PANGERAN
DIPONEGORO SEBAGAI RATU ADIL
PADA
MASA KOLONIAL BELANDA MENURUT JANGKA JAYABAYA
Sebuah Gejala Kenabian dalam Budaya
Jawa
1. Pengantar
Mayarakat
Jawa pada umumnya tidak asing dengan istilah-istilah seperti Ratu Adil[1],
Herucakra[2], dan Zaman Edan[3]. Istilah-istilah
tersebut merupakan ungkapan profetis yang menggambarkan suatu kondisi mengenai
jaman yang semakin merosot dan suatu harapan mengenai datangnya penyelamat.
Sang penyelamat itulah yang akan berperan sebagai pembebas yang melaksanakan
suatu tata yang adil di bumi nusantara.
Pengharapan
masyarakat Jawa mengenai suatu pengharapan mesianis tersebut didasarkan pada suatu
ramalan yang tersusun dalam kalimat sastra para pujangga dan raja ternama pada
jaman dahulu kala. Ramalan akan kedatangan penyelamat itu terdapat dalam
ramalan Jayabaya. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Jawa berharap muncul
tokoh yang akan membebaskan mereka dari penjajahan. Diponegoro, melalui
pemberontakannya terhadap kolonial Belanda dan terhadap kebobrokan moral di
lingkungan keraton, akhirnya digelari sebagai nabi sekaligus penyelamat.
2. Jangka Jayabaya mengenai Ratu Adil
2.1 Jayabaya dan Jangka Jayabaya
Jayabaya
adalah Raja Kediri yang termasyur. Pada masa kepemimpinannya (1135-1137),
situasi kerajaan dalam keadaan subur-makmur, tenteram dan sejahtera. Selain
sebagai Raja yang penuh dengan karisma, Jayabaya juga merupakan tokoh mistik,
tokoh sejarah, dan sekaligus tokoh legenda. Ia adalah putra mahkota raja
Erlangga di Kahuripan. Jayabaya juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan
budayawan yang memerintahkan penulisan Kitab Bharatayuda kepada Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh.[4]
Dalam
legenda, Prabu Jayabaya pada akhir hayatnya mengalami moksa[5]
di desa Menang, Kediri. Meski tidak ada bukti yang meyakinkan, namun kejadian
tersebut banyak yang mempercayainya. Bahkan di desa tersebut telah didirikan
monumen oleh yayasan Hondodento untuk mengenang riwayat Sang Prabu Jayabaya.[6]
Sementara
itu, Jangka Jayabaya adalah ramalan Jayabaya yang sangat termasyur di kalangan
masyarakat Jawa sejak berabad-abad yang lampau. Kata “jangka” berarti ramalan
zaman atau ramalan perincian waktu tentang hal-hal yang akan terjadi, atau
perhitungan berdasarkan ilmu perbintangan sebelum suatu peristiwa terjadi.[7]
2.2 Ramalan Jayabaya akan Kedatangan
Ratu Adil
Jayabaya
ialah seorang raja yang memiliki pengetahuan tentang perkara-perkara gaib dan
mempunyai kemampuan untuk melihat hal-hal yang akan terjadi pada masa depan. Dengan
pengetahuannya itu, Jayabaya membuat ramalan-ramalan yang mencakup segala
bidang kehidupan dan ketatanegaraan. Salah satu ramalannya yang termasyur
adalah tentang kedatangan seorang “Ratu Adil”.[8]
Ratu
Adil atau Sang Penolong (Mesias) yang disebut dalam Ramalan Jayabaya adalah
kunci utama yang amat besar pengaruhnya kepada masyarakat Jawa. Banyak orang
yang mempercayai kedatangan Ratu Adil pada suatu saat tertentu, seperti halnya
Mesias bagi bangsa Yahudi atau Imam Mahdi bagi orang Islam. Masyarakat Jawa
meyakini akan kebenaran ramalan itu dan datangnya Ratu Adil yang akan
mendatangkan perubahan dan membawa perbaikan nasib rakyat kecil.[9]
Dalam
ramalan Jayabaya, masa kedatangan mesias ditandai dengan adanya gejala-gejala
alam dan masyarakat. Gejala-gejala itu menjadi tanda adanya krisis hidup dan di
saat krisis itulah mesias tampil untuk mengembalikan tatanan yang harmonis.[10]
Mesias
yang dimaksud dalam ramalan ini adalah seorang tokoh yang telah menerima wahyu.
Tokoh ini mempunyai gaya hidup mirip dengan seorang nabi, yakni berciri
karismatis dan mitis. Dalam perkembangannya, tokoh tersebut jarang menyusun
traktat atau ajaran yang positif, sebab apa yang dilakukannya cenderung
memobilisir simbol-simbol kepercayaan yang ada.[11]
Ide
mesias atau juru selamat sangat mempengaruhi dalam protes sosial masyarakat dan
terukir dalam sejarah kebudayaan Jawa. Ide mesias itu menjadi harapan bagi
masyarakat dan sewaktu-waktu dapat diaktualkan kembali, bahkan menjadi falsafah
hidup masyarakat.[12]
3. Diponegoro sebagai Ratu Adil
3.1 Riwayat Singkat
Pangeran
Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1789. Ia adalah putra sulung Sultan
Jogya, Sultan Hamengkubuono III[13]
atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB
II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A.
Mangkarawati yang merupakan keturunan dari Ki Ageng Prampelan dari Pajang. Nama
asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama
Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya
sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok keraton,
di lingkungan pedesaan Tegalrejo. Hal tersebut dilakukan karena dalam lingkup
keraton terjadi kemerosotan moral. Pada masa dewasa Diponegoro kembali ke
keraton untuk menuntut haknya sebagai seorang putra mahkota kerajaan. Namun,
melihat situasi keraton dalam keadaan krisis ia menarik diri dan mau
memperbaiki situasi tersebut dengan membentuk suatu komunitas baru atau
kerajaan oposisi. Dalam komunitas itu Diponegoro merumuskan ulang hubungan
antar manusia, alam dan supernatural.[14]
3.2 Perang Jawa sebagai Bentuk Pemberontakan
Diponegoro
hidup pada masa-masa yang penuh pertikaian antar kerajaan di Pulau Jawa yang
disertai campur tangan pihak Belanda. Hal itu membuat masyarakat Jawa
kehilangan orientasi atau pegangan hidup. Dalam situasi demikian muncul kelompok-kelompok
elite yang sebagian memihak Belanda dan sebagian menolak Belanda. Kelompok yang
menolak Belanda inilah yang kemudian membuat gerakan pemberontakan.[15]
Melihat
situasi yang sedemikian kacau, Diponegoro tampil untuk memperbaiki situasi
tersebut. Ia melihat bahwa terjadinya krisis hidup diakibatkan oleh campur
tangan Belanda terhadap pemerintahan Jawa (khususnya di lingkup Keraton Yogya).
Campur tangan Belanda membuat kerajaan pecah, menimbulkan adanya dekadensi
moral dan runtuhnya adat tradisional dalam masyarakat Jawa. Situasi inilah yang
ingin diredam oleh Pengeran Diponegoro melalui gerakan-gerakan pemberontakan
yang berpuncak pada Perang Jawa.
3.3 Ratu Adil, antara Gerakan dan
Pemberontakan
Bagi mistikus Jawa, model “jagat gedhe” (makrokosmos) tampil
sebagai sebuah paradigma bagi manusia, si “jagat cilik” (mikrokosmos). Jika manusia tunduk pada “Tuhan” dan
mempraktikkan mistisisme dengan tekun atau menunaikan kewajiban agamanya dengan
taat untuk tujuan itu, keselarasan mereka dengan eksistensi yang lebih tinggi
akan membuahkan kondisi moral dan material yang bermanfaat di dunia ini.
Begitupun sebaliknya, suatu masyarakat yang tertib, adil, dan makmur
menunjukkan hubungan yang harmonis dengan alam dan kodrat.[16]
Keharmonisan itu dapat dicapai jika
dari Raja, sebagai orang yang memusatkan suatu takaran kosmis pada dirinya,
mengalir ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekeliling. Tidak ada musuh
dari luar atau kekacauan dari dalam karena kekuasaan yang berpusat dalam
penguasa sedemikian besar, sehingga semua faktor yang bisa mengganggunya,
seakan-akan telah dikeringkan.[17]
Jika seorang Raja atau pemimpin
tidak mampu membawa ketenteraman dan kejayaan maka dianggap ia belum sepenuhnya
menguasai kekuatan-kekuatan kosmis. Akibatnya pasti akan terjadi banyak
kekacauan dan huru hara. Peristiwa-peristiwa kekacauan ini juga dapat merupakan
alamat bahwa masyarakat menghadapi suatu masa kekacauan politis, suatu gangguan
kosmis yang oleh orang Jawa disebut zaman edan (zaman gila). Pada zaman
edan inilah, seorang Ratu Adil diharapkan muncul untuk membawa masyarakat pada
keadaan tata tentrem kerta raharja.[18]
Zaman edan inilah alasan yang sering
digunakan oleh seseorang atau golongan tertentu untuk melakukan gerakan
mesianistik laksana Ratu Adil. Dari kacamata rakyat yang sedang tertindas,
gerakan semacam ini merupakan manifestasi yang nyata dari sebuah mitos tentang
Ratu Adil. Sedangkan bagi penguasa, gerakan semacam ini jelaslah sebuah
pemberontakan atau pembangkangan. Terhadap suatu jenis kekuasaan yang berciri
kosmis, tidak ada pembangkangan yang dibenarkan dan setiap pemberontak tidak
bisa tidak adalah orang durhaka.[19]
Yang paling populer tentu saja
adalah gerakan Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Bagi masyarakat Jawa, gerakan Pangeran Diponegoro merupakan sebuah gerakan
yang penuh harapan akan datangnya Ratu Adil. Namun, tentu saja bagi penguasa
pada waktu itu, yaitu pemerintah kolonial dan penguasa Kraton Yogyakarta,
gerakan Pangeran Diponegoro adalah sebuah pemberontakan dan pembangkangan.
4. Nabi dan Visi Milenarian
Usaha
Pangeran Diponegoro dalam menanggapi krisis hidup di lingkungan keraton yakni
dengan berpaling pada gerakan melinium[20]
yang merindukan kembali jaman keemasan di masa silam serentak menjadi kritik
untuk jaman sekarang. Gerakan milenium Diponegoro inilah yang pada akhirnya
membuat banyak orang memberikan gelar nabi dan mesias pada diri Diponegoro.[21]
Gerakan
milenium yang dilakukan Diponegoro bukan semata-mata karena ungkapan kekecewaan
dirinya terhadaap intervensi kolonial Belanda di lingkungan keraton, melainkan
karena dalam diri Diponegoro tertanam jiwa kepemimpinan dan kenabian.
Peranannya sebagai nabi menjadi pusat proses di mana ide-ide milenium
disampaikan dan menjadi bentuk suatu ideologi yang mampu menggerakkan protes
kekerasannya. Tokoh kenabian Diponegoro sekaligus menjadi kritik atas situasi
pada jamannya.
4.1 Nabi dan Raja Penyelamat
Seperti
halnya yang telah diuraikan di atas bahwa Diponegoro adalah tokoh utama pencetus
Perang Jawa. Atas jasa-jasa yang telah dilakukan Diponegoro, banyak orang yang
meramalkan bahwa Diponegoro akan menggantikan takhta kerajaan Yogyakarta yang
ketiga, yang akan membebaskan rakyat dari penjajahan kolonial Belanda.
Berkat
pendidikan dan pergaulannya yang luas, Diponegoro menjadi percaya diri dan
mengklaim sifat kenabiannya yang serentak sebagai raja penyelamat. Klaim
Diponegoro itu muncul karena ia ditolak untuk naik takhta oleh Belanda dan para
pejabat keraton. Penolakan itu menimbulkan kekecewaan, keputusasaan dan
ketidakpuasan Diponegoro. Situasi yang demikian mendorong dirinya menjadi
pemberontak.[22]
Diponegoro
melihat bahwa penyebab utama krisis hidup itu karena campur tangan Belanda dan
kebusukan intern di lingkup keraton sendiri. Situasi tersebut yang membawa
Diponegoro untuk melawan Belanda sekaligus kebobrokan istana. Berkat
kepercayaan diri dan klaim kenabiannya, ia memperoleh banyak pengikut. Para
pengikutnya menganggap Diponegoro sebagai tokoh sinkretis (raja penyelamat).
Usaha
Diponegoro untuk menanggapi jamannya adalah dengan membentuk suatu komunitas
baru yang hendak mengubah sistem tingkah laku dan memulihkan keseimbangan sosio
budaya, yang mencapai puncaknya pada protes kekerasan atau revolusi.
4.2 Peranan Nabi
Raja
merupakan puncak pimpinan dalam hirarki kepemimpinan masyarakat Jawa.
Penghormatan terhadap pemimpin adalah salah satu ungkapan penyembahan terhadap
Tuhan. Dalam arti tertentu, raja menjadi interpretasi bagi kehadirian Tuhan di
dunia. Maka, nabi mempunyai peran yang sangat sentral dan suci, yakni sebagai
raja penyelamat, perantara manusia dengan yang ilahi dan penggerak suatu
gerakan.
Kehadiran
Diponegoro sebagai pencetus Perang Jawa dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai
nabi yang dinanti-nantikan, karena di dalam diri Diponegoro dimiliki ciri-ciri
seorang nabi seperti di atas. Sejalan dengan peranan kenabian tersebut perlu
diketahui bahwa gerakan milenium Diponegoro semata-mata terarah pada harapan
milenium. Hal inilah yang dahulu diramalkan oleh Jayabaya bahwa di tengah
situasi yang kacau akan muncul seorang penyelamat yang akan membawa bangsa
menuju kemakmuran dan kedamaian.[23]
Dalam
pengertian masyarakat Jawa, milenium menunjuk pada suatu abad keemasan yang
menyatakan bahwa semua ketidak-adilan akan diakhiri dan keharmonisan akan
dipulihkan. Di jaman milenium itulah seorang penyelamat akan datang. Di dalam
situasi krisis, yaitu antara jaman sekarang dan milenium dari Diponegoro
menjadi suatu respon atau dorongan bagi gerakan revolusioner.
5. Perbandingan dengan Kenabian Biblis
Dalam
studi Kitab Suci, telah disadari bahwa “nabi dan kenabian” bukanlah klaim dunia
Israel dan biblis. Sebelum muncul gejala kenabian di Israel, Nabi dan kenabian
sudah menjadi fenomena umum di dunia Timur Tengah Antik.[24]
Demikian pula ketika mendalami dunia mistik dalam budaya Jawa, ternyata juga
dijumpai adanya gejala kenabian yang memiliki beberapa kesamaan dengan gejala
kenabian di dunia Israel dan biblis.
Dalam
studi biblis dikatakan bahwa nabi adalah seorang yang mempunyai sesuatu untuk
dikatakan, diwartakan dan dimaklumkan. Umumnya hal-hal yang diwartakan dan
dimaklumkan sering berkaitan dengan masa depan, meski hal ini bukan merupakan
ciri utama dari seorang nabi.[25]
Dalam hal ini, nabi biblis memiliki kesamaan dengan Prabu Jayabaya yang
memiliki kemampuan dalam meramalkan situasi yang akan terjadi pada masa depan.
Keutamaan
yang mendorong nabi biblis dalam pewartaan dan tindakan mereka ialah kontak dan
relasi pribadi dengan yang Ilahi (Tuhan).[26]
Hal ini juga dialami oleh Jayabaya dan Diponegoro, di mana mereka juga memiliki
kesatuan yang erat dengan yang ilahi, terutama dalam bertindak.
Nabi
biblis, seperti Yesaya pernah menubuatkan akan kedatangan mesias (penyelamat)
bagi bangsa Israel. Dalam refleksi orang Yahudi, nubuat itu terpenuhi dalam
diri Raja Koresh yang telah membebaskan bangsa Israel dari pembuangan.
Sementara dalam refleksi orang Kristen, nubuat itu terpenuhi dalam pribadi
Yesus Kristus yang membebaskan dan menyelamatkan seluruh manusia dari dosa. Hal
serupa juga terjadi pada ramalan Jayabaya. Ramalannya akan kedatangan Ratu Adil,
menurut refleksi masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda sudah terpenuhi
pada pribadi Diponegoro yang membawa rakyat Jawa pada kebebasan akan
penjajahan. Namun bagi sebagian orang, kedatangan Ratu Adil masih terus
dinantikan sampai suatu saat sungguh-sungguh terjadi keadaan yang damai,
tentram, adil, dan sejahtera.
Beberapa
kesamaan antara nabi biblis dan nabi jawa tersebut bukan berarti bahwa dalam
masyarakat Jawa identik dengan tradisi Yahudi. Masih cukup banyak perbedaan
pandangan tentang nabi dan kenabian antara kedua kebudayaan ini (Yahudi-Biblis
dan Jawa).
Sebelum
membandingkan perbedaan paham tentang nabi dan kenabian dalam tradisi biblis
dan Jawa, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Dalam makalah ini, penulis
menyajikan dua tokoh, yakni Prabu Jayabaya dengan ramalan-ramalannya dan
Pangeran Diponegoro dengan gerakan-gerakan mileniumnya. Konteks penulis dalam
membahas tema nabi ini ialah pada masa kolonial Belanda. Nampaknya jika
diperbandingkan dengan kenabian biblis, ciri seorang nabi lebih cocok
dialamatkan pada Jayabaya, karena dialah yang membuat ramalan-ramalan akan masa
depan layaknya seorang nabi biblis.
Namun
pada masa kolonial Belanda konsep nabi justru dialamatkan pada sosok
Diponegoro. Hal ini karena konsep mengenai nabi dalam tradisi biblis dan Jawa
memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Pada masa kolonial Belanda masyarakat
Jawa memiliki ciri-ciri tersendiri akan siapa itu nabi. Orang Jawa pada waktu
itu menyamakan begitu saja antara mesias (penyelamat) dengan nabi. Bagi mereka
aksi milenarian yang dilakukan oleh Diponegoro mencerminkan ciri seorang nabi
dan mesias sejati. Sementara dalam dunia biblis memandang nabi hanya sebatas
sebagai juru bicara dan duta Allah, atau perantara warta antara Allah dengan
manusia dan bukan sebagai mesias.
Perbedaan
paham ini sudah cukup membuktikan bahwa meski antara kenabian biblis dan
kenabian Jawa memiliki cukup banyak persamaan namun tetap disadari bahwa
keduanya tidaklah identik. Meski demikian perlu diakui bahwa dalam kebudayaan
Jawa sudah melekat juga mengenai gejala-gejala kenabian layaknya yang terjadi
di sekitar dunia Timur Tengah Antik.
Berikut
ini disajikan pembahasan Ratu Adil Sejati (paham keselamatan masyarakat Jawa)
yang disejajarkan dengan pemahaman mesianis pada Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dalam paham kekristenan:
a. Kesaksian dalam Perjanjian Lama
·
Yesaya 9:5
“Sebab seorang anak
telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang
pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat
Ajaib, El Gibor, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”
·
Daniel 7:13-14
“Aku terus melihat
dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang
seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia
dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan
kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan
bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak
akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.”
·
Zakharia 9:9-10
“Bersorak-soraklah
dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem!
Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan
mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan
kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan,
dan ia akan memberitakan damai kepada bangsabangsa. Wilayah kekuasaannya akan
terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung
bumi.”
·
Zakharia 14:9
“Maka Yahweh akan
menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu Yahweh adalah satu-satunya dan
nama-Nya satu-satunya.”
Dari pemaparan nubuatan
diatas, kita mendapatkan pemahaman bahwa Yahweh Sang Pencipta akan menjadi Raja
yang didelegasikan melalui PutraNya yang tunggal, Sang Mesias. Namun banyak
rabi-rabi Yahudi di zaman Yesus menolak sosok Yesus sebagai Raja, karena Dia
tidak seperti yang diharapkan dalam berbagai nubuatan tersebut. Apalagi dengan
tidak berdaya Dia berhasil ditangkap, disiksa, disalibkan serta dibunuh.
Kenyataan ini semakin membuat mereka ragu bahwa Dia adalah Raja dan Mesias yang
dijanjikan. Namun Perjanjian Lama sesungguhnya memberikan gambaran bahwa Mesias
akan datang dua kali ke dunia ini, untuk melakukan tugas dari Sang Bapa.
Kedatangan-Nya yang pertama dalam kehinaan dan aniaya yang berakhir dengan
kematian-Nya. Namun Dia akan bangkit dari kematian dan naik ke sorga serta di
akhir zaman Dia akan datang untuk yang kedua kalinya sebagai Raja. Nubuatan
dalam Yesaya 53:8-12, menyiratkan bahwa kematian Mesias bukan akhir segalanya melainkan
awal dari episode berikutnya dari Mesias, yaitu akan memerintah sebagai Raja:
“Sesudah
penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang
memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena
pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. Orang menempatkan kuburnya di antara
orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat,
sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan
tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi Yahweh berkehendak meremukkan dia dengan
kesakitan. Apabila ia menyerahkan
dirinya sebagai korban penebus salah, ia
akan melihat keturunannya, umurnya akan
lanjut, dan kehendak Yahweh akan
terlaksana olehnya. Sesudah kesusahan jiwanya
ia akan melihat terang dan menjadi puas;
dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh
hikmatnya, dan kejahatan mereka dia
pikul. Sebab itu Aku akan membagikan
kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang
kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai
ganti karena ia telah menyerahkan
nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung
di antara pemberontak-pemberontak,
sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk
pemberontak-pemberontak”
b. Kesaksian dalam Perjanjian Baru
·
Kisah Para Rasul 17:31
“Karena Ia telah
menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia
oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua
orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang
mati.”
·
1 Korintus 15:20-26
“Tetapi yang benar
ialah, bahwa Mesias telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang
sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang
karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena
satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan
dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam
persekutuan dengan Kristus. Tetapi tiaptiap orang menurut urutannya: Kristus
sebagai buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu
kedatangan-Nya. Kemudian tiba kesudahannya, yaitu bilamana Ia menyerahkan Kerajaan
kepada Allah Bapa, sesudah Ia membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan dan
kekuatan. Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah
meletakkan semua musuh-Nya di bawah kaki-Nya. Musuh yang terakhir, yang
dibinasakan ialah maut.”
Dari kesaksian PL dan
PB, menjadi jelas siapakah sesungguhnya Raja Adil yang sejati, Dia adalah
Yahweh sendiri yang menyatakan diriNya dan mendelegasikan kedaulatanNya kepada
Mesias, PutraNya Yang Tunggal, yaitu Yesus. Di dalam diri-Nyalah seluruh
KEPENUHAN Allah berdiam dan KESEMPURNAAN pribadi-Nya dapat dilihat siapapun.
Apa yang diharapkan umat manusia akan terlaksana melalui pemerintahan yang akan
dilaksanakan-Nya selama-lamanya. Yesus bukan mewakili golongan atau partai
apapun. Dia adalah yang datang dan keluar dari Wujud Sang Bapa Yang Kekal.
Pemerintahan-Nya adalah pemerintahan yang kekal.
6. Kesimpulan
Salah
satu frasa yang paling populer dari ranah Jawa adalah frasa mengenai Ratu Adil. Frasa tersebut
sering disebut dalam karya-karya sastra Jawa lama hingga menjadi perbincangan oleh
berbagai kalangan sampai saat ini. Ratu Adil sendiri merupakan tokoh
eskatologis tradisional penegak keadilan yang kedatangannya senantiasa
didambakan.
Pembicaraan
Ratu Adil tersebut tidak lepas dari ramalan-ramalan Raja Jayabaya, Raja Kediri
yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Ia meramalkan jikalau Pulau Jawa
akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru
oleh sang Ratu Adil Herucakra. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai
pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi
pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap
diri sebagai Ratu Adil, terutama di saat nusantara dikuasai oleh kolonial
Belanda.
Pada
masa itu, masyarakat Jawa menganggap bahwa ramalan Jayabaya tentang kedatangan
Ratu Adil sudah terpenuhi dalam diri Pangeran Diponegoro. Melaui
gerakan-gerakan mileniumnya, Diponegoro digelari nabi sekaligus mesias oleh
orang Jawa yang hidup pada masa penjajahan Belanda.
Pemahaman-pemahaman
ini hendak menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa sudah muncul gejala-gejala kenabian
layaknya yang terjadi dalam lingkup tradisi biblis dan dunia Timur Tengah
Antik. Mengapa? Karena dalam budaya Jawa sudah muncul tokoh yang meramalkan
kejadian di masa depan seperti Jayabaya. Bahkan ramalan itu berkaitan juga
dengan penantian akan kedatangan sang penyelamat. Orang Jawa menantikan sosok
Ratu Adil, sementara Israel menantikan Mesias.
[1] Dr. Purwadi, M. Hum.,
mengungkapkan bahwa “Ratu Adil” dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga dipahami sebagi pelindung
atau pengayom dari seluruh masyarakat tanpa membedakan golongan dan tanpa
keberpihakan kecuali hanya berpihak pada kebenaran hakiki yang bersifat
universal. [lihat Purwadi, Ramalan Zaman
Edan Ronggowarsito (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm 215].
[2] Erucakra atau Herucakra adalah raja keadilan,
penguasa agama dan nabi Tuhan. Umumnya istilah ini digabung dengan istilah
Ratu Adil, menjadi “Ratu Adil Herucakra”.
[4] Sartono Kartodirjo, Pemikiran
dan Perkembangan Histeriografi Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm.
176; bdk. H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan
Jawa, Perpaduannya dengan Islam (Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia, 1995),
hlm. 6.
[5] Moksa berarti meninggalkan dunia dengan jasadnya.
[6] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 6.
[7] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 3
[8] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…,
hlm. 176.
[9] H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa…, hlm. 28.
[10] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…,
hlm. 183.
[11] Sartono Kartodirjo, Ratu Adil
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 15-18.
[12] Sartono Kartodirjo, Pemikiran…,
hlm. 188.
[13] Dalam pembahasan selanjutnya, sebutan “Hamengkubuono” disingkat
dengan HB.
[14] Michael Adas, Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian
Menentang Kolonialisme Eropa (judul asli: Propeth of Rebellion, Millenarian, Protest Movement Against the
European Colonial Order) diterjemahkan
oleh M. Tohir Effendi (Jakarta:
Rajawali Press, 1988), hlm. 163-164.
[16] Niels Mulder, Mistisisme
Jawa: Ideologi di Indonesia (Yokyakarta: LKiS, 2007), hlm. 38-41.
[17] Franz Magnis-Suseno, Etika
Jawa: sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 100.
[18] Franz Magnis-Suseno, Etika
Jawa…, hlm 101.
[19] Denys Lombard, Nusa Jawa:
Silang Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 158.
[20] Gerakan milenium/milenarian
adalah suatu gerakan yang menginginkan untuk kembali ke tatanan terdahulu yang
dilihat sebagai masa keemasan, dan bukan untuk menciptakan suatu masyarakat
yang berkembang. Maka, apabila Diponegoro adalah tokoh utama gerekan milenium
hal itu berarti Diponegoro menginginkan suatu tatanan masyarakat yang seperti
dahulu, yakni sebelum Belanda masuk ke nusantara. Situasi itu dahulu dialami
oleh masyarakat Jawa pada pemerintahan Prabu Jayabaya.
[24] Serpulus Simamora, Kitab Nabi-nabi Besar: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan
Daniel (Sinaksak:
STFT St. Yohanes, 2004), hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar