BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Homili merupakan bentuk pewartaan Sabda Allah dalam liturgi. Sabda Allah
sendiri diyakini sebagai kekuatan yang memberi daya kepada setiap orang beriman
untuk menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi (bdk. Mat 28:16-20). Maka
sudah sepantasnya homili di dalam liturgi harus diperhatikan dengan serius.
Dalam pengertian ini, homili berarti meng-“hic
et nunc”-kan karya keselamatan Allah, agar semua orang yang mendengarnya
memperoleh keselamatan.[1]
Sumber utama homili adalah Kitab
Suci atau Injil.[2]
Pesan-pesan yang disampaikan para homilis harus sesuai dengan bacaan-bacaan
yang bersangkutan. Pokok pembicaraan yang terkandung dalam pesan-pesan tersebut
adalah warta gembira dari Kristus sendiri. Oleh karena itu, homili yang baik
pada dasarnya adalah homili yang bernuansa atau mengandung pesan kegembiraan,
yang bisa membangkitkan semangat umat untuk berbuat sesuatu dan untuk memberi
kehangatan terhadap setiap orang yang mendengarkannya. Maka setiap orang yang
bertugas untuk memberikan homili seharusnya memikirkan terlebih dahulu
dasar-dasar homili, persiapan-persiapan, dan metode berhomili yang baik.[3]
Dewasa ini, diberbagai tempat di gereja kita sering dijumpai berbagai
bentuk keluhan dari umat mengenai cara penyampaian homili yang dibawakan oleh
beberapa homilis (imam). Banyak dari umat kita yang mengalami rasa bosan ketika
mendengarkan homili yang dibawakan oleh homilis yang bersangkutan. Umumnya
mereka menilai bahwa beberapa imam kurang mempersiapkan diri dalam membawakan homili.
Kategori bahwa homili seorang imam dinilai baik atau kurang baik oleh
umat memang bersifat subyektif. Banyak umat yang suka dengan homili yang penuh
dengan humor, namun juga tidak sedikit umat yang senang apabila homili seorang
imam dibawakan dengan singkat, padat, dan tidak perlu humor yang berlebihan. Dalam
hal seperti ini kiranya homili tidak terlalu bermasalah. Hal obyektif yang
perlu dicermati dan digali adalah homili
yang kurang menyentuh kehidupan umat. Persoalan ini akan kami kaji lebih dalam dalam pembahasan ini.
2. Rumusan Masalah
Hal-hal pokok yang mendorong penulis mengamati dan meneliti permasalahan
ini, dapat dirangkum dalam beberapa pertanyaan. Pokok-pokok permasalahan
tersebut antara lain:
2.1 Siapakah homilis itu?
2.2 Siapakan pendengar homili?
2.3 Bagaimanakah homili yang kurang menyentuh kehidupan umat?
2.4 Mengapa
homili kurang menyentuh kehidupan umat?
2.5 Bagaimanakah membawakan
homili yang mampu menyentuh kehidupan umat?
2.6 Apakah
tindakan pastoral kita untuk dapat membawakan homili yang dapat menyentuh
kehidupan umat?
3. Tujuan Pembahasan Masalah
Berangkat dari persoalan yang dijumpai dan dialami, baik oleh penulis
maupun umat mengenai homili yang dibawakan oleh para homilis, penulis hendak
menyajikan persoalan mengenai homili yang kurang menyentuh kehidupan umat dalam
pembahasan ini. Selain menyajikan
persoalan tersebut, penulis berusaha menemukan akar permasalahan, solusi, dan
mencoba merumuskan tindakan pastoral
yang tepat. Dengan demikian permasalahan tersebut dapat diminimalisir.
BAB II
PERMASALAHAN: KOTBAH/HOMILI YANG KURANG MENYAPA UMAT
1. Perbedaan Latar Belakang Homilis dan Pendengar
Homili yang baik adalah homili yang dapat menyentuh realitas hidup para
pendengarnya. Dalam membawakan homili yang baik tersebut tentu bukanlah hal
yang mudah. Perbedaan latar belakang antara homilis dan pendengar menjadi suatu
kendala tersendiri untuk bisa mengkomunikasikan homili secara baik dan tepat
sasaran. Untuk memahami lebih dalam dari poin ini, penulis menyajikan satu
fenomena berkaitan dengan penyampaian homili yang belum menyentuh realitas
umatnya: Di sebuah keuskupan tertentu
(yang mayoritas umatnya bersuku Batak dan Nias) memiliki imam diosesan yang
tujuh puluh persennya adalah imam-imam yang bersuku asing. Kesulitan yang
dialami oleh para imam tersebut adalah ketika menyampaikan homili kepada para
umatnya. Menurut pengakuan beberapa imam dari keuskupan tersebut, perbedaan suku
antara imam dan umat membuat homili yang dibawakan kurang menyentuh dan menyapa
realitas umat.
Dalam sebuah film dokumenter, Romo Van Lith, SJ pernah mengatakan
demikian, “Saya tidak bisa berkotbah dalam bahasa Jawa, maka harus ada orang
Jawa yang menjadi Pastor”. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa sehebat apapun
seorang imam berkotbah, namun jika si homilis dan pendengar memiliki latar
belakang yang berbeda tentu isi kotbah/homili kurang menyentuh kedalaman hati
umat.
2. Situasi Umat yang Majemuk
Perayaan Ekaristi dihadiri oleh situasi umat yang beragam. Oleh karena
itu pendengar homili juga sangat beragam atau majemuk, baik dalam tingkatan
umur, pendidikan, maupun jenis pekerjaan dan aspek hidup. Situasi umat yang
majemuk ini menjadi suatu tantangan dan kesulitan bagi para homilis untuk
menyampaikan isi homilinya dengan baik dan terarah. Situasi umat yang majemuk
terlebih-lebih dapat kita jumpai di daerah perkotaan. Oleh karena itu, homili
dirasa kurang menyapa umat ketika berhadapan dengan situasi umat yang kompleks
dan majemuk.
3. Kurangnya Persiapan
Perbedaan latar belakang antara homilis dan pendengar serta situasi umat
yang majemuk memang menjadi kendala dan tantangan dalam usaha penyampaian
homili yang baik dan terarah. Namun kurangnya persiapan diri dari pihak homilis
dalam membawakan homili akan membuat isi homili
semakin tidak menyentuh realitas umat. Fenomena ini ternyata sering
dialami oleh para imam.
Kurangnya persiapan dalam membawakan homili memang akan berdampak kurang
baik, bahkan bisa berakibat fatal. Homili yang panjang dan monoton sering
dinilai umat bahwa para imam kurang mempersiapkan homilinya dengan baik.
Menurut pengakuan beberapa pastor dan pengamatan penulis, tidak jarang bahwa
umat katolik melakukan “jajan rohani” ke gereja lain hanya karena mendengar
kotbah pastor/imam yang dirasa kurang menyentuh realitas hidup umatnya.
BAB III
KORELASI ANTARA HOMILIS DAN PENDENGAR
Homili dalam perayaan liturgi dipandang sebagai saat yang lebih tepat”
(SC 35) untuk mewartakan Sabda Tuhan supaya semakin banyak orang diselamatkan.
Saat homili adalah saat yang tepat untuk mewartakan Sabda Allah karena “homili
merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau
misteri Kristus yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa
dalam perayaan-perayaan liturgis” (SC 35). Dengan demikian, jelaslah bahwa homili akan menjelaskan
dan mengaktualkan karya keselamatan Allah yang terjadi pada masa lampau, namun
sekarang ini menjadi nyata di tengah umat.[4]
Supaya pesan Allah dalam homili dapat disampaikan dengan baik, terarah, dan menyentuh kehidupan
pendengarnya, maka baiklah bila kita memahami siapakah homilis itu dan
bagaimanakah menjadi homilis yang baik?
1.
Homilis
1.1 Para Klerus: Orang yang Dipanggil
dan Diutus
Misi Gereja yang utama adalah mewartakan Sabda Allah
ke segala penjuru dunia (bdk. Mat 28:16-20). Tugas ini harus diemban secara
khusus oleh para uskup (bdk. LG 25), para imam (bdk. PO 4) dan para diakon
(bdk. LG 29). Tugas ini dimengerti sebagai usaha untuk melanjutkan tugas yang
diberikan Kristus kepada para rasul-Nya (bdk. DV 7). Maka pewartaan ini
pertama-tama harus ditempatkan dalam pewahyuan Bapa lewat Sabda Hidup-Nya,
dalam Kitab Suci sebagai penerusan wahyu Allah itu, dalam tradisi dan
pengajaran Gereja yang resmi (bdk. LG 25), dalam misi pewartaan dan dalam
liturgi resmi Gereja (bdk. SC 33 dan 35. Artinya tugas pewartaan itu harus
benar-benar diperhatikan oleh seorang klerus karena tugas tersebut adalah tugas
utamanya sebagai seorang tertahbis dan secara khusus tugas itu dijalankannya
dengan melaksanakan homili sebaik-baiknya.[5]
Dalam SC 52 dinyatakan, “Homili sebagai bagian Liturgi
sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang Tahun Liturgi diuraikan
misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab
Suci.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada para imam untuk
menyadari tugas utama sebagai pewarta Allah. Maka di dalam perayaan-perayaan liturgis, homili
seorang imam harus betul-betul
diperhatikan sehingga sabda Allah itu sampai pada umat dan menyelamatkan
mereka.[6]
Selain sebagai pewartaan Sabda Allah, homili juga
berfungsi untuk membawa orang pada rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti suatu
perubahan di mana terjadi perbaikan hubungan antara manusia dengan Allah,
Gereja, sesama, dan seluruh lingkungan hidup. Melalui homili, seseorang
disadarkan akan apa yang telah ia lakukan.
Maka, seorang gembala dituntut untuk betul-betul mengenal permasalahan umatnya dan budaya yang
dihidupinya secara tepat. Seorang imam, sebagai gembala, harus benar-benar
mengenal domba-domba Yesus karena pewartaan yang disampaikan lewat homili harus
“menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk
mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di
dalamnya” (DV 2).
Melalui rahmat tahbisan, seorang imam menerima rahmat
Roh Kudus yang memampukan ia untuk mewartakan Injil. Maka, homili seorang
klerus adalah nasehat dan dukungan supaya umat Allah hidup dalam paguyuban yang
saling mencintai. Homili itu juga harus mendorong umat untuk terlibat aktif di
dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas sehingga cinta kepada sesama
benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Dalam Kitab Hukum Kanonik juga dijelaskan mengenai apa, siapa, dan bagaimana
berhomili. Kanon 762 memberi gambaran secara umum tentang tugas berhomili
sebagai tugas utama dari pelayan rohani karena di dalam homili itu, seorang
pelayan mewartakan Injil Allah kepada sesamanya. Para klerus mempunyai
kewajiban untuk mewartakan Sabda Allah kepada umat yang hadir di dalam sebuah
perayaan liturgis.
1.2 Awam: Orang yang Mempunyai Integritas
Hidup
Selain klerus, Gereja
memberi juga kemungkinan kepada para biarawan-biarawati dan awam untuk
membawakan homili. Ide ini berasal dari pemahaman masa kini tentang konsep
imamat umum yang melekat pada setiap orang yang telah dibaptis (bdk. LG 31-34;
AA 3). Di sisi lain, berdasarkan sifatnya yang profan awam dituntut untuk lebih
berperan aktif dalam pewartaan masa kini (bdk. GS 40). Kehidupan konkret
menjadi tempat pewartaan yang sangat efektif.
Peran aktif awam di
dalam hidup menggereja didasarkan pada persatuannya yang mesra dengan Kristus
sebagai kepala Gereja (AA 3). Persatuan itu diperoleh melalui Sakramen Baptis,
Krisma, dan Ekaristi. Kemungkinan bagi awam untuk berhomili akhir-akhir ini
menjadi kentara, khususnya di daerah yang mengalami kekurangan imam. Di
tempat-tempat terpencil, seorang awam, entah dalam kapasitasnya sebagai ketua
stasi ataupun guru agama harus memimpin ibadat liturgis yang tentu saja pada
kesempatan itu, ia harus menyampaikan homili.[8]
Seperti halnya para
klerus, para awam yang dipercaya untuk membawakan homili tentu harus memenuhi
kriteria-kriteria agar homili yang mereka sampaikan juga dapat menyentuh
realitas para pendengarnya. Selain itu, ia haruslah seorang awam yang dipandang
baik dan saleh, seorang yang mempunyai dedikasi dan komitmen yang tulus bagi
Gereja dan awam tersebut diterima umat dengan baik. Ia juga harus mempersiapkan homilinya dengan baik agar
isi dari homili tersebut dapat dikomunikasikan dengan pendengarnya.[9]
Dalam
Redemptionis Sacramentum, no 161
dikatakan, “Homili dalam Misa (karena penting serta maknanya) adalah wewenang
imam atau diakon. Mengenai corak-corak lain untuk berkotbah, kaum awam diantara
umat beriman dapat diperkenankan untuk berkotbah di dalam gereja atau tempat
ibadat lain, tetapi di luar konteks Misa, jika situasi tertentu menuntutnya
atau pula jika hal ini berguna dalam keadaan khusus, sesuatu dengan ketentuan
hukum. Hal ini boleh dilaksanakan jika di tempat-tempat tertentu ada kekurangan
pelayan tertahbis, supaya dengan demikian suatu kebutuhan dipenuhi; namun
tindakan darurat ini tidak boleh menjadi suatu kebiasaan; juga tidak boleh
dipandang sebagai bentuk autentik kemajuan awam. Semuanya harus ingat bahwa
izin yang demikian hanya boleh diberikan oleh Ordinaris setempat dan hanya untuk
kasus-kasus tertentu; maka izin ini tidak dapat diberikan oleh orang lain,
termasuk oleh imam atau diakon.”
1.3 Kepribadian Pembawa Homili
Berhasil tidaknya sebuah pewartaan di dalam homili
berkaitan erat dengan kepribadian pembawa homili. Homili akan semakin
diperhatikan jika ditopang oleh kehidupan moral yang baik dari si pembawa
homili. Maka homili harus lahir dari hati yang penuh kasih di mana setiap saat
pembawa homili membina relasi pribadinya dengan Allah dan sesama. Selain itu,
setiap pembawa homili harus tahu, akrab, dan terus bergaul dengan Kitab Suci
agar ia mempunyai kebenaran-kebenaran iman di dalamnya dan pada gilirannya
dapat dibagikan kepada umat yang menjadi alamat homilinya.[10]
2.
Pendengar
dan Konteks Hidupnya
2.1
Konteks Hidup Pendengar
Zerfass,
seorang professor Teologi Pastoral dan Homiletik di Jerman, memberi nasehat;
para pendengarku bukanlah msuhku, melainkan saudara dan saudariku. Mereka
mempunyai perspektifnya sendiri, pengalaman hidup sendiri, dan pendekatan
sendiri kepada tema yang hendak saya uraikan. Semakin saya bertolak dari tempat dan keadaan
mereka, semakin mampu mereka untuk menerima pewartaan saya. Semakin saya
melihat dengan mata mereka, semakin saya akan menemukan apa yang seharusnya
saya katakan kepada mereka.[11]
Untuk
mempunyai homili yang baik, pembawa homili harus berasosiasi tentang siapa
pendengarnya dan harus merumuskan ide atau tema dari sudut pandang mereka. Hal ini dilakukan supaya homili “mendarat”
dengan tepat, tidak berputar-putar saja. Semakin para pendengar diwakili dalam
persiapan homili semakin pula homili itu mengena dan menggerakkan mereka.
Pembawa
homili harus dapat mempersatukan cakrawalanya dengan cakrawala pendengar.
Konfrontasi cakrawala itu menjadikan pendekatan lebih berpusat pada suatu
pencarian akan inti iman kita bersama yang dapat menjadi pegangan hidup setiap
orang. Pembawa homili harus mengenal konteks hidup pendengarnya.
Pendengar
homili adalah umat yang mejemuk. Majemuknya para pendengar memang sedikit
menyulitkan arah dan isi homili itu sendiri, yakni pembawa homili harus memilih
di antara umat yang majadi fokus utama dalam berhomili. Pilihan yang paling
baik adalah pilihan yang mendahulukan orang miskin dan sederhana dalam homili
itu.
Pembawa
homili yang baik harus mengakarkan diri di dalam situasi dan kondisi umat yang
dilayaninya. Kesatuannya dengan umat yang dilayaninya ditampakkan antara lain
dalam kesadarannya akan kehadirannya yang mengayomi semua umatnya dari semua
suku, etnis, ras, budaya, status dan golongan orang tertentu dan sekaligus pula
ia ikut dalam keprihatinan mereka.[12]
BAB IV
REFLEKSI HOMILETIS
Homili menunjuk pada bentuk pewartaan Sabda Allah yang disampaikan dalam
Ekaristi. Pemberi homili adalah para tertahbis. Selain para tertahbis, homili
dapat juga diberikan oleh awam dengan melihat ketentuan yang terdapat dalam Redemtoris Sacramentum, no. 65,66, dan
161. Hal yang ingin dilihat di sini yaitu bahwa homili berbeda dengan kotbah,
pidato, ataupun berbagai bentuk penyampaian materi secara lisan lainnya.
Dalam Sacra Pagina no. 35
dikatakan bahwa “Homili merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam
sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di
tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis”. Ini menunjuk pada
fungsi homili sebagai sarana evangelisasi. Selain untuk evangelisasi, homili
hendaknya juga dapat membawa orang pada rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti
suatu perubahan di mana terjadi perbaikan hubungan antara seorang individu
dengan Allah, Gereja, sesama dan seluruh lingkungan hidup.[13]
Jadi, dalam satu kali homili seorang homilis (imam) serentak mewartakan Sabda
Allah dan mengajak para pendengarnya melakukan pembenahan diri.
Saat ini, berdasarkan pengamatan kami dan pengakuan dari beberapa narasumber, sebagian dari
para homilis terkesan kurang menghayati peranannya sebagai homilis. Hal ini
terlihat dari cara homili dibawakan. Benar bahwa pembawa homili adalah manusia
biasa yang tidak lepas dari kekeliruan dan kelemahan. Namun, kekeliruan dan kelamahan
itu harus bisa diatasi sebab dalam homili ia menjadi pemberi kesaksian hidup mengenai apa
yang ia imani. Jadi, homili yang terkesan sebagai hasil improvisasi dengan
bentuk sistematisasi yang sulit diikuti umat dapat menimbulkan pertanyaan berkenaan
dengan inti homili yang ingin disampaikan.
Menjadi pewarta Sabda Allah adalah keharusan bagi mereka yang tertahbis.
Dengan tahbisan, seseorang telah menjawab panggilan Allah dan siap untuk diutus
sebagai pewarta. Saat ini, sebagai calon homilis, kami dipanggil untuk belajar
dan sekaligus memberi kesaksian. Namun kesaksian kami terbatas karena kami
bukan homilis untuk saat ini. Meski demikian, kami dapat merasakan bahwa
mewarta dengan sekaligus memberi kesaksian hidup bukanlah sesuatu yang mudah.
Sebagai seorang formandi yang bersuku Jawa, kami merasa belum bisa memahami
situasi umat lebih mendalam. Ini merupakan tantangan bagi kami sebagai calon
homilis. Suatu tuntutan untuk bisa menyampaikan Sabda Allah yang sungguh
menyentuh realitas kehidupan umat. Artinya, melalui pewartaan dan kesaksian
hidup kami, umat diharapkan dapat memperoleh pesan iman yang berguna untuk dirinya, untuk
dijadikan bekal dalam menjalani keberadaannya sebagai murid Kristus yang juga
harus mewarta dan memberikan kesaksian di tengah saudara dan saudarinya.
BAB V
TINDAKAN PASTORAL
Sebagai seorang farter yang notabene
adalah calon homilis, kami dituntut untuk melihat secara kristis
persoalan-persoalan yang ada dalam tubuh Gereja. Selain melihat, kami juga diundang untuk bermenung dan menemukan jalan keluar atas
persoalan yang ada tersebut.
Persoalan yang dihadapi Gerja dalam konteks ini yaitu persoalan mengenai
homili yang kurang menyentuh realitas kehidupan umat. Oleh sebab itu dalam tiga
(3) poin berikut, kami akan mencoba mengemukakan gagasan-gagasan kami sebagai bentuk tindakan pastoral.
1. Program/Aksi
Bertolak dari persoalan yang ada, yakni perbedaan latar belakang homilis
dan pendengar, situasi umat yang majemuk, dan kurangnya persiapan dalam
penyampaian homili, kami mencanangkan program sebagai berikut:
1.1. Pengenalan homilis akan kebutuhan pendengar
(umat) dengan menggunakan prinsip ‘di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung’.
Di beberapa tempat jumlah imam pribumi masih tergolong
sedikit. Umat harus bersyukur bahwa sudah ada imam yang memberi pelayanan
kepada mereka. Akibatnya,
banyak umat memilih untuk tidak banyak komentar ketika homili yang disampaikan
belum mampu menjawab kebutuhan iman mereka.
Terhadap realitas ini apa yang bisa dilakukan oleh
imam yang bersangkutan? Seorang gembala yang baik tentu bisa memberikan
perlindungan dan situasi nyaman bagi domba gembalaannya. Artinya, gembala tahu
apa yang dibutuhkan domba-dombanya. Oleh sebab itu, tugas para imam sebagai
homilis adalah memperhatikan apa yang mereka perlukan terkait dengan
pertumbuhan iman mereka.
Seorang homilis akan mendapat sambutan atau apresiasi
yang baik ketika homili yang
disampaikan menyentuh realitas dari kehidupan pendengarnya. Apalagi jika
homilis yang bersangkutan juga memberi tempat bagi pendengar yang bukan satu
suku dengannya. Apakah dengan mengambil ungkapan-ungkapan tertentu, cerita yang
akrab dalam keseharian pendengar, penyampaian kisah hidup homilis yang mirip
dengan kisah hidup pendengar , dan lain sebagainya. Atas usaha homilis tersebut,
pendengar akan merasa sangat dihargai.
1.2. Penyadaran diri dari pihak homilis atas
tuntutan umat yang memiliki pemikiran kritis terhadap kesesuaian antara warta
yang disampaikan dengan sikap homilis yang bersangkutan.
Berhomili berarti mewartakan Injil, membawa Kabar
Gembira kepada orang lain.[14] Mewarta, baik dengan kata maupun tindakan
nyata adalah tuntutan bagi para homilis. Jadi sikap homilis mempengaruhi minat pendengar untuk memahami pesan
yang disampaikan oleh homilis.
Homili merupakan suatu bentuk kesaksian iman homilis
atas perjumpaannya dengan Tuhan melalui refleksi pribadi. Maka, penting bagi
para homilis untuk memperhatikan dan menjaga sikap serta tutur kata mereka
ketika berada di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar homili yang disampaikan
lebih bisa diterima karena memiliki contoh yang sesuai dengan kehidupan homilis.
1.3. Kurangnya persiapan dalam penyampaian homili.
Program yang bisa kami temukan untuk persoalan
tersebut yaitu melatih diri homilis untuk disiplin dan percaya diri. Kurangnya
persiapan umumnya menunjuk pada aktivitas di luar penyampaian homili dan
kesiapan homilis untuk berhomili pada momen-momen tertentu. Jadi, persiapan
homili tetap penting untuk semakin menambah rasa yakin akan warta yang ingin
dibagikan kepada para pendengar.
2. Sosialisasi
Homili yang kurang menyentuh kehidupan umat merupakan persoalan yang
perlu diketahui dan diselesaikan secara bersama. Dalam hal ini, baik homilis
maupun mendengar harus bersikap saling terbuka. Artinya, ada komunikasi untuk
memperoleh titik temu. Jadi kedua pihak harus mengambil peran masing-masing.
Kesadaran atas persoalan
tersebut, dalam realitanya, masih sebatas gagasan. Rasa segan dari umat atas
pribadi imam masih tampak. Begitu juga dengan kesediaan imam untuk bertanya
mengenai hal-hal praktis sehubungan dengan isi dan penyampaian homili yang
telah ia bawakan.
Dalam hal ini, kesan
yang muncul yakni homilis harus menuruti keinginan pendengar. Namun, sejauh
tidak menjadi beban bagi homilis, kenapa tidak dilaksanakan? Artinya, homilis
perlu untuk melihat kembali tujuan dari penyampaian homili.
3. Jaringan/Gerakan
Pewartaan Sabda Allah merupakan tugas Gereja. Karena Gereja memiliki
susunan hirarki, maka perlu
gerakan saling menyokong. Oleh karena itu, bekerjasama sebagai satu tubuh Gereja menjadi suatu keharusan.
Homili yang kurang
menyentuh kehidupan umat secara tidak langsung menunjuk pada kegagalan homilis
dalam melaksanakan peranannya. Berhomili berarti memberi kesaksian hidup.
Dewasa ini, umat tampaknya lebih memerukan aplikasi konkrit yang berupa contoh-contoh
dari pada materi yang panjang selama homili berlangsung. Oleh karena itu,
gerakan yang bisa dilakukan dan dimulai oleh homilis dalam usahanya memperbaiki
kualitas homili yaitu dengan melihat kembali tujuan dari homili.
Untuk dapat membawakan
homili dengan baik dan menyentuh realita, maka gerakan dan langkah konkrit yang
langsung bisa dilakukan oleh para homilis adalah mengevaluasi homili yang telah
dibawakan. Evaluasi itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
dengan meminta pandangan atau tanggapan pendengar atau rekan homilis mengenai
homili yang telah ia bawakan. Hal-hal yang dievaluasi bisa menganai pembawaan
ataupun cara penyampaian si homilis.
KEPUSTAKAAN
Dokumen Konsili Vatikan II.
Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI –
Obor, 1993.
Hendrikus, Dori Wuwur. Berkotbah: Suatu Petunjuk Praktis. Ende:
Nusa Indah, 1989.
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris
Canonici, 1983). Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: Obor, 1991.
Mali, Mateus. “Teologi Homili”, dalam Komisi Liturgi KWI (ed.), Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Rothlisberger, H. Homiletika:
Ilmu Berkotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
[1]Mateus Mali, “Teologi Homili”, dalam Komisi Liturgi KWI (ed.), Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), hlm. 53.
[2]
Dori Wuwur Hendrikus, SVD, Berkotbah:
Suatu Petunjuk Praktis (Ende: Nusa Indah, 1989), hlm. 12.
[3]
H. Rothlisberger, Homiletika: Ilmu
Berkotbah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar