Pertobatan
Niniwe
Uraian atas Yunus 3:5-10
1. Bentuk dan Struktur Teks Yun. 3:5-10
Allen dan juga beberapa
ahli menempatkan Yun. 3:5-10 dalam kesatuan bab 3-4, di mana ia memberi judul “Ketaatan
seorang Nabi”. Secara khusus Allen membagi Yun. 3:1-10 menjadi dua bagian
pokok, sebagai berikut:
a. Pewartaan
Yunus kepada Orang-orang Niniwe (3:1-4)
b.
Pertobatan Niniwe (3:5-10)[1]
Berdasarkan struktur tersebut perikop 3:5-10
sangat terkait erat dengan keseluruhan bab 3. Sementara itu, bab 3 sendiri
memiliki struktur parallel yang cukup jelas, yakni:
A.
Yunus bertobat (3:3-4)
B. Pertobatan Niniwe (3:5)
C. Raja Niniwe bertobat (3:6)
X. Keputusan Raja: Jangan melakukan kejahatan (3:7-8)
C’ Harapan raja agar Allah
memperkenankannya untuk bertobat (3:9a)
B’ Harapan raja agar Allah berbalik dari
kemarahan-Nya (3:9b)
A’ “Pertobatan/Penyesalan” Allah (3:10)
Meskipun perikop 3:5-10 terletak pada satu kesatuan bab
3, pada tulisan ini hanya akan fokus pada kisah pertobatan Niniwe saja.
Ahli
lain mengatakan bahwa Kitab Yunus didasarkan pada struktur paralel yang mendukung pesan kitab
tersebut. Paralel
Kitab ini dibagi menjadi dua bagian (unit), bab 1-2 dan bab 3-4. Selain paralelisme
eksternal,
ada juga paralelisme internal yang dicampur dalam setiap unit makro yang
menyatukan cerita. Bab
tiga merupakan paruh kedua cerita dari keseluruhan buku
ini.[2]
Unit kedua makro dari
isi kitab (3: 1-4: 11) dibagi menjadi dua bagian
utama: 3: 1-10 dan 4: 1-11.
Yunus 3 mengandung pola umum dalam warta kenabian: warta penghakiman, pertobatan diterima
atau ditolak, diikuti oleh pembebasan
atau kutukan. Namun,
ada beberapa elemen yang tidak
biasa dan unik untuk kitab Yunus. Dalam
kitab ini, sebagian
besar narasi berbicara tentang nabi daripada warta
akan penghakiman
itu sendiri. Selain itu, di sini juga
dikisahkan tentang kerasnya sifat Yunus yang selalu ingin menghindar dari
Allah.[3]
Kitab Yunus tidak terikat hanya satu genre. Berikut
ini pendapat kalangan ahli Alkitab tentang genre dari
Kitab Yunus: alegori, perumpamaan, midrash,
cerita rakyat, cerita anak-anak, novel, satir,
komedi, parodi,
dan tragedi. Yunus 3 sendiri
mengandung banyak bentuk sastra,
termasuk laporan kenabian, narasi (Yunus
yang
unik), cerita pertobatan, orakel tentang akhir zaman, dan royalitas perintah sang raja.[4]
2. Uraian: Pertobatan Niniwe (Yun. 3:5-10)
Inti
dari warta Yunus adalah agar orang-orang Niniwe mau merendahkan diri dan
mencari rahmat ilahi (ay. 1-4). Warta itu mendapat tanggapan yang positif dari
Niniwe, termasuk raja dan para pembesarnya (ay. 5-10). Karena itu, tulisan ini
ingin fokus pada tanggapan Niniwe terhadap pesan yang dibawa oleh Yunus.
Ayat 5:
Orang-orang niniwe menjadi “percaya”
dan bertobat, setelah
hanya satu hari dari pemberitaan Yunus atas mereka (v. 4). Pertobatan itu ditunjukkan dengan puasa dan mengenakan
“kain kabung” di mana mereka mulai terlibat dalam penderitaan, sebagaimana sikap rendah hati yang hidup dalam tradisi di Timur Dekat kuno
saat itu (lih 2 Sam 3:31, 35; 1 Raja-raja 21:27; Neh
9:1-2; Yes.
15:3; 58:5; Dan 9:3; Yoel 1:13-14).
Pakaian
Kabung biasanya lazim
dikenakan oleh orang-orang miskin dan
para budak. Dengan demikian, memakainya menggambarkan bahwa seluruh penduduk melihat diri mereka sebagai orang miskin (dari rahmat
Allah dalam hal ini) dan budak (hamba
Allah). Sikap dan tindakan ini
dilakukan oleh semua tingkat penduduk kota (yaitu, tua dan muda, dan kalangan
sosial tingkat tinggi dan rendah). Dalam hal ini orang Niniwe tidak ingin menderita dan binasa sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang
yang berlayar bersama Yunus kala itu (bdk. 1:6, 14).[5]
Beberapa ahli percaya bahwa dua malapetaka, banjir dan kelaparan,
telah melanda Niniwe di 765 dan 759 SM, ditambah gerhana
matahari total pada tanggal 15 Juni
763. Orang Niniwe mungkin melihat fenomena
ini sebagai
indikasi ketidaksenangan Allah
dan menghubungkannya dengan warta yang dibawa oleh Yunus kepada mereka.[6]
Beberapa
ahli menghubungkan warta Yunus dengan salah satu dewa yang disembah oleh
orang-orang Niniwe, yakni Dagon. Dewa Dagon adalah dewa yang berwujud setengah
manusia dan setengah ikan. Selain itu, saat itu Asyur juga memiliki dewi ikan
yang bernama Nosh. Orang-orang Niniwe meyakini bahwa Yunus adalah utusan dari
dewi Nosh agar mereka menerima warta Yunus tentang Allah yang benar. Tentu hal
ini terkait erat dengan pengalaman Yunus yang telah diselamatkan oleh ikan
ketika ia dilemparkan ke laut.[7]
Seorang
ahli berpendapat bahwa kitab Yunus ini dipakai untuk melawan kaum eksklusif
yang memandang keselamatan hanya milik kelompok tertentu. Dengan kata lain,
kitab Yunus (secara khusus perikop ini) membuktikan ide universalitas akan keselamatan.
Ayat 6:
Ayat 5 bisa menjadi catatan umum respon
dari orang-orang Niniwe, dan ayat 6-9 secara lebih rinci menjadi tanggapan atas apa yang terjadi. Bahkan “raja”
menanggapi warta
itu dengan bertobat. Bisa
jadi bahwa “Raja Niniwe” adalah raja Asyur, karena Niniwe adalah sebuah
kota terkemuka di
kekaisaran itu.
Pandangan ini muncul sebagaimana soal
penyebutan nama raja dan kekuasaan seperti halnya Raja Ahab dari Israel yang disebut “raja Samaria” (1
Raja-raja 21:1),
Raja Ahazia dari
Israel yang disebut “raja Samaria” (2
Raja-raja 1:3), dan
Raja Benhadad dari Aram yang disebut “raja Damaskus”
(2 Taw. 24:23).
Dalam hal apapun, penulis menjelaskan bahwa raja yang disebut
di sini sebagai “raja Niniwe.” Bisa
jadi juga bahwa fokus nubuat Yunus
adalah khusus Niniwe
(ay. 4), tidak termasuk
seluruh kekaisaran Asyur.
Ayat 7:
Ayat ini menunjukkan sikap raja dan para pembesarnya agar menunjukkan sikap
penyesalannya secara serius. Jika raja dan para pembesarnya telah menunjukkan
sikapnya maka hal itu akan mendorong seluruh penduduk kota untuk melakukan hal
yang sama. Ayat ini juga bukan bermaksud agar binatang pun ikut bertobat tapi
agar para pemilik binatang itu yang bertobat dan merendahkan diri dihadapan
Allah.
Ayat 8:
Orang-orang
Niniwe menghubungkan penghakiman yang akan datang dengan perilaku mereka sendiri. Mereka merasa bahwa dengan
meninggalkan kejahatan, mereka bisa mendapatkan
rahmat dari Allah. Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan “kekerasan” (Hamas) mengacu pada sikap sombong
dan perilaku seseorang
yang telah mencapai kekuasaan
atas orang lain dan menyalahgunakannya
(Kej 16: 5).
Kala
itu, Asyur adalah kekaisaran yang terkenal dengan kekejaman secara fisik (Nah 3:1,
3-4; lih 2
Raja-raja 18:33-35), begitu pula dengan
orang Kasdim (Hab 1:9; 2:8, 17) dan lain-lain yang
sering mengadakan penaklukan agar bisa mendominasi daerah bangsa lain. Diskriminasi terhadap kaum minoritas bisa
saja menjadi bagian dari dosa-dosa mereka. Namun, warta Yunus melihat
tindakan-tindakan dosa yang lebih besar, yakni dosa di antara sesama mereka
sendiri (yang terkait dengan persundalan dan penyembahan berhala).[8]
Ayat 9:
Niniwe berada di kawasan Timur Dekat kuno yang melihat semua
kehidupan di bawah kontrol para dewa. Meskipun hidup mereka penuh kejahatan dan kafir, mereka percaya bahwa beberapa dewa
keadilan akan menuntut
keadilan dari pihak manusia. Mereka
juga percaya bahwa tindakan mereka mempengaruhi tindakan dewa mereka. Pandangan
dunia ini pada dasarnya hidup
pada masa itu. Misalnya, jika mereka berperang dengan bangsa lain, itu artinya
dewa mereka juga sedang berperang.
Niniwe kemudian bertobat. Nampaknya pertobatan
mereka tidak dimengerti sebagai masuknya
orang-orang Niniwe menjadi bagian dari monoteisme sebagaimana yang dianut
bangsa Yahudi. Tampaknya tidak mungkin bahwa semua orang Niniwe yang adalah kafir menjadi
penganut agama Yahudi (lih 1:16).
Sungguh menakjubkan bahwa Tuhan membawa seluruh
kota untuk beriman dan bertobat melalui pemberitaan
seorang manusia yang tidak mencintai orang-orang
kepada siapa ia wartakan. Maksudnya, Yunus tidak mencintai
Niniwe, dia bahkan sangat pesimis dengan warta yang ia lakukan. Namun Allah
justru memberikan rahmat pertobatan bagi bangsa yang dibenci oleh nabi-Nya
sendiri. Pada akhirnya keselamatan hanya
berasal Tuhan (2: 9).[9]
Ayat 10:
Allah melihat pertobatan murni dari orang Niniwe dalam tindakan mereka. Buah pertobatan ini
telah menahan penghakiman Allah atas perbuatan
jahat mereka. Pertobatan menjadi dasar perubahan dalam pemikiran
seseorang. Perubahan perilaku seseorang menunjukkan bahwa pertobatan telah terjadi, tetapi tidak semua dari
antara mereka yang sungguh-sungguh bertobat (lih
Mat 3: 7-10). Niniwe
nantinya tetap dipandang sebagai bangsa yang penuh dengan kejahatan. Niniwe akhirnya mengalami penggulingan pada 612 SM, sekitar 150 tahun kemudian,
dan peristiwa ini dianggap sebagai perbuatan dosa mereka sendiri.[10]
3. Teologi Yun. 3:5-10 : Keselamatan
Universal dan Kedaulatan Allah
Secara
umum Kitab Yunus telah berbicara mengenai warta keselamatan yang dibawa oleh
Yunus bagi orang-orang Niniwe. Muncul pertanyaan, mengapa Allah menyelamatkan
bangsa yang menjadi musuh bagi Israel yang notabene adalah bangsa pilihan-Nya
sendiri. Kiranya kitab ini telah memuat ide teologis di mana keselamatan bukan
hanya milik Israel saja. Keselamatan adalah milik setiap bangsa yakni siapa
saja yang percaya akan Allah, mau bertobat dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
Secara khusus kitab Yunus bab 3 ini
telah memuat poin teologis akan kedaulatan Allah yang nampak pada sifat belaskasihan-Nya
yang melampaui batas-batas manusiawi. Allah berkuasa dan berhak menentukan
siapa yang akan diselamatkan, karena bagi Allah yang berhak mendapat
keselamatan adalah mereka yang percaya kepada-Nya dan mau bertobat atas segala
dosa-dosanya terlepas apakah mereka Israel atau non-Israel.
4. Relevansi Pastoral
Ide
tentang universalitas keselamatan kiranya menjadi penting sebagai dasar
berpastoral bagi tenaga-tenaga pastoral, khususnya bagi para imam. Kitab Yunus bab
3 ini memberi gambaran bahwa untuk menggapai keselamatan, seseorang harus
menyadari diri akan keberdosaannya, bertobat, dan merendahkan diri. Dengan
demikian Allah yang Maharahim akan mencurahkan belaskasihnya kepada semua
manusia tanpa memandang status, suku, agama, dan sebagainya.
Untuk
orang Kristen sendiri, kitab Yunus bab 3 ini memberikan kritik dan ajakan
supaya kita tidak melulu bangga dengan identitas sebagai pengikut Kristus yang
tidak melakukan apa-apa. Perlu disadari bahwa sebagai orang yang telah
dibaptis, kita memang telah disatukan sebagai anak Allah dan mendapat jaminan
keselamatan. Namun status ini kiranya jangan membuat kita menjadi sombong
sehingga justru mengaburkan iman kita kepada Allah sendiri dan membuat jaminan
keselamatan itu justru hilang dari hidup kita. Karena itu, sebagai pengikiut
Kristus kita justru dituntut untuk semakin dekat dengan Allah dengan menyadari
segala keterbatasan dan keberdosaan, serta selalu mengarahkan diri kepada Allah
sang pemberi kehidupan seturut teladan Yesus sendiri.
[1] Leslie C.
Allen, The Books of Joel, Obadiah, Jonah and Micah (Grand Rapids: B.
Eerdmans Publishing Co., 1976), hlm. 200.
[2] Kevin J.
Youngblood, Jonah: God’s Scandalous Mercy (Grand Rapids: Zondervan,
2013), hlm. 94.
[3] Fretheim, Reading
Hosea-Micah: A Literary and Theological Commentary (Macon, GA: Smyth &
Helwys, 2013), hlm. 171.
[4] Kevin J. Youngblood, Jonah
..., hlm. 124, 129-131.
[5] Steven J.
Lawson, “The Power of Biblical Preaching: An Expository Study of Jonah 3:1-10”,
dalam
Bibliotheca Sacra 158/631 (July-September 2001), hlm. 331-46.
[6] Donald J. Wiseman, “Jonah's
Nineveh”, dalam Tyndale Bulletin 30 (1979), hlm. 44.
[7] Charles Lee Feinberg,
Jonah, Micah, and Nahum (New York: American Board of Missions to the
Jews, 1951), hlm. 33.
[8] Leslie C. Allen, The Books
..., hlm. 225.
[9] Leslie C. Allen, The Books
..., hlm. 189.
[10] Robert B.
Chisholm Jr., “Does God 'Change His Mind'?”, dalam Bibliotheca Sacra 152/608
(October-December 1995), hlm. 398-399.