Kamis, 10 April 2014

RATU ADIL



PANGERAN DIPONEGORO SEBAGAI RATU ADIL
PADA MASA KOLONIAL BELANDA MENURUT JANGKA JAYABAYA
Sebuah Gejala Kenabian dalam Budaya Jawa

1.      Pengantar
Mayarakat Jawa pada umumnya tidak asing dengan istilah-istilah seperti Ratu Adil[1], Herucakra[2], dan Zaman Edan[3]. Istilah-istilah tersebut merupakan ungkapan profetis yang menggambarkan suatu kondisi mengenai jaman yang semakin merosot dan suatu harapan mengenai datangnya penyelamat. Sang penyelamat itulah yang akan berperan sebagai pembebas yang melaksanakan suatu tata yang adil di bumi nusantara.
Pengharapan masyarakat Jawa mengenai suatu pengharapan mesianis tersebut didasarkan pada suatu ramalan yang tersusun dalam kalimat sastra para pujangga dan raja ternama pada jaman dahulu kala. Ramalan akan kedatangan penyelamat itu terdapat dalam ramalan Jayabaya. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Jawa berharap muncul tokoh yang akan membebaskan mereka dari penjajahan. Diponegoro, melalui pemberontakannya terhadap kolonial Belanda dan terhadap kebobrokan moral di lingkungan keraton, akhirnya digelari sebagai nabi sekaligus penyelamat.





2.      Jangka Jayabaya mengenai Ratu Adil
2.1  Jayabaya dan Jangka Jayabaya
Jayabaya adalah Raja Kediri yang termasyur. Pada masa kepemimpinannya (1135-1137), situasi kerajaan dalam keadaan subur-makmur, tenteram dan sejahtera. Selain sebagai Raja yang penuh dengan karisma, Jayabaya juga merupakan tokoh mistik, tokoh sejarah, dan sekaligus tokoh legenda. Ia adalah putra mahkota raja Erlangga di Kahuripan. Jayabaya juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan yang memerintahkan penulisan Kitab Bharatayuda kepada Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.[4]
Dalam legenda, Prabu Jayabaya pada akhir hayatnya mengalami moksa[5] di desa Menang, Kediri. Meski tidak ada bukti yang meyakinkan, namun kejadian tersebut banyak yang mempercayainya. Bahkan di desa tersebut telah didirikan monumen oleh yayasan Hondodento untuk mengenang riwayat Sang Prabu Jayabaya.[6]
Sementara itu, Jangka Jayabaya adalah ramalan Jayabaya yang sangat termasyur di kalangan masyarakat Jawa sejak berabad-abad yang lampau. Kata “jangka” berarti ramalan zaman atau ramalan perincian waktu tentang hal-hal yang akan terjadi, atau perhitungan berdasarkan ilmu perbintangan sebelum suatu peristiwa terjadi.[7]

2.2  Ramalan Jayabaya akan Kedatangan Ratu Adil
Jayabaya ialah seorang raja yang memiliki pengetahuan tentang perkara-perkara gaib dan mempunyai kemampuan untuk melihat hal-hal yang akan terjadi pada masa depan. Dengan pengetahuannya itu, Jayabaya membuat ramalan-ramalan yang mencakup segala bidang kehidupan dan ketatanegaraan. Salah satu ramalannya yang termasyur adalah tentang kedatangan seorang “Ratu Adil”.[8]
Ratu Adil atau Sang Penolong (Mesias) yang disebut dalam Ramalan Jayabaya adalah kunci utama yang amat besar pengaruhnya kepada masyarakat Jawa. Banyak orang yang mempercayai kedatangan Ratu Adil pada suatu saat tertentu, seperti halnya Mesias bagi bangsa Yahudi atau Imam Mahdi bagi orang Islam. Masyarakat Jawa meyakini akan kebenaran ramalan itu dan datangnya Ratu Adil yang akan mendatangkan perubahan dan membawa perbaikan nasib rakyat kecil.[9]
Dalam ramalan Jayabaya, masa kedatangan mesias ditandai dengan adanya gejala-gejala alam dan masyarakat. Gejala-gejala itu menjadi tanda adanya krisis hidup dan di saat krisis itulah mesias tampil untuk mengembalikan tatanan yang harmonis.[10]
Mesias yang dimaksud dalam ramalan ini adalah seorang tokoh yang telah menerima wahyu. Tokoh ini mempunyai gaya hidup mirip dengan seorang nabi, yakni berciri karismatis dan mitis. Dalam perkembangannya, tokoh tersebut jarang menyusun traktat atau ajaran yang positif, sebab apa yang dilakukannya cenderung memobilisir simbol-simbol kepercayaan yang ada.[11]
Ide mesias atau juru selamat sangat mempengaruhi dalam protes sosial masyarakat dan terukir dalam sejarah kebudayaan Jawa. Ide mesias itu menjadi harapan bagi masyarakat dan sewaktu-waktu dapat diaktualkan kembali, bahkan menjadi falsafah hidup masyarakat.[12]

3.      Diponegoro sebagai Ratu Adil
3.1  Riwayat Singkat
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1789. Ia adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan Hamengkubuono III[13] atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi).  Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang merupakan keturunan dari Ki Ageng Prampelan dari Pajang. Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Pada tahun 1805  Sultan HB II mengganti namanya  menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya  sejak  tahun 1812  ketika ayahnya naik takhta.
Walaupun Pangeran Diponegoro adalah putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok keraton, di lingkungan pedesaan Tegalrejo. Hal tersebut dilakukan karena dalam lingkup keraton terjadi kemerosotan moral. Pada masa dewasa Diponegoro kembali ke keraton untuk menuntut haknya sebagai seorang putra mahkota kerajaan. Namun, melihat situasi keraton dalam keadaan krisis ia menarik diri dan mau memperbaiki situasi tersebut dengan membentuk suatu komunitas baru atau kerajaan oposisi. Dalam komunitas itu Diponegoro merumuskan ulang hubungan antar manusia, alam dan supernatural.[14]

3.2  Perang Jawa sebagai Bentuk Pemberontakan
Diponegoro hidup pada masa-masa yang penuh pertikaian antar kerajaan di Pulau Jawa yang disertai campur tangan pihak Belanda. Hal itu membuat masyarakat Jawa kehilangan orientasi atau pegangan hidup. Dalam situasi demikian muncul kelompok-kelompok elite yang sebagian memihak Belanda dan sebagian menolak Belanda. Kelompok yang menolak Belanda inilah yang kemudian membuat gerakan pemberontakan.[15] 
Melihat situasi yang sedemikian kacau, Diponegoro tampil untuk memperbaiki situasi tersebut. Ia melihat bahwa terjadinya krisis hidup diakibatkan oleh campur tangan Belanda terhadap pemerintahan Jawa (khususnya di lingkup Keraton Yogya). Campur tangan Belanda membuat kerajaan pecah, menimbulkan adanya dekadensi moral dan runtuhnya adat tradisional dalam masyarakat Jawa. Situasi inilah yang ingin diredam oleh Pengeran Diponegoro melalui gerakan-gerakan pemberontakan yang berpuncak pada Perang Jawa.
3.3  Ratu Adil, antara Gerakan dan Pemberontakan
Bagi mistikus Jawa, model “jagat gedhe” (makrokosmos) tampil sebagai sebuah paradigma bagi manusia, si “jagat cilik” (mikrokosmos). Jika manusia tunduk pada “Tuhan” dan mempraktikkan mistisisme dengan tekun atau menunaikan kewajiban agamanya dengan taat untuk tujuan itu, keselarasan mereka dengan eksistensi yang lebih tinggi akan membuahkan kondisi moral dan material yang bermanfaat di dunia ini. Begitupun sebaliknya, suatu masyarakat yang tertib, adil, dan makmur menunjukkan hubungan yang harmonis dengan alam dan kodrat.[16]
Keharmonisan itu dapat dicapai jika dari Raja, sebagai orang yang memusatkan suatu takaran kosmis pada dirinya, mengalir ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekeliling. Tidak ada musuh dari luar atau kekacauan dari dalam karena kekuasaan yang berpusat dalam penguasa sedemikian besar, sehingga semua faktor yang bisa mengganggunya, seakan-akan telah dikeringkan.[17]
Jika seorang Raja atau pemimpin tidak mampu membawa ketenteraman dan kejayaan maka dianggap ia belum sepenuhnya menguasai kekuatan-kekuatan kosmis. Akibatnya pasti akan terjadi banyak kekacauan dan huru hara. Peristiwa-peristiwa kekacauan ini juga dapat merupakan alamat bahwa masyarakat menghadapi suatu masa kekacauan politis, suatu gangguan kosmis yang oleh orang Jawa disebut zaman edan (zaman gila). Pada zaman edan inilah, seorang Ratu Adil diharapkan muncul untuk membawa masyarakat pada keadaan tata tentrem kerta raharja.[18]
Zaman edan inilah alasan yang sering digunakan oleh seseorang atau golongan tertentu untuk melakukan gerakan mesianistik laksana Ratu Adil. Dari kacamata rakyat yang sedang tertindas, gerakan semacam ini merupakan manifestasi yang nyata dari sebuah mitos tentang Ratu Adil. Sedangkan bagi penguasa, gerakan semacam ini jelaslah sebuah pemberontakan atau pembangkangan. Terhadap suatu jenis kekuasaan yang berciri kosmis, tidak ada pembangkangan yang dibenarkan dan setiap pemberontak tidak bisa tidak adalah orang durhaka.[19]
Yang paling populer tentu saja adalah gerakan Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bagi masyarakat Jawa, gerakan Pangeran Diponegoro merupakan sebuah gerakan yang penuh harapan akan datangnya Ratu Adil. Namun, tentu saja bagi penguasa pada waktu itu, yaitu pemerintah kolonial dan penguasa Kraton Yogyakarta, gerakan Pangeran Diponegoro adalah sebuah pemberontakan dan pembangkangan.

4.      Nabi dan Visi Milenarian
Usaha Pangeran Diponegoro dalam menanggapi krisis hidup di lingkungan keraton yakni dengan berpaling pada gerakan melinium[20] yang merindukan kembali jaman keemasan di masa silam serentak menjadi kritik untuk jaman sekarang. Gerakan milenium Diponegoro inilah yang pada akhirnya membuat banyak orang memberikan gelar nabi dan mesias pada diri Diponegoro.[21]
Gerakan milenium yang dilakukan Diponegoro bukan semata-mata karena ungkapan kekecewaan dirinya terhadaap intervensi kolonial Belanda di lingkungan keraton, melainkan karena dalam diri Diponegoro tertanam jiwa kepemimpinan dan kenabian. Peranannya sebagai nabi menjadi pusat proses di mana ide-ide milenium disampaikan dan menjadi bentuk suatu ideologi yang mampu menggerakkan protes kekerasannya. Tokoh kenabian Diponegoro sekaligus menjadi kritik atas situasi pada jamannya.



4.1  Nabi dan Raja Penyelamat
Seperti halnya yang telah diuraikan di atas bahwa Diponegoro adalah tokoh utama pencetus Perang Jawa. Atas jasa-jasa yang telah dilakukan Diponegoro, banyak orang yang meramalkan bahwa Diponegoro akan menggantikan takhta kerajaan Yogyakarta yang ketiga, yang akan membebaskan rakyat dari penjajahan kolonial Belanda.
Berkat pendidikan dan pergaulannya yang luas, Diponegoro menjadi percaya diri dan mengklaim sifat kenabiannya yang serentak sebagai raja penyelamat. Klaim Diponegoro itu muncul karena ia ditolak untuk naik takhta oleh Belanda dan para pejabat keraton. Penolakan itu menimbulkan kekecewaan, keputusasaan dan ketidakpuasan Diponegoro. Situasi yang demikian mendorong dirinya menjadi pemberontak.[22]
Diponegoro melihat bahwa penyebab utama krisis hidup itu karena campur tangan Belanda dan kebusukan intern di lingkup keraton sendiri. Situasi tersebut yang membawa Diponegoro untuk melawan Belanda sekaligus kebobrokan istana. Berkat kepercayaan diri dan klaim kenabiannya, ia memperoleh banyak pengikut. Para pengikutnya menganggap Diponegoro sebagai tokoh sinkretis (raja penyelamat).
Usaha Diponegoro untuk menanggapi jamannya adalah dengan membentuk suatu komunitas baru yang hendak mengubah sistem tingkah laku dan memulihkan keseimbangan sosio budaya, yang mencapai puncaknya pada protes kekerasan atau revolusi.

4.2  Peranan Nabi
Raja merupakan puncak pimpinan dalam hirarki kepemimpinan masyarakat Jawa. Penghormatan terhadap pemimpin adalah salah satu ungkapan penyembahan terhadap Tuhan. Dalam arti tertentu, raja menjadi interpretasi bagi kehadirian Tuhan di dunia. Maka, nabi mempunyai peran yang sangat sentral dan suci, yakni sebagai raja penyelamat, perantara manusia dengan yang ilahi dan penggerak suatu gerakan.
Kehadiran Diponegoro sebagai pencetus Perang Jawa dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai nabi yang dinanti-nantikan, karena di dalam diri Diponegoro dimiliki ciri-ciri seorang nabi seperti di atas. Sejalan dengan peranan kenabian tersebut perlu diketahui bahwa gerakan milenium Diponegoro semata-mata terarah pada harapan milenium. Hal inilah yang dahulu diramalkan oleh Jayabaya bahwa di tengah situasi yang kacau akan muncul seorang penyelamat yang akan membawa bangsa menuju kemakmuran dan kedamaian.[23]
Dalam pengertian masyarakat Jawa, milenium menunjuk pada suatu abad keemasan yang menyatakan bahwa semua ketidak-adilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Di jaman milenium itulah seorang penyelamat akan datang. Di dalam situasi krisis, yaitu antara jaman sekarang dan milenium dari Diponegoro menjadi suatu respon atau dorongan bagi gerakan revolusioner.

5.      Perbandingan dengan Kenabian Biblis
Dalam studi Kitab Suci, telah disadari bahwa “nabi dan kenabian” bukanlah klaim dunia Israel dan biblis. Sebelum muncul gejala kenabian di Israel, Nabi dan kenabian sudah menjadi fenomena umum di dunia Timur Tengah Antik.[24] Demikian pula ketika mendalami dunia mistik dalam budaya Jawa, ternyata juga dijumpai adanya gejala kenabian yang memiliki beberapa kesamaan dengan gejala kenabian di dunia Israel dan biblis.
Dalam studi biblis dikatakan bahwa nabi adalah seorang yang mempunyai sesuatu untuk dikatakan, diwartakan dan dimaklumkan. Umumnya hal-hal yang diwartakan dan dimaklumkan sering berkaitan dengan masa depan, meski hal ini bukan merupakan ciri utama dari seorang nabi.[25] Dalam hal ini, nabi biblis memiliki kesamaan dengan Prabu Jayabaya yang memiliki kemampuan dalam meramalkan situasi yang akan terjadi pada masa depan.
Keutamaan yang mendorong nabi biblis dalam pewartaan dan tindakan mereka ialah kontak dan relasi pribadi dengan yang Ilahi (Tuhan).[26] Hal ini juga dialami oleh Jayabaya dan Diponegoro, di mana mereka juga memiliki kesatuan yang erat dengan yang ilahi, terutama dalam bertindak.
Nabi biblis, seperti Yesaya pernah menubuatkan akan kedatangan mesias (penyelamat) bagi bangsa Israel. Dalam refleksi orang Yahudi, nubuat itu terpenuhi dalam diri Raja Koresh yang telah membebaskan bangsa Israel dari pembuangan. Sementara dalam refleksi orang Kristen, nubuat itu terpenuhi dalam pribadi Yesus Kristus yang membebaskan dan menyelamatkan seluruh manusia dari dosa. Hal serupa juga terjadi pada ramalan Jayabaya. Ramalannya akan kedatangan Ratu Adil, menurut refleksi masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda sudah terpenuhi pada pribadi Diponegoro yang membawa rakyat Jawa pada kebebasan akan penjajahan. Namun bagi sebagian orang, kedatangan Ratu Adil masih terus dinantikan sampai suatu saat sungguh-sungguh terjadi keadaan yang damai, tentram, adil, dan sejahtera.
Beberapa kesamaan antara nabi biblis dan nabi jawa tersebut bukan berarti bahwa dalam masyarakat Jawa identik dengan tradisi Yahudi. Masih cukup banyak perbedaan pandangan tentang nabi dan kenabian antara kedua kebudayaan ini (Yahudi-Biblis dan Jawa).
Sebelum membandingkan perbedaan paham tentang nabi dan kenabian dalam tradisi biblis dan Jawa, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Dalam makalah ini, penulis menyajikan dua tokoh, yakni Prabu Jayabaya dengan ramalan-ramalannya dan Pangeran Diponegoro dengan gerakan-gerakan mileniumnya. Konteks penulis dalam membahas tema nabi ini ialah pada masa kolonial Belanda. Nampaknya jika diperbandingkan dengan kenabian biblis, ciri seorang nabi lebih cocok dialamatkan pada Jayabaya, karena dialah yang membuat ramalan-ramalan akan masa depan layaknya seorang nabi biblis.
Namun pada masa kolonial Belanda konsep nabi justru dialamatkan pada sosok Diponegoro. Hal ini karena konsep mengenai nabi dalam tradisi biblis dan Jawa memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Pada masa kolonial Belanda masyarakat Jawa memiliki ciri-ciri tersendiri akan siapa itu nabi. Orang Jawa pada waktu itu menyamakan begitu saja antara mesias (penyelamat) dengan nabi. Bagi mereka aksi milenarian yang dilakukan oleh Diponegoro mencerminkan ciri seorang nabi dan mesias sejati. Sementara dalam dunia biblis memandang nabi hanya sebatas sebagai juru bicara dan duta Allah, atau perantara warta antara Allah dengan manusia dan bukan sebagai mesias.
Perbedaan paham ini sudah cukup membuktikan bahwa meski antara kenabian biblis dan kenabian Jawa memiliki cukup banyak persamaan namun tetap disadari bahwa keduanya tidaklah identik. Meski demikian perlu diakui bahwa dalam kebudayaan Jawa sudah melekat juga mengenai gejala-gejala kenabian layaknya yang terjadi di sekitar dunia Timur Tengah Antik.
Berikut ini disajikan pembahasan Ratu Adil Sejati (paham keselamatan masyarakat Jawa) yang disejajarkan dengan pemahaman mesianis pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam paham kekristenan:
a.    Kesaksian dalam Perjanjian Lama
·      Yesaya 9:5
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, El Gibor, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”
·      Daniel 7:13-14
“Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.”
·         Zakharia 9:9-10
“Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsabangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.”
·         Zakharia 14:9
“Maka Yahweh akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu Yahweh adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya.”
Dari pemaparan nubuatan diatas, kita mendapatkan pemahaman bahwa Yahweh Sang Pencipta akan menjadi Raja yang didelegasikan melalui PutraNya yang tunggal, Sang Mesias. Namun banyak rabi-rabi Yahudi di zaman Yesus menolak sosok Yesus sebagai Raja, karena Dia tidak seperti yang diharapkan dalam berbagai nubuatan tersebut. Apalagi dengan tidak berdaya Dia berhasil ditangkap, disiksa, disalibkan serta dibunuh. Kenyataan ini semakin membuat mereka ragu bahwa Dia adalah Raja dan Mesias yang dijanjikan. Namun Perjanjian Lama sesungguhnya memberikan gambaran bahwa Mesias akan datang dua kali ke dunia ini, untuk melakukan tugas dari Sang Bapa. Kedatangan-Nya yang pertama dalam kehinaan dan aniaya yang berakhir dengan kematian-Nya. Namun Dia akan bangkit dari kematian dan naik ke sorga serta di akhir zaman Dia akan datang untuk yang kedua kalinya sebagai Raja. Nubuatan dalam Yesaya 53:8-12, menyiratkan bahwa kematian Mesias bukan akhir segalanya melainkan awal dari episode berikutnya dari Mesias, yaitu akan memerintah sebagai Raja:
“Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat,
sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi Yahweh berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan
dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan
lanjut, dan kehendak Yahweh akan terlaksana olehnya. Sesudah kesusahan jiwanya
ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia
pikul. Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai
ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung
di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak”

b.      Kesaksian dalam Perjanjian Baru
·         Kisah Para Rasul 17:31
“Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati.”

·         1 Korintus 15:20-26
“Tetapi yang benar ialah, bahwa Mesias telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. Tetapi tiaptiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya. Kemudian tiba kesudahannya, yaitu bilamana Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah Bapa, sesudah Ia membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan. Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah meletakkan semua musuh-Nya di bawah kaki-Nya. Musuh yang terakhir, yang dibinasakan ialah maut.”
Dari kesaksian PL dan PB, menjadi jelas siapakah sesungguhnya Raja Adil yang sejati, Dia adalah Yahweh sendiri yang menyatakan diriNya dan mendelegasikan kedaulatanNya kepada Mesias, PutraNya Yang Tunggal, yaitu Yesus. Di dalam diri-Nyalah seluruh KEPENUHAN Allah berdiam dan KESEMPURNAAN pribadi-Nya dapat dilihat siapapun. Apa yang diharapkan umat manusia akan terlaksana melalui pemerintahan yang akan dilaksanakan-Nya selama-lamanya. Yesus bukan mewakili golongan atau partai apapun. Dia adalah yang datang dan keluar dari Wujud Sang Bapa Yang Kekal. Pemerintahan-Nya adalah pemerintahan yang kekal.

6.      Kesimpulan
Salah satu frasa yang paling populer dari ranah Jawa adalah frasa mengenai Ratu Adil. Frasa tersebut sering disebut dalam karya-karya sastra Jawa lama hingga menjadi perbincangan oleh berbagai kalangan sampai saat ini. Ratu Adil sendiri merupakan tokoh eskatologis tradisional penegak keadilan yang kedatangannya senantiasa didambakan.
Pembicaraan Ratu Adil tersebut tidak lepas dari ramalan-ramalan Raja Jayabaya, Raja Kediri yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Ia meramalkan jikalau Pulau Jawa akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru oleh sang Ratu Adil Herucakra. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap diri sebagai Ratu Adil, terutama di saat nusantara dikuasai oleh kolonial Belanda.
Pada masa itu, masyarakat Jawa menganggap bahwa ramalan Jayabaya tentang kedatangan Ratu Adil sudah terpenuhi dalam diri Pangeran Diponegoro. Melaui gerakan-gerakan mileniumnya, Diponegoro digelari nabi sekaligus mesias oleh orang Jawa yang hidup pada masa penjajahan Belanda.
Pemahaman-pemahaman ini hendak menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa sudah muncul gejala-gejala kenabian layaknya yang terjadi dalam lingkup tradisi biblis dan dunia Timur Tengah Antik. Mengapa? Karena dalam budaya Jawa sudah muncul tokoh yang meramalkan kejadian di masa depan seperti Jayabaya. Bahkan ramalan itu berkaitan juga dengan penantian akan kedatangan sang penyelamat. Orang Jawa menantikan sosok Ratu Adil, sementara Israel menantikan Mesias.


[1] Dr. Purwadi, M. Hum., mengungkapkan bahwa “Ratu Adil” dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga dipahami sebagi pelindung atau pengayom dari seluruh masyarakat tanpa membedakan golongan dan tanpa keberpihakan kecuali hanya berpihak pada kebenaran hakiki yang bersifat universal. [lihat Purwadi, Ramalan Zaman Edan Ronggowarsito (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm 215].

[2] Erucakra atau Herucakra adalah raja keadilan, penguasa agama dan nabi Tuhan.  Umumnya istilah ini digabung dengan istilah Ratu Adil, menjadi “Ratu Adil Herucakra”.

[3] Zaman Edan atau zaman gila merupakan suatu fenomena yang sedang dilanda krisis dan bencana.
[4] Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Histeriografi Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 176; bdk. H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam (Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia, 1995), hlm. 6.

[5] Moksa berarti meninggalkan dunia dengan jasadnya.

[6] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 6.

[7] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 3

[8] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…, hlm. 176.

[9] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 28.

[10] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…, hlm. 183.

[11] Sartono Kartodirjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 15-18.

[12] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…, hlm. 188.

[13] Dalam pembahasan selanjutnya, sebutan “Hamengkubuono” disingkat dengan HB.

[14] Michael Adas, Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa (judul asli: Propeth of Rebellion, Millenarian, Protest Movement Against the European Colonial Order) diterjemahkan oleh M. Tohir Effendi (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 163-164.

[15] Michael Adas, Ratu Adil..., hlm. 14.

[16] Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (Yokyakarta: LKiS, 2007), hlm. 38-41.

[17] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 100.

[18] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa…, hlm 101.

[19] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 158.

[20] Gerakan milenium/milenarian adalah suatu gerakan yang menginginkan untuk kembali ke tatanan terdahulu yang dilihat sebagai masa keemasan, dan bukan untuk menciptakan suatu masyarakat yang berkembang. Maka, apabila Diponegoro adalah tokoh utama gerekan milenium hal itu berarti Diponegoro menginginkan suatu tatanan masyarakat yang seperti dahulu, yakni sebelum Belanda masuk ke nusantara. Situasi itu dahulu dialami oleh masyarakat Jawa pada pemerintahan Prabu Jayabaya.

[21] Michael Adas, Ratu Adil..., hlm. 160.

[22] Michael Adas, Ratu Adil..., hlm. 167.

[23] Michael Adas, Ratu Adil..., hlm. 201.

[24] Serpulus Simamora, Kitab Nabi-nabi Besar: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2004), hlm. 4.

[25] Serpulus Simamora, Kitab..., hlm. 2.

[26] Serpulus Simamora, Kitab..., hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar