PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGLOLAAN HARTA-BENDA SECARA
BURUK
MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pemberhentian jabatan dalam lingkungan sipil kerap terjadi. Pemberhentian
jabatan itu biasanya dilandasi oleh beberapa alasan, misalnya karena kasus
korupsi yang dilakukan oleh orang tertentu. Pemberhentian atau pemecatan juga
bisa terjadi dalam lingkup Gereja. Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda pun juga dapat
diberhentikan dari jabatannya apabila secara hukum terbukti adanya
penyelewengan atau kelalaian terhadap tugasnya tersebut. Pemberhentian tersebut
telah diatur secara eksplisit dalam Kodeks 1983, Kan. 1741, § 5 dan disesuaikan dengan
kebijakan Uskup diosesan setempat.[1]
Dalam Kanon 1741, dirumuskan alasan-alasan
yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan (dipecat) dari jabatannya
dari parokinya secara legitim, terutama adalah karena hal-hal berikut:
a.
cara
bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas
gerejawi;
b.
kurangnya
pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat
Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
c.
hilangnya
nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan
terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu
singkat;
d.
pelalaian
berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
Kesan umum yang muncul, pemberhentian
atau pemindahan Pastor-paroki sering diartikan secara negatif, itulah pandangan
yang keliru. Maksud utama pemindahan adalah positif meskipun dalam makalah ini
dibahas pemindahan karena alasan yang negatif (yakni karena pengelolaan harta
benda secara buruk). Kanon 1748 menyatakan,
Jika kesejahteraan jiwa-jiwa atau kepentingan maupun manfaat Gereja
menuntut agar seorang Pastor-paroki dipindahkan dari paroki yang dipimpinnya
dengan bermanfaat ke paroki lain atau ke tugas lain, uskup hendaknya
mengusulkan kepadanya perpindahan itu secara tertulis dan menyarankan demi
kasih akan Allah dan jiwa-jiwa ia menyetujuinya.[2]
Jadi, ada dua hal pokok
mengapa Pastor-paroki diberhentikan atau dipindahkan. Pertama, demi
kasih akan Allah (alasan pastoral). Kedua, demi kesejahteraan jiwa-jiwa
(alasan spiritual-eskatologis).[3]
Dalam pembahasan ini secara lebih khusus hendak diuraikan mengenai
pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan bahwa pastor yang bersangkutan tidak
dapat mengelola harta benda Gereja secara baik. Seorang Pastor-paroki yang
tidak dapat mengelola harta benda Gereja secara baik tentu akan merugikan
komunitas gerejawi yang ia layani. Maka,
demi kepentingan pastoral, Uskup diosesan dapat mengambil tindakan dengan cara
memberhentikan jabatannya sebagai Pastor-paroki.
Menurut pengamatan penulis, fenomena atau masalah pemberhentian
Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda Gereja secara buruk memang jarang
terjadi, namun penulis tetap melihat bahwa hal ini sungguh penting. Melihat
betapa penting memahami pengelolaan harta benda secara baik oleh Pastor-paroki,
maka saya tertarik untuk membahas tema ini.
2.
Perumusan Masalah dan Pembatasan
Tema
Kanon
538 menyatakan;
Pastor-paroki meletakkan jabatan dengan pemberhentian
atau pemindahan oleh Uskup diosesan yang dilakukan menurut norma hukum, dengan
pengunduran diri yang dilakukan Pastor-paroki itu sendiri karena alasan yang
wajar dan, agar sah, diterima oleh Uskup itu, dan juga dengan habisnya masa
jabatan, jika melihat ketentuan hukum partikular yang disebut dalam kan. 522 ia
diangkat untuk jangka waktu yang ditetapkan.[4]
Melalui kanon ini dapat disimpulkan dalam empat jenis akhir jabatan dari
seorang Pastor-paroki, yakni: melalui pemberhentian, pemindahan, habisnya masa
bakti, dan karena pengunduran diri.[5]
Dalam makalah ini, yang hendak disoroti adalah akhir jabatan Pastor paroki
dengan alasan pemberhentian.
Alasan-alasan pemberhentian (pemecatan)
jabatan Pastor-paroki dirumuskan
dalam Kanon 1741:
e.
cara
bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas
gerejawi;
f.
kurangnya
pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat
Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
g.
hilangnya
nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan
terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu
singkat;
h.
pelalaian
berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
i.
pengelolaan
harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan
itu tidak dapat diatasi dengan cara lain,
Kan.
1741, no. 5, menyatakan alasan yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat
diberhentikan dari parokinya secara legitim, yakni karena pengelolaan harta
benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu
tidak dapat diatasi dengan cara lain. Makalah ini hendak menguraikan secara
lebih mendalam mengenai alasan pemberhentian tersebut yang tidak dijelaskan
secara eksplisit dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 1741 no. 5. Kanon-kanon
lain akan dibicarakan sejauh terkait dengan kanon 1741 no. 5. Oleh karena itu,
makalah ini diberi judul: PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI KARENA PENGELOLAAN
HARTA BENDA SECARA BURUK MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983.
3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan akademis guna
melaksanakan seminar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas,
Sumatera Utara. Selain itu, penulis ingin mengetahui dan mendalami secara lebih
jelas mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta
benda secara buruk.
4.
Metode Penelitian dan Penulisan
Makalah
ini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan. Sumber utama makalah ini
adalah Kitab Hukum Kanonik. Sedangkan sebagai sumber pendukung, penulis
menggunakan tulisan-tulisan lain yang terkait dengan pokok pembahasan
Pastor-paroki, pengelolaan harta benda, dan prosedur-prosedur pemberhentian
Pastor-paroki. Bahan-bahan
yang terkumpul dibahas dan disajikan secara deskriptif.
5.
Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi
dalam tiga bab. Bab I memuat pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
pemilihan tema, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode
penelitian dan penulisan, serta diakhiri dengan sistematika penyajian. Bab II
membahas tentang pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda
secara buruk menurut Kitab Hukum Kanonik 1983; kanon 1741, no. 5. Dalam bagian
konsep umum tentang paroki dan Pastor-paroki akan diuraikan mengenai paroki sebagai
komunitas, paroki sebagai badan hukum, paroki sebagai persekutuan, pemahaman
tentang Pastor-paroki, dan Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda Gereja. Pada
bagian pengelolaan harta benda Gereja akan diuraikan pengelolaan biasa harta
benda gerejawi, pengelolaan luar biasa harta benda gerejawi. Pada bagian pemberhentian
Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda secara buruk akan diuraikan mengenai
pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta benda secara buruk
dan prosedur pemberhentian Pastor-paroki. Bab III adalah penutup, yang berisi
rangkuman umum dan refleksi
pastoral.
BAB II
PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGELOLAAN HARTA BENDA SECARA BURUK
1. Pemahaman
Umum tentang Paroki dan Pastor-paroki
1.1 Paroki sebagai Komunitas
Paroki merupakan sebuah institusi dasar dalam suatu
struktur organisasi Gereja Partikular. Institusi ini sudah ada sejak abad ke IV
di Barat dan abad ke II di Timur.[6]
Sebelumnya, kelompok umat kristiani hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang
berkumpul di rumah-rumah anggota, di katakombe-katakombe, dan tersebar dalam
kelompok-kelompok jemaat tetangga yang dipersatukan oleh uskup lokal.[7]
Dalam Konsili Vatikan II, paham mengenai paroki mendapat arti baru, yakni
kumpulan kaum beriman kristiani yang dipimpin dan dikelola oleh Pastor-paroki
sebagai wakil dari Uskup. Himpunan kaum beriman tersebut memancarkan dan
menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.[8]
Paroki merupakan persekutuan iman yang terdiri dari
pelayan tertahbis dan
umat kristiani lainnya.
Paroki
ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap
dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, di bawah otoritas Uskup
diosesan, dipercayakan kepada Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri.[9]
1.2 Paroki
sebagai Badan Hukum
Dalam Kodeks 1917, badan hukum paroki diakui secara
implisit, karena itu dalam beberapa kanon dalam Kedeks tersebut, paroki
dinyatakan sebagai subyek nyata dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sementara
itu, dalam Kodeks 1983, paroki manapun yang didirikan secara legitim, ipso iure mempunyai status
badan hukum (Kan. 515, § 3).[10]
Sifat personalitas paroki bersifat publik, karena itu paroki berasal
dari inisiatif langsung otoritas gerejawi dan “atas nama Gereja” (Kan. 116, § 1). Menurut aturan sebelumnya,
bentuk paroki mempunyai subyek yuridis, yakni bentuk gereja dan bentuk harta
benda.[11]
Paroki sebagai badan hukum dibawah otoritas tertinggi Paus, mempunyai
hak milik atas harta benda secara legitim. Pengelolaan harta benda gerejawi
dalam sebuah paroki diatur dalam perundang-undangan yang telah diberlakukan dan
juga statuta masing-masing badan hukum tersebut. [12]
1.3 Paroki sebagai Persekutuan
Dalam KHK maupun dalam dokumen Konsili Vatikan II
terutama dalam LG menyatakan bahwa Gereja sebagai persekutuan (communio) umat beriman, yang telah
terbaptis dan diinkorporasikan dalam Kristus, mengambil bagian dalam trimunera Kristus di dunia sebagai Imam,
Nabi, dan Raja. Umat beriman kristiani dipanggil dan diutus oleh Allah melalui
Gereja di tengah dunia.[13]
Paroki
sebagai “ibu Gereja” merupakan sebuah persekutuan (communio) umat beriman kristiani yang terorganisir secara hirarkis.
Sebagai persekutuan yang terorganisir, peran Pastor-paroki menjadi sangat
penting, karena dialah yang yang menjadi manajer dan leader bagi umat beriman di parokinya. Oleh karena itu, paroki
sebagai Gereja Umat Allah yang sedang berziarah, yang memiliki dimensi ilahi
sekaligus manusiawi, dapat diatur dan dilaksanakan secara profesional dengan
ilmu manajemen. Melalui ilmu manajemen, Pastor-paroki dapat mengelola dan
memimpin paroki sebagai sebuah institusi ilahi yang terorganisir secara baik.[14]
1.4 Pastor-paroki
Pastor-paroki adalah seorang gembala yang menerima otoritas dari uskup
untuk menunaikan reksa pastoral umat dengan mengambil bagian dalam pelayanan
Kristus dalam tugas memimpin, mengajar, dan menguduskan. Selain itu,
Pastor-paroki menunaikan tugas pastoral bertindak atas nama Gereja sebagai pastores proprius. Pastor-paroki adalah pemimpin sakramental
komunitas.[15]
Syarat mutlak untuk menjadi sorang Pastor-paroki adalah mereka yang telah
menerima tahbisan imamat. Sebagai seorang imam, Pastor-paroki di dalam dirinya
menghadirkan Kristus, kepala Gereja dan pelayan Sabda. Panggilan imamatnya
adalah anugerah khusus yang datang dari Kristus sendiri untuk menyelamatkan
komunitas kaum beriman.[16]
1.5 Pastor-paroki
sebagai Pengelola Harta
Benda
Dalam kan. 519
disebutkan definisi Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri bagi paroki yang dipercayakan
kepadanya dibawah otoritas Uskup diosesan. Melalui pemahaman ini, figur
Pastor-paroki disamakan dengan Uskup. Hal ini dinyatakan dalam Kodeks; seperti
Uskup adalah gembalanya sendiri bag keuskupannya, demikian juga Pastor-paroki
adalah gembalanya sendri bag paroki yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena
itu, Pastor-paroki memilki semua wewenang yang perlu supaya mampu menjalankan
tugas-tugasnya.[17]
Pastor-paroki
bukanlah “delegatus” dari Uskup. Ia memiliki kuasa jabatan, yakni kuasa yang
oleh hukum dikaitkan dengan jabatan. Maka
dalam pelaksanaan tugasnya di paroki, seorang Pastor-paroki mempunyai kuasa
administrasi sangat besar, tidak terkecuali dalam pengelolaan harta benda
gereja yang berada di bawah lembaga hukum tersebut. [18]
Pastor-paroki sebagai representasi Uskup di paroki,
atas nama Gereja merupakan penglola utama semua harta benda Gereja, bertugas
dan berwenang:[19]
a.
mewakili badan hukum paroki di hadapan hukum sipil
dalam segala perkara yuridis (bdk. Kan. 532);
b.
bertanggung jawab atas urusan perekonomian dan
pengelolaan harta benda Gereja kepada Uskup diosesan;
c.
membuat laporan rutin kepada Uskup setiap tahun
tentang pengelolaan harta benda paroki, terutama bila terjadi penambahan atau
pengurangan harta milik paroki;
d.
meminta pertimbangan Dewan Keuangan Paroki
menyangkut pengelolaan luar biasa keuangan paroki; dan
e.
mengadakan rapat rutin bersama dengan Dewan Keuangan
Paroki sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun.
2.
Pengelolaan Harta Benda Gereja
Dalam statuta paroki, yang dimaksud dengan
pengelola harta benda gerejawi adalah Pastor-paroki, Dewan Keuangan Paroki dan
Bendahara Paroki. Dewan Keuangan Paroki harus ada di setiap paroki, karena
paroki mempunyai badan hukum. Mereka bertugas membantu Pastor-paroki dalam
mengurus harta benda paroki dan semua kegiatan keuangan “ad noma iuris”.[20]
Meski
dibantu oleh Dewan Keuangan Paroki, sebagai pemegang kuasa jabatan,
Pastor-paroki mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan harta benda
gereja di paroki yang bersangkutan. Supaya terhindar dari kelalaian dan
penyalahgunaan harta benda gereja, maka perlu memperhatikan model atau cara
pengelolaan harta benda yang tepat.
2.1
Pengelolaan Biasa Harta Benda Gerejawi[21]
Yang dimaksud dengan pengelolaan biasa adalah semua tindakan pengelolaan
rutin yang wajib dilakukan oleh pengelola harta benda Gereja. Semua pengelola
harta benda Gereja itu diwajibkan dengan kesungguhan:
a.
mengawasi harta benda Gereja yang dipercayakan
kepadanya agar tidak hilang;
b.
mengusahakan agar pemilikan harta benda Gereja
diamankan dengan cara-cara yang sah menurut hukum sipil;
c.
mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum baik kanonik
maupun sipil;
d.
membuat laporan pengelolaan setiap akhir tahun;
e.
memelihara dengan baik laporan pengelolaan harta benda
Gereja.
2.2
Pengelolaan Luar Biasa Harta Benda Gerejawi[22]
Yang dimaksud dengan pengelolaan luar biasa harta benda Gereja adalah
ketentuan yang menyangkut tindakan yang luar biasa (extra ordinary)
dalam hal pengeluaran, kontrak, dan pengalihmilikan harta benda Gereja, yang
malalui syarat berikut:
a.
pengeluaran dana di atas batas yang ditentukan harus
meminta persetujuan Dewan Keuangan, sedangkan pengeluaran di bawah nominal yang
telah ditentukan cukup meminta persetujuan Pastor-paroki;
b.
pengalihmilikan harta benda Gereja dengan pihak lain
harus meminta persetujuan dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah
Uskup diosesan;
c.
mengadakan kontrak antara paroki sebagai badan hukum
dan pihak lain harus dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki,
Pastor-paroki, dan bendahara paroki. Perjanjian kontrak dan akibatnya hendak
mengindahkan baik norma-norma hukum sipil dan hukum universal maupun hukum
partikular yang berlaku;
d.
pengambilalihan harta benda Gereja dari dan ke paroki
lain hendaknya dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki bersama
Pastor-paroki terlebih dahulu dan harus disetujui oleh otoritas yang berwenang
dalam hal ini adalah Uskup diosesan.
3.
Pemberhentian Pastor-paroki karena Pengelolaan
Harta Benda secara Buruk
3.1 Pemberhentian
karena Pengelolaan Harta Benda secara Buruk
Salah satu syarat yang dituntut untuk menjadi seorang Pastor-paroki
adalah unggul dalam ajaran sehat dan kesusilaan, serta memiliki kecakapan untuk
mengatur paroki yang dipercayakan kepadanya. Syarat ini tentu juga kena
terhadap pengelolaan harta benda paroki (Kan. 521, § 2) . Kan. 1741, no. 5 menyatakan bahwa,
seorang Pastor-paroki dapat
diberhentikan dari parokinya secara legitim, terutama karena pengelolaan harta
benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu
tidak dapat diatasi dengan cara lain.
Menurut sejarah, dewan
legislatif (legislator) Gereja telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap
pengelolaan administrasi/harta benda Gereja. Dalam Kodeks 1917, ditunjukkan
teks yang memuat alasan-alasan pemberhentian Pastor-paroki karena kerugian yang
diakibatkan oleh Pastor yang bersangkutan. Dalam hal ini, Gereja masih memberi
kesempatan bagi Pastor yang bersangkutan untuk memperbaiki diri atas
kesalahannya.[23]
Dalam kanon 537,
disebutkan bahwa di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang membantu
Pastor-paroki dalam mengelola harta benda paroki. Dengan adanya bantuan dari
dewan keuangan akan membuat kasus-kasus pemberhentian atau pemindahan semakin
jarang terjadi.[24]
3.2
Prosedur Pemberhentian Pastor-paroki[25]
Proses pemberhentian
jabatan Pastor-paroki harus melalui prosedur yang sudah ditentukan. Kanon
1742-1745 mengatur mengenai prosedur pemberhentian jabatan Pastor-paroki secara
eksplisit, antara lain dengan melalui beberapa tahap berikut:
a.
pemastian fakta melalui pemeriksaan
apakah sesuai dengan Kan 1740;
b.
pembahasan dengan dua Pastor-paroki yang
diangkat sebagai pemeriksa dalam kasus tersebut oleh Dewan Imam atau atas saran
Uskup;
c.
dengan menunjukkan alasan serta bukti
-demi sahnya- kepada Pastor-paroki yang bersangkutan, Uskup berusaha secara
kebapaan meyakinkan agar mengundurkan diri dalam jangka waktu 15 hari (Bdk.
Kan. 1742).
Ada beberapa
kemungkinan yang muncul setelah tahap-tahap di atas sudah dijalankan, yakni:
d.
pengunduran diri bersyarat dan diterima
oleh Uskup (Kan. 1743);
e.
apabila Pastor-paroki tidak menjawab
atau menolak mengundurkan diri tanpa memberikan alasan, juga setelah waktu
diperpanjang, maka Uskup mengeluarkan surat keputusan pemberhentian (Kan.
1744);
f.
Jika Pastor-paroki menyanggah perkara
serta alasannya tetapi dengan bantahan yang menurut penilaian Uskup tidak
cukup, maka diadakan pemeriksaan ulang dengan melengkapi data dan membahasnya
lagi dengan kedua imam pemeriksa, lalu memutuskan apakah Pastor-paroki itu
deberhentikan atau tidak (Kan. 1745).
BAB III
PENUTUP
1.
Rangkuman Umum
Paroki yang didirikan secara legitim, ipso iure mempunyai badan hukum. Sebagai
badan hukum, paroki mempunyai kuasa untuk mengelola harta benda yang ada di
paroki tersebut. Paroki memiliki organisasi yang sering disebut Dewan Pastoral
Paroki. Dewan Pastoral Paroki merupakan suatu badan yang dibentuk atas dasar
kuasa Uskup yang dipimpin oleh seorang Pastor-paroki guna membantu
penyelenggaraan dan karya pelayanan pastoral di paroki yang bersangkutan.[26] Sebagai kepala DPP, Pastor-paroki
memiliki wewenang terhadap bidang-bidang pelayanan pastoral, termasuk
pengelolaan harta benda paroki.
Idealnya, Pastor-paroki
mesti mampu mengelola seluruh harta benda paroki dengan baik. Namun pada
kenyataannya, pengelolaan harta benda secara buruk dapat saja terjadi. Demi
kepentingan pastoral, Pastor-paroki yang tidak bisa mengelola harta benda
Gereja secara baik, bahkan yang sangat merugikan Gereja, maka Pastor-paroki
yang bersangkutan dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim. Pemberhentian
tersebut juga harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Untuk meminimalisir
kasus-kasus pemberhentian tersebut, dalam makalah ini juga telah dipaparkan
mengenai cara pengelolaan harta benda yang baik. Pengelolaan tersebut dibadakan
ke dalam dua bagian, yakni penglolaan biasa dan pengelolaan luar biasa terhadap
harta benda Gerejawi.
2.
Refleksi
Pastoral
Menjadi Pastor-paroki yang baik dan bekerja
secara profesional adalah harapan yang harus menjadi kenyataan. Pastor-paroki
yang bekerja asal-asalan tidak akan
menghasilkan karya yang optimal. Bahkan akan mengakibatkan kerugian bagi
Gereja. Banyak umat beriman yang mendambakan seorang Pastor-paroki sebagai imam
dan gembala yang baik, mampu memimpin dan mengorganisir komunitas umat beriman,
mengutamakan pelayanan, dan bekerja secara profesional. Hal ini adalah tuntutan
umat beriman sekaligus tuntutan yuridis yang dikenakan pada diri seorang
Pastor-paroki.[27]
Apabila tuntutan ini tidak terpenuhi, maka ada sanksi yang setiap waktu dapat
dikenakan bagi Pastor-paroki, termasuk pemberhentian jabatan dari
Pastor-paroki.
Dewasa ini, kasus-kasus penyalahgunaan
wewenang sedang marak terjadi di dunia politik. Para pejabat pemerintah yang
telah dipercaya untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat justru menodai diri
dengan kasus-kasus korupsi. Hal tersubut justru akan terasa lebih menyakitkan
apabila terjadi di kalangan pemimpin Gereja.
Pastor-paroki sebagai gembala yang menunaikan
reksa pastoral umat semestinya menjadi teladan bagi umat yang digembalakannya. Kelalaian
dan penyelewengan akan tugas pastoralnya bukanlah citra seorang imam yang baik.
Maka, Pastor-paroki yang lalai dengan tugasnya, termasuk dalam hal pengelolaan
harta benda telah ditetapkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pemberhentian Pastor-paroki dari jabatannya
bukan semata-mata karena ingin membuat jera dari pastor yang bersangkutan,
melainkan lebih menyangkut pada kepentingan pastoral. Hal ini menyangkut identitas
diri seorang Pastor-paroki sebagai sosok yang mesti diteladani. Maka, untuk
menjaga iman umat beriman dan demi kesejahtaraan jiwa-jiwa, Pastor-paroki yang
tidak bisa mengelola harta benda Gereja secara baik dinyatakan berhenti dari
jabatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen-Dokumen Resmi
Gereja
Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.
Kitab
Hukum Kanonik 1983 (Cedex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi
Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2006. Go, Piet. Paroki, Menurut Hukum Gereja.
Malang: Dioma, 1990.
Komentar-Komentar Kodeks
Beal,
John P., dkk (ed), New Commentary on the Code of Canon Law. New York,
NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000.
Corriden,
James A., dkk (ed), The Code of Canon Law. New York, NY-Mahwah, NJ:
Paulist Press, 1985.
Bibliografi Umum
Gitowiratmo,
St. Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Kusumawanta,
Dominikius Gusti Bagus. Imam
di Ambang Batas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
_______. Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan
Pastoral. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000.
Tarigan,
Jacobus. Dari Keluarga untuk Gereja. Jakarta: Grasindo, 2003.
[1]Dominikius Gusti Bagus Kusumawanta, Imam
di Ambang Batas (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 123.
[4] Kitab Hukum Kanonik 1983
(Codex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi Bahasa Indonesia.
Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), kan. 538 $ 1.
[6] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK: Susunan
Hirarki Gereja (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 64.
(diktat)
[8] Konsili Vatikan II, “Konstitusi tentang Liturgi”
(SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 42.
[15] Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan
Pastoral (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000), hlm. 42. Bdk. Jacobus
Tarigan, Dari Keluarga untuk Gereja (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 64; bdk. Kan. 519.
[20] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 188; bdk. St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm.
74; bdk. juga Kan. 537.
[23]
James A Corriden, dkk
(ed), The Code of Canon Law (New York, NY-Mahwah, NJ:
Paulist Press, 1985),
hlm. 1039; bdk. John P. Beal, dkk
(ed), New Commentary on the Code of Canon Law (New
York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000), hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar