Kamis, 10 April 2014

PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI









PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGLOLAAN HARTA-BENDA SECARA BURUK
MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983






BAB I




PENDAHULUAN



1.        Latar Belakang
Pemberhentian jabatan dalam lingkungan sipil kerap terjadi. Pemberhentian jabatan itu biasanya dilandasi oleh beberapa alasan, misalnya karena kasus korupsi yang dilakukan oleh orang tertentu. Pemberhentian atau pemecatan juga bisa terjadi dalam lingkup Gereja. Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda pun juga dapat diberhentikan dari jabatannya apabila secara hukum terbukti adanya penyelewengan atau kelalaian terhadap tugasnya tersebut. Pemberhentian tersebut telah diatur secara eksplisit dalam Kodeks 1983, Kan. 1741, § 5 dan disesuaikan dengan kebijakan Uskup diosesan setempat.[1]
Dalam Kanon 1741, dirumuskan alasan-alasan yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan (dipecat) dari jabatannya dari parokinya secara legitim, terutama adalah karena hal-hal berikut:
a.    cara bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
b.   kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
c.    hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
d.   pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;

Kesan umum yang muncul, pemberhentian atau pemindahan Pastor-paroki sering diartikan secara negatif, itulah pandangan yang keliru. Maksud utama pemindahan adalah positif meskipun dalam makalah ini dibahas pemindahan karena alasan yang negatif (yakni karena pengelolaan harta benda secara buruk). Kanon 1748 menyatakan,
Jika kesejahteraan jiwa-jiwa atau kepentingan maupun manfaat Gereja menuntut agar seorang Pastor-paroki dipindahkan dari paroki yang dipimpinnya dengan bermanfaat ke paroki lain atau ke tugas lain, uskup hendaknya mengusulkan kepadanya perpindahan itu secara tertulis dan menyarankan demi kasih akan Allah dan jiwa-jiwa ia menyetujuinya.[2]

Jadi, ada dua hal pokok mengapa Pastor-paroki diberhentikan atau dipindahkan. Pertama, demi kasih akan Allah (alasan pastoral). Kedua, demi kesejahteraan jiwa-jiwa (alasan spiritual-eskatologis).[3]
Dalam pembahasan ini secara lebih khusus hendak diuraikan mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan bahwa pastor yang bersangkutan tidak dapat mengelola harta benda Gereja secara baik. Seorang Pastor-paroki yang tidak dapat mengelola harta benda Gereja secara baik tentu akan merugikan komunitas gerejawi yang ia layani.  Maka, demi kepentingan pastoral, Uskup diosesan dapat mengambil tindakan dengan cara memberhentikan jabatannya sebagai Pastor-paroki.
Menurut pengamatan penulis, fenomena atau masalah pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda Gereja secara buruk memang jarang terjadi, namun penulis tetap melihat bahwa hal ini sungguh penting. Melihat betapa penting memahami pengelolaan harta benda secara baik oleh Pastor-paroki, maka saya tertarik untuk membahas tema ini.
2.        Perumusan Masalah dan Pembatasan Tema 
Kanon 538 menyatakan;
Pastor-paroki meletakkan jabatan dengan pemberhentian atau pemindahan oleh Uskup diosesan yang dilakukan menurut norma hukum, dengan pengunduran diri yang dilakukan Pastor-paroki itu sendiri karena alasan yang wajar dan, agar sah, diterima oleh Uskup itu, dan juga dengan habisnya masa jabatan, jika melihat ketentuan hukum partikular yang disebut dalam kan. 522 ia diangkat untuk jangka waktu yang ditetapkan.[4]

Melalui kanon ini dapat disimpulkan dalam empat jenis akhir jabatan dari seorang Pastor-paroki, yakni: melalui pemberhentian, pemindahan, habisnya masa bakti, dan karena pengunduran diri.[5] Dalam makalah ini, yang hendak disoroti adalah akhir jabatan Pastor paroki dengan alasan pemberhentian.
Alasan-alasan pemberhentian (pemecatan) jabatan Pastor-paroki dirumuskan dalam Kanon 1741:
e.    cara bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
f.    kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
g.   hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
h.   pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
i.     pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain,
Kan. 1741, no. 5, menyatakan alasan yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim, yakni karena pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain. Makalah ini hendak menguraikan secara lebih mendalam mengenai alasan pemberhentian tersebut yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 1741 no. 5. Kanon-kanon lain akan dibicarakan sejauh terkait dengan kanon 1741 no. 5. Oleh karena itu, makalah ini diberi judul: PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI KARENA PENGELOLAAN HARTA BENDA SECARA BURUK MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983.
3.        Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan akademis guna melaksanakan seminar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Selain itu, penulis ingin mengetahui dan mendalami secara lebih jelas mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta benda secara buruk.
4.        Metode Penelitian dan Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan. Sumber utama makalah ini adalah Kitab Hukum Kanonik. Sedangkan sebagai sumber pendukung, penulis menggunakan tulisan-tulisan lain yang terkait dengan pokok pembahasan Pastor-paroki, pengelolaan harta benda, dan prosedur-prosedur pemberhentian Pastor-paroki. Bahan-bahan yang terkumpul dibahas dan disajikan secara deskriptif.
5.        Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi dalam tiga bab. Bab I memuat pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, serta diakhiri dengan sistematika penyajian. Bab II membahas tentang pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda secara buruk menurut Kitab Hukum Kanonik 1983; kanon 1741, no. 5. Dalam bagian konsep umum tentang paroki dan Pastor-paroki akan diuraikan mengenai paroki sebagai komunitas, paroki sebagai badan hukum, paroki sebagai persekutuan, pemahaman tentang Pastor-paroki, dan Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda Gereja. Pada bagian pengelolaan harta benda Gereja akan diuraikan pengelolaan biasa harta benda gerejawi, pengelolaan luar biasa harta benda gerejawi. Pada bagian pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda secara buruk akan diuraikan mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta benda secara buruk dan prosedur pemberhentian Pastor-paroki. Bab III adalah penutup, yang berisi rangkuman umum dan refleksi pastoral.





























BAB II




PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGELOLAAN HARTA BENDA SECARA BURUK
1.    Pemahaman Umum tentang Paroki dan Pastor-paroki
1.1  Paroki sebagai Komunitas
Paroki merupakan sebuah institusi dasar dalam suatu struktur organisasi Gereja Partikular. Institusi ini sudah ada sejak abad ke IV di Barat dan abad ke II di Timur.[6] Sebelumnya, kelompok umat kristiani hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang berkumpul di rumah-rumah anggota, di katakombe-katakombe, dan tersebar dalam kelompok-kelompok jemaat tetangga yang dipersatukan oleh uskup lokal.[7] Dalam Konsili Vatikan II, paham mengenai paroki mendapat arti baru, yakni kumpulan kaum beriman kristiani yang dipimpin dan dikelola oleh Pastor-paroki sebagai wakil dari Uskup. Himpunan kaum beriman tersebut memancarkan dan menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.[8]
Paroki merupakan persekutuan iman yang terdiri dari pelayan tertahbis dan umat kristiani lainnya.
            Paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri.[9]


           
1.2  Paroki sebagai Badan Hukum
Dalam Kodeks 1917, badan hukum paroki diakui secara implisit, karena itu dalam beberapa kanon dalam Kedeks tersebut, paroki dinyatakan sebagai subyek nyata dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sementara itu, dalam Kodeks 1983, paroki manapun yang didirikan  secara legitim, ipso iure  mempunyai status badan hukum (Kan. 515, § 3).[10]
Sifat personalitas paroki bersifat publik, karena itu paroki berasal dari inisiatif langsung otoritas gerejawi dan “atas nama Gereja” (Kan. 116, § 1). Menurut aturan sebelumnya, bentuk paroki mempunyai subyek yuridis, yakni bentuk gereja dan bentuk harta benda.[11]
Paroki sebagai badan hukum  dibawah otoritas tertinggi Paus, mempunyai hak milik atas harta benda secara legitim. Pengelolaan harta benda gerejawi dalam sebuah paroki diatur dalam perundang-undangan yang telah diberlakukan dan juga statuta masing-masing badan hukum tersebut. [12]

1.3  Paroki sebagai Persekutuan
Dalam KHK maupun dalam dokumen Konsili Vatikan II terutama dalam LG menyatakan bahwa Gereja sebagai persekutuan (communio) umat beriman, yang telah terbaptis dan diinkorporasikan dalam Kristus, mengambil bagian dalam trimunera Kristus di dunia sebagai Imam, Nabi, dan Raja. Umat beriman kristiani dipanggil dan diutus oleh Allah melalui Gereja di tengah dunia.[13]
Paroki sebagai “ibu Gereja” merupakan sebuah persekutuan (communio) umat beriman kristiani yang terorganisir secara hirarkis. Sebagai persekutuan yang terorganisir, peran Pastor-paroki menjadi sangat penting, karena dialah yang yang menjadi manajer dan leader bagi umat beriman di parokinya. Oleh karena itu, paroki sebagai Gereja Umat Allah yang sedang berziarah, yang memiliki dimensi ilahi sekaligus manusiawi, dapat diatur dan dilaksanakan secara profesional dengan ilmu manajemen. Melalui ilmu manajemen, Pastor-paroki dapat mengelola dan memimpin paroki sebagai sebuah institusi ilahi yang terorganisir secara baik.[14]
1.4  Pastor-paroki
            Pastor-paroki adalah seorang gembala yang menerima otoritas dari uskup untuk menunaikan reksa pastoral umat dengan mengambil bagian dalam pelayanan Kristus dalam tugas memimpin, mengajar, dan menguduskan. Selain itu, Pastor-paroki menunaikan tugas pastoral bertindak atas nama Gereja sebagai pastores proprius. Pastor-paroki adalah pemimpin sakramental komunitas.[15]
            Syarat mutlak untuk menjadi sorang Pastor-paroki adalah mereka yang telah menerima tahbisan imamat. Sebagai seorang imam, Pastor-paroki di dalam dirinya menghadirkan Kristus, kepala Gereja dan pelayan Sabda. Panggilan imamatnya adalah anugerah khusus yang datang dari Kristus sendiri untuk menyelamatkan komunitas kaum beriman.[16]

1.5  Pastor-paroki sebagai Pengelola Harta Benda
Dalam kan. 519 disebutkan definisi Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri bagi paroki yang dipercayakan kepadanya dibawah otoritas Uskup diosesan. Melalui pemahaman ini, figur Pastor-paroki disamakan dengan Uskup. Hal ini dinyatakan dalam Kodeks; seperti Uskup adalah gembalanya sendiri bag keuskupannya, demikian juga Pastor-paroki adalah gembalanya sendri bag paroki yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, Pastor-paroki memilki semua wewenang yang perlu supaya mampu menjalankan tugas-tugasnya.[17]
Pastor-paroki bukanlah “delegatus” dari Uskup. Ia memiliki kuasa jabatan, yakni kuasa yang oleh hukum dikaitkan dengan jabatan. Maka dalam pelaksanaan tugasnya di paroki, seorang Pastor-paroki mempunyai kuasa administrasi sangat besar, tidak terkecuali dalam pengelolaan harta benda gereja yang berada di bawah lembaga hukum tersebut. [18]
Pastor-paroki sebagai representasi Uskup di paroki, atas nama Gereja merupakan penglola utama semua harta benda Gereja, bertugas dan berwenang:[19]
a.         mewakili badan hukum paroki di hadapan hukum sipil dalam segala perkara yuridis (bdk. Kan. 532);
b.         bertanggung jawab atas urusan perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja kepada Uskup diosesan;
c.         membuat laporan rutin kepada Uskup setiap tahun tentang pengelolaan harta benda paroki, terutama bila terjadi penambahan atau pengurangan harta milik paroki;
d.        meminta pertimbangan Dewan Keuangan Paroki menyangkut pengelolaan luar biasa keuangan paroki; dan
e.         mengadakan rapat rutin bersama dengan Dewan Keuangan Paroki sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun.

2.      Pengelolaan Harta Benda Gereja
                        Dalam statuta paroki, yang dimaksud dengan pengelola harta benda gerejawi adalah Pastor-paroki, Dewan Keuangan Paroki dan Bendahara Paroki. Dewan Keuangan Paroki harus ada di setiap paroki, karena paroki mempunyai badan hukum. Mereka bertugas membantu Pastor-paroki dalam mengurus harta benda paroki dan semua kegiatan keuangan “ad noma iuris”.[20]
            Meski dibantu oleh Dewan Keuangan Paroki, sebagai pemegang kuasa jabatan, Pastor-paroki mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan harta benda gereja di paroki yang bersangkutan. Supaya terhindar dari kelalaian dan penyalahgunaan harta benda gereja, maka perlu memperhatikan model atau cara pengelolaan harta benda yang tepat.
2.1         Pengelolaan Biasa Harta Benda Gerejawi[21]
Yang dimaksud dengan pengelolaan biasa adalah semua tindakan pengelolaan rutin yang wajib dilakukan oleh pengelola harta benda Gereja. Semua pengelola harta benda Gereja itu diwajibkan dengan kesungguhan:
a.         mengawasi harta benda Gereja yang dipercayakan kepadanya agar tidak hilang;
b.        mengusahakan agar pemilikan harta benda Gereja diamankan dengan cara-cara yang sah menurut hukum sipil;
c.         mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum baik kanonik maupun sipil;
d.        membuat laporan pengelolaan setiap akhir tahun;
e.         memelihara dengan baik laporan pengelolaan harta benda Gereja.
2.2         Pengelolaan Luar Biasa Harta Benda Gerejawi[22]
Yang dimaksud dengan pengelolaan luar biasa harta benda Gereja adalah ketentuan yang menyangkut tindakan yang luar biasa (extra ordinary) dalam hal pengeluaran, kontrak, dan pengalihmilikan harta benda Gereja, yang malalui syarat berikut:
a.       pengeluaran dana di atas batas yang ditentukan harus meminta persetujuan Dewan Keuangan, sedangkan pengeluaran di bawah nominal yang telah ditentukan cukup meminta persetujuan Pastor-paroki;
b.      pengalihmilikan harta benda Gereja dengan pihak lain harus meminta persetujuan dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah Uskup diosesan;
c.       mengadakan kontrak antara paroki sebagai badan hukum dan pihak lain harus dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki, Pastor-paroki, dan bendahara paroki. Perjanjian kontrak dan akibatnya hendak mengindahkan baik norma-norma hukum sipil dan hukum universal maupun hukum partikular yang berlaku;
d.      pengambilalihan harta benda Gereja dari dan ke paroki lain hendaknya dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki bersama Pastor-paroki terlebih dahulu dan harus disetujui oleh otoritas yang berwenang dalam hal ini adalah Uskup diosesan.
3.      Pemberhentian Pastor-paroki karena Pengelolaan Harta Benda secara Buruk
3.1    Pemberhentian karena Pengelolaan Harta Benda secara Buruk
Salah satu syarat yang dituntut untuk menjadi seorang Pastor-paroki adalah unggul dalam ajaran sehat dan kesusilaan, serta memiliki kecakapan untuk mengatur paroki yang dipercayakan kepadanya. Syarat ini tentu juga kena terhadap pengelolaan harta benda paroki (Kan. 521, § 2) . Kan. 1741, no. 5 menyatakan bahwa,
 seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim, terutama karena pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain.

Menurut sejarah, dewan legislatif (legislator) Gereja telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap pengelolaan administrasi/harta benda Gereja. Dalam Kodeks 1917, ditunjukkan teks yang memuat alasan-alasan pemberhentian Pastor-paroki karena kerugian yang diakibatkan oleh Pastor yang bersangkutan. Dalam hal ini, Gereja masih memberi kesempatan bagi Pastor yang bersangkutan untuk memperbaiki diri atas kesalahannya.[23]
Dalam kanon 537, disebutkan bahwa di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang membantu Pastor-paroki dalam mengelola harta benda paroki. Dengan adanya bantuan dari dewan keuangan akan membuat kasus-kasus pemberhentian atau pemindahan semakin jarang terjadi.[24]
3.2        Prosedur Pemberhentian Pastor-paroki[25]
Proses pemberhentian jabatan Pastor-paroki harus melalui prosedur yang sudah ditentukan. Kanon 1742-1745 mengatur mengenai prosedur pemberhentian jabatan Pastor-paroki secara eksplisit, antara lain dengan melalui beberapa tahap berikut:
a.       pemastian fakta melalui pemeriksaan apakah sesuai dengan Kan 1740;
b.      pembahasan dengan dua Pastor-paroki yang diangkat sebagai pemeriksa dalam kasus tersebut oleh Dewan Imam atau atas saran Uskup;
c.       dengan menunjukkan alasan serta bukti -demi sahnya- kepada Pastor-paroki yang bersangkutan, Uskup berusaha secara kebapaan meyakinkan agar mengundurkan diri dalam jangka waktu 15 hari (Bdk. Kan. 1742).
Ada beberapa kemungkinan yang muncul setelah tahap-tahap di atas sudah dijalankan, yakni:
d.      pengunduran diri bersyarat dan diterima oleh Uskup (Kan. 1743);
e.       apabila Pastor-paroki tidak menjawab atau menolak mengundurkan diri tanpa memberikan alasan, juga setelah waktu diperpanjang, maka Uskup mengeluarkan surat keputusan pemberhentian (Kan. 1744);
f.       Jika Pastor-paroki menyanggah perkara serta alasannya tetapi dengan bantahan yang menurut penilaian Uskup tidak cukup, maka diadakan pemeriksaan ulang dengan melengkapi data dan membahasnya lagi dengan kedua imam pemeriksa, lalu memutuskan apakah Pastor-paroki itu deberhentikan atau tidak (Kan. 1745).


























BAB III




PENUTUP




1.    Rangkuman Umum
           
Paroki yang didirikan secara legitim, ipso iure mempunyai badan hukum. Sebagai badan hukum, paroki mempunyai kuasa untuk mengelola harta benda yang ada di paroki tersebut. Paroki memiliki organisasi yang sering disebut Dewan Pastoral Paroki. Dewan Pastoral Paroki merupakan suatu badan yang dibentuk atas dasar kuasa Uskup yang dipimpin oleh seorang Pastor-paroki guna membantu penyelenggaraan dan karya pelayanan pastoral di paroki yang bersangkutan.[26] Sebagai kepala DPP, Pastor-paroki memiliki wewenang terhadap bidang-bidang pelayanan pastoral, termasuk pengelolaan harta benda paroki.
            Idealnya, Pastor-paroki mesti mampu mengelola seluruh harta benda paroki dengan baik. Namun pada kenyataannya, pengelolaan harta benda secara buruk dapat saja terjadi. Demi kepentingan pastoral, Pastor-paroki yang tidak bisa mengelola harta benda Gereja secara baik, bahkan yang sangat merugikan Gereja, maka Pastor-paroki yang bersangkutan dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim. Pemberhentian tersebut juga harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
            Untuk meminimalisir kasus-kasus pemberhentian tersebut, dalam makalah ini juga telah dipaparkan mengenai cara pengelolaan harta benda yang baik. Pengelolaan tersebut dibadakan ke dalam dua bagian, yakni penglolaan biasa dan pengelolaan luar biasa terhadap harta benda Gerejawi.
           

2.    Refleksi Pastoral


Menjadi Pastor-paroki yang baik dan bekerja secara profesional adalah harapan yang harus menjadi kenyataan. Pastor-paroki yang bekerja asal-asalan tidak akan menghasilkan karya yang optimal. Bahkan akan mengakibatkan kerugian bagi Gereja. Banyak umat beriman yang mendambakan seorang Pastor-paroki sebagai imam dan gembala yang baik, mampu memimpin dan mengorganisir komunitas umat beriman, mengutamakan pelayanan, dan bekerja secara profesional. Hal ini adalah tuntutan umat beriman sekaligus tuntutan yuridis yang dikenakan pada diri seorang Pastor-paroki.[27] Apabila tuntutan ini tidak terpenuhi, maka ada sanksi yang setiap waktu dapat dikenakan bagi Pastor-paroki, termasuk pemberhentian jabatan dari Pastor-paroki.
Dewasa ini, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang sedang marak terjadi di dunia politik. Para pejabat pemerintah yang telah dipercaya untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat justru menodai diri dengan kasus-kasus korupsi. Hal tersubut justru akan terasa lebih menyakitkan apabila terjadi di kalangan pemimpin Gereja.
Pastor-paroki sebagai gembala yang menunaikan reksa pastoral umat semestinya menjadi teladan bagi umat yang digembalakannya. Kelalaian dan penyelewengan akan tugas pastoralnya bukanlah citra seorang imam yang baik. Maka, Pastor-paroki yang lalai dengan tugasnya, termasuk dalam hal pengelolaan harta benda telah ditetapkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pemberhentian Pastor-paroki dari jabatannya bukan semata-mata karena ingin membuat jera dari pastor yang bersangkutan, melainkan lebih menyangkut pada kepentingan pastoral. Hal ini menyangkut identitas diri seorang Pastor-paroki sebagai sosok yang mesti diteladani. Maka, untuk menjaga iman umat beriman dan demi kesejahtaraan jiwa-jiwa, Pastor-paroki yang tidak bisa mengelola harta benda Gereja secara baik dinyatakan berhenti dari jabatannya.



















DAFTAR PUSTAKA
Dokumen-Dokumen Resmi Gereja

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Kitab Hukum Kanonik 1983 (Cedex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2006.  Go, Piet. Paroki, Menurut Hukum Gereja. Malang: Dioma, 1990.


Komentar-Komentar Kodeks

Beal, John P., dkk (ed), New Commentary on the Code of Canon Law. New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000.

Corriden, James A., dkk (ed), The Code of Canon Law. New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 1985.


Bibliografi Umum


Gitowiratmo, St. Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Kusumawanta, Dominikius Gusti Bagus. Imam di Ambang Batas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

_______. Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan Pastoral. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000.

Tarigan, Jacobus. Dari Keluarga untuk Gereja. Jakarta: Grasindo, 2003.








[1]Dominikius Gusti Bagus Kusumawanta, Imam di Ambang Batas (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 123.

[2] Bdk. Kan. 1748.

[3] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 125.
[4] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), kan. 538 $ 1.

[5] Piet Go, Paroki, Menurut Hukum Gereja (Malang: Dioma, 1990), hlm. 36.
[6] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK: Susunan Hirarki Gereja (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 64. (diktat)

[7] St. Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 21.

[8] Konsili Vatikan II, “Konstitusi tentang Liturgi” (SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 42.

[9] Kan. 515, § 1.

[10] Bdk. Kan. 114, § 1; bdk. St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 65.

                [11] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 65.

                [12] Kan. 1256.

[13] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 168.

[14] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 168.
                [15] Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan Pastoral (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000), hlm. 42. Bdk. Jacobus Tarigan, Dari Keluarga untuk Gereja (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 64; bdk. Kan. 519.

                [16] Jacobus Tarigan, Dari..., hlm. 65. Bdk. Kan. 521, § 1.

                [17] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 67.

                [18] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 67.

[19] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 184.

                [20] Dominikius Gusti Kusumawanta,  Imam…, hlm. 188; bdk. St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 74; bdk. juga Kan. 537.

[21] Dominikius Gusti Kusumawanta,  Imam…, hlm. 188-189;  bdk. Kan. 1281-1288.

[22] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 189-190; bdk. Kan. 1281-1284.
                [23] James A Corriden, dkk (ed), The Code of Canon Law (New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 1985), hlm. 1039; bdk. John P. Beal, dkk (ed), New Commentary on the Code of Canon Law (New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000), hlm.

                [24] James A Corriden, dkk (ed), The Code…, hlm 1039;

                [25] Piet Go, Paroki…,  hlm. 37-38.
[26] Bdk. Kan. 536, § 1.
[27] Dominikius Gusti Bagus Kusumawanta, Imam…, hlm. 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar