Minggu, 06 April 2014

Homilitika



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Homili merupakan bentuk pewartaan Sabda Allah dalam liturgi. Sabda Allah sendiri diyakini sebagai kekuatan yang memberi daya kepada setiap orang beriman untuk menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi (bdk. Mat 28:16-20). Maka sudah sepantasnya homili di dalam liturgi harus diperhatikan dengan serius. Dalam pengertian ini, homili berarti meng-“hic et nunc”-kan karya keselamatan Allah, agar semua orang yang mendengarnya memperoleh keselamatan.[1]
 Sumber utama homili adalah Kitab Suci atau Injil.[2] Pesan-pesan yang disampaikan para homilis harus sesuai dengan bacaan-bacaan yang bersangkutan. Pokok pembicaraan yang terkandung dalam pesan-pesan tersebut adalah warta gembira dari Kristus sendiri. Oleh karena itu, homili yang baik pada dasarnya adalah homili yang bernuansa atau mengandung pesan kegembiraan, yang bisa membangkitkan semangat umat untuk berbuat sesuatu dan untuk memberi kehangatan terhadap setiap orang yang mendengarkannya. Maka setiap orang yang bertugas untuk memberikan homili seharusnya memikirkan terlebih dahulu dasar-dasar homili, persiapan-persiapan, dan metode berhomili yang baik.[3]
Dewasa ini, diberbagai tempat di gereja kita sering dijumpai berbagai bentuk keluhan dari umat mengenai cara penyampaian homili yang dibawakan oleh beberapa homilis (imam). Banyak dari umat kita yang mengalami rasa bosan ketika mendengarkan homili yang dibawakan oleh homilis yang bersangkutan. Umumnya mereka menilai bahwa beberapa imam kurang mempersiapkan diri dalam membawakan homili.
Kategori bahwa homili seorang imam dinilai baik atau kurang baik oleh umat memang bersifat subyektif. Banyak umat yang suka dengan homili yang penuh dengan humor, namun juga tidak sedikit umat yang senang apabila homili seorang imam dibawakan dengan singkat, padat, dan tidak perlu humor yang berlebihan. Dalam hal seperti ini kiranya homili tidak terlalu bermasalah. Hal obyektif yang perlu dicermati dan digali adalah homili yang kurang menyentuh kehidupan umat. Persoalan ini akan kami kaji lebih dalam dalam pembahasan ini.

2.      Rumusan Masalah
Hal-hal pokok yang mendorong penulis mengamati dan meneliti permasalahan ini, dapat dirangkum dalam beberapa pertanyaan. Pokok-pokok permasalahan tersebut antara lain:
2.1    Siapakah homilis itu?
2.2    Siapakan pendengar homili?
2.3    Bagaimanakah homili yang kurang menyentuh kehidupan umat?
2.4    Mengapa homili kurang menyentuh kehidupan umat?
2.5    Bagaimanakah membawakan homili yang mampu menyentuh kehidupan umat?
2.6    Apakah tindakan pastoral kita untuk dapat membawakan homili yang dapat menyentuh kehidupan umat?

3.      Tujuan Pembahasan Masalah
Berangkat dari persoalan yang dijumpai dan dialami, baik oleh penulis maupun umat mengenai homili yang dibawakan oleh para homilis, penulis hendak menyajikan persoalan mengenai homili yang kurang menyentuh kehidupan umat dalam pembahasan ini.  Selain menyajikan persoalan tersebut, penulis berusaha menemukan akar permasalahan, solusi, dan mencoba merumuskan tindakan  pastoral yang tepat. Dengan demikian permasalahan tersebut dapat diminimalisir.












BAB II
PERMASALAHAN: KOTBAH/HOMILI YANG KURANG MENYAPA UMAT

1.   Perbedaan Latar Belakang Homilis dan Pendengar
Homili yang baik adalah homili yang dapat menyentuh realitas hidup para pendengarnya. Dalam membawakan homili yang baik tersebut tentu bukanlah hal yang mudah. Perbedaan latar belakang antara homilis dan pendengar menjadi suatu kendala tersendiri untuk bisa mengkomunikasikan homili secara baik dan tepat sasaran. Untuk memahami lebih dalam dari poin ini, penulis menyajikan satu fenomena berkaitan dengan penyampaian homili yang belum menyentuh realitas umatnya: Di sebuah keuskupan tertentu (yang mayoritas umatnya bersuku Batak dan Nias) memiliki imam diosesan yang tujuh puluh persennya adalah imam-imam yang bersuku asing. Kesulitan yang dialami oleh para imam tersebut adalah ketika menyampaikan homili kepada para umatnya. Menurut pengakuan beberapa imam dari keuskupan tersebut, perbedaan suku antara imam dan umat membuat homili yang dibawakan kurang menyentuh dan menyapa realitas umat.
Dalam sebuah film dokumenter, Romo Van Lith, SJ pernah mengatakan demikian, “Saya tidak bisa berkotbah dalam bahasa Jawa, maka harus ada orang Jawa yang menjadi Pastor”. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa sehebat apapun seorang imam berkotbah, namun jika si homilis dan pendengar memiliki latar belakang yang berbeda tentu isi kotbah/homili kurang menyentuh kedalaman hati umat.

2.   Situasi Umat yang Majemuk
Perayaan Ekaristi dihadiri oleh situasi umat yang beragam. Oleh karena itu pendengar homili juga sangat beragam atau majemuk, baik dalam tingkatan umur, pendidikan, maupun jenis pekerjaan dan aspek hidup. Situasi umat yang majemuk ini menjadi suatu tantangan dan kesulitan bagi para homilis untuk menyampaikan isi homilinya dengan baik dan terarah. Situasi umat yang majemuk terlebih-lebih dapat kita jumpai di daerah perkotaan. Oleh karena itu, homili dirasa kurang menyapa umat ketika berhadapan dengan situasi umat yang kompleks dan majemuk.

3.   Kurangnya Persiapan
Perbedaan latar belakang antara homilis dan pendengar serta situasi umat yang majemuk memang menjadi kendala dan tantangan dalam usaha penyampaian homili yang baik dan terarah. Namun kurangnya persiapan diri dari pihak homilis dalam membawakan homili akan membuat isi homili  semakin tidak menyentuh realitas umat. Fenomena ini ternyata sering dialami oleh para imam.
Kurangnya persiapan dalam membawakan homili memang akan berdampak kurang baik, bahkan bisa berakibat fatal. Homili yang panjang dan monoton sering dinilai umat bahwa para imam kurang mempersiapkan homilinya dengan baik. Menurut pengakuan beberapa pastor dan pengamatan penulis, tidak jarang bahwa umat katolik melakukan “jajan rohani” ke gereja lain hanya karena mendengar kotbah pastor/imam yang dirasa kurang menyentuh realitas hidup umatnya.


























BAB III
KORELASI ANTARA HOMILIS DAN PENDENGAR
           
Homili dalam perayaan liturgi dipandang sebagai saat yang lebih tepat” (SC 35) untuk mewartakan Sabda Tuhan supaya semakin banyak orang diselamatkan. Saat homili adalah saat yang tepat untuk mewartakan Sabda Allah karena “homili merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis” (SC 35). Dengan demikian, jelaslah bahwa homili akan menjelaskan dan mengaktualkan karya keselamatan Allah yang terjadi pada masa lampau, namun sekarang ini menjadi nyata di tengah umat.[4] Supaya pesan Allah dalam homili dapat disampaikan dengan baik, terarah, dan menyentuh kehidupan pendengarnya, maka baiklah bila kita memahami siapakah homilis itu dan bagaimanakah menjadi homilis yang baik?

1.      Homilis

1.1  Para Klerus: Orang yang Dipanggil dan Diutus
Misi Gereja yang utama adalah mewartakan Sabda Allah ke segala penjuru dunia (bdk. Mat 28:16-20). Tugas ini harus diemban secara khusus oleh para uskup (bdk. LG 25), para imam (bdk. PO 4) dan para diakon (bdk. LG 29). Tugas ini dimengerti sebagai usaha untuk melanjutkan tugas yang diberikan Kristus kepada para rasul-Nya (bdk. DV 7). Maka pewartaan ini pertama-tama harus ditempatkan dalam pewahyuan Bapa lewat Sabda Hidup-Nya, dalam Kitab Suci sebagai penerusan wahyu Allah itu, dalam tradisi dan pengajaran Gereja yang resmi (bdk. LG 25), dalam misi pewartaan dan dalam liturgi resmi Gereja (bdk. SC 33 dan 35. Artinya tugas pewartaan itu harus benar-benar diperhatikan oleh seorang klerus karena tugas tersebut adalah tugas utamanya sebagai seorang tertahbis dan secara khusus tugas itu dijalankannya dengan melaksanakan homili sebaik-baiknya.[5]
Dalam SC 52 dinyatakan, “Homili sebagai bagian Liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang Tahun Liturgi diuraikan misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab Suci.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada para imam untuk menyadari tugas utama sebagai pewarta Allah. Maka di dalam perayaan-perayaan liturgis, homili seorang imam harus betul-betul diperhatikan sehingga sabda Allah itu sampai pada umat dan menyelamatkan mereka.[6]
Selain sebagai pewartaan Sabda Allah, homili juga berfungsi untuk membawa orang pada rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti suatu perubahan di mana terjadi perbaikan hubungan antara manusia dengan Allah, Gereja, sesama, dan seluruh lingkungan hidup. Melalui homili, seseorang disadarkan akan apa yang telah ia lakukan.  Maka, seorang gembala dituntut untuk betul-betul mengenal permasalahan umatnya dan budaya yang dihidupinya secara tepat. Seorang imam, sebagai gembala, harus benar-benar mengenal domba-domba Yesus karena pewartaan yang disampaikan lewat homili harus “menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya” (DV 2).
Melalui rahmat tahbisan, seorang imam menerima rahmat Roh Kudus yang memampukan ia untuk mewartakan Injil. Maka, homili seorang klerus adalah nasehat dan dukungan supaya umat Allah hidup dalam paguyuban yang saling mencintai. Homili itu juga harus mendorong umat untuk terlibat aktif di dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas sehingga cinta kepada sesama benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Dalam Kitab Hukum Kanonik juga dijelaskan mengenai apa, siapa, dan bagaimana berhomili. Kanon 762 memberi gambaran secara umum tentang tugas berhomili sebagai tugas utama dari pelayan rohani karena di dalam homili itu, seorang pelayan mewartakan Injil Allah kepada sesamanya. Para klerus mempunyai kewajiban untuk mewartakan Sabda Allah kepada umat yang hadir di dalam sebuah perayaan liturgis.

1.2  Awam: Orang yang Mempunyai Integritas Hidup
Selain klerus, Gereja memberi juga kemungkinan kepada para biarawan-biarawati dan awam untuk membawakan homili. Ide ini berasal dari pemahaman masa kini tentang konsep imamat umum yang melekat pada setiap orang yang telah dibaptis (bdk. LG 31-34; AA 3). Di sisi lain, berdasarkan sifatnya yang profan awam dituntut untuk lebih berperan aktif dalam pewartaan masa kini (bdk. GS 40). Kehidupan konkret menjadi tempat pewartaan yang sangat efektif.
Peran aktif awam di dalam hidup menggereja didasarkan pada persatuannya yang mesra dengan Kristus sebagai kepala Gereja (AA 3). Persatuan itu diperoleh melalui Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi. Kemungkinan bagi awam untuk berhomili akhir-akhir ini menjadi kentara, khususnya di daerah yang mengalami kekurangan imam. Di tempat-tempat terpencil, seorang awam, entah dalam kapasitasnya sebagai ketua stasi ataupun guru agama harus memimpin ibadat liturgis yang tentu saja pada kesempatan itu, ia harus menyampaikan homili.[8]
Seperti halnya para klerus, para awam yang dipercaya untuk membawakan homili tentu harus memenuhi kriteria-kriteria agar homili yang mereka sampaikan juga dapat menyentuh realitas para pendengarnya. Selain itu, ia haruslah seorang awam yang dipandang baik dan saleh, seorang yang mempunyai dedikasi dan komitmen yang tulus bagi Gereja dan awam tersebut diterima umat dengan baik. Ia juga harus mempersiapkan homilinya dengan baik agar isi dari homili tersebut dapat dikomunikasikan dengan pendengarnya.[9]
Dalam Redemptionis Sacramentum, no 161 dikatakan, “Homili dalam Misa (karena penting serta maknanya) adalah wewenang imam atau diakon. Mengenai corak-corak lain untuk berkotbah, kaum awam diantara umat beriman dapat diperkenankan untuk berkotbah di dalam gereja atau tempat ibadat lain, tetapi di luar konteks Misa, jika situasi tertentu menuntutnya atau pula jika hal ini berguna dalam keadaan khusus, sesuatu dengan ketentuan hukum. Hal ini boleh dilaksanakan jika di tempat-tempat tertentu ada kekurangan pelayan tertahbis, supaya dengan demikian suatu kebutuhan dipenuhi; namun tindakan darurat ini tidak boleh menjadi suatu kebiasaan; juga tidak boleh dipandang sebagai bentuk autentik kemajuan awam. Semuanya harus ingat bahwa izin yang demikian hanya boleh diberikan oleh Ordinaris setempat dan hanya untuk kasus-kasus tertentu; maka izin ini tidak dapat diberikan oleh orang lain, termasuk oleh imam atau diakon.”




1.3  Kepribadian Pembawa Homili
Berhasil tidaknya sebuah pewartaan di dalam homili berkaitan erat dengan kepribadian pembawa homili. Homili akan semakin diperhatikan jika ditopang oleh kehidupan moral yang baik dari si pembawa homili. Maka homili harus lahir dari hati yang penuh kasih di mana setiap saat pembawa homili membina relasi pribadinya dengan Allah dan sesama. Selain itu, setiap pembawa homili harus tahu, akrab, dan terus bergaul dengan Kitab Suci agar ia mempunyai kebenaran-kebenaran iman di dalamnya dan pada gilirannya dapat dibagikan kepada umat yang menjadi alamat homilinya.[10]

2.      Pendengar dan Konteks Hidupnya

2.1  Konteks Hidup Pendengar
Zerfass, seorang professor Teologi Pastoral dan Homiletik di Jerman, memberi nasehat; para pendengarku bukanlah msuhku, melainkan saudara dan saudariku. Mereka mempunyai perspektifnya sendiri, pengalaman hidup sendiri, dan pendekatan sendiri kepada tema yang hendak saya uraikan. Semakin saya bertolak dari tempat dan keadaan mereka, semakin mampu mereka untuk menerima pewartaan saya. Semakin saya melihat dengan mata mereka, semakin saya akan menemukan apa yang seharusnya saya katakan kepada mereka.[11]
Untuk mempunyai homili yang baik, pembawa homili harus berasosiasi tentang siapa pendengarnya dan harus merumuskan ide atau tema dari sudut pandang mereka. Hal ini dilakukan supaya homili “mendarat” dengan tepat, tidak berputar-putar saja. Semakin para pendengar diwakili dalam persiapan homili semakin pula homili itu mengena dan menggerakkan mereka.
Pembawa homili harus dapat mempersatukan cakrawalanya dengan cakrawala pendengar. Konfrontasi cakrawala itu menjadikan pendekatan lebih berpusat pada suatu pencarian akan inti iman kita bersama yang dapat menjadi pegangan hidup setiap orang. Pembawa homili harus mengenal konteks hidup pendengarnya.
Pendengar homili adalah umat yang mejemuk. Majemuknya para pendengar memang sedikit menyulitkan arah dan isi homili itu sendiri, yakni pembawa homili harus memilih di antara umat yang majadi fokus utama dalam berhomili. Pilihan yang paling baik adalah pilihan yang mendahulukan orang miskin dan sederhana dalam homili itu.
Pembawa homili yang baik harus mengakarkan diri di dalam situasi dan kondisi umat yang dilayaninya. Kesatuannya dengan umat yang dilayaninya ditampakkan antara lain dalam kesadarannya akan kehadirannya yang mengayomi semua umatnya dari semua suku, etnis, ras, budaya, status dan golongan orang tertentu dan sekaligus pula ia ikut dalam keprihatinan mereka.[12]

























BAB IV
REFLEKSI HOMILETIS

Homili menunjuk pada bentuk pewartaan Sabda Allah yang disampaikan dalam Ekaristi. Pemberi homili adalah para tertahbis. Selain para tertahbis, homili dapat juga diberikan oleh awam dengan melihat ketentuan yang terdapat dalam Redemtoris Sacramentum, no. 65,66, dan 161. Hal yang ingin dilihat di sini yaitu bahwa homili berbeda dengan kotbah, pidato, ataupun berbagai bentuk penyampaian materi secara lisan lainnya.
Dalam Sacra Pagina no. 35 dikatakan bahwa “Homili merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis”. Ini menunjuk pada fungsi homili sebagai sarana evangelisasi. Selain untuk evangelisasi, homili hendaknya juga dapat membawa orang pada rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti suatu perubahan di mana terjadi perbaikan hubungan antara seorang individu dengan Allah, Gereja, sesama dan seluruh lingkungan hidup.[13] Jadi, dalam satu kali homili seorang homilis (imam) serentak mewartakan Sabda Allah dan mengajak para pendengarnya melakukan pembenahan diri.
Saat ini, berdasarkan pengamatan kami dan pengakuan dari beberapa narasumber, sebagian dari para homilis terkesan kurang menghayati peranannya sebagai homilis. Hal ini terlihat dari cara homili dibawakan. Benar bahwa pembawa homili adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kekeliruan dan kelemahan. Namun, kekeliruan dan kelamahan itu harus bisa diatasi sebab dalam homili ia menjadi pemberi kesaksian hidup mengenai apa yang ia imani. Jadi, homili yang terkesan sebagai hasil improvisasi dengan bentuk sistematisasi yang sulit diikuti umat dapat menimbulkan pertanyaan berkenaan dengan inti homili yang ingin disampaikan.
Menjadi pewarta Sabda Allah adalah keharusan bagi mereka yang tertahbis. Dengan tahbisan, seseorang telah menjawab panggilan Allah dan siap untuk diutus sebagai pewarta. Saat ini, sebagai calon homilis, kami dipanggil untuk belajar dan sekaligus memberi kesaksian. Namun kesaksian kami terbatas karena kami bukan homilis untuk saat ini. Meski demikian, kami dapat merasakan bahwa mewarta dengan sekaligus memberi kesaksian hidup bukanlah sesuatu yang mudah. Sebagai seorang formandi yang bersuku Jawa, kami merasa belum bisa memahami situasi umat lebih mendalam. Ini merupakan tantangan bagi kami sebagai calon homilis. Suatu tuntutan untuk bisa menyampaikan Sabda Allah yang sungguh menyentuh realitas kehidupan umat. Artinya, melalui pewartaan dan kesaksian hidup kami, umat diharapkan dapat memperoleh pesan iman yang berguna untuk dirinya, untuk dijadikan bekal dalam menjalani keberadaannya sebagai murid Kristus yang juga harus mewarta dan memberikan kesaksian di tengah saudara dan saudarinya.






























BAB V
TINDAKAN PASTORAL

Sebagai seorang farter yang notabene adalah calon homilis, kami dituntut untuk melihat secara kristis persoalan-persoalan yang ada dalam tubuh Gereja. Selain melihat, kami juga diundang untuk bermenung dan menemukan jalan keluar atas persoalan yang ada tersebut.
Persoalan yang dihadapi Gerja dalam konteks ini yaitu persoalan mengenai homili yang kurang menyentuh realitas kehidupan umat. Oleh sebab itu dalam tiga (3) poin berikut, kami akan mencoba mengemukakan gagasan-gagasan kami sebagai bentuk tindakan pastoral.

1.      Program/Aksi
Bertolak dari persoalan yang ada, yakni perbedaan latar belakang homilis dan pendengar, situasi umat yang majemuk, dan kurangnya persiapan dalam penyampaian homili, kami mencanangkan program sebagai berikut:
1.1.   Pengenalan homilis akan kebutuhan pendengar (umat) dengan menggunakan prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Di beberapa tempat jumlah imam pribumi masih tergolong sedikit. Umat harus bersyukur bahwa sudah ada imam yang memberi pelayanan kepada mereka. Akibatnya, banyak umat memilih untuk tidak banyak komentar ketika homili yang disampaikan belum mampu menjawab kebutuhan iman mereka.
Terhadap realitas ini apa yang bisa dilakukan oleh imam yang bersangkutan? Seorang gembala yang baik tentu bisa memberikan perlindungan dan situasi nyaman bagi domba gembalaannya. Artinya, gembala tahu apa yang dibutuhkan domba-dombanya. Oleh sebab itu, tugas para imam sebagai homilis adalah memperhatikan apa yang mereka perlukan terkait dengan pertumbuhan iman mereka.
Seorang homilis akan mendapat sambutan atau apresiasi yang baik ketika homili yang disampaikan menyentuh realitas dari kehidupan pendengarnya. Apalagi jika homilis yang bersangkutan juga memberi tempat bagi pendengar yang bukan satu suku dengannya. Apakah dengan mengambil ungkapan-ungkapan tertentu, cerita yang akrab dalam keseharian pendengar, penyampaian kisah hidup homilis yang mirip dengan kisah hidup pendengar , dan lain sebagainya. Atas usaha homilis tersebut, pendengar akan merasa sangat dihargai.
1.2.   Penyadaran diri dari pihak homilis atas tuntutan umat yang memiliki pemikiran kritis terhadap kesesuaian antara warta yang disampaikan dengan sikap homilis yang bersangkutan.
Berhomili berarti mewartakan Injil, membawa Kabar Gembira kepada orang lain.[14]  Mewarta, baik dengan kata maupun tindakan nyata adalah tuntutan bagi para homilis. Jadi sikap homilis mempengaruhi minat pendengar untuk memahami pesan yang disampaikan oleh homilis.
Homili merupakan suatu bentuk kesaksian iman homilis atas perjumpaannya dengan Tuhan melalui refleksi pribadi. Maka, penting bagi para homilis untuk memperhatikan dan menjaga sikap serta tutur kata mereka ketika berada di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar homili yang disampaikan lebih bisa diterima karena memiliki contoh yang sesuai dengan kehidupan homilis.
1.3.   Kurangnya persiapan dalam penyampaian homili.
Program yang bisa kami temukan untuk persoalan tersebut yaitu melatih diri homilis untuk disiplin dan percaya diri. Kurangnya persiapan umumnya menunjuk pada aktivitas di luar penyampaian homili dan kesiapan homilis untuk berhomili pada momen-momen tertentu. Jadi, persiapan homili tetap penting untuk semakin menambah rasa yakin akan warta yang ingin dibagikan kepada para pendengar.

2.      Sosialisasi
Homili yang kurang menyentuh kehidupan umat merupakan persoalan yang perlu diketahui dan diselesaikan secara bersama. Dalam hal ini, baik homilis maupun mendengar harus bersikap saling terbuka. Artinya, ada komunikasi untuk memperoleh titik temu. Jadi kedua pihak harus mengambil peran masing-masing.
Kesadaran atas persoalan tersebut, dalam realitanya, masih sebatas gagasan. Rasa segan dari umat atas pribadi imam masih tampak. Begitu juga dengan kesediaan imam untuk bertanya mengenai hal-hal praktis sehubungan dengan isi dan penyampaian homili yang telah ia bawakan.
Dalam hal ini, kesan yang muncul yakni homilis harus menuruti keinginan pendengar. Namun, sejauh tidak menjadi beban bagi homilis, kenapa tidak dilaksanakan? Artinya, homilis perlu untuk melihat kembali tujuan dari penyampaian homili.


3.      Jaringan/Gerakan
Pewartaan Sabda Allah merupakan tugas Gereja. Karena Gereja memiliki susunan hirarki, maka perlu gerakan saling menyokong. Oleh karena itu, bekerjasama sebagai satu tubuh Gereja menjadi suatu keharusan.
Homili yang kurang menyentuh kehidupan umat secara tidak langsung menunjuk pada kegagalan homilis dalam melaksanakan peranannya. Berhomili berarti memberi kesaksian hidup. Dewasa ini, umat tampaknya lebih memerukan aplikasi konkrit yang berupa contoh-contoh dari pada materi yang panjang selama homili berlangsung. Oleh karena itu, gerakan yang bisa dilakukan dan dimulai oleh homilis dalam usahanya memperbaiki kualitas homili yaitu dengan melihat kembali tujuan dari homili.
Untuk dapat membawakan homili dengan baik dan menyentuh realita, maka gerakan dan langkah konkrit yang langsung bisa dilakukan oleh para homilis adalah mengevaluasi homili yang telah dibawakan. Evaluasi itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan meminta pandangan atau tanggapan pendengar atau rekan homilis mengenai homili yang telah ia bawakan. Hal-hal yang dievaluasi bisa menganai pembawaan ataupun cara penyampaian si homilis.






KEPUSTAKAAN

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Hendrikus, Dori Wuwur. Berkotbah: Suatu Petunjuk Praktis. Ende: Nusa Indah, 1989.

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici, 1983). Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: Obor, 1991.

Mali, Mateus. “Teologi Homili”, dalam Komisi Liturgi KWI (ed.), Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Rothlisberger, H. Homiletika: Ilmu Berkotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.





[1]Mateus Mali, “Teologi Homili”, dalam Komisi Liturgi KWI (ed.), Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 53.

[2] Dori Wuwur Hendrikus, SVD, Berkotbah: Suatu Petunjuk Praktis (Ende: Nusa Indah, 1989), hlm. 12.

[3] H. Rothlisberger, Homiletika: Ilmu Berkotbah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 6.
[4] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 53.

[5] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 54-55.

[6] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 55.

[7] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 56.
[8] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 59.

[9] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 60.

[10] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 61-62.

[11] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 67.

[12] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm.  69.
[13] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 55.
[14] Mateus Mali, “Teologi…,  hlm. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar