Minggu, 06 April 2014

Konsep Allah dalam Aliran-Aliran Kebatinan Jawa



 Konsep Allah dalam Aliran-Aliran Kebatinan Jawa


1.      Pengantar
            Kebatinan adalah agama beserta pandangan hidup Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan. Kebatinan mengajarkan sikap pasrah terhadap segala peristiwa yang terjadisambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah semeta alam.[1]
            Di Indonesia, aliran kebatinan berkembang dengan beragam ciri. Setiap aliran memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memberikan ajaran-ajarannya, termasuk pandangan mereka terhadap keberadaan Allah. Perbedaan pandangan terhadap ajaran tertentu menjadikan kekayaan dan kebaragaman yang terdapat di dalam aliran-aliran kebatinan di Indonesia.

2.      Pandangan Umum Orang Jawa Tentang Allah
                Orang Jawa tradisional yang sangat yakin akan adanya hal-hal yang bersifat gaib, mempunyai konsep yang sangat kompleks tentang Allah. Keyakinan orang Jawa (yang menganut mistik kebatinan) terhadap Allah sangat mendalam, walaupun dalam keagamaannya terlihat tidak begitu saleh sepenuhnya. Keyakinan akan Allah itu dituangkan dalam istilah Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos (Tuhan Allah Yang Maha Kuasa). Menurut orang Jawa, Allah adalah pencipta, karena Ia merupakan penyebab segala kehidupan, dunia, dan alam semesta.
            Sumber utama konsep tentang Allah pada kebatinan orang Jawa adalah buku “Nawaruci” yang ditulis pada permulaan abad ke tujuh belas. Dalam buku tersebut, Allah dilambangkan sebagai Dewaruci. Allah dilambangkan sebagai mahkluk yang sangat kecil, tetapi Ia dapat melihat seluruh jagat raya dengan terang benderang. Allah adalah keseluruhan dalam dunia ini yang dilambangkan dengan wujud suatu mahkluk dewa yang sangat kecil, sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari seseorang. Namun Allah juga dipahami sebagai sesuatu yang besar dan luas seperti samudera yang tidak berujung dan tidak berpangkal layaknya angkasa. Ia terdiri dari semua warna yang ada di dunia.[2]
            Dalam beberapa abad, konsep mistik Dewaruci itu berkembang menjadi dua aliran:
a.       Pandangan mengenai Allah yang bersifat panteistis, yang menganggap Allah sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai sebagai seluruh alam semesta, tapi yang sebaliknya dapat berbentuk kecil sekali sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.
b.      Pandangan monistis yang menganggap Allah sebagai yang Maha Besar tetapi berada dalam segala bentuk kehidupan di dalam semesta ini, termasuk manusia yang hanya merupakan mahkluk yang sangat kecil saja di antara segala hal yang ada.[3]
           
            R. Eister mengungkapkan panteisme sebagai paham yang mengajarkan bahwa Allah dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang sungguh-sungguh terpisah dan yang ada di luar yang lain, melainkan bahwa Allah sendiri merupakan segala-galanya, bahwa segalanya adalah Allah, sedangkan segalanya itu modus. Allah adalah imanen dalam segalanya, sehingga segalanya itu memang bukan Allah, melainkan bersifat ilahi.[4]R. Eister juga mengungkapkan monisme sebagai paham yang menunjuk pada kecenderungan untuk mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau menerangkan keanekaan dengan berpangkal pada suatu prinsip tunggal.[5]

3.      Konsep Allah dalam Aliran-Aliran Kebatinan Jawa

3.1. Ajaran Paguyuban Sumarah[6]
a.    Pengertian
Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh dokter Soerono Projohoesodo. Namun ajaran ini sebenarnya sudah diilhamkan pada tahun 1935 kepada R. Ng. Soekirnohartono, seorang pegawai Kasultanan Yogyakarta. Menurut dokter Soerono, Ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang dengan jalan sudjud sumarah (menyerahkan diri) sampai tercapai cita-cita, yakni bersatunya jiwa dengan Dhat Jang Maha Esa.Tujuan dari ajaran ini ialah untuk mencapai ketentraman lahir dan batin, dengan usaha: a) memberi tuntunan kepada anggotanya untuk melaksanakan sesanggeman (tugas); b) ikut serta menegakkan Negara menuju dunia yang damai; c) membimbing keutamaan kehidupan lahir anggotanya dalam masyarakat.

b.   Ajaran mengenai Allah
Menurut aliran ini, keberadaan Allah diterima tanpa mengadakan pembicaraan tentang Dia. Tuhan Allah disebut  dengan “Allah Yang Maha Esa”. Di tempat lain, Allah juga disebut dengan “Dhat Jang Maha Esa”, yang bersama-Nya manusia memiliki Hidup. Menurut dokter Soerono, jiwa manusia itu merupakan pletikan (bunga api) dari Tuhan Allah.

3.2. Ajaran Sapta Darma[7]
a.      Pengertian
Sapta Darma berarti “tujuh kewajiban”, atau “tujuh amal suci”. Ajaran ini didirikan oleh Hardjosapuro pada tanggal 27 Desember 1952. Inti dari ajaran ini adalah berusaha agar manusia bahagia di dunia dan di akhirat.

b.      Ajaran mengenai Allah
Menurut aliran ini, Allah yang juga disebut Yang Maha Kuasa atau Allah atau Sang Hyang Widi ialah zat mutlak yang Tunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Allah mempunyai lima sifat keagungan mutlak, ialah: Maha Agung, Maha Rochim, Maha Adil, Maha Wasesa (Maha Kuasa), dan Maha Langgeng (Kekal). Kelima sifat Allah ini disebut Panca Sila Allah.
Alasan bahwa Allah disebut sebagai zat mutlak ialah bahwa Dia merupakan Zat yang bebas dari segala hubungan dan sebab-akibat. Sementara itu sebutan bahwa Allah ialah pencipta segala sesuatu mendapat kesan bahwa Dia berpribadi, artinya sebagai yang menjadikan segala sesuatu, Ia bukan hasil dari emanasi.



3.3. Ajaran Bratakesawa[8]
a.      Pengertian
Bratakesawa adalah seorang pensiunan wartawan yang tinggal di Yogyakarta. Bukunya yang berjudul Kunci Swarga dimaksudkan untuk  menyumbangkan pikirannya demi perkembangan akhlak bangsa Indonesia. Buku ini berbentuk percakapan antara orang tua dan orang muda (guru dan murid). Seluruh uraiannya meliputi ajaran tentang Allah, kematian, dan hal-hal lain yang bersifat mistik.

b.      Ajaran Mengenai Allah
Menurut aliran ini tidaklah penting untuk mengetahuai apa dan dimana Tuhan Allah itu. Di sini, Bratakesawa sungguh-sungguh berpegang pada aliran yang ortodok dalam ajaran Islam yang mengamalkan tanzih, yaitu paham yang tidak mau menyamakan Allah dengan sesuatu. Bratakesawa menyatakan bahwa Allah itu “tidak dapat dikatakan seperti apa” (Tan kena kinaya apa).
Selanjutnya Bratakesawa melanjutkan uraiannya dengan menyebutkan kedua puluh sifat Allah. Kedua puluh sifat ini wajib dikenakan pada Allah. Sifat dua puluh yang wajib itu lalu dibedakan didalam sifat nafsijah yaitu sifat yang dianggap tubuh atau jasmaniah, sifat salbijah yaitu sifat yang menolak lawannya, sifat ma’ani yaitu sifat yang menempati sifat nafsijah.
Akhirnya beliau menyebutkan sifat-sifat Allah yang menurut pendapatnya biasa dikenakan pada Allah oleh para ahli kebatinan yaitu: hidup tanpa roh, puasa tanpa Allah, tanpa awal tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa, tanpa arah tanpa tempat dan sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa ajaran Bratakesawa tentang Allah mendekati ajaran Allah sebagai pribadi. Hal ini tampak dalam ucapan yang menekankan bahwa Allah tidak termasuk dalam golongan mahkluk.

3.4. Ajaran Pangestu[9]
a.      Pengertian
Pangestu merupakan akronim dari Paguyuban Ngesti Tunggal, yang artinya “Perkumpulan untu dapat Bersatu”. Aliran ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta. Ajaran Pangestu sebenarnya sudah diwahyukan sejak Februari 1932 kepada R. Soenarto Mertowerdoyo.

b.      Ajaran Mengenai Allah
Para anggota ajaran pangestu meyakini bahwa ada satu Allah yang wajib disembah. Hal ini dinyatakan dalan ungkapan demikian , “Sesungguhnya Allah yang wajib disembah itu hanya satu, tidak ada Allah yang disembah kecuali Allah dan Allah itu tempat sesembahan yang sejati”. Mengenai Allah, aliran ini mengatakan bahwa Allah ada sebelum penciptaan, sebab ia adalah kekal. Hal ini berarti bahwa Allah tidak terikat oleh waktu dan tempat. Selanjutnya Allah dipahami bukan sebagai laki-laki atau perempuan, bagi-Nya tidak ada arah, tidak ada bentuk, tidak ada warna sebab ia adalah halus dan tak tampak. Allah juga dipahami sebagai Yang Kekal, Ia tidak melahirkan dan tidak dapat dilahirkan, Ia mengatasi segala pengetahuan serta mengikuti segala sesuatu.
Ada perbedaan yang khas dalam konsep pangestu tentang Allah. Dalam konsep ini yang mutlak disebut sebagai tri purusha yang selanjutnya diterangkan sebagai ”keadaan satu yang bersifat tiga”. Dalam tri purusha, ketiga sifat yang dimaksud antara lain sukma kawekas, sukma sejati, dan roh suci.
Sukma kawekas berarti sukma yang mulia, yaitu sukma yang menguasai hidup. Sukma ini menjadi aspek pertama dan tertinggi pada hidup. Sukma sejati yaitu panutan sejati atau pemberi hidup yang sejati yang disebut sebagai cahaya Allah. Mengenai Roh Suci dikatakan bahwa Ia adalah jiwa manusia atau manusia sejati. Roh Suci adalah cahaya Allah dan sehakekat dengan Allah sendiri maka ia bersatu dengan sukma sejati dan sukma kawekas. 

3.5. Ajaran Paryana Suryadipura[10]
a.      Pengertian
Pada tahun 1950, Paryana menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Alam Pikiran”. Dalam “kata pengantar” pada cetakan buku yang pertama mengandung uraian tentang proses berpikir yang perlu diketahui oleh semua orang yang menuntut kebahagiaan hidup, baik untuk diri sendiri, maupun untuk keluarga, nusa, bangsa, dan masyarakat umumnya. “Kata pengantar” pada cetakan yang kedua berisi pelajaran bagi tiap pemuda yang berintelek untuk memperbarui cara berpikirnya sesuai dengan pribadi bangsa.

b.      Ajaran Mengenai Allah
Untuk memahami ajaran Paryana mengenai Allah, Paryana mengikuti pandangan sofisme dengan membagi dunia menjadi empat alam, yaitu alam nasut, (alam manusia), alam jabarut (alam kekuasaan), alam malakut (alam malaikat), dan alam lahut (alam Allah). Alam lahut atau alam ilahi merupakan tempat kediaman bagi Allah saja. Alam ini digambarkan sebagai samudra taufik yang tak berpantai. Alam ini sudah ada sebelum segala sesuatu dijadikan. Alam ini tak berawal tak berakhir tak terbatas, tanpa rupa atau tak berwujud atau berbentuk. Satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk menguraikan alam ini ialah “Yang Mutlak”.
Selanjutnya dikatakan bahwa dari yang mutlak timbul kesadaran, yaitu kesadran  akan adanya diri sendiri. Keadaan ini disebut wahdat, dan alamnya disebut alam wahdat. Dari kesadaran diri ini timbulah keinsafan tentang adanya ego pertama atau ingsun. Pertumbuhan ini disebut alam wahdani dan alamnya disebut alam wahdani.
Dari uraian tersebut kita dapat menyimpulkan ajaran Paryana mengenai Allah demikian:
·         Allah adalah Yang Mutlak yang dengan terang diberi arti falsafi, yaitu sebagai yang lepas dari segala hubungan, nisbah serta sifat-sifat. Allah ini mengatasi segala pengetahuan, artinya akal manusia tak bisa menembusnya.
·         Nampaknya di dalam diri Allah ada perkembangan, yaitu dari tak sadar menuju ke-Kesadaran-Aku, dengan melalui Kesadaran Diri.

4.      Kesimpulan
            Dalam perkembangannya keagamaan orang Jawa terus berkembang dengan macam-macam pengaruh dari luar. Perkembangan kebatinan nampak dari menjamurnya aliran-aliran kebatinan yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi kenyataan bahwa tiap aliran kebatinan itu mempunyai cara pandang tertentu mengenai Allah. Dari aliran-aliran itu dapat disimpulkan dalam tiga pokok utama:
a.       Allah yang Maha Esa itu Ada dalam kenyataan, satu/Tunggal yang berada di luar batas perkiraan.
b.      Allah yang Maha Esa mempunyai banyak sifat yang mencakup segenap penjabaran Hidup yang Agung.
c.       Allah yang Maha Esa adalah sumber daya dan kuasa abadi dengan segala sumber kehidupan dalam alam semesta.



Kepustakaan

Hadiwijono,Harun. Kebatinan dan Injil. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Mulder, N. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984.

Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan oleh: Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1991.


[1] N. Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), hlm. 12.

[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 323.

[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan…, hlm. 323-324.

[4] P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan oleh: Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 2.

[5] P.J. Zoetmulder, Manunggaling …,  hlm. 2.

                [6]Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970),  hlm 11-12.
                [7]Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan…, hlm. 22-24.
[8]Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan…, hlm.37-38.

[9]Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan…, hlm. 52-53.
[10]Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan…, hlm. 82-83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar