Konsep Allah dalam Aliran-Aliran Kebatinan Jawa
1.
Pengantar
Kebatinan adalah agama beserta pandangan
hidup Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan.
Kebatinan mengajarkan sikap pasrah terhadap segala peristiwa yang terjadisambil
menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah semeta alam.[1]
Di Indonesia, aliran kebatinan
berkembang dengan beragam ciri. Setiap aliran memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam memberikan ajaran-ajarannya, termasuk pandangan mereka terhadap
keberadaan Allah. Perbedaan pandangan terhadap ajaran tertentu menjadikan
kekayaan dan kebaragaman yang terdapat di dalam aliran-aliran kebatinan di
Indonesia.
2.
Pandangan Umum Orang Jawa Tentang Allah
Orang Jawa tradisional yang sangat yakin akan adanya hal-hal yang bersifat
gaib, mempunyai konsep yang sangat kompleks tentang Allah. Keyakinan orang Jawa
(yang menganut mistik kebatinan) terhadap Allah sangat mendalam, walaupun dalam
keagamaannya terlihat tidak begitu saleh sepenuhnya. Keyakinan akan Allah itu
dituangkan dalam istilah Gusti Allah
Ingkang Maha Kuwaos (Tuhan Allah Yang Maha Kuasa). Menurut orang Jawa, Allah
adalah pencipta, karena Ia merupakan penyebab segala kehidupan, dunia, dan alam
semesta.
Sumber utama konsep tentang Allah
pada kebatinan orang Jawa adalah buku “Nawaruci” yang ditulis pada permulaan
abad ke tujuh belas. Dalam buku tersebut, Allah dilambangkan sebagai Dewaruci. Allah
dilambangkan sebagai mahkluk yang sangat kecil, tetapi Ia dapat melihat seluruh
jagat raya dengan terang benderang. Allah adalah keseluruhan dalam dunia ini
yang dilambangkan dengan wujud suatu mahkluk dewa yang sangat kecil, sehingga
setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari seseorang. Namun Allah juga
dipahami sebagai sesuatu yang besar dan luas seperti samudera yang tidak
berujung dan tidak berpangkal layaknya angkasa. Ia terdiri dari semua warna
yang ada di dunia.[2]
Dalam beberapa abad, konsep mistik
Dewaruci itu berkembang menjadi dua aliran:
a.
Pandangan mengenai Allah
yang bersifat panteistis, yang menganggap Allah sebagai yang terbesar, tak
terbatas, dan sebagai sebagai seluruh alam semesta, tapi yang sebaliknya dapat
berbentuk kecil sekali sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.
b.
Pandangan monistis
yang menganggap Allah sebagai yang Maha Besar tetapi berada dalam segala bentuk
kehidupan di dalam semesta ini, termasuk manusia yang hanya merupakan mahkluk
yang sangat kecil saja di antara segala hal yang ada.[3]
R. Eister mengungkapkan panteisme sebagai paham yang mengajarkan
bahwa Allah dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang sungguh-sungguh terpisah
dan yang ada di luar yang lain, melainkan bahwa Allah sendiri merupakan
segala-galanya, bahwa segalanya adalah Allah, sedangkan segalanya itu modus. Allah
adalah imanen dalam segalanya, sehingga segalanya itu memang bukan Allah,
melainkan bersifat ilahi.[4]R.
Eister juga mengungkapkan monisme
sebagai paham yang menunjuk pada kecenderungan untuk mengembalikan kejamakan
dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau menerangkan keanekaan dengan
berpangkal pada suatu prinsip tunggal.[5]
3.
Konsep Allah dalam Aliran-Aliran Kebatinan Jawa
a.
Pengertian
Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950
oleh dokter Soerono Projohoesodo. Namun ajaran ini sebenarnya sudah diilhamkan
pada tahun 1935 kepada R. Ng. Soekirnohartono, seorang pegawai Kasultanan
Yogyakarta. Menurut dokter Soerono, Ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan
yang dengan jalan sudjud sumarah (menyerahkan
diri) sampai tercapai cita-cita, yakni bersatunya jiwa dengan Dhat Jang Maha Esa.Tujuan dari ajaran
ini ialah untuk mencapai ketentraman lahir dan batin, dengan usaha: a) memberi
tuntunan kepada anggotanya untuk melaksanakan sesanggeman (tugas); b) ikut serta menegakkan Negara menuju dunia
yang damai; c) membimbing keutamaan kehidupan lahir anggotanya dalam
masyarakat.
b.
Ajaran mengenai Allah
Menurut aliran ini, keberadaan Allah diterima tanpa
mengadakan pembicaraan tentang Dia. Tuhan Allah disebut dengan “Allah Yang Maha Esa”. Di tempat lain, Allah
juga disebut dengan “Dhat Jang Maha Esa”, yang bersama-Nya manusia memiliki
Hidup. Menurut dokter Soerono, jiwa manusia itu merupakan pletikan (bunga api) dari Tuhan Allah.
3.2. Ajaran Sapta
Darma[7]
a.
Pengertian
Sapta Darma berarti “tujuh kewajiban”, atau “tujuh amal
suci”. Ajaran ini didirikan oleh Hardjosapuro pada tanggal 27 Desember 1952.
Inti dari ajaran ini adalah berusaha agar manusia bahagia di dunia dan di
akhirat.
b.
Ajaran mengenai Allah
Menurut aliran ini, Allah yang
juga disebut Yang Maha Kuasa atau Allah atau Sang Hyang Widi ialah zat mutlak
yang Tunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Allah
mempunyai lima sifat keagungan mutlak, ialah: Maha Agung, Maha Rochim, Maha
Adil, Maha Wasesa (Maha Kuasa), dan Maha Langgeng (Kekal). Kelima sifat Allah
ini disebut Panca Sila Allah.
Alasan bahwa Allah disebut
sebagai zat mutlak ialah bahwa Dia merupakan Zat yang bebas dari segala
hubungan dan sebab-akibat. Sementara itu sebutan bahwa Allah ialah pencipta
segala sesuatu mendapat kesan bahwa Dia berpribadi, artinya sebagai yang menjadikan
segala sesuatu, Ia bukan hasil dari emanasi.
3.3. Ajaran
Bratakesawa[8]
a.
Pengertian
Bratakesawa adalah seorang
pensiunan wartawan yang tinggal di Yogyakarta. Bukunya yang berjudul Kunci
Swarga dimaksudkan untuk menyumbangkan pikirannya demi perkembangan
akhlak bangsa Indonesia. Buku ini berbentuk percakapan antara orang tua dan
orang muda (guru dan murid). Seluruh uraiannya meliputi ajaran tentang Allah,
kematian, dan hal-hal lain yang bersifat mistik.
b.
Ajaran Mengenai Allah
Menurut aliran ini tidaklah
penting untuk mengetahuai apa dan dimana Tuhan Allah itu. Di sini, Bratakesawa
sungguh-sungguh berpegang pada aliran yang ortodok dalam ajaran Islam yang
mengamalkan tanzih, yaitu paham yang tidak mau menyamakan Allah dengan
sesuatu. Bratakesawa menyatakan bahwa Allah itu “tidak dapat dikatakan seperti
apa” (Tan kena kinaya apa).
Selanjutnya Bratakesawa
melanjutkan uraiannya dengan menyebutkan kedua puluh sifat Allah. Kedua puluh
sifat ini wajib dikenakan pada Allah. Sifat dua puluh yang wajib itu lalu
dibedakan didalam sifat nafsijah yaitu sifat yang dianggap tubuh atau
jasmaniah, sifat salbijah yaitu sifat yang menolak lawannya, sifat ma’ani
yaitu sifat yang menempati sifat nafsijah.
Akhirnya beliau menyebutkan sifat-sifat
Allah yang menurut pendapatnya biasa dikenakan pada Allah oleh para ahli
kebatinan yaitu: hidup tanpa roh, puasa tanpa Allah, tanpa awal tanpa akhir,
tak dapat dikatakan seperti apa, tanpa arah tanpa tempat dan sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa ajaran
Bratakesawa tentang Allah mendekati ajaran Allah sebagai pribadi. Hal ini
tampak dalam ucapan yang menekankan bahwa Allah tidak termasuk dalam golongan
mahkluk.
3.4. Ajaran
Pangestu[9]
a.
Pengertian
Pangestu merupakan akronim dari
Paguyuban Ngesti Tunggal, yang artinya “Perkumpulan untu dapat Bersatu”.
Aliran ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta. Ajaran Pangestu
sebenarnya sudah diwahyukan sejak Februari 1932 kepada R. Soenarto
Mertowerdoyo.
b.
Ajaran Mengenai Allah
Para anggota ajaran pangestu
meyakini bahwa ada satu Allah yang wajib disembah. Hal ini dinyatakan dalan
ungkapan demikian , “Sesungguhnya Allah yang wajib disembah itu hanya satu,
tidak ada Allah yang disembah kecuali Allah dan Allah itu tempat sesembahan
yang sejati”. Mengenai Allah, aliran ini mengatakan bahwa Allah ada sebelum
penciptaan, sebab ia adalah kekal. Hal ini berarti bahwa Allah tidak terikat
oleh waktu dan tempat. Selanjutnya Allah dipahami bukan sebagai laki-laki atau
perempuan, bagi-Nya tidak ada arah, tidak ada bentuk, tidak ada warna sebab ia
adalah halus dan tak tampak. Allah juga dipahami sebagai Yang Kekal, Ia tidak
melahirkan dan tidak dapat dilahirkan, Ia mengatasi segala pengetahuan serta
mengikuti segala sesuatu.
Ada perbedaan yang khas dalam
konsep pangestu tentang Allah. Dalam konsep ini yang mutlak disebut sebagai tri
purusha yang selanjutnya diterangkan sebagai ”keadaan satu yang bersifat
tiga”. Dalam tri purusha, ketiga sifat yang dimaksud antara lain sukma kawekas,
sukma sejati, dan roh suci.
Sukma kawekas berarti sukma yang mulia,
yaitu sukma yang menguasai hidup. Sukma ini menjadi aspek pertama dan tertinggi
pada hidup. Sukma sejati yaitu panutan sejati atau pemberi hidup yang
sejati yang disebut sebagai cahaya Allah. Mengenai Roh Suci dikatakan
bahwa Ia adalah jiwa manusia atau manusia sejati. Roh Suci adalah cahaya Allah
dan sehakekat dengan Allah sendiri maka ia bersatu dengan sukma sejati
dan sukma kawekas.
3.5. Ajaran
Paryana Suryadipura[10]
a.
Pengertian
Pada tahun 1950, Paryana
menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Alam Pikiran”. Dalam “kata pengantar”
pada cetakan buku yang pertama mengandung uraian tentang proses berpikir yang
perlu diketahui oleh semua orang yang menuntut kebahagiaan hidup, baik untuk
diri sendiri, maupun untuk keluarga, nusa, bangsa, dan masyarakat umumnya.
“Kata pengantar” pada cetakan yang kedua berisi pelajaran bagi tiap pemuda yang
berintelek untuk memperbarui cara berpikirnya sesuai dengan pribadi bangsa.
b.
Ajaran Mengenai Allah
Untuk memahami ajaran Paryana mengenai Allah, Paryana mengikuti
pandangan sofisme dengan membagi dunia menjadi empat alam, yaitu alam nasut,
(alam manusia), alam jabarut (alam kekuasaan), alam malakut (alam
malaikat), dan alam lahut (alam Allah). Alam lahut atau alam
ilahi merupakan tempat kediaman bagi Allah saja. Alam ini digambarkan sebagai
samudra taufik yang tak berpantai. Alam ini sudah ada sebelum segala sesuatu
dijadikan. Alam ini tak berawal tak berakhir tak terbatas, tanpa rupa atau tak
berwujud atau berbentuk. Satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk
menguraikan alam ini ialah “Yang Mutlak”.
Selanjutnya dikatakan bahwa dari yang mutlak timbul
kesadaran, yaitu kesadran akan adanya
diri sendiri. Keadaan ini disebut wahdat, dan alamnya disebut alam
wahdat. Dari kesadaran diri ini timbulah keinsafan tentang adanya ego
pertama atau ingsun. Pertumbuhan ini
disebut alam wahdani dan alamnya disebut alam wahdani.
Dari uraian tersebut kita dapat menyimpulkan ajaran Paryana
mengenai Allah demikian:
·
Allah adalah Yang
Mutlak yang dengan terang diberi arti falsafi, yaitu sebagai yang lepas dari
segala hubungan, nisbah serta sifat-sifat. Allah ini mengatasi segala
pengetahuan, artinya akal manusia tak bisa menembusnya.
·
Nampaknya di dalam
diri Allah ada perkembangan, yaitu dari tak sadar menuju ke-Kesadaran-Aku,
dengan melalui Kesadaran Diri.
4.
Kesimpulan
Dalam perkembangannya keagamaan
orang Jawa terus berkembang dengan macam-macam pengaruh dari luar. Perkembangan
kebatinan nampak dari menjamurnya aliran-aliran kebatinan yang ada di
Indonesia. Hal ini menjadi kenyataan bahwa tiap aliran kebatinan itu mempunyai
cara pandang tertentu mengenai Allah. Dari aliran-aliran itu dapat disimpulkan
dalam tiga pokok utama:
a. Allah yang Maha Esa itu Ada dalam kenyataan, satu/Tunggal
yang berada di luar batas perkiraan.
b. Allah yang Maha Esa mempunyai banyak sifat yang mencakup
segenap penjabaran Hidup yang Agung.
c. Allah yang Maha Esa adalah sumber daya dan kuasa abadi
dengan segala sumber kehidupan dalam alam semesta.
Kepustakaan
Hadiwijono,Harun. Kebatinan
dan Injil. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970.
Koentjaraningrat. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Mulder, N. Kepribadian
Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1984.
Zoetmulder, P.J. Manunggaling
Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan oleh: Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia, 1991.
[1] N. Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan
Nasional (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1984), hlm. 12.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), hlm. 323.
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan…, hlm. 323-324.
[4] P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk
Jawa. Diterjemahkan oleh:
Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 2.
[5] P.J. Zoetmulder, Manunggaling …, hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar