Minggu, 06 April 2014

SAKRAMEN TAHBISAN




SAKRAMEN TAHBISAN
(Kan. 1008-1054)

Berkat pembaptisan, semua orang Kristen menerima kesamaan martabat dan perbuatan, ….[1] Berkat Sakramen Tahbisan, para Uskup dan para Imam ambil bagian dalam tugas rangkap tiga dari Yesus: mengajar, memimpin, menguduskan.[2]Dengan demikian, melalui tahbisan suci dan karena kuasa Roh Kudus, setiap imam diserupakan dengan Kristus Yesus, Kepala dan Gembala umat (bdk. PDV 12-15). Efek dari menerima sakramen ini yaitu si tertahbis menjadikan dirinya sebagai seorang murid dengan suatu pelayanan khusus seturut kehendak Kristus dan teladan hidup para rasul secara lebih radikal.

1.      Pengertian
Sakramen imamat merupakan salah satu dari tujuh sakramen yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma. Sakramen ini meliputi episkopat, presbiterat, dan diakonat (Kan. 1009, §1) dan diberikan dengan penumpangan tangan serta doa tahbisan yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat (Kan. 1009, §2). Dengan Sakramen Imamat, pengudusan atas orang-orang yang mendapat tugas dan jabatan dalam kepemimpinan, pengudusan, dan pengajaran bagi umat Allah dapat terlaksana.

2.      Dasar Biblis
Imam merupakan representasi kehadiran Kristus. Mereka adalah penerus para rasul yang telah mewartakan Kerajaan Allah dan kebenaran Kristus di dunia.Keberadaan mereka telah dinyatakan oleh Allah yakni “Gembala-gembala akan Kuangkat bagimu sesuai dengan hati-Ku” (Yer 3:15). Oleh karena itu, kepercayaan sepenuhnya terhadap kesetiaan Allah yang tak bersyarat diiringi dengan tanggungjawab berat untuk berperan serta dalam kegiatan Allah yang memanggil dan mengusahakan terciptanya kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi proses pertumbuhan benih-benih iman.
Di dalam Gereja, imamat para tertahbis menjadi suatu “sakramen”, yakni suatu tanda mengenai Kristus. Dengan perantaraan sakramen imamat, para diakon, imam, maupun uskup menerima Roh Kudus yang sama, yang menjadikan mereka bagian dalam imamat jabatan Kristus dan pengganti para rasul.[3]Maka, seperti para rasul yang dipanggil dan kemudian diutus, demikian juga dengan penerima sakramen Imamat.Kehidupan mereka menjadi lanjutan dari kehidupan Kristus, yakni sebagai imam, nabi, dan raja.

3.      Sejarah Sakramen Imamat
3.1          Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Perjanjian Lama mengenal pembagian tugas dalam pelayanan umat Israel sesuai dengan perintah Tuhan Allah. Tugas pelayanan dalam umat Israel itu adalah raja, imam dan nabi.[4]
Dalam 2 Sam 5:2, raja berperan sebagai gembala umat. Raja diurapi dengan minyak sebagai tanda Allah memilihnya dan mengaruniakan Roh-Nya. Ia berbicara mewakili umat di hadapan Allah, tetapi juga mewakili Allah di hadapan umat. Ia membela hak Allah, juga secara khusus melindungi hak-hak orang miskin.
Dalam Im 1-7, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban kepada Allah. Dalam Bil 6:22-27, ia juga bertugas untuk memberkati umat atas nama Allah dan menyatakan ketahiran seseorang dari penyakit. Para imam adalah keturunan Lewi. Penahbisan imam dalam Perjanjian Lama ditandai dengan pengenaan pakaian, pengurapan minyak dan mempersembahkan kurban. Sesudah pembuangan, mereka lebih mengurusi hal-hal kultus.
Dalam Am 7:14-15, nabi berperan untuk mewartakan Sabda Allah kepada umat Allah dan raja. Menjadi nabi bukan pertama-tama suatu jabatan atau status dan keturunan, tetapi atas dasar panggilan kharismatis Allah. Pertama-tama, ia harus menjadi seorang pendengar Sabda Allah dan dengan setia menyampaikannya kepada umat. Ia harus menafsirkan tanda zaman berdasarkan firman Alah itu dan menyampaikan sikap kritis-profetis kepada umat Allah.
3.2          Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Kristus, satu-satu Pengantara antara Allah dan manusia (1 Tim 2:5) memiliki kekhasan dan kepenuhan imamat. Imamat Kristus mengungguli dan memenuhi imamat Perjanjian Lama. Ia melaksanakan imamat-Nya sebagai nabi dengan menyatakan Bapa dan sebagai Gembala dengan mengumpulkan umat Allah yang tercerai berai. Ia menobatkan kepenuhan imamat-Nya dalam misteri Paskah. Dia menyampaikan imamat-Nya kepada Gereja. Kristus menyampaikan imamat itu secara khusus kepada para Rasul yang Dia pilih untuk menjadi saksi-Nya yang autentik, yang akan menghadirkan misteri-Nya dan gembala bagi kawanan-Nya.[5] Ia juga menunjuk tujuh puluh murid yang diutus-Nya. Mereka yang diutus juga ikut ambil bagian dalam kuasa Yesus. Pemilihan dan pengutusan duabelas Rasul dan ketujuh pulu murid itu merupakan persiapan atas bentuk kepemimpinan dalam Gereja.[6]
Kepemimpinan dan pelayanan Gereja pada zaman para Rasul dan generasi sesudah para Rasul dilaksanakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Corak kepemimpinan Gereja dipengaruhi struktur dan model kepemimpinan masyarakat atau budaya setempat. Terjadi keanekaragaman model dan struktur kepemimpinan jemaat pada generasi-generasi pertama Gereja. Kehidupan jemaat perdana tidak ditandai dengan model pembedaan antara pemimpin dan umatnya, tetapi memiliki aneka macam tugas pelayanan yang mengikuti situasi sosial dan pastoral jemaat.[7]
Perjanjian Baru tidak pernah menyebut para pemimpin jemaat kristiani dengan sebutan hiereus (imam). Tugas pelayanan kepemimpinan jemaat kristiani tidak pernah dimengerti sebagai status kultis-imamat. Tetapi bagaimana jemaat perdana melantik seseorang ke dalam tugas pelayanan kepemimpinan? Dalam Kisah Rasul dan surat-surat pastoral, kita menemukan semacam ritus penumpangan tangan dan doa untuk orang yang dikhususkan bagi pelayanan jemaat, misal tujuh orang diangkat ke tugas pelayanan diakonat. mereka ditahbiskan dengan doa dan penumpangan tangan untuk melayani jemaat (Kis 6:6). Paulus berpesan kepada Timotius supaya jangan lali dalam mempergunakan karunia yang telah diberikan oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang jemaat (1 Tim. 4:14; 5: 22; 2 Tim 1:6). Teks mengenai doa dan penumpangan tangan ini tidak bisa langsung diyatakan sebagai unsur-unsur pokok sakramen tahbisan. Penugasan atau pengkhususan bagi tugas pelayanan kepemimpinan jemaat itu dikaitkan dengan doa dan penumpangan tangan. Dalam penumpangan tangan itu, ditandakan anugerah rahmat Allah sesuai dengan tugas pelayanan yang diemban. Tindakan penumpangan tangan itu sendiri mempunyai akar dalam Perjanjian Lama seperti Bil 8:10; 27:18-20: Ul 34:9.[8]

3.3          Dalam Praksis dan Ajaran Gereja
a.         Zaman Patrisktik
Pada abad pertama dan kedua, ada usaha penyeragaman dan institusionalisasi struktur kepemimpinan dalam Gereja. Surat Klemens (93-97) mengungkapkan ada usaha penyatuan peran pemimpin jemaat sebagai pemimpin liturgi (Ekaristi). Santo Ignatius dari Antiokhia (110) menunjukkan pembentukkan struktur kepemimpinan Gereja dalam tiga tugas pelayanan, yakni uskup, imam dan diakon. Pada pertengahan abad II, tingkatan kepemimpinan uskup, imam dan diakon diterima dan diakui dalam Gereja Barat dan Timur. Menghadapai bidaah dan ajaran sesat, Irenius dari lyon memandang perlunya adanya Successio Apostolicadalam kepemimpinan Gereja yang memiliki kesinambungan yang jelas dan tegas dari para Rasul.[9]
Klemens dari Alexandria (150-217) menunjukkan gambaran hirarki para uskup, penatua dan diakon sebagai tiga tingkatan yang berakar dalam tata surgawi. Tertulianus (160-220) memperkenalkan istilah ordinatio atau penahbisan yang menunjuk pengangkatan seseorang ke dalam status atau kedudukan. Cyprianus berbicara mengenai clericus (klerus) yang berarti orang yang berpartisipasi pada Allah dalam cara yang khusus atas dasar kedudukan atau statusnya. Gregorius dari Nyssa (335-394) memahami tahbisan imam sebagai saat di mana seseorang diubah ke status dan martabat baru dan diberi kemampuan sesuai dengan kehormatan jabatan imam itu. Theodorus dari Mopsuestia (350-428) memandang tahbisan imam hanyalah suatu pelimpahan tugas pelayanan dan bukan pengangkatan seseorang ke martabat yang lebih tinggi. Berhadapan dengan aliran donatisme, Agustinus (354-430) mengajarkan sifat meterai yang tak terhapuskan dari sakramen tahbisan.[10]
Hipolitus dari Roma dalam Traditio Apostolica menulis bahwa inti pokok perayaan penahbisan uskup, imam dan diakon adalah penumpangan tangan dan doa sesuai dengan tingkat tahbisannya. Gregorius Agung dalam suratnya kepada para uskup di Georgia menegaskan keabsahan atau validitas dari tahbisan yang diterimakan dalam kelompok bidaah.[11]

b.        Abad Pertengahan
Terjadi perkembangan dalam praksis kepemimpinan Gereja pada abad pertengahan. Pada masa ini, semua orang di wilayah kekaisaran Romawi menjadi Kristen. Pembedaan terjadi bukan antara orang Kristen dengan non-Kristen, melainkan antara pejabat atau pemimpin Gereja dengan awam. Semakin hari semakin tegas antara hirarki dengan awam. Hal itu nampak dalam ritus penahbisan pula. Uskup diurapi dengan minyak krisma pada kepalanya, ia dimasukkan ke jabatan kepemimpinan jemaat, kepadanya diberikan tongkat dan cincin sebagai lambang kedudukannya yang tinggi dan luhur. Imam diurapi dengan minyak pada tangan dan kepalanya diberikan alat-alat misa sebagai wewenang imam untuk memimpin Ekaristi.[12]
Pada abad pertengahan, tahbisan dan jabatan uskup tidak dipandang sebagai sakramen. Jabatan uskup memang tinggi dan mengatasi imam-imam, tetapi hanya dalam hal kuasa yuridiksi-administratifnya dan bukan dalam arti imamatnya atau tahbisannya. Tahbisan uskup tidak lebih tinggi dari tahbisan imam sebab dalam hal wewenang memimpim Ekaristi, baik uskup atau imam tidak memiliki perbedaan. Petrus Lombardus (1095-1160) memandang tahbisan uskup bukan sebagai tingkat sakramen tahbisan, walaupun diakui sebagai puncak dari imamat. Di sini nampak terjadi pergeseran pemahaman kepemimpinan bahwa bukan lagi masalah tugas mengajar dan menggembalakan umat yang menjadi ukuran, melainkan lebih menyangkut sifat kultis atau kuasa tahbisan yang lebih penting. Thomas Aquinas dan para teolog skolastik lainnya memandang bahwa penyerahan alat-alat misa seperti piala dan patena dipandang sebagai materia pokok dari sakramen tahbisan. Pandangan ini diterima dan dilanjutkan oleh konsili Florenz.[13]
Paus Bonifasius IX (1389-1404) dalam bula Sacrae Religionis pernah memperbolehkan seorang imam biasa untuk menjadi pelayan sakramen tahbisan. Namun tiga tahun kemudian, izin ini ditarik kembali. Konsili Florenz (1439) mengajarkan bahwa materia sakramen tahbisan adalah penyerahan alat-alat liturgi sesuai dengan tingkat tahbisannya, formanya adalah rumusan doa tahbisan, pelayanan biasa untuk menerimakan sakramen tahbisan adalah uskup dan rahmat sakramennya adalah karunia rahmat sesuai dengan tugas pelayanan jemaatnya. Konsili Trente (1563) menyebut sakramen tahbisan dengan istilah sakramen imamat (sacerdotium). Istilah imamat menekankan segi kultis-imam dari tugas pelayanan kepemimpinan Gereja.[14]

c.       Sesudah Konsili Trente hingga Abad XX
Dalam ajaran Konsili Trente, tampak adanya penyempitan pengertian-pengertian sakramen tahbisan. Akibatnya, teologi Katolik melanjutkan refleksi mengenai sakramen tahbisan dari sisi kultisnya saja. Imam dilihat sebagai orang yang memiliki kuasa untuk membuat konsekrasi dan melepaskan dosa, sedangkan segi tugas pewartaan iman kurang diperhatikan.[15] Dalam lingkungan katolik, Robertus Belarminus (1542-1621) berpendapat bahwa tahbisan uskup juga merupakan sakramen, meski pendapat ini tidak lazim dalam teologi skolastik.
Pada abad XX ada beberapa tokoh teologi yang memperbaharui teologi imamat atau tahbisan. Yves Congar (1904-1994) menekankan kepemimpinan Gereja sebagai tugas pelayanan kepada umat Allah. Imamat bertujuan untuk menghadirkan dan menyampaikan hidup ilahi. Karl Rahner (1904-1984) menempatkan sakramen tahbisan sebagai pengungkapan dan pelaksanaan Gereja. Melalui ensiklik Mediator Dei (1947), Paus Pius XII mengakui imamat umum umat beriman, tetapi ia lebih menekankan keunggulan imamat jabatan. Dalam ensiklik tersebut dinyatakan bahwa hanya para imam saja yang dapat mewakili pribadi Kristus dalam arti yang sebenarnya. Melalui surat apostoliknya, Paus Pius XII memperbaharui inti perayaan sakramen tahbisan bukan penyerahan alat-alat misa (piala dan patena), melainkan penumpangan tangan dan doa tahbisan.
Konsili Vatikan II membuat suatu pembaharuan paham teologi sakramen yang bersumber pada tradisi Kitab Suci dan tradisi para Bapa Gereja. Konsili mengembalikan seluruh imamat pada imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru. Lumen Gentium melihat hubungan antara imamat umum dengan imamat jabatan atau hirarkis. Meski tingkat dan hakikatnya berbeda, keduanya saling terarah dan masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.[16] Maka imamat jabatan tidak perlu dipandang lebih tinggi dari pada imamat umum. Konsili juga mengajarkan seluruh segi tugas kepemimpinan gereja. Lumen Gentium menjelaskan bahwa mereka yang ditandai dengan tahbisan suci diangkat atas nama Kristus untuk menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah.[17] Tugas pelayanan mereka yang tahbisan suci merupakan partisipasi dalam tiga tugas Yesus Kristus, yakni mengajar (sebagai nabi atau guru), menggembalakan (sebagai raja atau gembala) dan menguduskan (sebagai imam).[18]
Tahbisan uskup merupakan kepenuhan sakramen imamat.[19] Sementara itu tahbisan imam bukan merupakan puncak imamat tetapi imam ditahbisakan menurut citra Kristus Sang Imam Agung untuk menunaikan tiga tugas Kristus. Hanya saja mereka menjalankan imamatnya dalam ketergantungannya dengan para uskup.[20] Tahbisan diakon tidak hanya dipandang sebagai tahap untuk menerima tahbisan imamat, tapi juga untuk pelayanan. Diakonat permanen dihidupkan kembali, bahkan pria yang sudah berkeluarga mungkin saja untuk ditahbisan menjadi diakon permanen.[21]

4.      Karakter Sakramental
Dengan sakramen imamat menurut ketetapan ilahi, orang beriman yang diangkat menjadi pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh meterai tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk selaku pribadi Kristus Sang Kepala, menurut tingkatan masing-masing menggembalakan umat Allah dengan melaksanakan tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.[22]

5.      Materia dan Forma Sakramen Imamat
Materia dan forma dalam Sakramen Imamat berdasarkan pada Kan. 1009, §2. Sakramen Imamat diberikan dengan penumpangan tangan serta doa permohonan yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat.
Ringkasan Tatacara Tahbisan Imamat:[23]
1.      Sesudah injil, para calon dipanggil oleh seorang daikon;
2.      Mereka diajukan kepada (uskup pentahbis) oleh seorang imam yang ditugaskan untuk ini;
3.      Homili;
4.      Tanya jawab;
5.      Litani para kudus;
6.      Acara tahbisan. Para calon satupersatu menghampiri uskup pentahbis, dan uskup pentahbis menumpangkan tangan atas mereka tanpa mengatakan apa-apa. Para imam yang hadir berbuat seperti yang dilakukan oleh uskup, dan kemudian membentuk setengah lingkaran di kiri-kanan uskup, meskipun rubrik tidak menyebut-nyebut bahwa mereka harus terus mengulurkan tangan. Lalu menyusul doa tahbisan;
7.      Pengurapan tangan. Pertama, para imam, tanpa upacara atau rumus doa, mengatur stola para calon dan mengenakan kasula pada mereka. Kemudian uskup mengurapi telapak tangan masing-masing calon dengan minyak krisma. Sementara itu dinyanyikan Veni, Creator Spiritus (Datanglah Roh Mahakudus) atau Mzm 110 dengan antiphon ‘Kristus Tuhan, imam agung seturut tata imamat Melkisedek, mempersembahkan anggur dan roti;
8.      Penyerahan roti dan anggur, diringi lagu Mzm 100 atau Iam non dicam atau lagu lain yang senada;
9.      Salam damai mengakhiri tatacara tahbisan dan para imam baru berkonselebrasi dengan mereka;
Ringkasan tatacara tahbisan imam yang telah disebutkan memperlihatkan bahwa perayaan itu sederhana dan tepat sasaran (to the point). Ada penumpanan tangan, doa tahbisan, dan pengurapan telapak tangan calon. Penyerahan perlengkapan (Insignia) yang selama berabad-abad menyita banyak tempat dan waktu dalam tatacara tahbisan yang lama, telah diubah, dan tekanan utama yang dulu diberikan pada imam sebagai pelayan ibadat telah hilang. Namun, atas dasar doa tahbisanlah seluruh perayaan harus dinilai mutunya.[24] Seperti dalam liturgi tahbisan uskup, di sini pun doa tahbisan didahului oleh homili khusus yang pantas mendapat perhatian.
Harus ditekankan bahwa homili tidak lebih dari suatu contoh, dan uskup pentahbis diharap mau menyesuaikannya dengan situasi saat dan tempat, dan berbicara lebih langsung kepada umat.Seluruh umat Allah telah memiliki murid-murid untuk melaksanakan tugas imamat bagi umat.Seperti Bapa mengutus Putera, demikian mereka diutus ke dunia untuk melanjutkan karya Kristus.Mereka itulah uskup-uskup yang ambil bagian dalam tugas-tugas Kristus sebagai pengajar, imam, dan gembala. Para imam adalah rekan kerja uskup, bersama uskup mereka ambil bagian dalam fungsi-fungsi yang sama itu demi pelayanan umat. Mereka adalah pelaksana imamat Kristus (Inserviant), dan lewat pelayanan mereka Gereja, yakni umat Allah, dibangun dan berkembang.

Doa Tahbisan ImamsebagaiForma Sakramen Tahbisan[25]
Doa ini merupakan teks kunci dari seluruh perayaan. Teks Hippolytus adalah doa untuk tahbisan imam. Tetapi doa itu agak singkat, dan sekilas sama sekali tidak eksiplisit berbicara tentang hakikat dan peranan imamat. Doa Hippolytus ini memohon agar Allah berkenan memandang hamba-Nya dan memberi dia Roh, rahmat serta nasihat yang memang perlu untuk pelayanan para klerus, seperti Allah dulu memandang umat pilihan-Nya dan memerintahkan Musa mengangkat para penatua, yang dipenuhi dengan Roh yang telah Ia berikan kepada Musa. Roh itu diharapkan dapat membantu dan memimpin umat Allah dengan hati yang murni. Doa ini diakhiri dengan permohonan “... agar kami (para uskup dan imam), berkat karunia Allah, tidak pernah kehilangan Roh Kudus dan boleh melayani Dia, sambil memuji Dia lewat Putera-Nya Yesus Kristus; lewat Dia Gereja melambungkan pujian dan sembah kepada Allah dalam Roh Kudus kini dan sepanjang masa. Itulah seluruh isi doa.
            Doa tahbisan ini, dengan penumpangan tangan oleh uskup dan para imam, merupakan puncak perayaan. Dalam tatacara lama kepuncakan doa ini tertutup oleh pengurapan yang dilaksanakan dengan amat meriah dengan iringan lagu Veni, Creator Spiritus (Datanglah Roh Mahakudus). Pada tatacara yang baru pengurapan ini jelas berfungsi sebagai penjelas (ritus explicative); mengungkapkan makna doa tahbisan dan penumpangan tangan, yang merupakan tanda utama pemberian Roh yang dilaksanakan sebelum pengurapan ini. Kata-kata yang digunakan untuk pengurapan menunjukkan bahwa upacara itu merupakan kelanjutan dari gagasan yang ada dalam doa tahbisan: “Semoga Tuhan kita Yesus Kristus yang diurapi Bapa dengan kekuatan dan dengan Roh Kudus menjaga engkau, sehingga engkau dapat menguduskan umat Kristen dan mempersembahkan kurban kepada Allah”.

6.      Pelayan Sakramen Tahbisan (Imamat)
Pelayan tahbisan suci adalah seorang Uskup yang telah dikonsekrasi; dalam kodek Gereja Timur hal ini diatur dalam Kan. 743-744.Kan. 1012 menegaskan bahwa hal itu menjadi kebiasaan bagi Gereja universal.Maksud dari Kan. 1012, 1013, dan 1014, yakni Uskup konsekrasi searti dengan Uskup Ordinasi.Pentahbisan Uskup sendiri harus Uskup yang ditahbiskan secara sah.
Tradisi belum pernah mempertahankan bahwa lebih dari satu Uskup yang ditahbiskan adalah mutlak penting untuk Uskup pentahbis.Bagaimanapun kebisaan sebelumnya pada Konsili Nicea 325, diteruskan pada masa sekarang menegaskan bahwa sekurang-kurangnya tiga Uskup menahbiskan seorang Uskup (satu konsekrator utama dam 2 wakil konsekrator).Secara simbolis, kesatuan para Uskup nyata, tiga Uskup berpartisipasi dalam sebuah tahbisan yang mewajibkannya hanya satu dari antara mereka untuk keabsahan tahbisan.[26]

6.1          Kan. 1015
            Seorang kandidat untuk diakon dan imam harus ditahbiskan oleh Uskupnya atau Uskup lain yang memiliki suratdimisoria yang legitim (1015 § 1). Uskup diosesan harus menahbiskan diakon dan imam-imam yang melayani Gereja Partikular. Seorang Uskup auksilier pada diosis yang sama dapat melakukan itu sekurang-kurangnya yang dapat dipercaya. Untuk klerus religius, Uskup diosesan dalam pentahbisan masih diistimewakan, kehadiran Uskup memungkinkan Uskup untuk menyatakan terima kasih pada institut itu karena bantuan pastoralnya dan memberikan surat izin kepada institut itu untuk menunjukkan di depan umum tentang janji pastoralnya pada Gereja particular dan Uskupnya. Pada sisi lain institut religius boleh meminta salah satu dari anggotanya sendiri untuk pentahbisan imam dan harus memiliki jabatan Uskup.[27]
            Dalam kasus klerus diosesan, surat dimisorial dikeluarkan oleh seorang Uskup diosesan (Kan. 1016 dan 1018), yang menghadirkan kandidat tersebut untuk pentahbisan dan tentu saja memberikan izin agar diterima oleh Uskup lain yang berwenang. Dengan cara ini bukan untuk mengacaukan inkardinasi diosis itu dan ada jaminan bahwa tahbisan itu licit atau sah.  Pada klerus relgius, surat dimisoria dikeluarkan oleh mayor superior (Kan. 1019). Ia menghadirkan kandidat itu untuk memerintahkan dan meminta tahbisan untuknya oleh seorang Uskup yang berwenang. Tahbisan menjadi tidak sah apabila tidak dilakukan oleh seorang Uskup diosis.[28]


6.2          Kan. 1015 § 2
            Seorang Uskup dari ritus Latin harus menahbiskan orang-orang bawahannya sendiri.Orang-orang bawahan dari ritus Timur ditahbiskan oleh ordinaris mereka sendiri.Ketentuan ini tentu saja untuk kandidat diakon dan imam.Uskup dari ritus Latin memiliki kewajiban untuk memperhatikan ritus Timur yang ada dalam diosisnya (Kan. 383 § 2).Kewajibannya untuk memperhatikan ritus Timur tidak mencakup kebenaran untuk menahbiskan para imam yang melayani mereka.[29]

7.      Calon-Calon Penerima Sakramen Tahbisan
            Kan. 1024 sudah jelas bahwa hanya seorang laki-laki yang telah dibaptis dapat menerima tahbisan imam secara sah.Ini merupakan pengajaran asli dalam Gereja Katolik.Kan. 754 dalam Gereja Timur merupakan pengecualian dari Gereja Latin. Kan. 842, § 1 pokok yang mendasari Kan. 1024, yakni baptisan merupakan prasyarat untuk izin yang sah guna menerima sakramen-sakramen yang lain.Disamping itu hanya orang yang berjenis kelamin laki-laki yang dapat ditahbiskan secara sah.Laki-laki yang dibaptis harus ditahbiskan oleh seorang Uskup yang telah dikonsekrasi (Kan. 1012) menurut doa-doa tahbisan yang ditetapkan oleh Gereja (Kan. 1009 § 2).[30]
            Orang laki-laki yang sudah dibaptis dan bebas halangan Ad Licitatem. Selesai studi Filsafat dan Teologi yang dituntut memiliki iman yang tangguh, utuh, motivasi yang jujur, nama dan hidup baik, aneka keutamaan yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya. Urutan tingkatan tahbisan diakonat, imamat, dan episkopal/Uskup.Sebelum tahbisan diakonat, si calon harus sudah dilantik lektor-akolit.[31]

8.      Syarat-syarat untuk menerima sakramen Tahbisan[32]
Kan. 1033, menyatakan bahwa penerimaan sakramen krisma menjadi hal yang umum untuk diterimanya seseorang menjadi seorang calon imam, entah itu diosesan maupun religius. Jika ia seorang calon imam religius maka sebelum ia memasuki masa novisiat ia harus menunjukkan surat penguatan atau krisma (lihat Kan. 645 1). Jika ia seorang calon imam diosesan maka sebelum diterima masuk di seminari, ia berkewajiban untuk menunjukkan surat penguatan yang telah diterimanya (Kan. 241, §2).
Jika seseorang sejak lahir telah menjadi Katolik, maka sakramen penguatan pada umumnya diterima pada usia yang dianggap telah mampu menggunakan akal budinya, kecuali konfrensi para uskup telah menentukan usia lain atau jika ada bahaya maut, atau jika menurut penilaian pelayan sakramen, ada alasan berat yang menganjurkan lain.
Kan. 1034, menegaskan bahwa para calon diakon atau pun imam, sebelum menerima sakramen tahbisan kiranya membuat surat permohonan untuk ditahbiskan dengan tertulis dan ditandatangani sendiri. Surat itu kiranya disampaikan kepada otoritas tertinggi dimana ia akan mengingkardinasikan diri. Hal ini hanya berlaku bagi para calon diakon dan imam diosesan (1016).Sedangkan bagi para calon diakon dan imam religius tidak diwajibkan (Kan. 1019).
Kan, 1035, menetapkan bahwa setiap para calon, entah itu calon diakon sementara maupun calon diakon tetap diwajibkan untuk menerimakan pelantikan lektor akolit sebelum memasuki jenjang tahbisan. Para calon sekurang-kurangnya telah menerima pelantikan selama 6 bulan, meski kitab hukum kanonik tidak memberikan penjelasan secara rinci apa peran dan fungsi dari pelantikan lektor akolit dalam kaitannya dengan tahbisan. Bagaimana pun juga Kitab hukum kanonik hanya memberi penjelasan bahwa pelantikan lektor akolit menjadi syarat bagi para calon untuk kedepannya dalam pelayanannya di altar.
Kan. 1036, menegaskan bahwa para calon diakon maupun imam entah itu diosesan maupun religius diharuskan untuk memberikan surat pernyataan diri secara suka rela atau bebas untuk ditahbiskan. Surat tersebut diserahkan kepada uskup oleh para calon diakon maupun imam diosesan, sedangkan oleh para religius menyerahkannya kepada pemimpin tertinggi terekat.  Mereka kiranya membuat surat pernyataan itu secara sadar mau dan tahu dan surat itu dibubuhi dengan tanda tangan.
Kan. 1037, menegaskan bahwa calon untuk diakon permanen maupun diakon sementara  terikat kewajiban untuk hidup selibat. Ketentuan ini secara defenitif dikenakan bagi para calon diakon baik diosesan maupun religius yang masuk pada Gereja Latin.Jika para calon melanggar ketentuan yang telah ditetapkan maka yang akan berlaku ialah sesuai dengan Kan. 701 dan Kan. 291. Kan. 701 menetapkan bahwa seseorang yang telah menerima sakramen tahbisan dan ia tidak lagi hidup selibat maka ia akan dikenai sangsi untuk tidak dapat melakukan kuasa tahbisan.
Kan. 1038, para diakon yang hendak menerimakan sakramen imamat tidaklah dapat dihalangi dalampenerimaannya akan sakramen imamat jikalau dalam ketentuan yang telah ditetapkan tidak menghalanginya untuk menerima sakramen imamat. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kann.1025 dan 1052.Kann.1025 dan 1052 menegaskan bahwa seseorang yang layak untuk ditahbiskan ialah ia yang secara hukum dan dipandang memiliki kualitas-kualitas hidup yang sesuai. 
Kan. 1039, menegaskan bahwa setiap calon yang hendak menerimakan sakramen tahbisan diwajibkan untuk mengadakan retret sekurang-kurangnya 5 hari.Mereka terikat kewajiban untuk melaksanakan retret dibawah ketentuan yang telah dikeluarkan oleh ordinaris (uskup), sebelum ditahbiskan. Ketentuan ini juga mempertegas akan hak dari uskup untuk menerima hasil dari retret tersebut sebelum beliau mentahbiskan calon tertahbis. Berkenaan dengan masa retret tersebut kitab hukum kanonik mempertegasnya dalam kan.201-203.

9.      Pencatatan dan Surat Keterangan Mengenai Penahbisan yang Telah Dilaksanakan[33]
Berkaitan dengan hal-hal dalam pendaftaran mereka yang tertahbis dapat dilihat dalam kodeks 1983, kan. 1053-1054. Kedua kanon tersebut berbicara mengenai prosedur pemberian catatan (pendaftaran) dan surat (sertifikat) setelah penahbisan diakon atau imamat. Dalam Kan. 1053, mereka yang telah ditahbiskan harus dicatat dalam daftar orang-orang tertahbis.Semantara itu, Kan. 1054 berbicara tentang pemberitahuan kepada paroki di mana mereka yang tertahbis dibaptiskan (bdk. Kan. 1010).
Kan.  1053, § 1 menegaskan bahwa setelah kandidat menerima penahbisan, peristiwa ini akan dicatat dalam sebuah buku khusus dari gereja tempat diberikan sakramen itu. Hal-hal yang perlu dicatat atau didaftar ialah nama dari tiap orang yang ditahbiskan, pelayan yang menahbiskan, serta tempat dan tanggal dilakukan penahbisan itu. Semua dokumen yang tercantum dalam Kan. 1050 dan Kan. 1051 dari tiap-tiap tahbisan dipelihara.
Dalam Kan. 1053, § 2 menyatakan bahwa pelayan penahbis yang otentik mengesahkan penahbisan itu dan memberikan surat keterangan tentang penahbisan kepada setiap kandidat yang telah menerima tahbisan. Dokumen-dokumen ini memiliki sifat benar dan tepat. Di damping itu, dalam kasus pelayan yang menahbiskan dari dan di luar wilayah,surat keterangan penahbisan disebut dimisorial. Dokumen ini akan dijaga dengan tekun, seperti yang kita disarankan dalam kanon ini, dan bagi anggota serikat hidup kerasulan dijaga dan dipelihara oleh pemimpinnya.
Akhirnya, Kan. 1054 menetapkan bahwa Ordinaris wilayah atau pemimpin tinggi dari SHK (bdk. Kan. 1011) memberitahukan kepada pastor paroki dari tempat di mana mereka yang telah ditahbis itu dibaptis, untuk dicatat atau didaftar dalam buku baptisan. Dengan demikian orang kepada siapa pemberitahuan penerimaan tatanan sakral ditentukan.

Kepustakaan :
Beal,John P.New Commentary on The Code of Law. New York: Paulist Press, 2000.

Bifet, J. Esquerda.Imam Tanda Kristus. [tanpa tempat]: KKI, [tanpa tahun].

Coriden, James A. et al.The Code of Canon Law A Text and Comentary. New York: Paulist Press, 1985.

Crichton,J. D. Perayaan Sakramen Tahbisan dan Pelantikan (Judul asli: Christian Celebration: The Sacraments), diterjemahkan oleh Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Dister,Nico Syukur.Teologi Sistematika2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Griffin,James A. Ihktisar Katekismus Gereja Katolik. Jakarta: Obor, 2008.

Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana.Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Martasudjita,E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Marzoa, Angel et al.Exegetical Commentary on the Code of Canon Law (Montreal - Chicago: Wilson & Lafleur, 2004.

Neuner,J. – J. Dupuis.The Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church. India: Theological Publications, 1981.




[1] James A. Griffin, Ihktisar Katekismus Gereja Katolik (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 37.

[2] James A. Griffin, Ihktisar..., hlm. 38.

[3]J. Esquerda Bifet, Imam Tanda Kristus ([tanpa tempat]: KKI, [tanpa tahun]), hlm. 14.

[4] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 370.
[5]J. Neuner – J. Dupuis, The Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church (India: Theological Publications, 1981), hlm. 489.

[6] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 372.

[7] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 373.
[8] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 375.

[9] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 376.

[10] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 377.
[11] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 378.

[12] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 379.

[13] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 380.
[14] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 381.

[15] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 382.

[16]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 10.Selanjutnya disingkat LG, no.
[17]LG, no. 11.

[18]LG, no.21; 28.

[19]LG, no. 21.

[20]LG, no. 28.

[21]LG, no. 29.

[22] Kan. 1008.

                [23] J. D. Crichton, Perayaan Sakramen Tahbisan dan Pelantikan (Judul asli: Christian Celebration: The Sacraments), diterjemahkan oleh Komisi Liturgi KWI (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 25.
[24] J. D. Crichton, Perayaan Sakramen Tahbisan …, hlm. 26.
[25] J. D. Crichton, Perayaan Sakramen Tahbisan …, hlm. 29-31.
[26] John P. Beal, New Commentary on The Code of Law (New York: Paulist Press, 2000), hlm. 1196; bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm 412-413.

[27] John P. Beal, New …, hlm. 1197.

[28] John P. Beal, New …, hlm. 1197.
[29] John P. Beal, New …, hlm. 1197.

[30] John P. Beal, New …, hlm. 1202.

[31] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen..., hlm. 176; bdk. Nico Syukur, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 412-413; bdk.juga John P. Beal, New …, hlm. 1203.

[32]Pokok bahasan ini disarikan dari  James A. Coriden et al.,The Code of Canon Law A Text and Comentary(New York: Paulist Press, 1985), hlm. 1210-1214.
[33]Pokok bahasan ini disarikan dariAngel Marzoa et al., Exegetical Commentary on the Code of Canon Law (Montreal-Chicago: Wilson & Lafleur, 2004), hlm. 1027-1029.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar