Pewahyuan Biblis tentang Dosa dan Pengampunan[1]
Dalam Syahadat Nicea
Konstantinopel, Gereja mengakui iman akan pengampunan dosa yang secara langsung
dihubungkan dengan baptisan. Hal ini memperjelas bahwa pengampunan dosa dan
kehidupan baru yang terdapat dalam baptisan saling terkait. Manusia lahir dalam
keadaan berdosa yang diakibatkan oleh perbuatan manusia pertama. Karena itu, manusia
terperangkap dalam jaring-jaring setan karena kesalahannya tersebut, dan dengan
kemampuannya sendiri, manusia tidak dapat lepas bebas dari jaring itu.
Sebaliknya, karena cinta-Nya, Allah telah membebaskan manusia dari dosa dan
setan. Hanya dalam persatuan dengan Kristus, manusia mendapat kepastian bahwa
dosanya telah diampuni dan dilahirkan kembali.
Manusia dan
Dosa-Dosanya
Tradisi biblis menyebutkan
bahwa dosa telah muncul sejak jatuhnya manusia pertama dalam dosa yang
dinyatakan dalam Kitab Kejadian, walaupun kisah penciptaan dengan jelas menyatakan
bahwa manusia tidak diciptakan sebagai orang berdosa. Dua unsur yang
menyebabkan manusia berdosa, yaitu karena manusia jatuh dalam godaan dan
ketidaktaatan pada perintah Allah. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus
dengan sungguh-sungguh menafsirkan perbuatan jahat manusia sebagai tindakan
ketidaktaatan (Rm. 5:19). Ini berarti bahwa manusia, sebagai ciptaan Allah,
harus tunduk kepada pencipta-Nya.
Dasar teologis tentang
dosa telah tercermin dalam tradisi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Dalam Perjanjian Lama, dosa dapat dilihat dalam hubungan personal antara
Allah dan Israel. Dosa itu dapat dilukiskan dengan ketidaksetiaan Bangsa Israel
terhadap Hukum dan ketetapan-Nya. Secara khusus dalam kisah ini dialami bangsa
Israel pada masa Keluaran sampai ke Tanah Terjanji.
Keberdosaan bangsa Israel
menjadi tolok ukur untuk mempertobatkan orang-orang pada zaman Paulus. Hal ini
dinyatakan dalam Rm. 1:21-23 yang berbunyi “Sebab sekalipun mereka mengenal
Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur
kepada-Nya... Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan
gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang
yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar”.
Meningkatnya kesadaran
tanggung jawab manusia akan pandangan terhadap dosa termuat dalam kisah Perjanjian
Baru. Melalui iman, kita tidak hanya diajarkan untuk menghindari dosa, tetapi
juga untuk bertindak secara bertanggung jawab dan melakukan apa yang baik. Kita
didorong oleh iman untuk bertindak dengan di dasari oleh cinta, dan melalui
“ciptaan baru”, kita disucikan oleh Allah dan diangkat menjadi anak-Nya. Allah dimuliakan
dalam diri seorang manusia dengan bantuan Roh Kudus. Namun hal itu bukan karena
perbuatan baik manusia, tetapi karena cinta Allah kepada manusia yang akhirnya
menuntut kita untuk senantiasa terarah dalam diri Kristus. Arah mendasar tidak
lagi didominasi oleh dosa tetapi oleh kasih.
Perjanjian Baru telah menyebutkan
bahwa dengan dosa, kita dapat menemukan konsep yang komprehensif tentang sejarah
keselamatan. Hal ini mau menyatakan bahwa Allah telah mengalahkan dosa manusia,
dan bahwa kita dipanggil kepada iman akan Yesus Kristus untuk dapat mencapai
penebusan dosa.
Pengampunan
Manusia
Jika dosa dipahami sebagai
kegagalan manusia, rahmat pengampunan menjadi sarana refleksi diri manusia atas
dosa-dosanya, di mana manusia dituntut menjadi seorang yang percaya akan belas
kasih Allah. Dalam pengampunan, manusia kembali kepada Allah. Hal ini tentu
bukan atas usaha manusia sendiri, melainkan sebuah jawaban atas panggilan
Allah. Pengampunan adalah sebuah tanggapan. Hal ini diawali dengan inisiatif
Allah yang berpaling pada manusia.
Melalui nabi Yesaya, Allah berfirman: “Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah
dirimu diselamatkan…, sebab Akulah Allah, dan tidak ada yang lain” (Yes.
45:22). Sabda Allah ini telah menawarkan pengampunan bagi manusia.
Dalam dunia Perjanjian
Baru Yesus sering hadir dan bergaul dengan para pendosa. Maksudnya sudah jelas,
bahwa kedatangan-Nya tidak lain untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa. Maka,
pengampunan menjadi modal pewartaan Kristus bagi pendosa yang mau bertobat.
Dalam Mat. 5:39, Yesus bersabda, “... siapa pun yang menampar pipi kananmu,
berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Yesus tidak menginginkan hukum balas
dendam, justru yang Dia harapkan adalah sikap pengampunan yang dilandasi oleh
kasih.
“Sebab
itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau
teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau,
tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu
dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu”, sabda
Yesus tentang pengampunan dan damai selalu terarah pada relasi manusia yang
satu dengan manusia yang lain. Pewahyuan biblis tentang pengampunan mengajarkan
kita untuk hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral di dalamnya.
[1] Sumber artikel dari: Karl
Kertelge, Dr. Theol., Biblical Revelation
about Sin, Conversion, and the Following of Christ, hlm. 31-45.
sepppp
BalasHapus