1.
Pengantar
Masa Dinasti Zhou (1125-255 SM) oleh para sejarahwan dikenal sebagai
zaman klasik dari kebudayaan Cina. Barangkali dapat dibandingkakn dengan zaman
keemasan dari filsafat Yunani kuno. Kebudayaan klasik Yunani menjadi norma bagi
kebudayaan Barat demikian juga dengan kebudayaan Zhou menjadi model bagi
kebudayaan (filsafat) Cina. Dinasti Zhou melebihi dinasti-dinasti lainnya dalam
hal kedudukan sebagai cikal-bakal kebudayaan Cina. Masa Dinasti Zhou menjadi
cikal bakal lahirnya filsafat Cina kuno dan mampu melahirkan “seratus mazhab”
filsafat (pada abad ke IV-III SM). Dua aliran yang terbesar adalah Taoisme dan
Konfucianisme.
Atas dasar pengaruhnya bagi orang-orang Cina, filsafat Cina dapat
dikelompokkan atas empat sistem utama, yakni: Taoisme, Konfucianisme, Mohisme
dan Legalisme. Aliran yang lain merupakan cabang-cabang dari aliran-aliran
utama tersebut. Masa Dinasti Zhou merupakan zaman puncak kegiatan intelektual,
sosial maupun politik di Cina. Pada zaman itu jugalah segala pranata dan
konvensi yang telah mapan dikritik habis-habisan. Kritik-kritik itulah yang
melahirkan filsafat. Banyak orang dari Dinasti Zhou menghadapi dan memecahkan
kekalutan sosial dan politik yang ada. Tetapi, mereka berbeda satu sama lain
dalam memecahkan masalah tersebut. Maka tidak mengherankan jika bermunculan
aneka aliran pemikiran dalam
sistem filsafat Cina.
Berdasarkan aliran-aliran yang
bermunculan dalam filsafat Cina tersebut, ada tiga tema pokok yang menonjol
dalam sejarah filsafat Cina. Ketiga tema tersebut adalah Harmoni, Toleransi,
dan Perikemanusiaan.
2. Tema-Tema Sentral dalam Filsafat Cina
2.1 Harmoni
Ada sebuah lukisan yang dibuat oleh Sengai, seorang imam Zen Jepang.
Dalam lukisan itu digambarkan Budha, Konfusius, dan Lao-Tse sedang mencicipi
anggur dari sebuah kendi besar di
hadapan mereka. Pelukis itu menulis beberapa kalimat mengomtari adegan ini,
“anggur itu dirasa secra berbeda oleh masing-masing dari mereka, tetapi anggur
itu satu dan sama”. Jadi, Sengai mau mengatakan secara tidak langsung bahwa
ajaran dari ketiga tokoh bijaksana itu berasal dari sumber yang sama dan mau
mencapai kebenaran yang sama. Meskipun berbeda-beda dan kadang bertentangan,
Konfusianisme, Taoisme, dan
Budhisme bertemu dalam satu inti yang sama dan dominan: rasa harmoni. Mereka mengajarkan dan menunjukkan usaha mencari
keseimbangan: “jalan tengah” antara manusia dan masyarakat (Konfusianisme),
manusia dan alam semesta (Taoisme), manusia dan Yang Mutlak (Budhisme).[1] Dalam dunia Timur, manusia tidak
pernah dianggap untuk dirinya sendiri, melawan orang lain danyang harus dia
kuasai dan miliki. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari
keseluruhan alam semesta, di situ dia mempunyai tempat dan peranan. Keseluruhan
adalah yang pertama, bukan bagian, betapapun dia penting. Manusia hanya
merupakan satu nada dalam music simfoni universal, ia bukan pemimpin orkes itu.
Harmoni merupakan sebuah jalan tengah antara dua ekstrem. Dalam filsafat Cina,
keseimbangan dan keharmonisan secara rinci terdapat dalam “Mazhab Yin dan Yang”
atau bisa disebut dengan Filsafat Yin dan
Yang. Ajaran ini muncul pada jaman klasik, yakni sekitar 600-200 seb.
Masehi, ketika ketiga ajaran besar (Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme) lahir
dan berkembang.
Istilah dari bahasa Cina ini (Yin dan
Yang) mengacu pada dua prinsip atau
daya: Yang merupakan kekuatan positif
yang merupakan faktor kreatif dalam hidup. Yin
merupakan faktor yang lebih pasif dan represif. Melalui interaksi kedua
kekuatan ini terjadilah proses alamiah. Prinsip pasif dan aktif dari alam raya
atau kekuatan yang bersifat kewanitaan, negatif dan kekuatan jantan, positif
yang selamanya bertentangan namun sekaligus melengkapi. Yang dan Yin diungkapkan
dalam langit dan bumi, pria dan wanita, ayah dan putra, cerah dan hujan,
kekerasan dan kehalusan, baik dan buruk, putih dan hitam, atas dan bawah, besar
dan kecil, bilangan ganjil dan bilangan genap, kegembiraan dan kesedihan,
ganjaran dan hukuman, persesuaian dan pertentangan, kehidupan dan kematian,
kemajuan dan kemunduran, cinta dan benci, dan semua objek, kualitas, situasi,
dan hubungan yang dapat dipikirkan.[2]
Yin dan Yang saling berlawanan dalam interaksi dengan dunia yang lebih
luas dan sebagai bagian dari sistem yang dinamis. Semua hal memiliki kedua
aspek tersebut yakni Yin dan Yang, tapi tidak
setiap aspek tersebut memiliki perwujudan yang jelas pada objek dan mungkin
pasang surut atau mengalir dari waktu ke waktu. Konsep Yin dan Yang
sering dilambangkan dengan berbagai bentuk yang bervariasi dari simbol
Taijitu, yang mana
lebih umum dikenal pada kebudayaan barat.
Ada beberapa persepsi
(terutama di barat) yang mengatakan bahwa Yin dan Yang selalu
dihubungkan dengan sesuatu yang baik dan jahat. Namun, Taoisme biasanya tidak
memperhitungkan sesuatu yang baik atau jahat dan penilaian moral, dalam
kaitannya dengan konsep keseimbangan. Konfusianisme tidak melampirkan dimensi
moral dari Yin dan Yang. Tapi dalam istilah modern,
istilah ini sebagian besar telah teradaptasi oleh filosofi Budha Taoist.
Taiji, lambang tradisional untuk kekuatan Yin dan Yang
Simbol Penalaran Yin dan Yang :
Lingkaran
bulat menunjukkan pengaruh yang menyeluruh. Bagian hitam menunjukkan Yin. Yin
berarti sesuatu yang tertutup dan tidak kita ketahui. Bagian putih
menunjukkan Yang. Yang berarti sesuatu yang terbuka dan
kita ketahui. Mereka tidak dipisahkan oleh garis lurus, tetapi keduanya
dipisahkan oleh garis lengkung yang harmonis. Ini berarti tidak ada batas yang
tegas antara keduanya, mereka lebih saling membantu daripada bertentangan,
keduanya saling melengkapi (memuat), dalam Yin
yang paling gelap ada setitik cahaya Yang,
dan dalam Yang yang paling cerah ada
setitik gelap Yin.[3]
Kedua titik dalam gambar di atas mewakili daya
yang luar biasa, yakni kontradiksi inti yang ada dalam segala sesuatu, bahwa
tidak ada sesuatu pun yang seluruhnya indah atau buruk, dan tidak ada sesuatu
pun yang seluruhnya baik atau jahat. Hubungan antara Yin dan Yang terkandung
dalam simbol di atas: perlawanan pergantian, saling melengkapi, dan harmoni. Segala
perkembangan dan transformasi dalam alam semesta merupakan hasil gerakan
seimbang antara dua popularitas itu.
Hakikat
Yin ialah melengkapi Yang, persis seperti istri melengkapi
suami. Tak ada ciptaan tanpa kedua prinsip itu, selalu ada Yin dan Yang di dalamnya.
Kerja sama Yin dan Yang
membuat alam semesta menjadi suatu kosmos, perwujudan harmoni yang paling
sempurna:
”Alam semesta yang diciptakan membawa Yin di belakangnya dan Yang di depannya: Melalui perpaduan prinsip-prinsip
yang merembesinya, ia mencapai harmoni.”[4]
Rasa
harmoni merupakan ciri paling khas dari psikologi Asia. Ia menjelaskan
nilai-nilai berharga yang timbul daripadanya tetapi sekaligus menjelaskan
kelemahan-kelemahan yang ada. Di satu pihak meeka ramah, baik hati, bijak,
menghargai dan mempertenggangkan orang lain, mereka ingin hidup akrab bersama
keluarga, kenalan dan tetangga, dan kadang-kadang mereka rela melepaskan demi
menjaga hubungan baik itu. Idealnya adalah bahwa hidup personal mereka, hubungan-hubungan
antara mereka, dan hal-hal yang bertalian dengan itu harus kelihatan damai dan
harmonis. Tetapi di lain pihak, hidup mereka tidak menunjukkan perasaan yang
sebenarnya.[5]
2.2 Toleransi
Lao-tse (570-480) dan para pengikutnya menduga bahwa ada
yang keliru dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan
rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya
bahwa dahulu manusia mempunyai suatu surga dan kemudian hilang karena
kekeliruannya sendiri yakni “ia mengembangkan peradaban”. Cara terbaik untuk
hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan
beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistik yang dikenal
dengan Taoisme yang menjunjung tinggi Tao dan alam.
Para penganut Taoisme memandang alam sebagai tempat
mereka untuk menarik diri. Mereka mencita-citakan hidup sederhana dengan wu-wei, sebagai inti ajarannya. Kebajikan pertama dari Taoisme adalah wu-wei. Istilah ini sering diterjemahkan
dengan “tanpa aksi”, yang oleh orang Barat menyebutnya sebagai sikap pasif
orang Timur. Arti wu-wei yang
sebenarnya digambarkan oleh Lin Yutang sebagai “tidak mencampuri”[6]. Lao-tze
menyebutkan bahwa wu-wei merupakan lawan dari kekerasan.[7]
Kerendahan hati merupakan suatu yang hakiki dalam sikap wu-wei tersebut. Sedangkan aspek yang lain dari kerendahan hati
adalah kesederhanaan, puas dengan memiliki sedikit dan menghindari semua yang
keterlaluan.[8]
Dalam filsafat Cina, toleransi sangat dijunjung tinggi. Segala sesuatu
adalah baik. Apa yang wajar (alami) adalah baik. Keinginan adalah wajar.
Kepuasan adalah wajar. Kekecewaan juga adalah wajar. Oleh karenanya, manusia
dinasehati untuk tidak merangsang keinginan yang tidak dimiliki dan juga tidak
menindas keinginan yang dimiliki. Ambisi janganlah dianjurkan dan jangan pula
dimusuhi.[9] Segala
sesuatu mempunyai jalannya. Alam semesta sebagai suatu keseluruhan juga
mempunyai jalannya. Jalan setiap individu adalah kodratnya, jalannya,
hukum perkembangannya, dan segala
keseluruhannya. Itulah Tao setiap benda.[10]
Sikap aktif dan pasif harus diterima dengan baik menurut
gilirannya masing-masing.[11] Dalam
pengalaman sehari-hari, kita dapat mengamati bahwa ada waktu untuk tidur dan
ada juga waktu untuk bangun dari tidur; ada waktu untuk bekerja dan ada juga
waktu untuk beristirahat. Matahari terbit dan matahari juga terbenam.
Dimulainya aktivitas dilambangkan dengan yang
dan selesainya aktivitas (tercapainya pasivitas) dilambangkan dengan yin. Berada dan berbuat sama-sama
pentingnya, alami dan sama juga baiknya. Lao-tse pernah mengatakan bahwa “cara
berbuat adalah berada”. Ia bermaksud bahwa setiap orang harus menjadi dirinya
sendiri, bertindak sesuai dengan kodratnya sendiri dari pada campur tangan
dengan urusan-urusan orang lain. Meskipun orang harus menerima sikap aktif
maupun pasif, orang tidak boleh bersikap terlalu aktif (mencampuri hidup orang
lain) ataupun kurang aktif (contohnya: tidur terus, ketika sudah waktunya untuk
bersikap aktif).[12]
Orang cina menjunjung tinggi keterarahan pada waktu sekarang.
Waktu sekarang adalah baik. Apapun yang wajar/alami adalah baik. Setiap waktu
sekarang ini adalah baik menurut kemampuannya menjadi baik. Tidak akan dapat
menjadi lain dari apa adanya sekarang. Maka, orang harus menikmati waktu
sekarang. Kebahagiaan selalu ada dalam waktu sekarang. Oleh karena itu,
seseorang tidak perlu terburu-buru dalam mengejar kebahagiaan.[13]
Segala sesuatu yang wajar adalah baik. Oleh karenanya,
baiklah orang lahir, baiklah orang menjadi muda, baiklah orang menjadi tua dan
baik juga orang meninggal. Sesuatu yang tidak baik adalah mencampuri
urusan-urusan alam.[14] Seorang
anak muda yang bertindak seakan-akan lebih tua, dan orang tua bertindak
seakan-akan lebih muda, maka timbullah masalah. Lao-tzu mengatakan bahwa
“orang-orang yang terlalu menyukai aktivitas segera menjadi letih… yang melawan
alam akan mati muda”.[15] Oleh
karena itu, sesuatu yang penting adalah menikmati hidup. Kebanyakan orang
keliru karena lebih menyukai sarana dari pada tujuan. Orang lebih sering
membaktikan dirinya pada waktu sekarang ini untuk menghasilkan sarana yang
berguna untuk mendatangkan tujuan pada waktu yang akan datang. Dengan demikian,
mereka menangguhkan penikmatan hidup.
2.3 Perikemanusiaan
Aliran filsafat Cina yang lebih menaruh perhatian pada
perikemanusiaan adalah Konfucius. Bagi konfucius, kodrat manusia adalah
“pemberian langit” yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar
pilihan kita. Tujuan manusia adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang
mempersatukan kita dengan ordo universal. Manusia tidak dapat dipisahkan dari
alam semesta. Manusia adalah bagian konstutif dari alam semesta. Manusia harus
berhubungan secara harmonis dengan alam.[16]
Konfucius dan para pengikutnya muak dengan keadaan negara
dan masyarakat yang kacau balau. Mereka menyimpulkan bahwa kekacauan itu tidak
ada dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Maka, mereka mengajarkan kepada
rakyat Cina untuk memelihara pranata sosial maupun kulturalnya, dan
menganjurkan supaya kembali kepada li dari
zaman dinasti Zhou awal.[17]
Dalam masyarakat Cina kata li merupakan
istilah yang menunjuk pada tata karma dalam kehidupan bersama. Kata ini
biasanya, bahkan juga dalam ajaran Konfucius diterjemahkan sebagai “ritus” atau
“ketentuan-ketentuan kepantasan”. Semula, li
berarti “berkorban”. Arti ini masih ada dalam istilah bahasa Cina modern. Arti ini
diperluas sehingga mengacu kepada adat kepercayaan yang diselenggarakan dalam
penyajian korban, dan kemudian meliputi segala macam upacara serta basa-basi
yang menjadi ciri khas perilaku mereka yang terdiri dari anggota penguasa.
Confucius bertitik tolak dari pengertian di atas. Bila para penguasa biasanya
bersungguh-sungguh dalam menyajikan korban kepada leluhur mereka, mengapa
mereka tidak harus berbuat yang sama juga dalam memperhatikan pemerintahan
kemaharajaan. Bila para menteri memperlakukan sesama menteri dengan penuh rasa
hormat dalam pergaulan sehari-hari di istana, mengapa mereka juga tidak harus
bersikap seperti itu dalam memperhatikan rakyat jelata yang merupakan tulang
punggung negara?
Maka berkatalah Confusius kepada salah seorang catriknya agar ke mana pun
ia pergi di dunia ini, hendaknya memperlakukan kepada siapa saja yang
berhubungan dengan dia seakan-akan “ia sedang menerima tamu penting”, dan
apabila ia menjadi seorang pegawai pemerintahan, ia hendaknya menghadapi rakyat
seakan-akan ia sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian
korban besar.[18]
Pada zaman Konfucius, seperti halnya pada sebagian besar kurun waktu
serta tempat, tata-krama istana dipandang sebagai sebuah kumpulan
ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan. “Kitab Klasik” Konfucianisme
memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat terperinci mengenai tingkah-laku yang
mengatakan secara cermat bagaimana harus melaksanakan upacara korban.
Contohnya, di manakah harus meletakkan jari-jari tangan ketika hendak memungut
suatu benda upacara.
Konfucius sungguh berbeda dalam memberi pemahaman akan li. Baginya, yang penting adalah
semangatnya. Oleh karena itu, ia sendiri menganggap rendah orang-orang yang menganggap
diri menonjol dalam hal praktek li
tersebut.[19] Konfucius menggunakan
istilah li untuk menggambarkan
keseluruhan kebiasaan serta langgam sosial yang juga diberinya pengertian
tambahan moral.[20]
Konsep li sungguh luar biasa
pentingnya dalam proses pendidikan Konfucius. Konfucius memandang bahwa
peningkatan kecerdasan kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseimbangan
emosi. Usaha untuk menghasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada proses
pendidikan dalam li. Ia mengatakan
bahwa ilmu yang dimiliki seseorang “Chun tsu” harus “ditertibkan” dengan
menggunakan li. Orang yang telah
dipersiapkan secara demikian akan menjadi lebih kuat serta bersikap setiap pada
prinsip-prinsipnya dalam melalui kamelut apapun dalam menghadapi setiap godaan.[21]
Inti ajaran Konfucius adalah mengangkat nilai-nilai hidup sosial
masyarakat secara tinggi tetapi
mengabaikan alam. Ia menekankan ilmu pengetahuan terapan, aplikatif, praktis,
pragmatis, dan mengabaikan ilmu murni. Selain itu, ia juga menjunjung tinggi
stabilitas, harmoni, kesatuan, kedamaian, kemakmuran dan menentang kekacauan
dan pemberon-takan.[22]
Konfucius menyebut manusia yang sudah mewujudkan dirinya sebagai Kium Tse. Istilah ini diterjemahkan
dengan “orang yang berjiwa ksatria, manusia bangsawan, orang yang bijak,
manusia yang berhati lapang. Seorang Kiun
Tse dikenal dengan kesadarannya akan “jalan langit” dan dari pelaksanaan
beberapa kebajikan. Kebajikan yang pertama adalah Jen, yang biasa diterjemahkan dengan kemanusiaan yang sempurna,
kemurahan hati, kemanusiaan yang benar, manusia yang mempunyai hati, empati,
hubungan antar manusia.[23]
3. Kesimpulan
Setelah memahami topik-topik di atas, kita dapat menemukan tiga titik
utama yang merupakan dasar bagi filsafat Cina itu sendiri, yakni Harmoni,
Toleransi, dan Perikemanusiaan. Ketiga tema tersebut dapat kita katakan sebagai
patokan hidup masyarakat Cina serta sebagai suatu usaha dalam mencari
kesimbangan - jalan tengah- dalam
kehidupan mereka. Hal tersebut terungkap dalam ajaran mereka perihal usaha
mereka untuk sampai pada harmoni.
Sedangkan pada tema-tema berikutnya merujuk pada kehidupan manusia yang
meliputi; kesederhanaan, kerendahan hati, dan memuat pemahaman bahwa segalanya
dipandang baik ketika manusia bisa
menempatkan dirinya secara wajar. Di samping itu, filsafat Cina berlandaskan
pada perikemanusiaan yang menyangkut nilai-nilai sosial dalam bermasyarakat.
Dengan demikian, ketiga tema pokok di atas (Harmoni, Toleransi, dan
Perikemanusiaan) merupakan dasar untuk hidup sekaligus tema-tema yang menonjol
dalam filsafat-filsafat Cina. Dilandasi tiga tema sentral di atas,filsafat Cina
dapat memberi warna dan terang baru bagi kehidupan masyarakat Cina menuju
keharmonisan.
4. Kepustakaan
Anh, To
Thi, Nilai Budaya Timur dan Barat:
Konflik atau Harmoni? (Judul asli: Eastern
and Western Cultural Values). Diterjemahkan oleh John Yap Pereira. Jakarta: Gramedia. 1985.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996.
Bahm, Archie
J. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India
dan Cina dalam Perbandingan (Judul asli: Comparative Philosophy). Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta:
Kanisius. 2003.
Sastraprajedja, M. Filsafat Timur: Lintasan Sejarah Filsafat
Cina. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. [tanpa tahun]. (diktat).
Greel, H.G. Alam Pikiran Cina:
Sejak Konfucius sampai Mao Zedong (Judul asli: Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung). Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono. PT.
Tiara Wacana: Yogyakarta. 1990.
Balela, Yoseph Solor, Filsafat Timur: Cara Pikir dan Hidup Asia. Pematangsiantar:
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi. 2005. (Diktat).
[1] To
Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat:
Konflik atau Harmoni? (Judul asli: Eastern and Western Cultural Values).
Diterjemahkan oleh John Yap Pereira (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 31.
[6] To
Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm.12.
[7] To
Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm.
14.
[8] To
Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm.
17.
[9]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan:
Filsafat Barat, India dan Cina dalam Perbandingan (Judul asli: Comparative
Philosophy). Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta;Kanisius, 2003),
hlm. 86.
[10]
To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan
Barat…, hlm. 13.
[11]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm.
87.
[12]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm.
88.
[13]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm.
90.
[14]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm.
92.
[15]
Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan…, hlm.
92.
[16]
To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan
Barat…, hlm. 6.
[17]
M. Sastraprajedja, Filsafat Timur:
Lintasan Sejarah Filsafat Cina (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
[tanpa tahun]), hlm. 2. (diktat).
[18]
H.G.Greel, Alam Pikiran Cina: Sejak
Konfucius sampai Mao Zedong (Judul asli: Chinese Thought from Confucius to
Mao Tse-tung). Diterjemahkan oleh
Soejono Soemargono (PT. Tiara Wacana: Yogyakarta,1990), hlm. 32.
[19]
H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm.
32.
[20]
H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm.
34.
[21]
H.G.Greel, Alam Pikiran Cina…, hlm.
34.
[22]
Yoseph Solor Balela, Filsafat Timur: Cara
Pikir dan Hidup Asia (Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi,
2005), hlm. 54. (Diktat).
[23] To
Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat…, hlm.
6-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar