SAKRAMEN
TAHBISAN
(Kan. 1008-1054)
Berkat pembaptisan,
semua orang Kristen menerima kesamaan martabat dan perbuatan, ….[1]
Berkat Sakramen Tahbisan, para Uskup dan para Imam ambil bagian dalam tugas
rangkap tiga dari Yesus: mengajar, memimpin, menguduskan.[2]Dengan
demikian, melalui tahbisan suci dan karena kuasa Roh Kudus, setiap imam
diserupakan dengan Kristus Yesus, Kepala dan Gembala umat (bdk. PDV 12-15).
Efek dari menerima sakramen ini yaitu si tertahbis menjadikan dirinya sebagai seorang
murid dengan suatu pelayanan khusus seturut kehendak Kristus dan teladan hidup
para rasul secara lebih radikal.
1.
Pengertian
Sakramen
imamat merupakan salah satu dari tujuh sakramen yang terdapat dalam Gereja
Katolik Roma. Sakramen ini meliputi episkopat, presbiterat, dan diakonat (Kan.
1009, §1) dan diberikan
dengan penumpangan tangan serta doa tahbisan yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi
untuk masing-masing tingkat (Kan.
1009, §2). Dengan Sakramen Imamat,
pengudusan atas orang-orang yang mendapat tugas dan jabatan dalam kepemimpinan,
pengudusan, dan pengajaran bagi umat Allah dapat terlaksana.
2.
Dasar
Biblis
Imam
merupakan representasi kehadiran Kristus. Mereka adalah penerus para rasul yang
telah mewartakan Kerajaan Allah dan kebenaran Kristus di dunia.Keberadaan
mereka telah dinyatakan oleh Allah yakni “Gembala-gembala akan Kuangkat bagimu
sesuai dengan hati-Ku”
(Yer 3:15). Oleh karena itu, kepercayaan sepenuhnya terhadap kesetiaan Allah
yang tak bersyarat diiringi dengan tanggungjawab berat untuk berperan serta
dalam kegiatan Allah yang memanggil dan mengusahakan terciptanya
kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi proses pertumbuhan benih-benih iman.
Di
dalam Gereja, imamat para tertahbis menjadi suatu “sakramen”, yakni suatu tanda
mengenai Kristus. Dengan perantaraan sakramen imamat, para diakon, imam, maupun
uskup menerima Roh Kudus yang sama, yang menjadikan mereka bagian dalam imamat
jabatan Kristus dan pengganti para rasul.[3]Maka,
seperti para rasul yang dipanggil dan kemudian diutus, demikian juga dengan
penerima sakramen Imamat.Kehidupan mereka menjadi lanjutan dari kehidupan
Kristus, yakni sebagai imam, nabi, dan raja.
3.
Sejarah
Sakramen Imamat
3.1
Dalam
Kitab Suci Perjanjian Lama
Perjanjian
Lama mengenal pembagian tugas dalam pelayanan umat Israel sesuai dengan
perintah Tuhan Allah. Tugas pelayanan dalam umat Israel itu adalah raja, imam
dan nabi.[4]
Dalam
2 Sam 5:2, raja berperan sebagai gembala umat. Raja diurapi dengan minyak
sebagai tanda Allah memilihnya dan mengaruniakan Roh-Nya. Ia berbicara mewakili
umat di hadapan Allah, tetapi juga mewakili Allah di hadapan umat. Ia membela
hak Allah, juga secara khusus melindungi hak-hak orang miskin.
Dalam
Im 1-7, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban kepada Allah. Dalam Bil
6:22-27, ia juga bertugas untuk memberkati umat atas nama Allah dan menyatakan
ketahiran seseorang dari penyakit. Para imam adalah keturunan Lewi. Penahbisan
imam dalam Perjanjian Lama ditandai dengan pengenaan pakaian, pengurapan minyak
dan mempersembahkan kurban. Sesudah pembuangan, mereka lebih mengurusi hal-hal
kultus.
Dalam
Am 7:14-15, nabi berperan untuk mewartakan Sabda Allah kepada umat Allah dan
raja. Menjadi nabi bukan pertama-tama suatu jabatan atau status dan keturunan,
tetapi atas dasar panggilan kharismatis Allah. Pertama-tama, ia harus menjadi
seorang pendengar Sabda Allah dan dengan setia menyampaikannya kepada umat. Ia
harus menafsirkan tanda zaman berdasarkan firman Alah itu dan menyampaikan
sikap kritis-profetis kepada umat Allah.
3.2
Dalam
Kitab Suci Perjanjian Baru
Kristus,
satu-satu Pengantara antara Allah dan manusia (1 Tim 2:5) memiliki kekhasan dan
kepenuhan imamat. Imamat Kristus mengungguli dan memenuhi imamat Perjanjian
Lama. Ia melaksanakan imamat-Nya sebagai nabi dengan menyatakan Bapa dan
sebagai Gembala dengan mengumpulkan umat Allah yang tercerai berai. Ia
menobatkan kepenuhan imamat-Nya dalam misteri Paskah. Dia menyampaikan
imamat-Nya kepada Gereja. Kristus menyampaikan imamat itu secara khusus kepada
para Rasul yang Dia pilih untuk menjadi saksi-Nya yang autentik, yang akan
menghadirkan misteri-Nya dan gembala bagi kawanan-Nya.[5]
Ia juga menunjuk tujuh puluh murid yang diutus-Nya. Mereka yang diutus juga
ikut ambil bagian dalam kuasa Yesus. Pemilihan dan pengutusan duabelas Rasul
dan ketujuh pulu murid itu merupakan persiapan atas bentuk kepemimpinan dalam
Gereja.[6]
Kepemimpinan
dan pelayanan Gereja pada zaman para Rasul dan generasi sesudah para Rasul
dilaksanakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Corak kepemimpinan Gereja
dipengaruhi struktur dan model kepemimpinan masyarakat atau budaya setempat.
Terjadi keanekaragaman model dan struktur kepemimpinan jemaat pada
generasi-generasi pertama Gereja. Kehidupan jemaat perdana tidak ditandai
dengan model pembedaan antara pemimpin dan umatnya, tetapi memiliki aneka macam
tugas pelayanan yang mengikuti situasi sosial dan pastoral jemaat.[7]
Perjanjian
Baru tidak pernah menyebut para pemimpin jemaat kristiani dengan sebutan hiereus (imam). Tugas pelayanan
kepemimpinan jemaat kristiani tidak pernah dimengerti sebagai status
kultis-imamat. Tetapi bagaimana jemaat perdana melantik seseorang ke dalam
tugas pelayanan kepemimpinan? Dalam Kisah Rasul dan surat-surat pastoral, kita
menemukan semacam ritus penumpangan tangan dan doa untuk orang yang dikhususkan
bagi pelayanan jemaat, misal tujuh orang diangkat ke tugas pelayanan diakonat.
mereka ditahbiskan dengan doa dan penumpangan tangan untuk melayani jemaat (Kis
6:6). Paulus berpesan kepada Timotius supaya jangan lali dalam mempergunakan
karunia yang telah diberikan oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang
jemaat (1 Tim. 4:14; 5: 22; 2 Tim 1:6). Teks mengenai doa dan penumpangan
tangan ini tidak bisa langsung diyatakan sebagai unsur-unsur pokok sakramen
tahbisan. Penugasan atau pengkhususan bagi tugas pelayanan kepemimpinan jemaat
itu dikaitkan dengan doa dan penumpangan tangan. Dalam penumpangan tangan itu,
ditandakan anugerah rahmat Allah sesuai dengan tugas pelayanan yang diemban.
Tindakan penumpangan tangan itu sendiri mempunyai akar dalam Perjanjian Lama
seperti Bil 8:10; 27:18-20: Ul 34:9.[8]
3.3
Dalam
Praksis dan Ajaran Gereja
a.
Zaman
Patrisktik
Pada
abad pertama dan kedua, ada usaha penyeragaman dan institusionalisasi struktur
kepemimpinan dalam Gereja. Surat Klemens (93-97) mengungkapkan ada usaha
penyatuan peran pemimpin jemaat sebagai pemimpin liturgi (Ekaristi). Santo
Ignatius dari Antiokhia (110) menunjukkan pembentukkan struktur kepemimpinan
Gereja dalam tiga tugas pelayanan, yakni uskup, imam dan diakon. Pada
pertengahan abad II, tingkatan kepemimpinan uskup, imam dan diakon diterima dan
diakui dalam Gereja Barat dan Timur. Menghadapai bidaah dan ajaran sesat,
Irenius dari lyon memandang perlunya adanya Successio
Apostolicadalam kepemimpinan Gereja yang memiliki kesinambungan yang jelas
dan tegas dari para Rasul.[9]
Klemens
dari Alexandria (150-217) menunjukkan gambaran hirarki para uskup, penatua dan
diakon sebagai tiga tingkatan yang berakar dalam tata surgawi. Tertulianus
(160-220) memperkenalkan istilah ordinatio
atau penahbisan yang menunjuk pengangkatan seseorang ke dalam status atau
kedudukan. Cyprianus berbicara mengenai clericus
(klerus) yang berarti orang yang berpartisipasi pada Allah dalam cara yang
khusus atas dasar kedudukan atau statusnya. Gregorius dari Nyssa (335-394)
memahami tahbisan imam sebagai saat di mana seseorang diubah ke status dan
martabat baru dan diberi kemampuan sesuai dengan kehormatan jabatan imam itu.
Theodorus dari Mopsuestia (350-428) memandang tahbisan imam hanyalah suatu
pelimpahan tugas pelayanan dan bukan pengangkatan seseorang ke martabat yang
lebih tinggi. Berhadapan dengan aliran donatisme, Agustinus (354-430)
mengajarkan sifat meterai yang tak terhapuskan dari sakramen tahbisan.[10]
Hipolitus
dari Roma dalam Traditio Apostolica
menulis bahwa inti pokok perayaan penahbisan uskup, imam dan diakon adalah
penumpangan tangan dan doa sesuai dengan tingkat tahbisannya. Gregorius Agung
dalam suratnya kepada para uskup di Georgia menegaskan keabsahan atau validitas
dari tahbisan yang diterimakan dalam kelompok bidaah.[11]
b.
Abad
Pertengahan
Terjadi
perkembangan dalam praksis kepemimpinan Gereja pada abad pertengahan. Pada masa
ini, semua orang di wilayah kekaisaran Romawi menjadi Kristen. Pembedaan
terjadi bukan antara orang Kristen dengan non-Kristen, melainkan antara pejabat
atau pemimpin Gereja dengan awam. Semakin hari semakin tegas antara hirarki
dengan awam. Hal itu nampak dalam ritus penahbisan pula. Uskup diurapi dengan
minyak krisma pada kepalanya, ia dimasukkan ke jabatan kepemimpinan jemaat,
kepadanya diberikan tongkat dan cincin sebagai lambang kedudukannya yang tinggi
dan luhur. Imam diurapi dengan minyak pada tangan dan kepalanya diberikan
alat-alat misa sebagai wewenang imam untuk memimpin Ekaristi.[12]
Pada
abad pertengahan, tahbisan dan jabatan uskup tidak dipandang sebagai sakramen.
Jabatan uskup memang tinggi dan mengatasi imam-imam, tetapi hanya dalam hal
kuasa yuridiksi-administratifnya dan bukan dalam arti imamatnya atau
tahbisannya. Tahbisan uskup tidak lebih tinggi dari tahbisan imam sebab dalam
hal wewenang memimpim Ekaristi, baik uskup atau imam tidak memiliki perbedaan.
Petrus Lombardus (1095-1160) memandang tahbisan uskup bukan sebagai tingkat
sakramen tahbisan, walaupun diakui sebagai puncak dari imamat. Di sini nampak
terjadi pergeseran pemahaman kepemimpinan bahwa bukan lagi masalah tugas
mengajar dan menggembalakan umat yang menjadi ukuran, melainkan lebih
menyangkut sifat kultis atau kuasa tahbisan yang lebih penting. Thomas Aquinas
dan para teolog skolastik lainnya memandang bahwa penyerahan alat-alat misa
seperti piala dan patena dipandang sebagai materia pokok dari sakramen
tahbisan. Pandangan ini diterima dan dilanjutkan oleh konsili Florenz.[13]
Paus
Bonifasius IX (1389-1404) dalam bula Sacrae
Religionis pernah memperbolehkan seorang imam biasa untuk menjadi pelayan
sakramen tahbisan. Namun tiga tahun kemudian, izin ini ditarik kembali. Konsili
Florenz (1439) mengajarkan bahwa materia sakramen tahbisan adalah penyerahan
alat-alat liturgi sesuai dengan tingkat tahbisannya, formanya adalah rumusan
doa tahbisan, pelayanan biasa untuk menerimakan sakramen tahbisan adalah uskup
dan rahmat sakramennya adalah karunia rahmat sesuai dengan tugas pelayanan
jemaatnya. Konsili Trente (1563) menyebut sakramen tahbisan dengan istilah
sakramen imamat (sacerdotium).
Istilah imamat menekankan segi kultis-imam dari tugas pelayanan kepemimpinan
Gereja.[14]
c.
Sesudah
Konsili Trente hingga Abad XX
Dalam
ajaran Konsili Trente, tampak adanya penyempitan pengertian-pengertian sakramen
tahbisan. Akibatnya, teologi Katolik melanjutkan refleksi mengenai sakramen
tahbisan dari sisi kultisnya saja. Imam dilihat sebagai orang yang memiliki
kuasa untuk membuat konsekrasi dan melepaskan dosa, sedangkan segi tugas
pewartaan iman kurang diperhatikan.[15]
Dalam lingkungan katolik, Robertus Belarminus (1542-1621) berpendapat bahwa
tahbisan uskup juga merupakan sakramen, meski pendapat ini tidak lazim dalam
teologi skolastik.
Pada
abad XX ada beberapa tokoh teologi yang memperbaharui teologi imamat atau
tahbisan. Yves Congar (1904-1994) menekankan kepemimpinan Gereja sebagai tugas
pelayanan kepada umat Allah. Imamat bertujuan untuk menghadirkan dan
menyampaikan hidup ilahi. Karl Rahner (1904-1984) menempatkan sakramen tahbisan
sebagai pengungkapan dan pelaksanaan Gereja. Melalui ensiklik Mediator Dei
(1947), Paus Pius XII mengakui imamat umum umat beriman, tetapi ia lebih
menekankan keunggulan imamat jabatan. Dalam ensiklik tersebut dinyatakan bahwa hanya
para imam saja yang dapat mewakili pribadi Kristus dalam arti yang sebenarnya.
Melalui surat apostoliknya, Paus Pius XII memperbaharui inti perayaan sakramen
tahbisan bukan penyerahan alat-alat misa (piala dan patena), melainkan
penumpangan tangan dan doa tahbisan.
Konsili
Vatikan II membuat suatu pembaharuan paham teologi sakramen yang bersumber pada
tradisi Kitab Suci dan tradisi para Bapa Gereja. Konsili mengembalikan seluruh
imamat pada imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru.
Lumen Gentium melihat hubungan antara imamat umum dengan imamat jabatan atau
hirarkis. Meski tingkat dan hakikatnya berbeda, keduanya saling terarah dan
masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.[16]
Maka imamat jabatan tidak perlu dipandang lebih tinggi dari pada imamat umum.
Konsili juga mengajarkan seluruh segi tugas kepemimpinan gereja. Lumen Gentium
menjelaskan bahwa mereka yang ditandai dengan tahbisan suci diangkat atas nama
Kristus untuk menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah.[17]
Tugas pelayanan mereka yang tahbisan suci merupakan partisipasi dalam tiga
tugas Yesus Kristus, yakni mengajar (sebagai nabi atau guru), menggembalakan
(sebagai raja atau gembala) dan menguduskan (sebagai imam).[18]
Tahbisan
uskup merupakan kepenuhan sakramen imamat.[19]
Sementara itu tahbisan imam bukan merupakan puncak imamat tetapi imam
ditahbisakan menurut citra Kristus Sang Imam Agung untuk menunaikan tiga tugas
Kristus. Hanya saja mereka menjalankan imamatnya dalam ketergantungannya dengan
para uskup.[20]
Tahbisan diakon tidak hanya dipandang sebagai tahap untuk menerima tahbisan
imamat, tapi juga untuk pelayanan. Diakonat permanen dihidupkan kembali, bahkan
pria yang sudah berkeluarga mungkin saja untuk ditahbisan menjadi diakon permanen.[21]
4.
Karakter
Sakramental
Dengan
sakramen imamat menurut ketetapan ilahi, orang beriman yang diangkat menjadi
pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh meterai tak terhapuskan, yakni
dikuduskan dan ditugaskan untuk selaku pribadi Kristus Sang Kepala, menurut
tingkatan masing-masing menggembalakan umat Allah dengan melaksanakan
tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.[22]
5.
Materia
dan Forma Sakramen Imamat
Materia dan
forma dalam Sakramen Imamat berdasarkan pada Kan. 1009,
§2. Sakramen Imamat diberikan dengan penumpangan tangan serta doa permohonan
yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat.
Ringkasan Tatacara Tahbisan Imamat:[23]
1. Sesudah
injil, para calon dipanggil oleh seorang daikon;
2. Mereka
diajukan kepada (uskup pentahbis) oleh seorang imam yang ditugaskan untuk ini;
3. Homili;
4. Tanya
jawab;
5. Litani para kudus;
6. Acara
tahbisan. Para calon satupersatu menghampiri uskup pentahbis, dan uskup pentahbis
menumpangkan tangan atas mereka tanpa mengatakan apa-apa. Para imam yang hadir
berbuat seperti yang dilakukan oleh uskup, dan kemudian membentuk setengah
lingkaran di kiri-kanan uskup, meskipun rubrik tidak menyebut-nyebut bahwa
mereka harus terus mengulurkan tangan. Lalu menyusul doa tahbisan;
7. Pengurapan
tangan. Pertama, para imam, tanpa upacara atau rumus doa, mengatur stola para
calon dan mengenakan kasula pada mereka. Kemudian uskup mengurapi telapak
tangan masing-masing calon dengan minyak krisma. Sementara itu dinyanyikan Veni, Creator Spiritus (Datanglah Roh
Mahakudus) atau Mzm 110 dengan antiphon ‘Kristus Tuhan, imam agung seturut tata
imamat Melkisedek, mempersembahkan anggur dan roti;
8. Penyerahan
roti dan anggur, diringi lagu Mzm 100 atau Iam
non dicam atau lagu lain yang senada;
9. Salam
damai mengakhiri tatacara tahbisan dan para imam baru berkonselebrasi dengan
mereka;
Ringkasan
tatacara tahbisan imam yang telah disebutkan memperlihatkan bahwa perayaan itu
sederhana dan tepat sasaran (to the point).
Ada penumpanan tangan, doa tahbisan, dan pengurapan telapak tangan calon.
Penyerahan perlengkapan (Insignia)
yang selama berabad-abad menyita banyak tempat dan waktu dalam tatacara
tahbisan yang lama, telah diubah, dan tekanan utama yang dulu diberikan pada
imam sebagai pelayan ibadat telah hilang. Namun, atas dasar doa tahbisanlah
seluruh perayaan harus dinilai mutunya.[24]
Seperti dalam liturgi tahbisan uskup, di sini pun doa tahbisan didahului oleh
homili khusus yang pantas mendapat perhatian.
Harus
ditekankan bahwa homili tidak lebih dari suatu contoh, dan uskup pentahbis
diharap mau menyesuaikannya dengan situasi saat dan tempat, dan berbicara lebih
langsung kepada umat.Seluruh umat Allah telah memiliki murid-murid untuk
melaksanakan tugas imamat bagi umat.Seperti Bapa mengutus Putera, demikian
mereka diutus ke dunia untuk melanjutkan karya Kristus.Mereka itulah
uskup-uskup yang ambil bagian dalam tugas-tugas Kristus sebagai pengajar, imam,
dan gembala. Para imam adalah rekan kerja uskup, bersama uskup mereka ambil
bagian dalam fungsi-fungsi yang sama itu demi pelayanan umat. Mereka adalah
pelaksana imamat
Kristus (Inserviant), dan lewat
pelayanan mereka Gereja, yakni umat Allah, dibangun dan berkembang.
Doa ini
merupakan teks kunci dari seluruh perayaan. Teks Hippolytus adalah doa untuk tahbisan imam. Tetapi doa itu agak
singkat, dan sekilas sama sekali tidak eksiplisit berbicara tentang hakikat dan
peranan imamat. Doa Hippolytus ini
memohon agar Allah berkenan memandang hamba-Nya dan memberi dia Roh, rahmat serta
nasihat yang memang perlu untuk pelayanan para klerus, seperti Allah dulu
memandang umat pilihan-Nya dan memerintahkan Musa mengangkat para penatua, yang
dipenuhi dengan Roh yang telah Ia berikan kepada Musa. Roh itu diharapkan dapat
membantu dan memimpin umat Allah dengan hati yang murni. Doa ini diakhiri
dengan permohonan “... agar
kami (para uskup dan imam), berkat karunia Allah, tidak pernah kehilangan Roh
Kudus dan boleh melayani Dia, sambil memuji Dia lewat Putera-Nya Yesus Kristus;
lewat Dia Gereja melambungkan pujian dan sembah kepada Allah dalam Roh Kudus
kini dan sepanjang masa”.
Itulah seluruh isi doa.
Doa
tahbisan ini, dengan penumpangan tangan oleh uskup dan para imam, merupakan puncak
perayaan. Dalam tatacara lama kepuncakan doa ini tertutup oleh pengurapan yang
dilaksanakan dengan amat meriah dengan iringan lagu Veni, Creator Spiritus (Datanglah Roh Mahakudus). Pada tatacara
yang baru pengurapan ini jelas berfungsi sebagai penjelas (ritus explicative); mengungkapkan makna doa tahbisan dan
penumpangan tangan, yang merupakan tanda utama pemberian Roh yang dilaksanakan
sebelum pengurapan ini. Kata-kata yang digunakan untuk pengurapan menunjukkan
bahwa upacara itu merupakan kelanjutan dari gagasan yang ada dalam doa
tahbisan: “Semoga Tuhan kita Yesus Kristus yang diurapi Bapa dengan kekuatan
dan dengan Roh Kudus menjaga engkau, sehingga engkau dapat menguduskan umat
Kristen dan mempersembahkan kurban kepada Allah”.
6.
Pelayan
Sakramen Tahbisan (Imamat)
Pelayan tahbisan
suci adalah seorang Uskup yang telah dikonsekrasi; dalam kodek Gereja Timur hal
ini diatur dalam Kan. 743-744.Kan. 1012 menegaskan bahwa hal itu menjadi
kebiasaan bagi Gereja universal.Maksud dari Kan. 1012, 1013, dan 1014, yakni
Uskup konsekrasi searti dengan Uskup Ordinasi.Pentahbisan Uskup sendiri harus
Uskup yang ditahbiskan secara sah.
Tradisi belum
pernah mempertahankan bahwa lebih dari satu Uskup yang ditahbiskan adalah
mutlak penting untuk Uskup pentahbis.Bagaimanapun kebisaan sebelumnya pada
Konsili Nicea 325, diteruskan pada masa sekarang menegaskan bahwa
sekurang-kurangnya tiga Uskup menahbiskan seorang Uskup (satu konsekrator utama
dam 2 wakil konsekrator).Secara simbolis, kesatuan para Uskup nyata, tiga Uskup
berpartisipasi dalam sebuah tahbisan yang mewajibkannya hanya satu dari antara
mereka untuk keabsahan tahbisan.[26]
6.1
Kan.
1015
Seorang
kandidat untuk diakon dan imam harus ditahbiskan oleh Uskupnya atau Uskup lain
yang memiliki suratdimisoria yang legitim
(1015 § 1).
Uskup diosesan harus menahbiskan diakon dan imam-imam yang melayani Gereja
Partikular. Seorang Uskup auksilier pada diosis yang sama dapat melakukan itu
sekurang-kurangnya yang dapat dipercaya. Untuk klerus religius, Uskup diosesan
dalam pentahbisan masih diistimewakan, kehadiran Uskup memungkinkan Uskup untuk
menyatakan terima kasih pada institut itu karena bantuan pastoralnya dan
memberikan surat izin kepada institut itu untuk menunjukkan di depan umum
tentang janji pastoralnya pada Gereja particular dan Uskupnya. Pada sisi lain
institut religius boleh meminta salah satu dari anggotanya sendiri untuk
pentahbisan imam dan harus memiliki jabatan Uskup.[27]
Dalam
kasus klerus diosesan, surat dimisorial dikeluarkan oleh seorang Uskup diosesan
(Kan. 1016 dan 1018), yang menghadirkan kandidat tersebut untuk pentahbisan
dan tentu saja memberikan izin agar diterima oleh Uskup lain yang berwenang.
Dengan cara ini bukan untuk mengacaukan inkardinasi diosis itu dan ada jaminan
bahwa tahbisan itu licit atau sah. Pada
klerus relgius, surat dimisoria dikeluarkan oleh mayor superior (Kan. 1019). Ia
menghadirkan kandidat itu untuk memerintahkan dan meminta tahbisan untuknya
oleh seorang Uskup yang berwenang. Tahbisan menjadi tidak sah apabila tidak
dilakukan oleh seorang Uskup diosis.[28]
6.2
Kan.
1015 § 2
Seorang
Uskup dari ritus Latin harus menahbiskan orang-orang bawahannya
sendiri.Orang-orang bawahan dari ritus Timur ditahbiskan oleh ordinaris mereka
sendiri.Ketentuan ini tentu saja untuk kandidat diakon dan imam.Uskup dari
ritus Latin memiliki kewajiban untuk memperhatikan ritus Timur yang ada dalam
diosisnya (Kan. 383 § 2).Kewajibannya untuk memperhatikan ritus Timur tidak
mencakup kebenaran untuk menahbiskan para imam yang melayani mereka.[29]
7.
Calon-Calon
Penerima
Sakramen Tahbisan
Kan.
1024 sudah jelas bahwa hanya seorang laki-laki yang telah dibaptis dapat
menerima tahbisan imam secara sah.Ini merupakan pengajaran asli dalam Gereja
Katolik.Kan. 754 dalam Gereja Timur merupakan pengecualian dari Gereja Latin.
Kan. 842, § 1 pokok yang
mendasari Kan. 1024, yakni baptisan merupakan prasyarat untuk izin yang sah
guna menerima sakramen-sakramen yang lain.Disamping itu hanya orang yang
berjenis kelamin laki-laki yang dapat ditahbiskan secara sah.Laki-laki yang dibaptis
harus ditahbiskan oleh seorang Uskup yang telah dikonsekrasi (Kan. 1012)
menurut doa-doa tahbisan yang ditetapkan oleh Gereja (Kan. 1009 § 2).[30]
Orang
laki-laki yang sudah dibaptis dan bebas halangan Ad Licitatem. Selesai studi Filsafat dan Teologi yang dituntut
memiliki iman yang tangguh, utuh, motivasi yang jujur, nama dan hidup baik,
aneka keutamaan yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya. Urutan
tingkatan tahbisan diakonat, imamat, dan episkopal/Uskup.Sebelum tahbisan
diakonat, si calon harus sudah dilantik lektor-akolit.[31]
8.
Syarat-syarat
untuk menerima sakramen Tahbisan[32]
Kan. 1033,
menyatakan bahwa penerimaan sakramen krisma menjadi hal yang umum untuk
diterimanya seseorang menjadi seorang calon imam, entah itu diosesan maupun religius.
Jika ia seorang calon imam religius maka sebelum ia memasuki masa novisiat ia
harus menunjukkan surat penguatan atau krisma (lihat Kan. 645 1). Jika ia
seorang calon imam diosesan maka sebelum diterima masuk di seminari, ia
berkewajiban untuk menunjukkan surat penguatan yang telah diterimanya (Kan.
241, §2).
Jika seseorang
sejak lahir telah menjadi Katolik, maka sakramen penguatan pada umumnya
diterima pada usia yang dianggap telah mampu menggunakan akal budinya, kecuali
konfrensi para uskup telah menentukan usia lain atau jika ada bahaya maut, atau
jika menurut penilaian pelayan sakramen, ada alasan berat yang menganjurkan
lain.
Kan. 1034,
menegaskan bahwa para calon diakon atau pun imam, sebelum menerima sakramen
tahbisan kiranya membuat surat permohonan untuk ditahbiskan dengan tertulis dan
ditandatangani sendiri. Surat itu kiranya disampaikan kepada otoritas tertinggi
dimana ia akan mengingkardinasikan diri. Hal ini hanya berlaku bagi para calon
diakon dan imam diosesan (1016).Sedangkan bagi para calon diakon dan imam
religius tidak diwajibkan (Kan. 1019).
Kan, 1035,
menetapkan bahwa setiap para calon, entah itu calon diakon sementara maupun
calon diakon tetap diwajibkan untuk menerimakan pelantikan lektor akolit
sebelum memasuki jenjang tahbisan. Para calon sekurang-kurangnya telah menerima
pelantikan selama 6 bulan, meski
kitab hukum kanonik
tidak memberikan penjelasan secara rinci apa peran dan fungsi dari pelantikan
lektor akolit dalam kaitannya dengan tahbisan. Bagaimana pun juga Kitab hukum
kanonik hanya memberi penjelasan bahwa pelantikan lektor akolit menjadi syarat
bagi para calon untuk kedepannya
dalam pelayanannya di altar.
Kan. 1036,
menegaskan bahwa para calon diakon maupun imam entah itu diosesan maupun
religius diharuskan untuk memberikan surat pernyataan diri secara suka rela
atau bebas untuk ditahbiskan. Surat tersebut diserahkan kepada uskup oleh para
calon diakon maupun imam diosesan,
sedangkan oleh para religius menyerahkannya
kepada pemimpin tertinggi terekat.
Mereka kiranya membuat surat pernyataan itu secara sadar mau dan tahu
dan surat itu dibubuhi dengan tanda tangan.
Kan. 1037,
menegaskan bahwa calon untuk diakon permanen maupun diakon sementara terikat kewajiban untuk hidup selibat.
Ketentuan ini secara defenitif dikenakan bagi para calon diakon baik diosesan maupun
religius yang masuk pada Gereja Latin.Jika para calon melanggar ketentuan yang
telah ditetapkan maka yang akan berlaku ialah sesuai dengan Kan. 701 dan Kan. 291. Kan. 701
menetapkan bahwa seseorang yang telah menerima sakramen tahbisan dan ia tidak
lagi hidup selibat maka ia akan dikenai sangsi untuk tidak dapat melakukan
kuasa tahbisan.
Kan. 1038, para
diakon yang hendak menerimakan
sakramen imamat tidaklah dapat dihalangi dalampenerimaannya akan sakramen
imamat jikalau dalam ketentuan yang telah ditetapkan tidak menghalanginya untuk
menerima sakramen imamat. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kann.1025
dan 1052.Kann.1025
dan 1052 menegaskan bahwa seseorang yang layak untuk ditahbiskan ialah ia yang
secara hukum dan dipandang memiliki kualitas-kualitas
hidup yang sesuai.
Kan. 1039,
menegaskan bahwa setiap calon yang hendak menerimakan sakramen tahbisan
diwajibkan untuk mengadakan retret sekurang-kurangnya 5 hari.Mereka terikat
kewajiban untuk melaksanakan retret dibawah ketentuan yang telah dikeluarkan
oleh ordinaris (uskup), sebelum ditahbiskan. Ketentuan ini juga mempertegas
akan hak dari uskup untuk menerima hasil dari retret tersebut sebelum beliau
mentahbiskan calon tertahbis. Berkenaan dengan masa retret tersebut kitab hukum
kanonik mempertegasnya dalam kan.201-203.
Berkaitan dengan
hal-hal dalam pendaftaran mereka yang tertahbis dapat dilihat dalam kodeks 1983, kan. 1053-1054. Kedua kanon tersebut
berbicara mengenai prosedur pemberian catatan (pendaftaran) dan surat
(sertifikat) setelah penahbisan diakon atau imamat. Dalam Kan. 1053, mereka yang
telah ditahbiskan harus dicatat dalam daftar orang-orang tertahbis.Semantara
itu, Kan. 1054 berbicara tentang
pemberitahuan kepada paroki di mana mereka yang tertahbis dibaptiskan (bdk. Kan. 1010).
Kan. 1053,
§ 1 menegaskan bahwa setelah kandidat menerima penahbisan, peristiwa ini akan
dicatat dalam sebuah buku khusus dari gereja tempat diberikan sakramen itu.
Hal-hal yang perlu dicatat atau didaftar ialah nama dari tiap orang yang
ditahbiskan, pelayan yang menahbiskan,
serta tempat dan tanggal dilakukan penahbisan itu. Semua dokumen yang tercantum
dalam Kan. 1050 dan Kan. 1051 dari tiap-tiap tahbisan dipelihara.
Dalam Kan. 1053, § 2 menyatakan bahwa pelayan
penahbis yang otentik mengesahkan penahbisan itu dan memberikan surat
keterangan tentang penahbisan kepada setiap kandidat yang telah menerima
tahbisan. Dokumen-dokumen ini memiliki sifat benar dan tepat. Di damping itu,
dalam kasus pelayan yang menahbiskan dari dan di luar wilayah,surat keterangan
penahbisan disebut dimisorial. Dokumen
ini akan dijaga dengan tekun, seperti yang kita disarankan dalam kanon ini, dan
bagi anggota serikat hidup kerasulan dijaga dan dipelihara oleh pemimpinnya.
Akhirnya, Kan.
1054 menetapkan bahwa Ordinaris wilayah atau pemimpin tinggi dari SHK (bdk.
Kan. 1011) memberitahukan kepada pastor paroki dari tempat di mana mereka yang
telah ditahbis itu dibaptis, untuk dicatat atau didaftar dalam buku baptisan.
Dengan demikian orang kepada siapa pemberitahuan penerimaan tatanan sakral
ditentukan.
Kepustakaan
:
Beal,John
P.New Commentary on The Code of Law. New York:
Paulist Press, 2000.
Bifet,
J. Esquerda.Imam
Tanda Kristus. [tanpa
tempat]: KKI, [tanpa tahun].
Coriden,
James A. et al.The
Code of Canon Law A Text and Comentary. New York: Paulist Press, 1985.
Crichton,J.
D. Perayaan Sakramen Tahbisan dan
Pelantikan (Judul asli: Christian Celebration: The Sacraments), diterjemahkan
oleh Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Dister,Nico
Syukur.Teologi
Sistematika2. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Griffin,James
A. Ihktisar Katekismus Gereja Katolik. Jakarta: Obor,
2008.
Konsili
Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan
oleh R. Hardawiryana.Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI
– Obor, 1993.
Martasudjita,E.
Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Marzoa, Angel et al.Exegetical
Commentary on the Code of Canon Law (Montreal - Chicago: Wilson &
Lafleur, 2004.
Neuner,J. – J. Dupuis.The
Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church. India:
Theological Publications, 1981.
[1] James A. Griffin, Ihktisar Katekismus Gereja Katolik (Jakarta:
Obor, 2008), hlm. 37.
[3]J. Esquerda Bifet, Imam Tanda Kristus ([tanpa tempat]: KKI,
[tanpa tahun]), hlm. 14.
[4] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja. Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 370.
[5]J. Neuner –
J. Dupuis, The Christian Faith in the
Doctrinal Documents of the Catholic Church (India: Theological
Publications, 1981), hlm. 489.
[6] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 372.
[7] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 373.
[8] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 375.
[9] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 376.
[10] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 377.
[11] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 378.
[12] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 379.
[13] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 380.
[14] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 381.
[15] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 382.
[16]Konsili Vatikan II,
“Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana
(Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 10.Selanjutnya
disingkat LG, no.
[17]LG, no. 11.
[18]LG, no.21; 28.
[19]LG, no. 21.
[20]LG, no. 28.
[21]LG, no. 29.
[22] Kan. 1008.
[24] J. D. Crichton, Perayaan Sakramen Tahbisan …, hlm. 26.
[25] J. D. Crichton, Perayaan Sakramen Tahbisan …, hlm.
29-31.
[26] John P. Beal, New Commentary on The Code of Law (New
York: Paulist Press, 2000), hlm. 1196; bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika2 (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), hlm 412-413.
[27] John P. Beal, New …, hlm. 1197.
[28] John P. Beal, New …, hlm. 1197.
[29] John P. Beal, New …, hlm. 1197.
[30] John P. Beal, New …, hlm. 1202.
[31] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 176; bdk.
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 412-413; bdk.juga John P. Beal, New …, hlm. 1203.
[32]Pokok
bahasan ini disarikan dari James A. Coriden et al.,The
Code of Canon Law A Text and Comentary(New
York: Paulist Press, 1985), hlm. 1210-1214.
[33]Pokok
bahasan ini disarikan dariAngel Marzoa et al., Exegetical Commentary on the Code of Canon Law (Montreal-Chicago:
Wilson & Lafleur, 2004), hlm. 1027-1029.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar