Minggu, 06 April 2014

NEO-PLATONISME



AJARAN PLOTINOS DALAM  KONSEP NEO-PLATONISME[1]

I.       Riwayat Hidup[2]
Kisah hidup Plotinos berasal dari buku Vita Plotini yang ditulis oleh Porpyrius, salah seorang dari muridnya. Menurut data yang ada di buku ini, Plotinos lahir di Lycopolis di Mesir pada tahun 204 M atau 205 M. Pada umur 28 tahun, dia mulai tergerak untuk mempelajari filsafat. Setelah sekian guru yang dia ikuti, akhirnya Plotinos menemukan seorang guru yang cocok baginya, yakni Ammonius Saccas (175-242 M). Ajaran gurunya tersebut ternyata dapat memenuhi cita-citanya.
Setelah gurunya meninggal dunia pada tahun 242, Plotinus mengikuti Kaisar Gordianus dalam peperangan di dunia Timur dengan maksud untuk mempelajari filsafat Persia dan India. Kaisar Gordianus mengalami kekalahan sehingga riwayat hidup Plotinos pun ikut terancam.
Plotinos adalah seorang filsuf yang memberi ajaran dengan kata-kata dan tingkah laku. Ia adalah orang yang memiliki moralitas yang tinggi dan hidup rohaninya sangat mendalam. Bahkan, untuk memenuhi cita-citanya akan hal-hal rohani, ia mengabaikan kejasmaniannya.
Menurut Porpyrius, Plotinos melakukan laku tapa sebagai penolakannya terhadap kejasmaniannya. Dia juga  menjauhkan diri dari semua makanan daging. Lebih dari itu, Plotinos juga ramah bagi semua orang yang membutuhkan bantuannya.
Setelah beberapa waktu Porphyrius meninggalkanOp een bepaald moment heeft Plotinus geprobeerd Gallienus te interesseren in de wederopbouw van een verlaten nederzetting in Campania , bekend als de 'Stad van de Filosofen', waar de inwoners zouden leven op basis van de " Wetten " van Plato . Roma, Plotinos meninggal dunia karena sakit. Ia menemui ajalnya di Campagna pada tahun 270. Ia berpendapat bahwa apa yang menurut ukuran dunia disebut kebesaran dan kemuliaan tidak pernah ia cari, bahkan dengan sengaja Plotinos menjauhi kehormatan. Oleh karena itulah ia tidak pernah berbicara tentang asal dan tangal kelahirannya.

II.      Ajaran-ajaran Plotinos[3]
A.  Metafisika
1.    Pengantar
Menurut Plotinos, suatu Ada yang sempurna itu tentu mewahyukan atau menyatakan diri sendiri dengan melahirkan Ada yang mirip kepadanya. Dalam pandangan ini seluruh kosmos atau semesta alam harus dipandang sebagai rantai, di mana bagian yang atas (lebih sempurna) melahirkan bagian di bawahnya yang kalah sempurna. Bagian yang berada di paling atas ialah Hyang Eka, Yang Satu dan Satu-Satunya, yang oleh Plotinos juga disebut “Kebaikan yang mutlak” dan “kebaikan yang memberi kebaikan kepada yang lain sebagai bagian”.
Hyang Eka itu adalah sesuatu yang menjadi dasar segala-galanya, tetapi tidak berdasar sendiri atas apapun juga. Demikian dibedakan antara Yang Mutlak dan yang relatif (terhubung), yang tidak tergantung dan yang tergantung, sambil hubungannya pun tampak juga. Kata-kata “tergantung”, “hubungan”, dan lain-lain, tidak digunakan untuk menunjuk realitas, yang tidak sempurna itu.
Plotinos mengemukakan bahwa  yang ada di bawah Hyang Eka itu bukan saja “dari”, melainkan juga “ke”, atau dapat digambarkan dengan gerak sirkulasi. Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa Hyang Eka itu juga merupakan sesuatu yang diinginkan oleh segala-galanya.[4]

2.    Hyang Eka[5]
Dasar yang tertinggi adalah kesatuan yang mutlak. Dasar ini berada dengan kekuatannya sendiri; barangkali untuk meneruskan pikiran yang di dalamnya dapat kita katakan bahwa Dasar yang tertinggi itu: Meng-ada. Maksud dari kata ini yaitu untuk mengatakan adanya Prinsip yang terdasar itu berdasarkan kodratnya sendiri, bahwa adanya itu secara mutlak, dari diri sendiri dan karena diri sendiri. Jadi, Hyang Eka itu sempurna dan tak terhingga. Dari kata-kata ini tampaklah kesulitan pikiran kita untuk mengatakan apa yang sebetulnya tidak dapat dikatakan. “Dia adalah lebih tinggi daripada yang kita sebut Ada, Dia terlalu tinggi dan terlalu besar, dan sebab itu tidak dapat disebut Ada.” Apabila kita menyebut “ber-ada” atau “mempunyai ada”  itu artinya kesempunaannya berkurang karena adanya hanya dengan “ber”, jadi yang ada dan adanya itu tidak identik, jadi kesempurnaannya juga bukan “kepurnaan” (purna artinya penuh betul-betul), jadi hanya merupakan partisipasi dari Hyang Eka. Jadi Hyang Eka bukanlah partisipasi, melainkan yang memberi partisipasi. Karena Hyang Eka bukanlah partisipasi, jadi tidak dapat tidak dapat dipandang segaris dengan barang-barang lain.[6]
Kita tidak mempunyai pengertian dan pikiran tentang Hyang Eka. Kita dapat berbicara tentang Hyang Eka, namun tidak sampai mengenai “pengertian” Hyang Eka secara penuh. Oleh karena itu, untuk menyebut Hyang Eka, kita tidak dapat mengatakan apakah Hyang Eka itu, melainkan bukan apakah Hyang Eka itu. Tidak ada sesuatu pun yang menyebabkan pikiran kita menjadi “sia-sia belaka, meskipun (dalam pada itu) bukan Hyang Eka sendirilah yang (dengan langsung) kita katakan.”[7] 
Alasan bahwa prinsip tertinggi itu disebut Hyang Eka yaitu untuk menunjukkan transendensinya. Setiap barang yang ada itu tunggal, eka, tetapi ketunggalan dan keekaannya itu tidak sempurna karena susunannya. Sebaliknya, Dasar yang tertinggi itu sama sekali bukan susunan, sebab itu Eka yang sempurna, bahkan Maha Sempurna dan dengan singkat disebut Hyang Eka.
Oleh karena Hyang Eka itu sempurna, maka Hyang Eka disebut “di atas Ada, di atas pikiran yang mendahului semua gerak dan semua pikiran”. Dengan ini, Plotinos tidak memungkiri adanya pengertian itu berlainan dari konsep kita tentang pengertian. “Tidak benarlah bahwa Hyang Eka itu tidak berpengertian, sedangkan Hyang Eka tidak mengerti diri sendiri atau tidak berpikir. Kiranya Hyang Eka tidak dimasukkan dalam golongan barang-barang yang berpikir, karena Hyang Eka dipandang sebagai pikiran.”[8]

3.    Doktrin Plotinos tentang Allah
Allah adalah absolut dan transenden. Dia adalah Yang Satu (Hyang Eka), melampaui segala pikiran dan segala yang ada. Dia tak terkatakan dan tak terpahami. Yang Satu tersebut tidak dapat disamakan dengan jumlah benda-benda tertentu, karena setiap benda membutuhkan Sumber atau Prinsip, dan Prinsip tersebut harus nyata dari mereka dan dengan logis mendahului mereka.[9]
Menurutnya, Allah tidak termasuk dunia ini, tetapi termasuk dunia yang tidak diamati, yang mengatasi dunia ini. Ia adalah esa, tanpa pembandingan, dalam arti bahwa Ia tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga, karena tiada sesuatu di samping-Nya. Selanjutnya, Ia mengatasi segala hal yang berlawanan, karena Ia adalah esa secara sempurna. Akal manusia tidak dapat menembus sampai kepada-Nya, karena akal manusia masih ada tindakan memikir dan pikiran dan masih ada subyek dan obyek. Allah tidak berpredikat dan tidak mempunyai sifat. Pada-Nya tidak dapat dikatakan apakah Ia mempunyai kesadaran dan kehendak atau tidak.
Ajaran plotinos tentang Allah ini dipengaruhi oleh Neopythagorisme dan Platonisme Tengah serta oleh terpengaruh oleh ajaran Philo, yaitu bahwa Allah adalah yang Esa, yang Pertama, yang Kekal, yang Tertinggi dan yang Terbaik, yang mengatasi segala perlawanan dan bebas dari segala pengertian, karena Allah adalah sempurna dalam diri-Nya sendiri.[10]

4.    Emanasi
Pikiran dasar Plotinos adalah emanasi.[11] Emanasi artinya segala-galanya mengalir keluar dari Hyang Eka, dan mengalirnya itu dengan niscaya, atau tidak dapat tidak mengalir. Dengan demikian, kebenaran tentang hakikat ciptaan baru dikatakan setengah.
Proses emanasi ini tidak hanya dapat dikatakan mengalir “dari”, melainkan juga mengalir “ke” Subyek yang memproyeksikan (remanasi). Jadi, proses mengalirnya tersebut dengan gerak sirkulasi. Kata-kata “dari” dan “ke” tidak boleh dipandang secara fisik, dunia “spasial”, melainkan mesti dipandang sebagai “struktur dalam” dari segala sesuatu yang tercipta.[12]
Proses pengaliran atau emanasi ini terjadi secara terus-menerus dari Sumbernya. Semakin jauh proses aliran tersebut dari Sumbernya, maka semakin tidak sempurnalah keadaannya. Emanasi terjadi secara bertahap atau berpangkat-pangkat. Tahapan yang dimaksud antara lain:

a.  Tahap pertama (Nous atau Roh)
Nous atau Roh merupakan gambaran atau “arca” yang pertama dari kodrat Hyang Eka. Nous itu “memikir”. Dengan sengaja tidak ditulis “berpikir”, melainkan memikir. Nous dan aksi memikir itu sama. Nous dilahirkan oleh Hyang Eka, maka kesempurnaannya tidak sepadan, karena pada tahap ini Hyang Eka telah membedakan diri dalam kedwitunggalan.
Nous merupakan dualitas atau keduaan antara subyek dan obyek. Nous mengerti Hyang Eka, tetapi tidak dapat “mengatakan” pengertiannya itu dalam satu kata atau idea, sebab di dalam Nous ada banyak idea-idea yang oleh Plato disebut dunia idea-idea.
Di dalam Nous, idea-idea itu dipersatukan menjadi prinsip keaktifan yang mengadakan barang-barang di bawahnya. Oleh karena itu, idea-idea itu bukan hanya contoh (seperti dalam ajaran Plato), melainkan juga kekuatan-kekuatan aksi. Jadi, dunia idea-idea Plato diganti dengan persona atau pribadi dari suatu Roh, yang karena partisipasinya, memiliki kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Nous “berhadapan” dengan Hyang Eka dan memandang-Nya dengan intuisi atau dengan kata lain kodrat Nous disebut “menghadap-memandang-dengan-intuisi”.[13]



b. Tahap kedua (Psyche atau Jiwa Semesta Alam)
Psyche merupakan sudut luar dari Nous. Psyche muncul dari Nous, sebab itu Psyche kalah sempurna dengan Nous. Psyche memerlukan pemikiran, memerlukan refleksi dan hanya dengan jalan ini dapat mengerti idea-idea yang ada di dalam Nous.
Plotinos juga membedakan antara jiwa yang bersifat dewata (jadi lebih tinggi) dan jiwa yang lebih rendah. Jiwa yang lebih rendah melihat jiwa yang lebih tinggi, tetapi dengan cara yang tidak sempurna, seakan-akan seperti dalam impian.  Proses “memandang”  tersebut melahirkan lukisan-lukisan yang menjadi bentuk barang-barang jasmani. Bentuk tersebut merupakan bayangan yang terendah dari realitas yang lebih tinggi dan gradasi, yang terendah pula dari Ada.  Bentuk-bentuk itu tertangkap dengan pancaindra karena bersatu dengan “materi umum” yang juga lahir dari semesta alam.
Jiwa semesta alam menjiwai segala-galanya. Jiwa-jiwa lainnya juga termuat dalam jiwa dunia tersebut. Makin tampaklah bahwa jiwa dunia itu sebagai kebhinekaan. Jiwa-jiwa itu dipersatukan dalam jiwa dunia. Jiwa dunia itu identik dengan setiap jiwa dan jiwa-jiwa lainnya itu identik dengan jiwa dunia sehingga setiap jiwa memuat setiap jiwa lainnya. Jiwa dunia itu bersifat dewata dan kekal adanya.
Jiwa berfungsi sebagai penghubung atau pengantara antara Nous dan benda. Sama halnya dengan Nous, jiwa adalah suatu kedwitunggalan, yang terdiri dari identitas dan perubahan atau kesamaan dan variasi. Di antara jiwa dunia dan dunia benda, terdapat jiwa-jiwa perorangan. Secara keseluruhannya, jiwa dunia hadir pada setiap jiwa. Masing-masing seolah-olah mendukung seluruh jagat raya dalam dirinya.
Jiwa perorangan mewujudkan suatu pengungkapan jiwa dunia. Sebelum manusia dilahirkan, jiwa sudah ada. Maka, menurut Plotinos, ada yang disebut praeksistensi jiwa dan ada juga perpindahan jiwa.

c.  Tahap ketiga (Materia Umum atau Benda)
Materia umum adalah “substratum” atau dasar yang dengan bentuk-bentuk dari jiwa dunia menyusun barang-barang jasmani. Materia umum dapat diibaratkan degan tanah liat yang menjadi dasar atau bahan barang-barang. Tanah liat juga dapat menerima bentuk atau rupa, misalnya bentuk genting, pot, atau batu-bata.
Materia sendiri tidak melahirkan. Jiwa Hyang Eka, Prinsip yang tertinggi dapat dikatakan berada di atas Ada, maka materia umum dapat disebut di bawah Ada. Materia umum tidak berbentuk sama sekali, melainkan sebagai kegelapan yang tanpa rupa. Meskipun materia umum telah menerima rupa, tetap saja materia ini dalam keadaan kacau. Oleh karena itu materia umum menjadi prinsip segala kejelekan.
Materia umum merupakan lapisan dasar segala hal yang tampak, tetapi pada dirinya sediri tidak memiliki realitas. Materia umum hanya suatu potensi, suatu kemungkinan yang memungkinkan segala sesuatu berada dalam ruang dan waktu. Agar kemungkinan itu menjadi kenyataan duperlukan suatu bentuk. Bentuk terdapat pada jiwa dunia sendiri, yaitu sepanjang jiwa dunia ini dipandang sebagai Logos atau sebagai idea dunia yang tampak.
Penyatuan bentuk dan materia menyebabkan adanya dunia. Demikianlah jagat raya mewujudkan suatu gambaran dunia idea. Seluruh jagat raya adalah suatu kesatuan yang organis. Di dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi, sehingga segala kekuatan dihubungkan yang satu dengan yang lain. Semua bekerja sama demi kepentingan keseluruhan.

B.  Etika
Plotinos mengemukakan bahwa jiwa harus mengalami kesatuan dengan hypostasis yang lebih tinggi karena dengan jalan ini jiwa mendapat cahaya dari atas, yang pada hakekatnya dari Hyang Eka sendiri. Hyang Eka itu menurut kodratnya juga berupa cahaya. Cahaya itu menyinari Nous dan Nous menjadi sumber cahaya bagi jiwa.[14]
            Dalam psikologinya, Plotinos mengangkat tiga bagian / tingkatan di dalam jiwa manusia. Tingkatan yang pertama dan tertinggi adalah Nous. Nous tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan tertentu dan tetap berakar dalam pemahaman dunia, namun sejauh jiwa masuk dalam kesatuannya dengan badan untuk membentuk suatu penggabungan. Kesatuan inilah yang menjadi tujuan akhir manusia.[15]
            Tujuan hidup manusia ialah kembali dipersatukannya dengan “Yang ilahi”. Menurut Plotinos, jalan kembali atau remanasi ini mengalami tahapan-tahapan atau bertingkat-tingkat, sama dengan ajaran emanasi. Tiga tahap yang dimaksud adalah:[16]

1.    Kabajikan Umum
            Arti dari kebajikan umum ini yaitu memiliki pengetahuan tentang yang baik (hikmat), memiliki keberanian, mengendalikan diri dan berbuat adil. Melalui pengetahuan tersebut jiwa manusia dapat naik ke jiwa semesta alam.
            Pengetahuan yang dimaksudkan Plotinos berkaitan erat dengan ratio. Melalui ratio, keindraan harus dilepaskan karena kodrat yang sejati dari jiwa kita telah terpendam di bawah dengan berbagai macam kesan-kesan dan khayalan. Supaya keindraan lepas dari semuanya itu, manusia harus melakukan apathea[17] seperti yang diajarkan oleh aliran Stoa, dan mempertinggi pengertian menurut metode-metode yang ditunjuk oleh Aristoteles.

2.    Berfilsafat / Intuisi
Pengertian akal yang berjalan dengan pemikiran belum merupakan pengertian yang sejati. Oleh karena itu pada tahap yang kedua, pengertian harus mencapai titik intuisi. Pemikiran itu merupakan dinding yang merintangi kita. Jika jiwa mampu menembus dinding itu, maka jiwa akan memperoleh intuisi.
Dalam intuisi, jiwa kita melihat idea-idea (yang benar) dengan sekejap. Supaya jiwa mendapat intuisi itu, maka jiwa harus mempersiapkan diri dan dalam hal ini dialektik dari Plato akan memberi banyak pertolongan. Dalam hal ini, manusia menjadi serupa dengan Nous dalam hal keberadaan dan perbuatannya. Dalam tahapan inilah manusia memiliki semua keutamaan, yaitu: pengetahuan, kebijaksanaan, temperansi (pembatasan diri), keadilan, dan keberanian.[18]

3.    Mistik atau Ekstasis
Pada tahap yang ketiga, jiwa sudah bersatu dengan Nous. Di sini, manusia dapat menyelami dirinya sendiri secara sempurna, menyelami Yang Ilahi, yang ada di dalam dirinya sendiri. Dalam tahap ini juga, manusia akan bebas, mengatasi segala pikiran dan kesadaran, hingga sampai pada ketakjuban yang bahagia, di mana manusia disatukan dengan Yang Esa, Yang Ilahi, atau Hyang Eka.[19]
Melalui penyatuan dengan Hyang Eka, jiwa manusia seakan-akan “meleleh” menjadi satu dengan Hyang Eka dan merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, yang diberikan oleh Sumber dari segala kebaikan. Pangalaman ini disebut “ekstasis”. Pengalaman ini seolah-olah berdiri di luar dunia.[20]     
          
III.      Penutup
Plotinos pada hakekatnya berpandangan bahwa pusat segala-galanya ialah Hyang Eka. Hyang Eka adalah Ada yang pertama, di atas segala ada. Yang Sempurna itu niscaya memutrakan dan tidak bisa tidak memutrakan (mengalir). Oleh sebab itu, dari Hyang Eka itu, timbullah Sang Nous, yang karena kesempurnaannya memunculkan Psyche atau jiwa dunia. Inilah yang melahirkan seluruh alam baka ini, termasuk juga manusia.
Menurut pandangannya, Plotinos menganggap bahwa semuanya ini sebagai kesatuan, satu bentuk atau struktur. Kodrat manusia (dan semua barang yang ada) masuk “dalam struktur” dari Hyang Eka. Dalam struktur ini, semua yang ada merupakan gerak ‘keluar dari’ sekaligus gerak ‘masuk ke’ dalam Hyang Eka. Manusia harus taat pada susunan ini. Jika hal ini dijalankan, akan tercapailah puncak kehidupan, yaitu “tenggelam” ke dalam Hyang Eka atau yang disebut penyatuan jiwa manusia dengan Yang Ilahi. Lewat panyatuan inilah maunusia mengalami kebahagian yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Copleston, F. A History of Philosophy. London: Greece and Rome. 1945.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius. 1980.

Sudiarja, A et al (ed.). Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006.


[1] Neoplatonisme dapat dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk menentang agama Kristen yang sedang tumbuh. Dengan ajaran Neoplatonisme ini, ajaran Plato hendak dihidupkan kembali demi keselamatan dunia, dengan memperkayanya dengan segala hal yang terbaik dari segala sistim yang kemudian, disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Unsur-unsur yang dimasukkan ke dalamnya yaitu: ajaran Plato, Aristoteles, Stoa, dan Philo. Pencipta Neoplatonisme adalah Plotinos. [Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1  (Yogyakarta: Kanisius, 1980),  hlm. 66].

[2] Bdk. A. Sudiarja et al., Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),  hlm. 1225-1227.
[3] Dasar obyektif ajaran Plotinos ialah dualisme Plato yang mengajarkan, bahwa di samping dunia yang dapat diamati ini masih ada dunia yang lain, yang tidak dapat diamati, yaitu dunia idea, dunia “ada” yang sejati, yang pada hakekatnya berbeda sekali dengan dunia gejala ini. Dualisme Plato ini oleh Plotinos dinaikkan tingkatnya, ditempatkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, di dalam kesatuan “arus hidup” yang mengalir dari “Yang Ilahi”. [Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah ...,  hlm. 66].

[4] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1231-1232.

[5] Hyang Eka juga sering disebut dengan istilah Yang Satu atau Yang Ilahi.
[6] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1235.

[7] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1236.

[8] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1236.

[9] F. Copleston,  A History of Philosophy (London: Greece and Rome, 1946), hlm.  464.

[10] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah ...,  hlm. 66-67.

[11] Kebalikan dari emanasi ialah remanasi. Remanasi berarti pengaliran dari bawah (benda atau materia umum) menuju ke atas (Hyang Eka).

[12] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm. 1233-1234.

[13] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm. 1238.
[14] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap …, hlm. 1242.

[15] Copleston,  A History ..., hlm. 470.

[16] Harun H., Sari Sejarah ...,  hlm. 69.

[17] Apathea adalah ketidakacuhan pada kesenangan dan penderitaan atau keadaan tenang / damai dalam pikiran dan badan sebagai akibat dari tidak terpengaruh oleh keadaan dunia sehari-hari. [Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat. (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 61].

[18] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm.1244.

[19] Harun H., Sari Sejarah ...,  hlm. 69.

[20] Sudiarja et al. (ed.), Karya Lengkap ..., hlm.1245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar