Kamis, 10 April 2014

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP ATEISME (2)



TEROPONG FILOSOFIS ATAS PANDANGAN GEREJA KATOLIK
TERHADAP ATEISME

Abstraksi
Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada Penciptanya. Akan tetapi, banyak di antara orang-orang zaman sekarang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah itu atau tegas-tandas menolaknya, sehingga sekarang ateisme memang termasuk kenyataan yang paling gawat, dan perlu diselidiki dengan cermat. (Gaudium et Spes 19 § 1)

1.     Pemahaman tentang Ateisme
Ateisme merupakan suatu fakta dalam sejarah filsafat dan kebudayaan dewasa ini yang tidak boleh diabaikan. Menurut Gaudium et Spes, “ateisme termasuk keyakinan yang sungguh-sungguh harus diselidiki dengan seksama”.[1] Disamping itu, ateisme bertentangan dengan agama, karena ada perbedaan visi yang bertolak belakang mengenai eksistensi Allah.

                             Pengertian Ateisme
           Secara etimologis, istilah “ateisme” berasal dari bahasa Yunani a-theos, yang berarti tanpa Allah.[2] Kata ateisme berarti suatu aliran yang menyangkal adanya Allah. dengan kata lain, ateisme adalah keyakinan hidup orang-orang yang menolak adanya Allah.[3] Dalam sejarah, istilah ateisme dipakai juga untuk menyatakan keyakinan hidup orang-orang yang menyimpang dari pandangan keagamaan tradisional.[4] Pada abad pertama dan kedua, dalam kekaisaran Romawi, orang Kristen sering dituduh sebagai golongan atheis, karena mereka menolak menyembah dewa-dewi yang disembah oleh kaisar dan seluruh rakyatnya.[5]
           
                             Bentuk-bentuk ateisme
Secara umum ateisme dibedakan menjadi dua yakni ateisme teoretis dan ateisme praktis.[6]

                                              Ateisme Teoretis
Ateisme teoretis adalah suatu pandangan hidup yang menyangkal adanya Allah secara terang-terangan dan mengajukan argumen-argumen serta alasan-alasan rasional untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya. Ateisme teoretis sering kali bersifat militan, artinya orang melihat Allah itu sebagai musuh utama yang harus dihancurkan.[7] Pada umumnya ateisme teoretis merupakan keyakinan hidup kaum intelektual, yang ingin mencari kebenaran sejati. Gagasan-gagasan  mereka sering kali menimbulkan persoalan-persoalan mendasar bagi kehidupan manusia.
             Kemudian ateisme teoretis dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: ateisme humanistik, ateisme sosial politik, dan ateisme ilmiah.
  1. Ateisme Humanistik
Ateisme humanistik adalah suatu keyakinan hidup orang-orang yang beranggapan bahwa
Kepercayaan kepada Tuhan menindas manusia. Mereka melihat agama itu mempersulit hidup manusia dengan cara memberikan harapan-harapan yang palsu.[8] Selain itu, agama membuat manusia melarikan diri dari tanggung jawab dengan menerima Tuhan dalam dirinya.

  1. Ateisme Sosial Politik
Ateisme politik beranggapan bahwa kepercayaan akan Tuhan merupakan akibat ketidakberesan dalam suatu masyarakat. Manusia mengalami konflik ingin mencari keamanan dan ketenangan dengan masuk agama. Para penganut ateisme ini yakin bahwa percaya kepada Tuhan adalah penyakit dalam masyarakat. Karl Marx(1818-1883) mengatakan bahwa agama adalah “candu masyarakat”, karena agama menjadi alat politis untuk menenangkan masyarakat.[9]
Karl Marx menekankan bahwa “agama hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi tak berperikemanusiaan, uang menyebabkan manusia terasing secara sosial.[10] Manusia yang menjadi buruh tidak menikmati hasil kerjanya sendiri. Agama cenderung memihak kaum bermodal. Mereka berkuasa atas buruh dan mengatur gaji sesuka hatinya, tanpa memperhatikan hak dan kewajiban mereka secara adil.
  1. Ateisme Ilmiah
Ateisme ilmiah berpendapat bahwa kepercayaan akan Tuhan tidak bisa didamaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.[11] Mengapa? Karena agama tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kritis dari ilmu pengetahuan. Para penganut alam pikiran ini mengatakan bahwa agama adalah sikap hidup yang naif. Hal ini terbukti agama tidak mampu bersaing dengan ilmu pengetahuan. Bahkan para penganut aliran ini optimis bahwa ilmu pengetahuan modern merupakan kunci untuk membuka pintu segala kebenaran. Artinya, semua kebenaran terjangkau oleh ilmu pengetahuan; maka tidak ada lagi tempat bagi agama.[12]

                                              Ateisme Praktis
Manusia dapat mengingkari adanya Allah melalui praktek hidupnya. Mereka mengaku menganut salah satu agama, tetapi tidak hidup menurut ajaran agama tersebut. Hal ini menyebabkan lahirnya ateisme praktis. Ateisme praktis adalah sikap hidup yang tidak menghiraukan hal-hal religius. Sikap hidup demikian semakin tampak manakala orang menjalani hidupnya, seolah-olah Allah tidak ada.[13] Dengan kata lain orang tidak peduli tentang adanya Allah, karena orang mengambil sikap acuh tak acuh terhadap-Nya. Bagi mereka ada tidaknya Allah bukan persoalan.
2.     Teropong Filosofis atas Pandangan Gereja Katolik terhadap Ateisme
Dasar penolakan kaum ateisme atas ide Allah ialah karena ide akan Allah bertentangan dengan realitas hidup manusia. Kenyataan hidup manusia pada umumnya mengalami penderitaan akibat kejahatan yang merajalela di dunia. Hal itu tidak bisa disesuaikan dengan pengakuan orang beragama atas adanya Allah dengan memperjuangkan otonominya. Manusia berusaha hidup dan berembang secara sekular agar lebih manusiawi. Hal ini membuat orang modern sulit menemukan gambaran Allah yang benar. Bahkan mereka sendiri mempertanyakan secara kritis kebenaran ajaran agamanya.

                             Gereja Mengecam Ajaran dan Tindakan Kaum Atheis
Pada dasarnya Gereja mencintai semua manusia, karena manusia adalah citra Allah. demikian juga halnya terhadap kaum atheis, Gereja menaruh perhatian besar kepadanya. Namun Gereja tidak bisa menerima ajaran mereka, karena ajarannya dapat menghancurkan iman umat. Oleh karena itu, dalam kesetiaannya dengan Allah dan manusia, Gereja tiada henti-hentinya mengecam semua ajaran dan tindakan kaum atheis.[14]
Gereja sangat menentang dan mengecam ateisme yang mendambakan pembebasan manusia di bidang ekonomi dan sosial. Politik ekonomi selalu menciptakan jurang antara kaya dan miskin. Akibatnya banyak manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami kesengsaraan seumur hidup. Gereja menghukum ideologi-ideologi yang menyangkal Allah dan menindas Gereja dengan sistem-sistem yang sering dipersamakan dengan rezim-rezim ekonomi, sosial politik, dan komunisme yang ateistis.

                             Gereja Menolak dengan Tegas Ateisme
Perdebatan dalam Konsili Vatikan II mengenai ateisme cukup hangat. Konsili menggunakan kata “menolak”, dengan alasan karena kata tersebut tidak berkaitan dengan hukuman bagi diri kaum atheis. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja cukup hati-hati menangani masalah ateisme ini. Gereja sangat tegas menolak segala rumusan ajaran kaum atheis, yang bertentangan dengan ajaran dan iman kepercayaan. Namun Gereja tidak menolak manusianya, karena manusia atheis juga diciptakan Allah menurut citra-Nya.[15]
Setelah Gereja menyelidiki segala ajaran dan tindakan kaum atheis dengan saksama, maka jelas bahwa ateisme harus ditolak. Gereja tiada henti-hentinya menyalahkan ajaran kaum atheis, karena ateisme bertentangan dengan akal budi dan pengalaman umum manusia serta menurunkan manusia dari keluhuran yang dimilikinya.
Gereja sadar bahwa ajaran kaum atheis menjauhkan manusia dari Allah dan mengukuhkan kedudukannya sebagai pusat dan tujuan segala-galanya. Manusia mengagungkan kekuatan akal budi dan memuja hasil karyanya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan panggilan manusia sebagai putra Allah dan hidup dalam cinta kasih yang penuh kebahagiaan.[16] Dalam persatuan dengan Allah, manusia menemukan damai dan keadilan.
Walau Gereja menolak ateisme, namun Gereja mengakui bahwa ateisme memungkinkan Gereja untuk memurnikan diri dari idolatria dan menemukan gambaran Allah yang benar. Ateisme telah menyadarkan Gereja akan kemampuan manusia mengurus dirinya sendiri. Gereja percaya bahwa gambar Allah yang benar ada dalam Yesus Kristus, walaupun Yesus Kristus sendiri tetap tersembunyi bagi manusia.

                             Ateisme Bertentangan dengan Akal Budi
Pada dasarnya ide Allah bukan ciptaan akal budi manusia, tetapi atas inisiatif dari Allah sendiri. Hal ini dipertegas oleh Descartes yang mengatakan bahwa, “Ide Allah yang berada dalam akal budi manusia, berasal dari Allah sendiri”. Di samping itu, kenyataan memperlihatkan bahwa akal budi manusia tidak mampu berbuat apa-apa bila berhadapan dengan misteri Allah. Sebaliknya, dengan rahmat Allah, manusia semakin sempurna dan mampu menggunakan akal budinya untuk mengungkapkan kasih serta kemuliaan Allah. Selain itu, kita harus mengakui bahwa prestasi terbesar akal budi ialah pengakuan akan keterbatasannya.[17]
Kaum atheis mengingkari adanya Allah, maka konsekuensinya akal budi manusia tidak dapat mencapai atau menemukan sesuatu yang tidak ada. Oleh karena itu, ateisme sungguh-sungguh bertentangan dengan akal budi manusia. Padahal manusia melalui akal budinya, mampu sampai dan mengenal Allah dengan baik.[18] Kaum atheis lebih memprioritaskan kemampuan akal budi dalam mengungkapkan yang bereksistensi. Dengan kata lain, pikiran itu adalah pembenaran terakhir dari yang nyata. Eksistensialisme atheis mengatakan bahwa yang bereksistensi tidak dapat ditangkap oleh intelegensi. Artinya, ada eksistensi lain yang harus diakui oleh eksistensialisme yang tidak dapat dijangkau oleh intelegensi.[19]
                             Ateisme Bertentangan dengan Keluhuran Manusia
Manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila itu tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih dan menyerahkan diri kepada Penciptanya. Kalangan atheis termasuk orang-orang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah, bahkan dengan kesombongannya, mereka menonjolkan kehebatannya dirinya.[20]
Kaum humanisme Marxis tidak menghormati semua dimensi martabat manusia. Pengalaman manusia, adanya manusia, direduksi pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomi.[21] Oleh karena itu, ia yakin bahwa manusia akan hidup layak sebagai manusia manakala kebutuhan ekonominya terpenuhi. Menurut Nietzche, “Pengalaman adanya Allah membunuh manusia dan supaya manusia hidup maka Allah harus mati. Kenyataannya Allah telah mati.[22] Pendapat Nietzche ini jelas meruntuhkan keluhuran martabat manusia sebagai ciptaan Allah. padahal manusia menemukan kesempurnaan martabatnya dalam persatuannya dengan Allah.

3.     Penutup
Landasan martabat manusia yang paling luhur terletak pada kesatuannya dengan Allah. Manusia ada karena cinta Allah. Maka, manusia diundang untuk selalu berdialog dengan Allah. Namun banyak orang ternyata masih tidak menanggapi atau bahkan menolak secara eksplisit untuk bersatu dengan Allah. Orang-orang demikianlah yang disebut sebagai penganut ateisme (GS 19). Gereja sungguh pun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan bahwa semua orang beriman maupun tidak harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik dunia ini, yang merupakan tempat kediaman bersama (GS 21). Karena membela kebebasan beragama, Gereja juga harus membela mereka yang memilih tidak menganut agama. Iman bersifat bebas maka mungkin ada orang yang tidak sampai beriman. Gereja mau berusaha mengesampingkan segala sesuatu yang merupakan halangan untuk bertemu dengan Tuhan. Tetapi iman sendiri adalah rahmat Allah yang tidak dapat dipaksakan.



Kepustakaan
Brevoort, A. Sejarah Gereja Awal. Sinaksak: STFT St. Yohanes. 1996. (diktat).
Dister, Nico Syukur. Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. 1985.
Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor. 1993.
Heuken, A. Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, jilid I. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 1983.

Huijbers, Theo. Allah: Ulasan-ulasan Mengenai Allah dan Agama, jilid 2. Yogyakarta: Kanisius, 1977.
Leahy, Louis.  Aliran-aliran Besar Ateisme. Yogyakarta: Kanisius. 1985.

Leahy, Louis, Manusia di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah. Yogyakarta: Kanisius. 1986
Snijders,  Adelbertus. Filsafat Ketuhanan.  Sinaksak: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi. 1993. (diktat).




[1] Gaudium et Spes Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 19.

[2] A. Heuken, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1983), hlm. 106.

[3] Louis Leahy, Manusia di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah  (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 117.

[4] Louis Leahy, Manusia..., hlm. 117.

[5] A. Brevoort, Sejarah Gereja Awal (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 1996), hlm 72. (diktat)

[6]Theo Huijbers, Allah Ulasan-ulasan Mengenai Allah dan Agama, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 134-135.

[7] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 135.

[8] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 95.

[9] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 98.

[10] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 94.

[11] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 122.

[12] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 150-151.

[13] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 136.

[14] GS 21.

[15] GS 20.
[16] GS 33.

[17] Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.137.

[18] GS 21.

[19] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 62.
[20] GS 21

[21] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 110.
               
[22] Theo Huijbers, Allah..., hlm 176.

PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI









PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGLOLAAN HARTA-BENDA SECARA BURUK
MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983






BAB I




PENDAHULUAN



1.        Latar Belakang
Pemberhentian jabatan dalam lingkungan sipil kerap terjadi. Pemberhentian jabatan itu biasanya dilandasi oleh beberapa alasan, misalnya karena kasus korupsi yang dilakukan oleh orang tertentu. Pemberhentian atau pemecatan juga bisa terjadi dalam lingkup Gereja. Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda pun juga dapat diberhentikan dari jabatannya apabila secara hukum terbukti adanya penyelewengan atau kelalaian terhadap tugasnya tersebut. Pemberhentian tersebut telah diatur secara eksplisit dalam Kodeks 1983, Kan. 1741, § 5 dan disesuaikan dengan kebijakan Uskup diosesan setempat.[1]
Dalam Kanon 1741, dirumuskan alasan-alasan yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan (dipecat) dari jabatannya dari parokinya secara legitim, terutama adalah karena hal-hal berikut:
a.    cara bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
b.   kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
c.    hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
d.   pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;

Kesan umum yang muncul, pemberhentian atau pemindahan Pastor-paroki sering diartikan secara negatif, itulah pandangan yang keliru. Maksud utama pemindahan adalah positif meskipun dalam makalah ini dibahas pemindahan karena alasan yang negatif (yakni karena pengelolaan harta benda secara buruk). Kanon 1748 menyatakan,
Jika kesejahteraan jiwa-jiwa atau kepentingan maupun manfaat Gereja menuntut agar seorang Pastor-paroki dipindahkan dari paroki yang dipimpinnya dengan bermanfaat ke paroki lain atau ke tugas lain, uskup hendaknya mengusulkan kepadanya perpindahan itu secara tertulis dan menyarankan demi kasih akan Allah dan jiwa-jiwa ia menyetujuinya.[2]

Jadi, ada dua hal pokok mengapa Pastor-paroki diberhentikan atau dipindahkan. Pertama, demi kasih akan Allah (alasan pastoral). Kedua, demi kesejahteraan jiwa-jiwa (alasan spiritual-eskatologis).[3]
Dalam pembahasan ini secara lebih khusus hendak diuraikan mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan bahwa pastor yang bersangkutan tidak dapat mengelola harta benda Gereja secara baik. Seorang Pastor-paroki yang tidak dapat mengelola harta benda Gereja secara baik tentu akan merugikan komunitas gerejawi yang ia layani.  Maka, demi kepentingan pastoral, Uskup diosesan dapat mengambil tindakan dengan cara memberhentikan jabatannya sebagai Pastor-paroki.
Menurut pengamatan penulis, fenomena atau masalah pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda Gereja secara buruk memang jarang terjadi, namun penulis tetap melihat bahwa hal ini sungguh penting. Melihat betapa penting memahami pengelolaan harta benda secara baik oleh Pastor-paroki, maka saya tertarik untuk membahas tema ini.
2.        Perumusan Masalah dan Pembatasan Tema 
Kanon 538 menyatakan;
Pastor-paroki meletakkan jabatan dengan pemberhentian atau pemindahan oleh Uskup diosesan yang dilakukan menurut norma hukum, dengan pengunduran diri yang dilakukan Pastor-paroki itu sendiri karena alasan yang wajar dan, agar sah, diterima oleh Uskup itu, dan juga dengan habisnya masa jabatan, jika melihat ketentuan hukum partikular yang disebut dalam kan. 522 ia diangkat untuk jangka waktu yang ditetapkan.[4]

Melalui kanon ini dapat disimpulkan dalam empat jenis akhir jabatan dari seorang Pastor-paroki, yakni: melalui pemberhentian, pemindahan, habisnya masa bakti, dan karena pengunduran diri.[5] Dalam makalah ini, yang hendak disoroti adalah akhir jabatan Pastor paroki dengan alasan pemberhentian.
Alasan-alasan pemberhentian (pemecatan) jabatan Pastor-paroki dirumuskan dalam Kanon 1741:
e.    cara bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
f.    kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat Pastor-paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
g.   hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap Pastor-paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
h.   pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
i.     pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain,
Kan. 1741, no. 5, menyatakan alasan yang menyebabkan seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim, yakni karena pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain. Makalah ini hendak menguraikan secara lebih mendalam mengenai alasan pemberhentian tersebut yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 1741 no. 5. Kanon-kanon lain akan dibicarakan sejauh terkait dengan kanon 1741 no. 5. Oleh karena itu, makalah ini diberi judul: PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI KARENA PENGELOLAAN HARTA BENDA SECARA BURUK MENURUT Kan. 1741, no. 5; KHK 1983.
3.        Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan akademis guna melaksanakan seminar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Selain itu, penulis ingin mengetahui dan mendalami secara lebih jelas mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta benda secara buruk.
4.        Metode Penelitian dan Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan. Sumber utama makalah ini adalah Kitab Hukum Kanonik. Sedangkan sebagai sumber pendukung, penulis menggunakan tulisan-tulisan lain yang terkait dengan pokok pembahasan Pastor-paroki, pengelolaan harta benda, dan prosedur-prosedur pemberhentian Pastor-paroki. Bahan-bahan yang terkumpul dibahas dan disajikan secara deskriptif.
5.        Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi dalam tiga bab. Bab I memuat pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, serta diakhiri dengan sistematika penyajian. Bab II membahas tentang pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda secara buruk menurut Kitab Hukum Kanonik 1983; kanon 1741, no. 5. Dalam bagian konsep umum tentang paroki dan Pastor-paroki akan diuraikan mengenai paroki sebagai komunitas, paroki sebagai badan hukum, paroki sebagai persekutuan, pemahaman tentang Pastor-paroki, dan Pastor-paroki sebagai pengelola harta benda Gereja. Pada bagian pengelolaan harta benda Gereja akan diuraikan pengelolaan biasa harta benda gerejawi, pengelolaan luar biasa harta benda gerejawi. Pada bagian pemberhentian Pastor-paroki karena pengelolaan harta benda secara buruk akan diuraikan mengenai pemberhentian Pastor-paroki dengan alasan pengelolaan harta benda secara buruk dan prosedur pemberhentian Pastor-paroki. Bab III adalah penutup, yang berisi rangkuman umum dan refleksi pastoral.





























BAB II




PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI
KARENA PENGELOLAAN HARTA BENDA SECARA BURUK
1.    Pemahaman Umum tentang Paroki dan Pastor-paroki
1.1  Paroki sebagai Komunitas
Paroki merupakan sebuah institusi dasar dalam suatu struktur organisasi Gereja Partikular. Institusi ini sudah ada sejak abad ke IV di Barat dan abad ke II di Timur.[6] Sebelumnya, kelompok umat kristiani hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang berkumpul di rumah-rumah anggota, di katakombe-katakombe, dan tersebar dalam kelompok-kelompok jemaat tetangga yang dipersatukan oleh uskup lokal.[7] Dalam Konsili Vatikan II, paham mengenai paroki mendapat arti baru, yakni kumpulan kaum beriman kristiani yang dipimpin dan dikelola oleh Pastor-paroki sebagai wakil dari Uskup. Himpunan kaum beriman tersebut memancarkan dan menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.[8]
Paroki merupakan persekutuan iman yang terdiri dari pelayan tertahbis dan umat kristiani lainnya.
            Paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri.[9]


           
1.2  Paroki sebagai Badan Hukum
Dalam Kodeks 1917, badan hukum paroki diakui secara implisit, karena itu dalam beberapa kanon dalam Kedeks tersebut, paroki dinyatakan sebagai subyek nyata dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sementara itu, dalam Kodeks 1983, paroki manapun yang didirikan  secara legitim, ipso iure  mempunyai status badan hukum (Kan. 515, § 3).[10]
Sifat personalitas paroki bersifat publik, karena itu paroki berasal dari inisiatif langsung otoritas gerejawi dan “atas nama Gereja” (Kan. 116, § 1). Menurut aturan sebelumnya, bentuk paroki mempunyai subyek yuridis, yakni bentuk gereja dan bentuk harta benda.[11]
Paroki sebagai badan hukum  dibawah otoritas tertinggi Paus, mempunyai hak milik atas harta benda secara legitim. Pengelolaan harta benda gerejawi dalam sebuah paroki diatur dalam perundang-undangan yang telah diberlakukan dan juga statuta masing-masing badan hukum tersebut. [12]

1.3  Paroki sebagai Persekutuan
Dalam KHK maupun dalam dokumen Konsili Vatikan II terutama dalam LG menyatakan bahwa Gereja sebagai persekutuan (communio) umat beriman, yang telah terbaptis dan diinkorporasikan dalam Kristus, mengambil bagian dalam trimunera Kristus di dunia sebagai Imam, Nabi, dan Raja. Umat beriman kristiani dipanggil dan diutus oleh Allah melalui Gereja di tengah dunia.[13]
Paroki sebagai “ibu Gereja” merupakan sebuah persekutuan (communio) umat beriman kristiani yang terorganisir secara hirarkis. Sebagai persekutuan yang terorganisir, peran Pastor-paroki menjadi sangat penting, karena dialah yang yang menjadi manajer dan leader bagi umat beriman di parokinya. Oleh karena itu, paroki sebagai Gereja Umat Allah yang sedang berziarah, yang memiliki dimensi ilahi sekaligus manusiawi, dapat diatur dan dilaksanakan secara profesional dengan ilmu manajemen. Melalui ilmu manajemen, Pastor-paroki dapat mengelola dan memimpin paroki sebagai sebuah institusi ilahi yang terorganisir secara baik.[14]
1.4  Pastor-paroki
            Pastor-paroki adalah seorang gembala yang menerima otoritas dari uskup untuk menunaikan reksa pastoral umat dengan mengambil bagian dalam pelayanan Kristus dalam tugas memimpin, mengajar, dan menguduskan. Selain itu, Pastor-paroki menunaikan tugas pastoral bertindak atas nama Gereja sebagai pastores proprius. Pastor-paroki adalah pemimpin sakramental komunitas.[15]
            Syarat mutlak untuk menjadi sorang Pastor-paroki adalah mereka yang telah menerima tahbisan imamat. Sebagai seorang imam, Pastor-paroki di dalam dirinya menghadirkan Kristus, kepala Gereja dan pelayan Sabda. Panggilan imamatnya adalah anugerah khusus yang datang dari Kristus sendiri untuk menyelamatkan komunitas kaum beriman.[16]

1.5  Pastor-paroki sebagai Pengelola Harta Benda
Dalam kan. 519 disebutkan definisi Pastor-paroki sebagai gembalanya sendiri bagi paroki yang dipercayakan kepadanya dibawah otoritas Uskup diosesan. Melalui pemahaman ini, figur Pastor-paroki disamakan dengan Uskup. Hal ini dinyatakan dalam Kodeks; seperti Uskup adalah gembalanya sendiri bag keuskupannya, demikian juga Pastor-paroki adalah gembalanya sendri bag paroki yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, Pastor-paroki memilki semua wewenang yang perlu supaya mampu menjalankan tugas-tugasnya.[17]
Pastor-paroki bukanlah “delegatus” dari Uskup. Ia memiliki kuasa jabatan, yakni kuasa yang oleh hukum dikaitkan dengan jabatan. Maka dalam pelaksanaan tugasnya di paroki, seorang Pastor-paroki mempunyai kuasa administrasi sangat besar, tidak terkecuali dalam pengelolaan harta benda gereja yang berada di bawah lembaga hukum tersebut. [18]
Pastor-paroki sebagai representasi Uskup di paroki, atas nama Gereja merupakan penglola utama semua harta benda Gereja, bertugas dan berwenang:[19]
a.         mewakili badan hukum paroki di hadapan hukum sipil dalam segala perkara yuridis (bdk. Kan. 532);
b.         bertanggung jawab atas urusan perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja kepada Uskup diosesan;
c.         membuat laporan rutin kepada Uskup setiap tahun tentang pengelolaan harta benda paroki, terutama bila terjadi penambahan atau pengurangan harta milik paroki;
d.        meminta pertimbangan Dewan Keuangan Paroki menyangkut pengelolaan luar biasa keuangan paroki; dan
e.         mengadakan rapat rutin bersama dengan Dewan Keuangan Paroki sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun.

2.      Pengelolaan Harta Benda Gereja
                        Dalam statuta paroki, yang dimaksud dengan pengelola harta benda gerejawi adalah Pastor-paroki, Dewan Keuangan Paroki dan Bendahara Paroki. Dewan Keuangan Paroki harus ada di setiap paroki, karena paroki mempunyai badan hukum. Mereka bertugas membantu Pastor-paroki dalam mengurus harta benda paroki dan semua kegiatan keuangan “ad noma iuris”.[20]
            Meski dibantu oleh Dewan Keuangan Paroki, sebagai pemegang kuasa jabatan, Pastor-paroki mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan harta benda gereja di paroki yang bersangkutan. Supaya terhindar dari kelalaian dan penyalahgunaan harta benda gereja, maka perlu memperhatikan model atau cara pengelolaan harta benda yang tepat.
2.1         Pengelolaan Biasa Harta Benda Gerejawi[21]
Yang dimaksud dengan pengelolaan biasa adalah semua tindakan pengelolaan rutin yang wajib dilakukan oleh pengelola harta benda Gereja. Semua pengelola harta benda Gereja itu diwajibkan dengan kesungguhan:
a.         mengawasi harta benda Gereja yang dipercayakan kepadanya agar tidak hilang;
b.        mengusahakan agar pemilikan harta benda Gereja diamankan dengan cara-cara yang sah menurut hukum sipil;
c.         mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum baik kanonik maupun sipil;
d.        membuat laporan pengelolaan setiap akhir tahun;
e.         memelihara dengan baik laporan pengelolaan harta benda Gereja.
2.2         Pengelolaan Luar Biasa Harta Benda Gerejawi[22]
Yang dimaksud dengan pengelolaan luar biasa harta benda Gereja adalah ketentuan yang menyangkut tindakan yang luar biasa (extra ordinary) dalam hal pengeluaran, kontrak, dan pengalihmilikan harta benda Gereja, yang malalui syarat berikut:
a.       pengeluaran dana di atas batas yang ditentukan harus meminta persetujuan Dewan Keuangan, sedangkan pengeluaran di bawah nominal yang telah ditentukan cukup meminta persetujuan Pastor-paroki;
b.      pengalihmilikan harta benda Gereja dengan pihak lain harus meminta persetujuan dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah Uskup diosesan;
c.       mengadakan kontrak antara paroki sebagai badan hukum dan pihak lain harus dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki, Pastor-paroki, dan bendahara paroki. Perjanjian kontrak dan akibatnya hendak mengindahkan baik norma-norma hukum sipil dan hukum universal maupun hukum partikular yang berlaku;
d.      pengambilalihan harta benda Gereja dari dan ke paroki lain hendaknya dibicarakan bersama dalam rapat Dewan Keuangan Paroki bersama Pastor-paroki terlebih dahulu dan harus disetujui oleh otoritas yang berwenang dalam hal ini adalah Uskup diosesan.
3.      Pemberhentian Pastor-paroki karena Pengelolaan Harta Benda secara Buruk
3.1    Pemberhentian karena Pengelolaan Harta Benda secara Buruk
Salah satu syarat yang dituntut untuk menjadi seorang Pastor-paroki adalah unggul dalam ajaran sehat dan kesusilaan, serta memiliki kecakapan untuk mengatur paroki yang dipercayakan kepadanya. Syarat ini tentu juga kena terhadap pengelolaan harta benda paroki (Kan. 521, § 2) . Kan. 1741, no. 5 menyatakan bahwa,
 seorang Pastor-paroki dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim, terutama karena pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain.

Menurut sejarah, dewan legislatif (legislator) Gereja telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap pengelolaan administrasi/harta benda Gereja. Dalam Kodeks 1917, ditunjukkan teks yang memuat alasan-alasan pemberhentian Pastor-paroki karena kerugian yang diakibatkan oleh Pastor yang bersangkutan. Dalam hal ini, Gereja masih memberi kesempatan bagi Pastor yang bersangkutan untuk memperbaiki diri atas kesalahannya.[23]
Dalam kanon 537, disebutkan bahwa di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang membantu Pastor-paroki dalam mengelola harta benda paroki. Dengan adanya bantuan dari dewan keuangan akan membuat kasus-kasus pemberhentian atau pemindahan semakin jarang terjadi.[24]
3.2        Prosedur Pemberhentian Pastor-paroki[25]
Proses pemberhentian jabatan Pastor-paroki harus melalui prosedur yang sudah ditentukan. Kanon 1742-1745 mengatur mengenai prosedur pemberhentian jabatan Pastor-paroki secara eksplisit, antara lain dengan melalui beberapa tahap berikut:
a.       pemastian fakta melalui pemeriksaan apakah sesuai dengan Kan 1740;
b.      pembahasan dengan dua Pastor-paroki yang diangkat sebagai pemeriksa dalam kasus tersebut oleh Dewan Imam atau atas saran Uskup;
c.       dengan menunjukkan alasan serta bukti -demi sahnya- kepada Pastor-paroki yang bersangkutan, Uskup berusaha secara kebapaan meyakinkan agar mengundurkan diri dalam jangka waktu 15 hari (Bdk. Kan. 1742).
Ada beberapa kemungkinan yang muncul setelah tahap-tahap di atas sudah dijalankan, yakni:
d.      pengunduran diri bersyarat dan diterima oleh Uskup (Kan. 1743);
e.       apabila Pastor-paroki tidak menjawab atau menolak mengundurkan diri tanpa memberikan alasan, juga setelah waktu diperpanjang, maka Uskup mengeluarkan surat keputusan pemberhentian (Kan. 1744);
f.       Jika Pastor-paroki menyanggah perkara serta alasannya tetapi dengan bantahan yang menurut penilaian Uskup tidak cukup, maka diadakan pemeriksaan ulang dengan melengkapi data dan membahasnya lagi dengan kedua imam pemeriksa, lalu memutuskan apakah Pastor-paroki itu deberhentikan atau tidak (Kan. 1745).


























BAB III




PENUTUP




1.    Rangkuman Umum
           
Paroki yang didirikan secara legitim, ipso iure mempunyai badan hukum. Sebagai badan hukum, paroki mempunyai kuasa untuk mengelola harta benda yang ada di paroki tersebut. Paroki memiliki organisasi yang sering disebut Dewan Pastoral Paroki. Dewan Pastoral Paroki merupakan suatu badan yang dibentuk atas dasar kuasa Uskup yang dipimpin oleh seorang Pastor-paroki guna membantu penyelenggaraan dan karya pelayanan pastoral di paroki yang bersangkutan.[26] Sebagai kepala DPP, Pastor-paroki memiliki wewenang terhadap bidang-bidang pelayanan pastoral, termasuk pengelolaan harta benda paroki.
            Idealnya, Pastor-paroki mesti mampu mengelola seluruh harta benda paroki dengan baik. Namun pada kenyataannya, pengelolaan harta benda secara buruk dapat saja terjadi. Demi kepentingan pastoral, Pastor-paroki yang tidak bisa mengelola harta benda Gereja secara baik, bahkan yang sangat merugikan Gereja, maka Pastor-paroki yang bersangkutan dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim. Pemberhentian tersebut juga harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
            Untuk meminimalisir kasus-kasus pemberhentian tersebut, dalam makalah ini juga telah dipaparkan mengenai cara pengelolaan harta benda yang baik. Pengelolaan tersebut dibadakan ke dalam dua bagian, yakni penglolaan biasa dan pengelolaan luar biasa terhadap harta benda Gerejawi.
           

2.    Refleksi Pastoral


Menjadi Pastor-paroki yang baik dan bekerja secara profesional adalah harapan yang harus menjadi kenyataan. Pastor-paroki yang bekerja asal-asalan tidak akan menghasilkan karya yang optimal. Bahkan akan mengakibatkan kerugian bagi Gereja. Banyak umat beriman yang mendambakan seorang Pastor-paroki sebagai imam dan gembala yang baik, mampu memimpin dan mengorganisir komunitas umat beriman, mengutamakan pelayanan, dan bekerja secara profesional. Hal ini adalah tuntutan umat beriman sekaligus tuntutan yuridis yang dikenakan pada diri seorang Pastor-paroki.[27] Apabila tuntutan ini tidak terpenuhi, maka ada sanksi yang setiap waktu dapat dikenakan bagi Pastor-paroki, termasuk pemberhentian jabatan dari Pastor-paroki.
Dewasa ini, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang sedang marak terjadi di dunia politik. Para pejabat pemerintah yang telah dipercaya untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat justru menodai diri dengan kasus-kasus korupsi. Hal tersubut justru akan terasa lebih menyakitkan apabila terjadi di kalangan pemimpin Gereja.
Pastor-paroki sebagai gembala yang menunaikan reksa pastoral umat semestinya menjadi teladan bagi umat yang digembalakannya. Kelalaian dan penyelewengan akan tugas pastoralnya bukanlah citra seorang imam yang baik. Maka, Pastor-paroki yang lalai dengan tugasnya, termasuk dalam hal pengelolaan harta benda telah ditetapkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pemberhentian Pastor-paroki dari jabatannya bukan semata-mata karena ingin membuat jera dari pastor yang bersangkutan, melainkan lebih menyangkut pada kepentingan pastoral. Hal ini menyangkut identitas diri seorang Pastor-paroki sebagai sosok yang mesti diteladani. Maka, untuk menjaga iman umat beriman dan demi kesejahtaraan jiwa-jiwa, Pastor-paroki yang tidak bisa mengelola harta benda Gereja secara baik dinyatakan berhenti dari jabatannya.



















DAFTAR PUSTAKA
Dokumen-Dokumen Resmi Gereja

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Kitab Hukum Kanonik 1983 (Cedex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2006.  Go, Piet. Paroki, Menurut Hukum Gereja. Malang: Dioma, 1990.


Komentar-Komentar Kodeks

Beal, John P., dkk (ed), New Commentary on the Code of Canon Law. New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000.

Corriden, James A., dkk (ed), The Code of Canon Law. New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 1985.


Bibliografi Umum


Gitowiratmo, St. Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Kusumawanta, Dominikius Gusti Bagus. Imam di Ambang Batas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

_______. Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan Pastoral. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000.

Tarigan, Jacobus. Dari Keluarga untuk Gereja. Jakarta: Grasindo, 2003.








[1]Dominikius Gusti Bagus Kusumawanta, Imam di Ambang Batas (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 123.

[2] Bdk. Kan. 1748.

[3] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 125.
[4] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983/CIC1983). Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), kan. 538 $ 1.

[5] Piet Go, Paroki, Menurut Hukum Gereja (Malang: Dioma, 1990), hlm. 36.
[6] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK: Susunan Hirarki Gereja (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 64. (diktat)

[7] St. Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 21.

[8] Konsili Vatikan II, “Konstitusi tentang Liturgi” (SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 42.

[9] Kan. 515, § 1.

[10] Bdk. Kan. 114, § 1; bdk. St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 65.

                [11] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 65.

                [12] Kan. 1256.

[13] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 168.

[14] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 168.
                [15] Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Paroki dalam Perspektif Sejarah, Hukum, dan Pastoral (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2000), hlm. 42. Bdk. Jacobus Tarigan, Dari Keluarga untuk Gereja (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 64; bdk. Kan. 519.

                [16] Jacobus Tarigan, Dari..., hlm. 65. Bdk. Kan. 521, § 1.

                [17] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 67.

                [18] St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 67.

[19] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 184.

                [20] Dominikius Gusti Kusumawanta,  Imam…, hlm. 188; bdk. St. Toto Pujiwahyulistyanto, KHK…, hlm. 74; bdk. juga Kan. 537.

[21] Dominikius Gusti Kusumawanta,  Imam…, hlm. 188-189;  bdk. Kan. 1281-1288.

[22] Dominikius Gusti Kusumawanta, Imam…, hlm. 189-190; bdk. Kan. 1281-1284.
                [23] James A Corriden, dkk (ed), The Code of Canon Law (New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 1985), hlm. 1039; bdk. John P. Beal, dkk (ed), New Commentary on the Code of Canon Law (New York, NY-Mahwah, NJ: Paulist Press, 2000), hlm.

                [24] James A Corriden, dkk (ed), The Code…, hlm 1039;

                [25] Piet Go, Paroki…,  hlm. 37-38.
[26] Bdk. Kan. 536, § 1.
[27] Dominikius Gusti Bagus Kusumawanta, Imam…, hlm. 172.