Minggu, 06 April 2014

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP ATEISME



TEROPONG FILOSOFIS ATAS PANDANGAN GEREJA KATOLIK
TERHADAP ATEISME

1.     Pemahaman tentang Ateisme
Ateisme merupakan suatu fakta dalam sejarah filsafat dan kebudayaan dewasa ini yang tidak boleh diabaikan. Menurut Gaudium et Spes, “ateisme termasuk keyakinan yang sungguh-sungguh harus diselidiki dengan seksama”.[1] Disamping itu, ateisme bertentangan dengan agama, karena ada perbedaan visi yang bertolak belakang mengenai eksistensi Allah.

                             Pengertian Ateisme
           Secara etimologis, istilah “ateisme” berasal dari bahasa Yunani a-theos, yang berarti tanpa Allah.[2] Kata ateisme berarti suatu aliran yang menyangkal adanya Allah. dengan kata lain, ateisme adalah keyakinan hidup orang-orang yang menolak adanya Allah.[3] Dalam sejarah, istilah ateisme dipakai juga untuk menyatakan keyakinan hidup orang-orang yang menyimpang dari pandangan keagamaan tradisional.[4] Pada abad pertama dan kedua, dalam kekaisaran Romawi, orang Kristen sering dituduh sebagai golongan atheis, karena mereka menolak menyembah dewa-dewi yang disembah oleh kaisar dan seluruh rakyatnya.[5]
           
                             Bentuk-bentuk ateisme
Secara umum ateisme dibedakan menjadi dua yakni ateisme teoretis dan ateisme praktis.[6]

                                              Ateisme Teoretis
Ateisme teoretis adalah suatu pandangan hidup yang menyangkal adanya Allah secara terang-terangan dan mengajukan argumen-argumen serta alasan-alasan rasional untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya. Ateisme teoretis sering kali bersifat militan, artinya orang melihat Allah itu sebagai musuh utama yang harus dihancurkan.[7] Pada umumnya ateisme teoretis merupakan keyakinan hidup kaum intelektual, yang ingin mencari kebenaran sejati. Gagasan-gagasan  mereka sering kali menimbulkan persoalan-persoalan mendasar bagi kehidupan manusia.
             Kemudian ateisme teoretis dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: ateisme humanistik, ateisme sosial politik, dan ateisme ilmiah.
  1. Ateisme Humanistik
Ateisme humanistik adalah suatu keyakinan hidup orang-orang yang beranggapan bahwa
Kepercayaan kepada Tuhan menindas manusia. Mereka melihat agama itu mempersulit hidup manusia dengan cara memberikan harapan-harapan yang palsu.[8] Selain itu, agama membuat manusia melarikan diri dari tanggung jawab dengan menerima Tuhan dalam dirinya.

  1. Ateisme Sosial Politik
Ateisme politik beranggapan bahwa kepercayaan akan Tuhan merupakan akibat ketidakberesan dalam suatu masyarakat. Manusia mengalami konflik ingin mencari keamanan dan ketenangan dengan masuk agama. Para penganut ateisme ini yakin bahwa percaya kepada Tuhan adalah penyakit dalam masyarakat. Karl Marx(1818-1883) mengatakan bahwa agama adalah “candu masyarakat”, karena agama menjadi alat politis untuk menenangkan masyarakat.[9]
Karl Marx menekankan bahwa “agama hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi tak berperikemanusiaan, uang menyebabkan manusia terasing secara sosial.[10] Manusia yang menjadi buruh tidak menikmati hasil kerjanya sendiri. Agama cenderung memihak kaum bermodal. Mereka berkuasa atas buruh dan mengatur gaji sesuka hatinya, tanpa memperhatikan hak dan kewajiban mereka secara adil.
  1. Ateisme Ilmiah
Ateisme ilmiah berpendapat bahwa kepercayaan akan Tuhan tidak bisa didamaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.[11] Mengapa? Karena agama tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kritis dari ilmu pengetahuan. Para penganut alam pikiran ini mengatakan bahwa agama adalah sikap hidup yang naif. Hal ini terbukti agama tidak mampu bersaing dengan ilmu pengetahuan. Bahkan para penganut aliran ini optimis bahwa ilmu pengetahuan modern merupakan kunci untuk membuka pintu segala kebenaran. Artinya, semua kebenaran terjangkau oleh ilmu pengetahuan; maka tidak ada lagi tempat bagi agama.[12]

                                              Ateisme Praktis
Manusia dapat mengingkari adanya Allah melalui praktek hidupnya. Mereka mengaku menganut salah satu agama, tetapi tidak hidup menurut ajaran agama tersebut. Hal ini menyebabkan lahirnya ateisme praktis. Ateisme praktis adalah sikap hidup yang tidak menghiraukan hal-hal religius. Sikap hidup demikian semakin tampak manakala orang menjalani hidupnya, seolah-olah Allah tidak ada.[13] Dengan kata lain orang tidak peduli tentang adanya Allah, karena orang mengambil sikap acuh tak acuh terhadap-Nya. Bagi mereka ada tidaknya Allah bukan persoalan.
2.     Teropong Filosofis atas Pandangan Gereja Katolik terhadap Ateisme
Dasar penolakan kaum ateisme atas ide Allah ialah karena ide akan Allah bertentangan dengan realitas hidup manusia. Kenyataan hidup manusia pada umumnya mengalami penderitaan akibat kejahatan yang merajalela di dunia. Hal itu tidak bisa disesuaikan dengan pengakuan orang beragama atas adanya Allah dengan memperjuangkan otonominya. Manusia berusaha hidup dan berembang secara sekular agar lebih manusiawi. Hal ini membuat orang modern sulit menemukan gambaran Allah yang benar. Bahkan mereka sendiri mempertanyakan secara kritis kebenaran ajaran agamanya.

                             Gereja Mengecam Ajaran dan Tindakan Kaum Atheis
Pada dasarnya Gereja mencintai semua manusia, karena manusia adalah citra Allah. demikian juga halnya terhadap kaum atheis, Gereja menaruh perhatian besar kepadanya. Namun Gereja tidak bisa menerima ajaran mereka, karena ajarannya dapat menghancurkan iman umat. Oleh karena itu, dalam kesetiaannya dengan Allah dan manusia, Gereja tiada henti-hentinya mengecam semua ajaran dan tindakan kaum atheis.[14]
Gereja sangat menentang dan mengecam ateisme yang mendambakan pembebasan manusia di bidang ekonomi dan sosial. Politik ekonomi selalu menciptakan jurang antara kaya dan miskin. Akibatnya banyak manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami kesengsaraan seumur hidup. Gereja menghukum ideologi-ideologi yang menyangkal Allah dan menindas Gereja dengan sistem-sistem yang sering dipersamakan dengan rezim-rezim ekonomi, sosial politik, dan komunisme yang ateistis.

                             Gereja Menolak dengan Tegas Ateisme
Perdebatan dalam Konsili Vatikan II mengenai ateisme cukup hangat. Konsili menggunakan kata “menolak”, dengan alasan karena kata tersebut tidak berkaitan dengan hukuman bagi diri kaum atheis. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja cukup hati-hati menangani masalah ateisme ini. Gereja sangat tegas menolak segala rumusan ajaran kaum atheis, yang bertentangan dengan ajaran dan iman kepercayaan. Namun Gereja tidak menolak manusianya, karena manusia atheis juga diciptakan Allah menurut citra-Nya.[15]
Setelah Gereja menyelidiki segala ajaran dan tindakan kaum atheis dengan saksama, maka jelas bahwa ateisme harus ditolak. Gereja tiada henti-hentinya menyalahkan ajaran kaum atheis, karena ateisme bertentangan dengan akal budi dan pengalaman umum manusia serta menurunkan manusia dari keluhuran yang dimilikinya.
Gereja sadar bahwa ajaran kaum atheis menjauhkan manusia dari Allah dan mengukuhkan kedudukannya sebagai pusat dan tujuan segala-galanya. Manusia mengagungkan kekuatan akal budi dan memuja hasil karyanya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan panggilan manusia sebagai putra Allah dan hidup dalam cinta kasih yang penuh kebahagiaan.[16] Dalam persatuan dengan Allah, manusia menemukan damai dan keadilan.
Walau Gereja menolak ateisme, namun Gereja mengakui bahwa ateisme memungkinkan Gereja untuk memurnikan diri dari idolatria dan menemukan gambaran Allah yang benar. Ateisme telah menyadarkan Gereja akan kemampuan manusia mengurus dirinya sendiri. Gereja percaya bahwa gambar Allah yang benar ada dalam Yesus Kristus, walaupun Yesus Kristus sendiri tetap tersembunyi bagi manusia.

                             Ateisme Bertentangan dengan Akal Budi
Pada dasarnya ide Allah bukan ciptaan akal budi manusia, tetapi atas inisiatif dari Allah sendiri. Hal ini dipertegas oleh Descartes yang mengatakan bahwa, “Ide Allah yang berada dalam akal budi manusia, berasal dari Allah sendiri”. Di samping itu, kenyataan memperlihatkan bahwa akal budi manusia tidak mampu berbuat apa-apa bila berhadapan dengan misteri Allah. Sebaliknya, dengan rahmat Allah, manusia semakin sempurna dan mampu menggunakan akal budinya untuk mengungkapkan kasih serta kemuliaan Allah. Selain itu, kita harus mengakui bahwa prestasi terbesar akal budi ialah pengakuan akan keterbatasannya.[17]
Kaum atheis mengingkari adanya Allah, maka konsekuensinya akal budi manusia tidak dapat mencapai atau menemukan sesuatu yang tidak ada. Oleh karena itu, ateisme sungguh-sungguh bertentangan dengan akal budi manusia. Padahal manusia melalui akal budinya, mampu sampai dan mengenal Allah dengan baik.[18] Kaum atheis lebih memprioritaskan kemampuan akal budi dalam mengungkapkan yang bereksistensi. Dengan kata lain, pikiran itu adalah pembenaran terakhir dari yang nyata. Eksistensialisme atheis mengatakan bahwa yang bereksistensi tidak dapat ditangkap oleh intelegensi. Artinya, ada eksistensi lain yang harus diakui oleh eksistensialisme yang tidak dapat dijangkau oleh intelegensi.[19]
                             Ateisme Bertentangan dengan Keluhuran Manusia
Manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila itu tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih dan menyerahkan diri kepada Penciptanya. Kalangan atheis termasuk orang-orang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah, bahkan dengan kesombongannya, mereka menonjolkan kehebatannya dirinya.[20]
Kaum humanisme Marxis tidak menghormati semua dimensi martabat manusia. Pengalaman manusia, adanya manusia, direduksi pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomi.[21] Oleh karena itu, ia yakin bahwa manusia akan hidup layak sebagai manusia manakala kebutuhan ekonominya terpenuhi. Menurut Nietzche, “Pengalaman adanya Allah membunuh manusia dan supaya manusia hidup maka Allah harus mati. Kenyataannya Allah telah mati.[22] Pendapat Nietzche ini jelas meruntuhkan keluhuran martabat manusia sebagai ciptaan Allah. padahal manusia menemukan kesempurnaan martabatnya dalam persatuannya dengan Allah.

3.     Penutup
Landasan martabat manusia yang paling luhur terletak pada kesatuannya dengan Allah. Manusia ada karena cinta Allah. Maka, manusia diundang untuk selalu berdialog dengan Allah. Namun banyak orang ternyata masih tidak menanggapi atau bahkan menolak secara eksplisit untuk bersatu dengan Allah. Orang-orang demikianlah yang disebut sebagai penganut ateisme (GS 19). Gereja sungguh pun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan bahwa semua orang beriman maupun tidak harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik dunia ini, yang merupakan tempat kediaman bersama (GS 21). Karena membela kebebasan beragama, Gereja juga harus membela mereka yang memilih tidak menganut agama. Iman bersifat bebas maka mungkin ada orang yang tidak sampai beriman. Gereja mau berusaha mengesampingkan segala sesuatu yang merupakan halangan untuk bertemu dengan Tuhan. Tetapi iman sendiri adalah rahmat Allah yang tidak dapat dipaksakan.




[1] Gaudium et Spes Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 19.

[2] A. Heuken, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1983), hlm. 106.

[3] Louis Leahy, Manusia di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah  (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 117.

[4] Louis Leahy, Manusia..., hlm. 117.

[5] A. Brevoort, Sejarah Gereja Awal (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 1996), hlm 72. (diktat)

[6]Theo Huijbers, Allah Ulasan-ulasan Mengenai Allah dan Agama, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 134-135.

[7] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 135.

[8] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 95.

[9] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 98.

[10] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 94.

[11] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 122.

[12] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 150-151.

[13] Theo Huijbers, Allah …, hlm. 136.

[14] GS 21.

[15] GS 20.
[16] GS 33.

[17] Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.137.

[18] GS 21.

[19] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 62.
[20] GS 21

[21] Louis Leahy, Aliran …, hlm. 110.
               
[22] Theo Huijbers, Allah..., hlm 176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar