengendalikan diri dan berbuat adil. Melalui pengetahuan tersebut jiwa manusia
dapat naik ke jiwa semesta alam.
Pengetahuan yang dimaksudkan
Plotinos berkaitan erat dengan ratio. Melalui ratio, keindraan harus dilepaskan
karena kodrat yang sejati dari jiwa kita telah terpendam di bawah dengan
berbagai macam kesan-kesan dan khayalan. Supaya keindraan lepas dari semuanya
itu, manusia harus melakukan apathea[17] seperti yang
diajarkan oleh aliran Stoa, dan mempertinggi pengertian menurut metode-metode
yang ditunjuk oleh Aristoteles.
2.
Berfilsafat / Intuisi
Pengertian akal yang berjalan dengan pemikiran belum
merupakan pengertian yang sejati. Oleh karena itu pada tahap yang kedua, pengertian
harus mencapai titik intuisi. Pemikiran itu merupakan dinding yang merintangi
kita. Jika jiwa mampu menembus dinding itu, maka jiwa akan memperoleh intuisi.
Dalam intuisi, jiwa kita melihat idea-idea (yang benar)
dengan sekejap. Supaya jiwa mendapat intuisi itu, maka jiwa harus mempersiapkan
diri dan dalam hal ini dialektik dari Plato akan memberi banyak pertolongan.
Dalam hal ini, manusia menjadi serupa dengan Nous dalam hal keberadaan dan perbuatannya. Dalam tahapan inilah
manusia memiliki semua keutamaan, yaitu: pengetahuan, kebijaksanaan, temperansi
(pembatasan diri), keadilan, dan keberanian.[18]
3.
Mistik atau Ekstasis
Pada tahap yang ketiga, jiwa sudah
bersatu dengan Nous. Di sini, manusia
dapat menyelami dirinya sendiri secara sempurna, menyelami Yang Ilahi, yang ada
di dalam dirinya sendiri. Dalam tahap ini juga, manusia akan bebas, mengatasi segala
pikiran dan kesadaran, hingga sampai pada ketakjuban yang bahagia, di mana
manusia disatukan dengan Yang Esa, Yang Ilahi, atau Hyang Eka.[19]
Melalui penyatuan dengan Hyang Eka,
jiwa manusia seakan-akan “meleleh” menjadi satu dengan Hyang Eka dan merasakan
kebahagiaan yang tak terhingga, yang diberikan oleh Sumber dari segala
kebaikan. Pangalaman ini disebut “ekstasis”. Pengalaman ini seolah-olah berdiri
di luar dunia.[20]
III. Penutup
Plotinos pada hakekatnya berpandangan bahwa pusat segala-galanya ialah
Hyang Eka. Hyang Eka adalah Ada yang
pertama, di atas segala ada. Yang Sempurna itu niscaya memutrakan dan tidak
bisa tidak memutrakan (mengalir). Oleh sebab itu, dari Hyang Eka itu, timbullah
Sang Nous, yang karena
kesempurnaannya memunculkan Psyche atau
jiwa dunia. Inilah yang melahirkan seluruh alam baka ini, termasuk juga
manusia.
Menurut pandangannya, Plotinos menganggap bahwa semuanya ini sebagai
kesatuan, satu bentuk atau struktur. Kodrat manusia (dan semua barang yang ada)
masuk “dalam struktur” dari Hyang Eka. Dalam struktur ini, semua yang ada
merupakan gerak ‘keluar dari’ sekaligus gerak ‘masuk ke’ dalam Hyang Eka.
Manusia harus taat pada susunan ini. Jika hal ini dijalankan, akan tercapailah
puncak kehidupan, yaitu “tenggelam” ke dalam Hyang Eka atau yang disebut
penyatuan jiwa manusia dengan Yang Ilahi. Lewat panyatuan inilah maunusia
mengalami kebahagian yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama. 1996.
Copleston, F. A History of Philosophy. London: Greece
and Rome. 1945.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta:
Kanisius. 1980.
Sudiarja, A et al (ed.). Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2006.
[1]
Neoplatonisme dapat dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk menentang
agama Kristen yang sedang tumbuh. Dengan ajaran Neoplatonisme ini, ajaran Plato
hendak dihidupkan kembali demi keselamatan dunia, dengan memperkayanya dengan
segala hal yang terbaik dari segala sistim yang kemudian, disesuaikan dengan
kebutuhan zaman. Unsur-unsur yang dimasukkan ke dalamnya yaitu: ajaran Plato,
Aristoteles, Stoa, dan Philo. Pencipta Neoplatonisme adalah Plotinos. [Bdk. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 66].
[2]
Bdk. A. Sudiarja et al., Karya Lengkap
Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hlm. 1225-1227.
[3]
Dasar obyektif ajaran Plotinos ialah dualisme Plato yang mengajarkan, bahwa di
samping dunia yang dapat diamati ini masih ada dunia yang lain, yang tidak
dapat diamati, yaitu dunia idea, dunia “ada” yang sejati, yang pada hakekatnya
berbeda sekali dengan dunia gejala ini. Dualisme Plato ini oleh Plotinos
dinaikkan tingkatnya, ditempatkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, di
dalam kesatuan “arus hidup” yang mengalir dari “Yang Ilahi”. [Bdk. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah ..., hlm. 66].
[4] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm.
1231-1232.
[5]
Hyang Eka juga sering disebut dengan istilah Yang Satu atau Yang Ilahi.
[6]
Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm.
1235.
[7] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm.
1236.
[8] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1236.
[10]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah ..., hlm. 66-67.
[11]
Kebalikan dari emanasi ialah remanasi. Remanasi berarti pengaliran dari bawah
(benda atau materia umum) menuju ke atas (Hyang Eka).
[12] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm.
1233-1234.
[13] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm. 1238.
[14] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm.
1242.
[15] Copleston, A
History ..., hlm. 470.
[16] Harun
H., Sari Sejarah ..., hlm. 69.
[17]
Apathea adalah ketidakacuhan pada kesenangan dan penderitaan atau keadaan
tenang / damai dalam pikiran dan badan sebagai akibat dari tidak terpengaruh
oleh keadaan dunia sehari-hari. [Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat. (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 61].
[18] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm.1244.
[19] Harun
H., Sari Sejarah ..., hlm. 69.
[20] Sudiarja
et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm.1245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar