Minggu, 06 April 2014

Filsafat Cina



1.        Pengantar
Masa Dinasti Zhou (1125-255 SM) oleh para sejarahwan dikenal sebagai zaman klasik dari kebudayaan Cina. Barangkali dapat dibandingkakn dengan zaman keemasan dari filsafat Yunani kuno. Kebudayaan klasik Yunani menjadi norma bagi kebudayaan Barat demikian juga dengan kebudayaan Zhou menjadi model bagi kebudayaan (filsafat) Cina. Dinasti Zhou melebihi dinasti-dinasti lainnya dalam hal kedudukan sebagai cikal-bakal kebudayaan Cina. Masa Dinasti Zhou menjadi cikal bakal lahirnya filsafat Cina kuno dan mampu melahirkan “seratus mazhab” filsafat (pada abad ke IV-III SM). Dua aliran yang terbesar adalah Taoisme dan Konfucianisme.
Atas dasar pengaruhnya bagi orang-orang Cina, filsafat Cina dapat dikelompokkan atas empat sistem utama, yakni: Taoisme, Konfucianisme, Mohisme dan Legalisme. Aliran yang lain merupakan cabang-cabang dari aliran-aliran utama tersebut. Masa Dinasti Zhou merupakan zaman puncak kegiatan intelektual, sosial maupun politik di Cina. Pada zaman itu jugalah segala pranata dan konvensi yang telah mapan dikritik habis-habisan. Kritik-kritik itulah yang melahirkan filsafat. Banyak orang dari Dinasti Zhou menghadapi dan memecahkan kekalutan sosial dan politik yang ada. Tetapi, mereka berbeda satu sama lain dalam memecahkan masalah tersebut. Maka tidak mengherankan jika bermunculan aneka aliran pemikiran dalam sistem filsafat Cina.
Berdasarkan aliran-aliran yang bermunculan dalam filsafat Cina tersebut, ada tiga tema pokok yang menonjol dalam sejarah filsafat Cina. Ketiga tema tersebut adalah Harmoni, Toleransi, dan Perikemanusiaan.

2.      Tema-Tema Sentral dalam Filsafat Cina
            2.1 Harmoni
Ada sebuah lukisan yang dibuat oleh Sengai, seorang imam Zen Jepang. Dalam lukisan itu digambarkan Budha, Konfusius, dan Lao-Tse sedang mencicipi anggur dari sebuah kendi besar  di hadapan mereka. Pelukis itu menulis beberapa kalimat mengomtari adegan ini, “anggur itu dirasa secra berbeda oleh masing-masing dari mereka, tetapi anggur itu satu dan sama”. Jadi, Sengai mau mengatakan secara tidak langsung bahwa ajaran dari ketiga tokoh bijaksana itu berasal dari sumber yang sama dan mau mencapai kebenaran yang sama. Meskipun berbeda-beda dan kadang bertentangan, Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme bertemu dalam satu inti yang sama dan dominan: rasa harmoni. Mereka mengajarkan dan menunjukkan usaha mencari keseimbangan: “jalan tengah” antara manusia dan masyarakat (Konfusianisme), manusia dan alam semesta (Taoisme), manusia dan Yang Mutlak (Budhisme).[1] Dalam dunia Timur, manusia tidak pernah dianggap untuk dirinya sendiri, melawan orang lain danyang harus dia kuasai dan miliki. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan alam semesta, di situ dia mempunyai tempat dan peranan. Keseluruhan adalah yang pertama, bukan bagian, betapapun dia penting. Manusia hanya merupakan satu nada dalam music simfoni universal, ia bukan pemimpin orkes itu.
Harmoni merupakan sebuah jalan tengah antara dua ekstrem. Dalam filsafat Cina, keseimbangan dan keharmonisan secara rinci terdapat dalam “Mazhab Yin dan Yang” atau bisa disebut dengan Filsafat Yin dan Yang. Ajaran ini muncul pada jaman klasik, yakni sekitar 600-200 seb. Masehi, ketika ketiga ajaran besar (Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme) lahir dan berkembang.
Istilah dari bahasa Cina ini (Yin dan Yang) mengacu pada dua prinsip atau daya: Yang merupakan kekuatan positif yang merupakan faktor kreatif dalam hidup. Yin merupakan faktor yang lebih pasif dan represif. Melalui interaksi kedua kekuatan ini terjadilah proses alamiah. Prinsip pasif dan aktif dari alam raya atau kekuatan yang bersifat kewanitaan, negatif dan kekuatan jantan, positif yang selamanya bertentangan namun sekaligus melengkapi. Yang dan Yin diungkapkan dalam langit dan bumi, pria dan wanita, ayah dan putra, cerah dan hujan, kekerasan dan kehalusan, baik dan buruk, putih dan hitam, atas dan bawah, besar dan kecil, bilangan ganjil dan bilangan genap, kegembiraan dan kesedihan, ganjaran dan hukuman, persesuaian dan pertentangan, kehidupan dan kematian, kemajuan dan kemunduran, cinta dan benci, dan semua objek, kualitas, situasi, dan hubungan yang dapat dipikirkan.[2]
Yin dan Yang saling berlawanan dalam interaksi dengan dunia yang lebih luas dan sebagai bagian dari sistem yang dinamis. Semua hal memiliki kedua aspek tersebut yakni Yin dan Yang, tapi tidak setiap aspek tersebut memiliki perwujudan yang jelas pada objek dan mungkin pasang surut atau mengalir dari waktu ke waktu. Konsep Yin dan Yang sering dilambangkan dengan berbagai bentuk yang bervariasi dari simbol Taijitu, yang mana lebih umum dikenal pada kebudayaan barat.
Ada beberapa persepsi (terutama di barat) yang mengatakan bahwa Yin dan Yang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik dan jahat. Namun, Taoisme biasanya tidak memperhitungkan sesuatu yang baik atau jahat dan penilaian moral, dalam kaitannya dengan konsep keseimbangan. Konfusianisme tidak melampirkan dimensi moral dari Yin dan Yang. Tapi dalam istilah modern, istilah ini sebagian besar telah teradaptasi oleh filosofi Budha Taoist.
Taiji, lambang tradisional untuk kekuatan Yin dan Yang

Simbol Penalaran Yin dan Yang :
            Lingkaran bulat menunjukkan pengaruh yang menyeluruh. Bagian hitam menunjukkan Yin. Yin berarti sesuatu yang tertutup dan tidak kita ketahui. Bagian putih menunjukkan Yang. Yang berarti sesuatu yang terbuka dan kita ketahui. Mereka tidak dipisahkan oleh garis lurus, tetapi keduanya dipisahkan oleh garis lengkung yang harmonis. Ini berarti tidak ada batas yang tegas antara keduanya, mereka lebih saling membantu daripada bertentangan, keduanya saling melengkapi (memuat), dalam Yin yang paling gelap ada setitik cahaya Yang, dan dalam Yang yang paling cerah ada setitik gelap Yin.[3]
            Kedua titik dalam gambar di atas mewakili daya yang luar biasa, yakni kontradiksi inti yang ada dalam segala sesuatu, bahwa tidak ada sesuatu pun yang seluruhnya indah atau buruk, dan tidak ada sesuatu pun yang seluruhnya baik atau jahat. Hubungan antara Yin dan Yang terkandung dalam simbol di atas: perlawanan pergantian, saling melengkapi, dan harmoni. Segala perkembangan dan transformasi dalam alam semesta merupakan hasil gerakan seimbang antara dua popularitas itu.
            Hakikat Yin ialah melengkapi Yang, persis seperti istri melengkapi suami. Tak ada ciptaan tanpa kedua prinsip itu, selalu ada Yin dan Yang di dalamnya. Kerja sama Yin  dan Yang membuat alam semesta menjadi suatu kosmos, perwujudan harmoni yang paling sempurna:
                        ”Alam semesta yang diciptakan membawa Yin di belakangnya dan Yang di depannya: Melalui perpaduan prinsip-prinsip yang merembesinya, ia mencapai harmoni.”[4]
           
            Rasa harmoni merupakan ciri paling khas dari psikologi Asia. Ia menjelaskan nilai-nilai berharga yang timbul daripadanya tetapi sekaligus menjelaskan kelemahan-kelemahan yang ada. Di satu pihak meeka ramah, baik hati, bijak, menghargai dan mempertenggangkan orang lain, mereka ingin hidup akrab bersama keluarga, kenalan dan tetangga, dan kadang-kadang mereka rela melepaskan demi menjaga hubungan baik itu. Idealnya adalah bahwa hidup personal mereka, hubungan-hubungan antara mereka, dan hal-hal yang bertalian dengan itu harus kelihatan damai dan harmonis. Tetapi di lain pihak, hidup mereka tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya.[5]

            2.2 Toleransi
Lao-tse (570-480) dan para pengikutnya menduga bahwa ada yang keliru dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa dahulu manusia mempunyai suatu surga dan kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri yakni “ia mengembangkan peradaban”. Cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistik yang dikenal dengan Taoisme yang menjunjung tinggi Tao dan alam.   
Para penganut Taoisme memandang alam sebagai tempat mereka untuk menarik diri. Mereka mencita-citakan hidup sederhana dengan wu-wei, sebagai inti ajarannya.  Kebajikan pertama dari Taoisme adalah wu-wei. Istilah ini sering diterjemahkan dengan “tanpa aksi”, yang oleh orang Barat menyebutnya sebagai sikap pasif orang Timur. Arti wu-wei yang sebenarnya digambarkan oleh Lin Yutang sebagai “tidak mencampuri”[6]. Lao-tze menyebutkan bahwa wu-wei merupakan  lawan dari kekerasan.[7] Kerendahan hati merupakan suatu yang hakiki dalam sikap wu-wei tersebut. Sedangkan aspek yang lain dari kerendahan hati adalah kesederhanaan, puas dengan memiliki sedikit dan menghindari semua yang keterlaluan.[8]
Dalam filsafat Cina, toleransi sangat dijunjung tinggi. Segala sesuatu adalah baik. Apa yang wajar (alami) adalah baik. Keinginan adalah wajar. Kepuasan adalah wajar. Kekecewaan juga adalah wajar. Oleh karenanya, manusia dinasehati untuk tidak merangsang keinginan yang tidak dimiliki dan juga tidak menindas keinginan yang dimiliki. Ambisi janganlah dianjurkan dan jangan pula dimusuhi.[9] Segala sesuatu mempunyai jalannya. Alam semesta sebagai suatu keseluruhan juga mempunyai jalannya. Jalan setiap individu adalah kodratnya, jalannya, hukum  perkembangannya, dan segala keseluruhannya. Itulah Tao setiap benda.[10]
Sikap aktif dan pasif harus diterima dengan baik menurut gilirannya masing-masing.[11] Dalam pengalaman sehari-hari, kita dapat mengamati bahwa ada waktu untuk tidur dan ada juga waktu untuk bangun dari tidur; ada waktu untuk bekerja dan ada juga waktu untuk beristirahat. Matahari terbit dan matahari juga terbenam. Dimulainya aktivitas dilambangkan dengan yang dan selesainya aktivitas (tercapainya pasivitas) dilambangkan dengan yin. Berada dan berbuat sama-sama pentingnya, alami dan sama juga baiknya. Lao-tse pernah mengatakan bahwa “cara berbuat adalah berada”. Ia bermaksud bahwa setiap orang harus menjadi dirinya sendiri, bertindak sesuai dengan kodratnya sendiri dari pada campur tangan dengan urusan-urusan orang lain. Meskipun orang harus menerima sikap aktif maupun pasif, orang tidak boleh bersikap terlalu aktif (mencampuri hidup orang lain) ataupun kurang aktif (contohnya: tidur terus, ketika sudah waktunya untuk bersikap aktif).[12]
Orang cina menjunjung tinggi keterarahan pada waktu sekarang. Waktu sekarang adalah baik. Apapun yang wajar/alami adalah baik. Setiap waktu sekarang ini adalah baik menurut kemampuannya menjadi baik. Tidak akan dapat menjadi lain dari apa adanya sekarang. Maka, orang harus menikmati waktu sekarang. Kebahagiaan selalu ada dalam waktu sekarang. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu terburu-buru dalam mengejar kebahagiaan.[13]
Segala sesuatu yang wajar adalah baik. Oleh karenanya, baiklah orang lahir, baiklah orang menjadi muda, baiklah orang menjadi tua dan baik juga orang meninggal. Sesuatu yang tidak baik adalah mencampuri urusan-urusan alam.[14] Seorang anak muda yang bertindak seakan-akan lebih tua, dan orang tua bertindak seakan-akan lebih muda, maka timbullah masalah. Lao-tzu mengatakan bahwa “orang-orang yang terlalu menyukai aktivitas segera menjadi letih… yang melawan alam akan mati muda”.[15] Oleh karena itu, sesuatu yang penting adalah menikmati hidup. Kebanyakan orang keliru karena lebih menyukai sarana dari pada tujuan. Orang lebih sering membaktikan dirinya pada waktu sekarang ini untuk menghasilkan sarana yang berguna untuk mendatangkan tujuan pada waktu yang akan datang. Dengan demikian, mereka menangguhkan penikmatan hidup.

            2.3 Perikemanusiaan
Aliran filsafat Cina yang lebih menaruh perhatian pada perikemanusiaan adalah Konfucius. Bagi konfucius, kodrat manusia adalah “pemberian langit” yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar pilihan kita. Tujuan manusia adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan kita dengan ordo universal. Manusia tidak dapat dipisahkan dari alam semesta. Manusia adalah bagian konstutif dari alam semesta. Manusia harus berhubungan secara harmonis dengan alam.[16]
Konfucius dan para pengikutnya muak dengan keadaan negara dan masyarakat yang kacau balau. Mereka menyimpulkan bahwa kekacauan itu tidak ada dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Maka, mereka mengajarkan kepada rakyat Cina untuk memelihara pranata sosial maupun kulturalnya, dan menganjurkan supaya kembali kepada li dari zaman dinasti Zhou awal.[17]
Dalam masyarakat Cina kata li merupakan istilah yang menunjuk pada tata karma dalam kehidupan bersama. Kata ini biasanya, bahkan juga dalam ajaran Konfucius diterjemahkan sebagai “ritus” atau “ketentuan-ketentuan kepantasan”. Semula, li berarti “berkorban”. Arti ini masih ada dalam  istilah bahasa Cina modern. Arti ini diperluas sehingga mengacu kepada adat kepercayaan yang diselenggarakan dalam penyajian korban, dan kemudian meliputi segala macam upacara serta basa-basi yang menjadi ciri khas perilaku mereka yang terdiri dari anggota penguasa. Confucius bertitik tolak dari pengertian di atas. Bila para penguasa biasanya bersungguh-sungguh dalam menyajikan korban kepada leluhur mereka, mengapa mereka tidak harus berbuat yang sama juga dalam memperhatikan pemerintahan kemaharajaan. Bila para menteri memperlakukan sesama menteri dengan penuh rasa hormat dalam pergaulan sehari-hari di istana, mengapa mereka juga tidak harus bersikap seperti itu dalam memperhatikan rakyat jelata yang merupakan tulang punggung negara?
Maka berkatalah Confusius kepada salah seorang catriknya agar ke mana pun ia pergi di dunia ini, hendaknya memperlakukan kepada siapa saja yang berhubungan dengan dia seakan-akan “ia sedang menerima tamu penting”, dan apabila ia menjadi seorang pegawai pemerintahan, ia hendaknya menghadapi rakyat seakan-akan ia sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian korban besar.[18]
Pada zaman Konfucius, seperti halnya pada sebagian besar kurun waktu serta tempat, tata-krama istana dipandang sebagai sebuah kumpulan ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan. “Kitab Klasik” Konfucianisme memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat terperinci mengenai tingkah-laku yang mengatakan secara cermat bagaimana harus melaksanakan upacara korban. Contohnya, di manakah harus meletakkan jari-jari tangan ketika hendak memungut suatu benda upacara.
Konfucius sungguh berbeda dalam memberi pemahaman akan li. Baginya, yang penting adalah semangatnya. Oleh karena itu, ia sendiri menganggap rendah orang-orang yang menganggap diri menonjol dalam hal praktek li tersebut.[19] Konfucius menggunakan istilah li untuk menggambarkan keseluruhan kebiasaan serta langgam sosial yang juga diberinya pengertian tambahan moral.[20]
Konsep li sungguh luar biasa pentingnya dalam proses pendidikan Konfucius. Konfucius memandang bahwa peningkatan kecerdasan kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseimbangan emosi. Usaha untuk menghasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada proses pendidikan dalam li. Ia mengatakan bahwa ilmu yang dimiliki seseorang “Chun tsu” harus “ditertibkan” dengan menggunakan li. Orang yang telah dipersiapkan secara demikian akan menjadi lebih kuat serta bersikap setiap pada prinsip-prinsipnya dalam melalui kamelut apapun dalam menghadapi setiap godaan.[21]
Inti ajaran Konfucius adalah mengangkat nilai-nilai hidup sosial masyarakat  secara tinggi tetapi mengabaikan alam. Ia menekankan ilmu pengetahuan terapan, aplikatif, praktis, pragmatis, dan mengabaikan ilmu murni. Selain itu, ia juga menjunjung tinggi stabilitas, harmoni, kesatuan, kedamaian, kemakmuran dan menentang kekacauan dan pemberon-takan.[22]      
Konfucius menyebut manusia yang sudah mewujudkan dirinya sebagai Kium Tse. Istilah ini diterjemahkan dengan “orang yang berjiwa ksatria, manusia bangsawan, orang yang bijak, manusia yang berhati lapang. Seorang Kiun Tse dikenal dengan kesadarannya akan “jalan langit” dan dari pelaksanaan beberapa kebajikan. Kebajikan yang pertama adalah Jen, yang biasa diterjemahkan dengan kemanusiaan yang sempurna, kemurahan hati, kemanusiaan yang benar, manusia yang mempunyai hati, empati, hubungan antar manusia.[23]         

3.      Kesimpulan
Setelah memahami topik-topik di atas, kita dapat menemukan tiga titik utama yang merupakan dasar bagi filsafat Cina itu sendiri, yakni Harmoni, Toleransi, dan Perikemanusiaan. Ketiga tema tersebut dapat kita katakan sebagai patokan hidup masyarakat Cina serta sebagai suatu usaha dalam mencari kesimbangan  - jalan tengah- dalam kehidupan mereka. Hal tersebut terungkap dalam ajaran mereka perihal usaha mereka untuk sampai pada harmoni.
Sedangkan pada tema-tema berikutnya merujuk pada kehidupan manusia yang meliputi; kesederhanaan, kerendahan hati, dan memuat pemahaman bahwa segalanya dipandang baik  ketika manusia bisa menempatkan dirinya secara wajar. Di samping itu, filsafat Cina berlandaskan pada perikemanusiaan yang menyangkut nilai-nilai sosial dalam bermasyarakat.
Dengan demikian, ketiga tema pokok di atas (Harmoni, Toleransi, dan Perikemanusiaan) merupakan dasar untuk hidup sekaligus tema-tema yang menonjol dalam filsafat-filsafat Cina. Dilandasi tiga tema sentral di atas,filsafat Cina dapat memberi warna dan terang baru bagi kehidupan masyarakat Cina menuju keharmonisan.

4.      Kepustakaan

Anh, To Thi, Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni? (Judul asli: Eastern and Western Cultural Values). Diterjemahkan oleh John Yap Pereira. Jakarta: Gramedia. 1985.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Bahm, Archie J. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India dan Cina dalam Perbandingan (Judul asli: Comparative Philosophy). Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius.  2003.

Sastraprajedja, M. Filsafat Timur: Lintasan Sejarah Filsafat Cina. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. [tanpa tahun]. (diktat).


Greel, H.G. Alam Pikiran Cina: Sejak Konfucius sampai Mao Zedong (Judul asli: Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung). Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono. PT. Tiara Wacana: Yogyakarta. 1990.

Balela, Yoseph Solor, Filsafat Timur: Cara Pikir dan Hidup Asia. Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi. 2005. (Diktat).



[1] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni? (Judul asli: Eastern and Western Cultural Values). Diterjemahkan oleh John Yap Pereira (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 31.

[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat. (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 1184.

[3] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 87-88.

[4] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 88.

[5] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 32.

[6] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm.12.

[7] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 14.

[8] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 17.

[9] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India dan Cina dalam Perbandingan (Judul asli: Comparative Philosophy). Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta;Kanisius, 2003), hlm. 86.

[10] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 13.

[11] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm. 87.

[12] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm. 88.

[13] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm. 90.

[14] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm. 92.

[15] Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm. 92.

[16] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 6.

[17] M. Sastraprajedja, Filsafat Timur: Lintasan Sejarah Filsafat Cina (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara [tanpa tahun]), hlm. 2. (diktat).

[18] H.G.Greel, Alam Pikiran Cina: Sejak Konfucius sampai Mao Zedong (Judul asli: Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung). Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono (PT. Tiara Wacana: Yogyakarta,1990), hlm. 32.

[19] H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm. 32.

[20] H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm. 34.

[21] H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm. 34.

[22] Yoseph Solor Balela, Filsafat Timur: Cara Pikir dan Hidup Asia (Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, 2005), hlm. 54. (Diktat).

[23] To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm. 6-7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar