TEROPONG FILOSOFIS ATAS PANDANGAN
GEREJA KATOLIK
TERHADAP ATEISME
Abstraksi
Makna paling luhur martabat manusia
terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak
asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia
hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan
lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup
menurut kebenaran, bila tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta
menyerahkan diri kepada Penciptanya. Akan tetapi, banyak di antara orang-orang
zaman sekarang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan
Allah itu atau tegas-tandas menolaknya, sehingga sekarang ateisme memang
termasuk kenyataan yang paling gawat, dan perlu diselidiki dengan cermat. (Gaudium et Spes 19 § 1)
1.
Pemahaman tentang Ateisme
Ateisme merupakan suatu fakta dalam sejarah filsafat dan kebudayaan
dewasa ini yang tidak boleh diabaikan. Menurut Gaudium et Spes, “ateisme termasuk keyakinan yang sungguh-sungguh
harus diselidiki dengan seksama”.[1]
Disamping itu, ateisme bertentangan dengan agama, karena ada perbedaan visi
yang bertolak belakang mengenai eksistensi Allah.
Pengertian Ateisme
Secara
etimologis, istilah “ateisme” berasal dari bahasa Yunani a-theos, yang berarti tanpa
Allah.[2]
Kata ateisme berarti suatu aliran yang menyangkal adanya Allah. dengan kata
lain, ateisme adalah keyakinan hidup orang-orang yang menolak adanya Allah.[3]
Dalam sejarah, istilah ateisme dipakai juga untuk menyatakan keyakinan hidup
orang-orang yang menyimpang dari pandangan keagamaan tradisional.[4]
Pada abad pertama dan kedua, dalam kekaisaran Romawi, orang Kristen sering
dituduh sebagai golongan atheis, karena mereka menolak menyembah dewa-dewi yang
disembah oleh kaisar dan seluruh rakyatnya.[5]
Bentuk-bentuk ateisme
Secara
umum ateisme dibedakan menjadi dua yakni ateisme teoretis dan ateisme praktis.[6]
Ateisme
Teoretis
Ateisme teoretis adalah suatu
pandangan hidup yang menyangkal adanya Allah secara terang-terangan dan
mengajukan argumen-argumen serta alasan-alasan rasional untuk
mempertanggungjawabkan keyakinannya. Ateisme teoretis sering kali bersifat
militan, artinya orang melihat Allah itu sebagai musuh utama yang harus
dihancurkan.[7]
Pada umumnya ateisme teoretis merupakan keyakinan hidup kaum intelektual, yang
ingin mencari kebenaran sejati. Gagasan-gagasan
mereka sering kali menimbulkan persoalan-persoalan mendasar bagi
kehidupan manusia.
Kemudian
ateisme teoretis dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: ateisme humanistik,
ateisme sosial politik, dan ateisme ilmiah.
- Ateisme Humanistik
Ateisme humanistik adalah suatu
keyakinan hidup orang-orang yang beranggapan bahwa
Kepercayaan kepada Tuhan menindas manusia. Mereka
melihat agama itu mempersulit hidup manusia dengan cara memberikan
harapan-harapan yang palsu.[8]
Selain itu, agama membuat manusia melarikan diri dari tanggung jawab dengan
menerima Tuhan dalam dirinya.
- Ateisme Sosial Politik
Ateisme politik beranggapan bahwa
kepercayaan akan Tuhan merupakan akibat ketidakberesan dalam suatu masyarakat.
Manusia mengalami konflik ingin mencari keamanan dan ketenangan dengan masuk
agama. Para penganut ateisme ini yakin bahwa percaya kepada Tuhan adalah
penyakit dalam masyarakat. Karl Marx(1818-1883) mengatakan bahwa agama adalah
“candu masyarakat”, karena agama menjadi alat politis untuk menenangkan masyarakat.[9]
Karl Marx menekankan bahwa “agama
hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi tak
berperikemanusiaan, uang menyebabkan manusia terasing secara sosial.[10]
Manusia yang menjadi buruh tidak menikmati hasil kerjanya sendiri. Agama
cenderung memihak kaum bermodal. Mereka berkuasa atas buruh dan mengatur gaji
sesuka hatinya, tanpa memperhatikan hak dan kewajiban mereka secara adil.
- Ateisme Ilmiah
Ateisme ilmiah berpendapat bahwa
kepercayaan akan Tuhan tidak bisa didamaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.[11]
Mengapa? Karena agama tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan
kritis dari ilmu pengetahuan. Para penganut alam pikiran ini mengatakan bahwa
agama adalah sikap hidup yang naif. Hal ini terbukti agama tidak mampu bersaing
dengan ilmu pengetahuan. Bahkan para penganut aliran ini optimis bahwa ilmu
pengetahuan modern merupakan kunci untuk membuka pintu segala kebenaran.
Artinya, semua kebenaran terjangkau oleh ilmu pengetahuan; maka tidak ada lagi
tempat bagi agama.[12]
Ateisme
Praktis
Manusia dapat mengingkari adanya
Allah melalui praktek hidupnya. Mereka mengaku menganut salah satu agama,
tetapi tidak hidup menurut ajaran agama tersebut. Hal ini menyebabkan lahirnya
ateisme praktis. Ateisme praktis adalah sikap hidup yang tidak menghiraukan
hal-hal religius. Sikap hidup demikian semakin tampak manakala orang menjalani
hidupnya, seolah-olah Allah tidak ada.[13]
Dengan kata lain orang tidak peduli tentang adanya Allah, karena orang
mengambil sikap acuh tak acuh terhadap-Nya. Bagi mereka ada tidaknya Allah
bukan persoalan.
2. Teropong Filosofis atas Pandangan Gereja
Katolik terhadap Ateisme
Dasar penolakan kaum ateisme atas ide Allah ialah karena ide akan Allah
bertentangan dengan realitas hidup manusia. Kenyataan hidup manusia pada
umumnya mengalami penderitaan akibat kejahatan yang merajalela di dunia. Hal
itu tidak bisa disesuaikan dengan pengakuan orang beragama atas adanya Allah
dengan memperjuangkan otonominya. Manusia berusaha hidup dan berembang secara
sekular agar lebih manusiawi. Hal ini membuat orang modern sulit menemukan
gambaran Allah yang benar. Bahkan mereka sendiri mempertanyakan secara kritis
kebenaran ajaran agamanya.
Gereja Mengecam
Ajaran dan Tindakan Kaum Atheis
Pada dasarnya Gereja mencintai
semua manusia, karena manusia adalah citra Allah. demikian juga halnya terhadap
kaum atheis, Gereja menaruh perhatian besar kepadanya. Namun Gereja tidak bisa
menerima ajaran mereka, karena ajarannya dapat menghancurkan iman umat. Oleh
karena itu, dalam kesetiaannya dengan Allah dan manusia, Gereja tiada
henti-hentinya mengecam semua ajaran dan tindakan kaum atheis.[14]
Gereja sangat menentang dan
mengecam ateisme yang mendambakan pembebasan manusia di bidang ekonomi dan
sosial. Politik ekonomi selalu menciptakan jurang antara kaya dan miskin.
Akibatnya banyak manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami
kesengsaraan seumur hidup. Gereja menghukum ideologi-ideologi yang menyangkal
Allah dan menindas Gereja dengan sistem-sistem yang sering dipersamakan dengan
rezim-rezim ekonomi, sosial politik, dan komunisme yang ateistis.
Gereja Menolak
dengan Tegas Ateisme
Perdebatan dalam Konsili Vatikan
II mengenai ateisme cukup hangat. Konsili menggunakan kata “menolak”, dengan
alasan karena kata tersebut tidak berkaitan dengan hukuman bagi diri kaum
atheis. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja cukup hati-hati menangani masalah
ateisme ini. Gereja sangat tegas menolak segala rumusan ajaran kaum atheis,
yang bertentangan dengan ajaran dan iman kepercayaan. Namun Gereja tidak
menolak manusianya, karena manusia atheis juga diciptakan Allah menurut
citra-Nya.[15]
Setelah Gereja menyelidiki segala
ajaran dan tindakan kaum atheis dengan saksama, maka jelas bahwa ateisme harus
ditolak. Gereja tiada henti-hentinya menyalahkan ajaran kaum atheis, karena
ateisme bertentangan dengan akal budi dan pengalaman umum manusia serta
menurunkan manusia dari keluhuran yang dimilikinya.
Gereja sadar bahwa ajaran kaum
atheis menjauhkan manusia dari Allah dan mengukuhkan kedudukannya sebagai pusat
dan tujuan segala-galanya. Manusia mengagungkan kekuatan akal budi dan memuja
hasil karyanya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan panggilan manusia
sebagai putra Allah dan hidup dalam cinta kasih yang penuh kebahagiaan.[16]
Dalam persatuan dengan Allah, manusia menemukan damai dan keadilan.
Walau Gereja menolak ateisme,
namun Gereja mengakui bahwa ateisme memungkinkan Gereja untuk memurnikan diri
dari idolatria dan menemukan gambaran Allah yang benar. Ateisme telah
menyadarkan Gereja akan kemampuan manusia mengurus dirinya sendiri. Gereja percaya
bahwa gambar Allah yang benar ada dalam Yesus Kristus, walaupun Yesus Kristus
sendiri tetap tersembunyi bagi manusia.
Ateisme
Bertentangan dengan Akal Budi
Pada dasarnya ide Allah bukan
ciptaan akal budi manusia, tetapi atas inisiatif dari Allah sendiri. Hal ini
dipertegas oleh Descartes yang mengatakan bahwa, “Ide Allah yang berada dalam
akal budi manusia, berasal dari Allah sendiri”. Di samping itu, kenyataan
memperlihatkan bahwa akal budi manusia tidak mampu berbuat apa-apa bila
berhadapan dengan misteri Allah. Sebaliknya, dengan rahmat Allah, manusia
semakin sempurna dan mampu menggunakan akal budinya untuk mengungkapkan kasih
serta kemuliaan Allah. Selain itu, kita harus mengakui bahwa prestasi terbesar
akal budi ialah pengakuan akan keterbatasannya.[17]
Kaum atheis mengingkari adanya
Allah, maka konsekuensinya akal budi manusia tidak dapat mencapai atau
menemukan sesuatu yang tidak ada. Oleh karena itu, ateisme sungguh-sungguh
bertentangan dengan akal budi manusia. Padahal manusia melalui akal budinya,
mampu sampai dan mengenal Allah dengan baik.[18]
Kaum atheis lebih memprioritaskan kemampuan akal budi dalam mengungkapkan yang
bereksistensi. Dengan kata lain, pikiran itu adalah pembenaran terakhir dari
yang nyata. Eksistensialisme atheis mengatakan bahwa yang bereksistensi tidak
dapat ditangkap oleh intelegensi. Artinya, ada eksistensi lain yang harus
diakui oleh eksistensialisme yang tidak dapat dijangkau oleh intelegensi.[19]
Ateisme
Bertentangan dengan Keluhuran Manusia
Manusia tidak sepenuhnya hidup
menurut kebenaran, bila itu tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih dan
menyerahkan diri kepada Penciptanya. Kalangan atheis termasuk orang-orang yang
tidak menyerahkan diri kepada Allah, bahkan dengan kesombongannya, mereka
menonjolkan kehebatannya dirinya.[20]
Kaum humanisme Marxis tidak
menghormati semua dimensi martabat manusia. Pengalaman manusia, adanya manusia,
direduksi pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomi.[21]
Oleh karena itu, ia yakin bahwa manusia akan hidup layak sebagai manusia
manakala kebutuhan ekonominya terpenuhi. Menurut Nietzche, “Pengalaman adanya
Allah membunuh manusia dan supaya manusia hidup maka Allah harus mati.
Kenyataannya Allah telah mati.[22]
Pendapat Nietzche ini jelas meruntuhkan keluhuran martabat manusia sebagai
ciptaan Allah. padahal manusia menemukan kesempurnaan martabatnya dalam
persatuannya dengan Allah.
3. Penutup
Landasan martabat manusia yang paling luhur terletak pada kesatuannya
dengan Allah. Manusia ada karena cinta Allah. Maka, manusia diundang untuk
selalu berdialog dengan Allah. Namun banyak orang ternyata masih tidak
menanggapi atau bahkan menolak secara eksplisit untuk bersatu dengan Allah.
Orang-orang demikianlah yang disebut sebagai penganut ateisme (GS 19). Gereja
sungguh pun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan bahwa
semua orang beriman maupun tidak harus menyumbangkan jasa untuk membangun
dengan baik dunia ini, yang merupakan tempat kediaman bersama (GS 21). Karena
membela kebebasan beragama, Gereja juga harus membela mereka yang memilih tidak
menganut agama. Iman bersifat bebas maka mungkin ada orang yang tidak sampai
beriman. Gereja mau berusaha mengesampingkan segala sesuatu yang merupakan
halangan untuk bertemu dengan Tuhan. Tetapi iman sendiri adalah rahmat Allah
yang tidak dapat dipaksakan.
Kepustakaan
Brevoort, A. Sejarah
Gereja Awal. Sinaksak: STFT St. Yohanes. 1996. (diktat).
Dister, Nico
Syukur. Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta:
Kanisius. 1985.
Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II, “Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan
oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor. 1993.
Heuken, A. Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila,
jilid I. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 1983.
Huijbers, Theo. Allah:
Ulasan-ulasan Mengenai Allah dan Agama, jilid 2. Yogyakarta: Kanisius,
1977.
Leahy, Louis. Aliran-aliran
Besar Ateisme. Yogyakarta: Kanisius. 1985.
Leahy, Louis, Manusia
di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah. Yogyakarta: Kanisius. 1986
Snijders, Adelbertus. Filsafat Ketuhanan. Sinaksak:
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi. 1993. (diktat).
[1] Gaudium et Spes Konsili Vatikan II,
“Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan
oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993),
no. 19.
[2] A. Heuken, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka, 1983), hlm. 106.
[3] Louis
Leahy, Manusia di Hadapan Allah 3:
Kosmos, Manusia dan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 117.
[4] Louis
Leahy, Manusia..., hlm. 117.
[5] A.
Brevoort, Sejarah Gereja Awal (Sinaksak:
STFT St. Yohanes, 1996), hlm 72. (diktat)
[6]Theo
Huijbers, Allah Ulasan-ulasan Mengenai
Allah dan Agama, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 134-135.
[7]
Theo Huijbers, Allah …, hlm. 135.
[8]
Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 95.
[9]
Louis Leahy, Aliran …, hlm. 98.
[10]
Louis Leahy, Aliran …, hlm. 94.
[11]
Louis Leahy, Aliran …, hlm. 122.
[12]
Theo Huijbers, Allah …, hlm. 150-151.
[13]
Theo Huijbers, Allah …, hlm. 136.
[14]
GS 21.
[15]
GS 20.
[16]
GS 33.
[17]
Nico Syukur Dister, Filsafat Agama
Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.137.
[18]
GS 21.
[19] Louis
Leahy, Aliran …, hlm. 62.
[20] GS 21
[21] Louis
Leahy, Aliran …, hlm. 110.
[22] Theo
Huijbers, Allah..., hlm 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar