Selasa, 12 Januari 2016

sakramentologi



Sakramen (Ekaristi) menurut Martin Luther

1.      Pengantar
Salah satu faktor munculnya gerakan Reformasi dalam Gereja pada abad XVI adalah praktek jemaat yang sering berlebihan dalam penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Teologi Ekaristi pada akhir Abad Pertengahan terlalu disempitkan pada masalah realis praesentia dan transsubtantiatio. Diskusi sistematis tentang Ekaristi juga terlalu filosofis. Kurban Misa juga dipahami secara sempit, terutama makna sejarah keselamatan dan religius  dari Ekaristi tidak tampil dalam hidup dan refleksi umat beriman.[1]
Para reformator ingin melawan paham yang sempit tersebut. Menurut para Reformator, sakramen-sakramen hanya dipandang sebagai janji Allah atau bahkan hanya tanda dari pembenaran yang melulu terjadi karena pahala Kristus. Sebab, dari pihak manusia hanya dituntut iman saja supaya selamat. Yang ditegaskan kaum Reformator ialah bahwa pembenaran dan keselamatan melulu merupakan karunia Allah, dan sama sekali bukan prestasi, jasa, atau usaha manusia.[2] Dalam tulisan ini, hendak dikemukakan ajaran salah satu Reformator kenamaan dalam Gereja, yakni Martin Luther terkait dengan pandangannya akan sakramen, terlebih sakramen Ekaristi.

2.      Mengenal Martin Luther dan Teologinya
Martin Luther lahir di Eisleben, Jerman pada 10 November 1483. Ia berasal dari keluarga petani yang saleh. Pada tahun 1501 ia masuk Universitas Erfurt, suatu universitas terbaik di Jerman pada masa itu. Pada umur 25 tahun, ia memutuskan untuk menjadi biarawan Agustin karena terdorong oleh perjanjian yang dibuat  waktu cemas akan tersambar halilintar. Setelah ditahbiskan menjadi imam, ia terus belajar. Pandangannya dipengaruhi oleh Ockhamisme, yakni suatu paham yang menganggap kehendak Tuhan tak terselami dan sewenang-wenang. Pada tahun 1513 Luther menerima gelar doktor dan ia menjadi seorang mahaguru yang mengajar mata kuliah Kitab Mazmur, Roma, Galatia dan Kitab Ibrani di Wittenberg. Kitab-kiab inilah yang menjadi dasar pembentukan pemikiran dan watak bagi seorang reformator.[3]
Pokok-pokok ajaran Luther cukup luas, mulai dari pandangan teologisnya tentang Kitab Suci, Allah, keselamatan, sampai kepada baptisan dan sakramen. Selain itu, ia juga menekankan ajaran pembenaran oleh iman, teologi salib, dan kebebasan orang Kristen.[4] Jan S. menetapkan empat pusat ajaran Martin Luther, yakni: firman dan sakramen, Perjamuan Kudus, jabatan dan tata gereja, dan tata ibadah.[5]
Luther juga dikenal dengan tiga pandangan teologisnya tentang Allah dan keselamatan, yakni sola gratia, sola fide, dan sola scriptura. Sola gratia artinya Tuhanlah yang membenarkan manusia bukan karena perbuatannya, melainkan hanya karena pembenaran yang diperoleh dari Kristus dengan wafat-Nya. Sola fide berarti manusia diselamatkan dengan semata-mata karena percaya pada kerahiman Tuhan saja. Inilah pembenaran ilahi, dan pembenaran ini harus diimani dengan sekuat-kuatnya, sedangkan yang lain (perbuatan saleh dan sarana Gereja) tidak begitu penting dan perlu. Sola scriptura berarti hanya Alkitab, artinya semua ajaran iman harus bersumber dari Kitab Suci.[6]
Pada tahun 1520 terbitlah beberapa karangan Luther yang menguraikan pokok pandangannya. Pertama, berjudul “Kepada Kaum Bangsawan Kristen” dan “Tentang Kepausan”. Buku-buku ini menyerang dan menolak imamat jabatan yang hanya dimiliki oleh Paus. Kedua, berjudul “Pembuangan Babel untuk Gereja. Buku ini menyangkal sakramen-sakramen selain Pembabtisan dan Perjamuan Suci. Ketiga, berjudul “Pembebasan Seorang Kristen”, yang menyangkal gunanya perbuatan baik bagi keselamatan.[7]
Awalnya, Luther sama sekali tidak bermaksud mendirikan Gereja baru. Dia hanya berharap bahwa dengan kembali kepada Injil, Gereja Katolik akan mengalami reformasi diri. Ketika harapan itu tidak terwujud, ia pun menolak berbagai doktrin (seperti indulgensi dan sakramen-sakramen) karena tidak tertera secara eksplisit dalam Kitab Suci. Gereja-gereja Lutheran menjadi Gereja-gereja nasional, yang memiliki perbedaan antara satu negara bagian dan yang lain. Luther dinyatakan sesat oleh Gereja Katolik dan harus dihukum mati. Namun hukuman mati atas dirinya tidak pernah dilakukan karena kaisar disibukkan dengan masalah-masalah lain.[8]

3.      Pemahaman Luther akan Sakramen: Sola Scriptura, Sola Gratia, Sola Fide
Martin Luther menolak pandangan teologi skolastik yang terlalu menakankan sakramen sebagai tanda dan penyebab rahmat. Menurutnya, paham skolastik telah keliru dalam memahami rahmat Allah. Alasannya, paham skolastik hanya memandang sakramen sebagai “alat” yang menghasilkan rahmat. Sakramen seolah-olah menjadi sarana untuk menurunkan rahmat oleh manusia. Luther dan para Reformator lain melawan prinsipex opere operato (berdasarkan karya yang dilakukan itu sendiri) dari sakramen yang diartikan terlalu teknis, minimalistis, dan bahkan berbau magis. Maksudnya ialah rahmat Allah dapat dipastikan turun atas manusia asalkan upacara itu dirayakan secara semestinya. Dalam hal ini yang paling penting adalah ritus upacara yang dirayakan dan secara otomatis manusia akan mendapatkan rahmat. Paham seperti inilah yang ditolak oleh Luther.[9]
Pemahaman Luther akan sakramen dipengaruhi oleh paham Agustinus yang menekankan sakramen sebagai verbum visibile (Firman yang kelihatan). Luther lebih menekankan sakramen sebagai Firman daripada sakramen sebagai ritus.[10]Luther memahami sakramen sebagai persatuan antara Firman Perjanjian dan tanda. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, walaupun Firman tetap mendapat penekanan yang lebih penting. Dalam sabda sakramen diwartakanlah janji Allah. Ini berarti bahwa tanda (misal: roti dan anggur) pada dirinya belum merupakan sakramen tanpa Firman. Janji yang dimaksud oleh Luther adalah janji keselamatan melalui rahmat pengampunan dosa. Barangsiapa tidak menanggapi janji itu dengan iman kepercayaan yang hidup, tidak memperoleh rahmat.[11]
Luther juga berpandangan bahwa dalam sakramen, imanlah yang membenarkan manusia berdosa. Tanpa iman, sakramen tidak akan berbuah apa-apa. Bahkan Luther memisahkan antara iman dan sakramen dengan sedemikian rupa sehingga sakramen juga tidak sungguh-sungguh diperlukan. Iman sebagai karunia Allah terlepas sama sekali dari sakramen. Sakramen hanya menunjuk kepada misteri penyelamatan, ialah firman Allah (yang berpuncak pada pribadi Kristus), yang menjanjikan keselamatan.[12]
Untuk memperkuat argumen di atas, Luther merujuk pada teks Mrk. 16:16, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”. Iman akan Firmanlah yang akan menyelamatkan manusia. Di dalam Firman sudah terdapat segala sesuatu yang diperlukan oleh orang Kristen. Maka, orang yang tidak dibaptis pun dapat memperoleh keselamatan asalkan percaya akan Firman Tuhan. Dengan kata lain, baptisan (dan sakramen yang lain) hanya memateraikan tanda yang disampaikan oleh Firman.[13]
Dalam bukunya yang berjudul “Pembuangan Babel untuk Gereja”, Luther berpendapat bahwa ketujuh sakramen yang ada dalam Gereja Katolik Roma menawan seorang Kristen sejak kecil sampai ke liang kubur. Padahal menurut Firman Tuhan hanya ada dua sakramen yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Suci. Luther mengakui bahwa kedua sakramen tersebut didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus karena dasar dari sakramen tersebut secara eksplisit dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Ia mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus hanya mengadakan Pembaptisan dan Perjamuan Suci sebagai sakramen dan menyuruh kita melakukannya sampai kedatangan-Nya untuk kedua kalinya. Adapun dasar biblis dari Pembaptisan ialah Mat. 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadilah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus ...”. Sedangkan Dasar biblis dari Perjamuan Suci ialah Mrk. 14:22-24; Mat. 26:26-29; Luk. 22:19-20, dan 1 Kor. 11:23-25, yang isinya tentang kata-kata pendirian Ekaristi (Perjamuan Terakhir) Yesus bersama dengan para muridnya.[14]
4.      Pemahaman Martin Luther akan Sakramen Ekaristi
Menurut Luther, dasar pemahaman akan Sakramen Ekaristi[15] ialah iman. Ia mengatakan satu-satunya syarat supaya seseorang dapat merayakan dan menerima Ekaristi ialah ia harus percaya kepada sabda Tuhan Yesus tentang kata-kata penetapan ketika Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para murid. Peran penting iman lebih besar daripada sakramen itu sendiri. Oleh karena itu, Luther menolak istilah opus operatum karena kurang memberi tekanan pada iman. Sebagai gantinya, ia memakai istilah opus operantis[16]untuk mengenakan sifat itu pada sakramen Ekaristi.[17]

4.1     Tentang Realis Praesentia
Realis praesentiaadalah keyakinan bahwa Kristus sungguh hadir dalam Ekaristi yakni melalui roti dan anggur yang dikonsekrasi. Pada awalnya, Luther tidak terlalu memberi perhatian soal tema ini. Luther memandang Ekaristi sebagai pewartaan sabda, bagian Injil dan pengampunan dosa. Ekaristi dalam bentuk roti dan anggur dipandang sebagai tanda badani yang meneguhkan dan berguna untuk menguatkan makna pengampunan dosa yang diberikan Allah berkat jasa Kristus. Pada tahun 1525, Luther kemudian secara eksplisit mengajarkan dan mengakui tentangrealis praesentia ini. Berbeda dengan beberapa tokoh Reformator lain yang justru menyangkalnya, Luther mengakui bahwa Kristus benar-benar hadir dalam rupa roti dan anggur secara real dan badani.[18]
Dasar yang digunakan oleh Luther ialah sabda Yesus sendiri (bdk. Yoh. 6). Bertitik tolak dari kata-kata penetapan dalam Injil Matius dan Markus, Luther menegaskan bahwa dalam Ekaristi, kita sungguh-sungguh memakan Tubuh Kristus sendiri. Ia juga mengatakan, “Kita hanya melihat roti dengan kepala kita, tetapi kita mendengar dengan telinga bahwa di situ hadir tubuh Kristus.[19]

4.2     Tentang Transsubtantiatio
Luther memandang paham transsubtantiatio bukan sebagai suatu dogma resmi Gereja, melainkan sebagai pendapat pribadi dan pikiran manusiawi saja. Karena itu, ia menolak ajaran tersebut. Alasannya bahwa ajaran tersebut bukanlah ajaran tradisi yang termuat dalam Kitab Suci. Ajaran tersebut merupakan hasil dari pandangan filsafat Aristoteles, yang adalah orang kafir.
Melawan paham transsubtantiatio, Luther justru memiliki paham nominalisme atau yang sering disebut dengan ajaran konsubtantiatio. Ajaran ini memandang bahwa dalam roti dan anggur Ekaristik itu ada dan hadir tubuh dan darah Kristus bersama-sama sekaligus (substansi) roti dan anggur. Dengan kata lain, roti dan anggur tidak berubah seluruhnya menjadi tubuh dan darah Kristus melainkan hanya sebagian saja. Luther mengungkapkan bahwa kemanusiaan Yesus tetap ada bersama-sama dengan keilahian-Nya.[20]

4.3     Tentang Penerimaan dalam Dua Rupa: Roti dan Anggur
Luther berpandangan bahwa dalam Perayaan Ekaristi, roti dan anggur yang dikonsakrir harus diberikan kepada imam dan umat yang hadir dalam perayaan itu. Tidak diperkenankan bahwa hanya imam yang menerima dua rupa tersebut, umat juga mesti menerima dua rupa. Dasar pendapat Luther ini terletak pada kata-kata Kristus sendiri, “Minumlah kamu semua dari cawan ini” (Mat. 26:27). Luther berpendapat bahwa tidak memberi piala (anggur) kepada jemaat yang menginginkannya merupakan suatu tindakan yang tak layak, bahkan berdosa.
Lebih jauh lagi, Luther berpendapat bahwa umat yang tidak menerima anggur dalam Ekaristi, sebagian dari baptisan dan pengampunan dosa tidak dapat diterima secara utuh. Bahkan Ekaristi itu menjadi tidak sah ketika umat yang menginginkan tidak diperkenankan menerima dua rupa itu. Dasar teks biblis itu terletak pada sabda Yesus sendiri, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat. 26:28). Teks ini menunjukkan bahwa Kristus memberikan darah-Nya bagi semua orang, tanpa terkecuali.[21]

4.4     Ekaristi sebagai Sakramen
Luther memang mengakui kehadiran Kristus dalam roti dan anggur yang sudah dikonsakrir, namun pandangan itu tidak persis sama dengan yang dipahami dalam ajaran Gereja Katolik. Luther mengakui kehadiran Kristus dalam roti dan anggur sejauh roti dan anggur itu disantap (in usu). Jika roti dan anggur itu tersisa dan tidak disantap, maka itu bukan lagi tubuh dan darah Kristus. Dengan kata lain, roti dan anggur itu bukan lagi sakramen.  Dasar teologi Luther ini terletak  pada sabda Yesus sendiri yang berkata: Ambillah dan makanlah! Menurut Luther, sabda itu menunjuk sampai kapan roti itu adalah tubuh Kristus. Jawabannya ialah sejauh roti itu disantap. Itulah sebabnya Luther menolak praktek devosi kepada Sakramen Mahakudus.[22]
Sementara itu, Gereja Katolik mengakui kehadiran Kristus dalam roti dan anggur yang bersifat tetap. Artinya, Kristus tetap hadir dalam rupa roti dan anggur pun ketika itu sesudah Perayaan Ekaristi. Karena itu, hingga sekarang, Gereja Katolik mengakui dan mengadakan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus, seperti adorasi, prosesi, dan sebagainya.[23]

4.5     Tentang Kurban Misa
Luther menolak dengan tegas bahwa Misa Kudus adalah suatu kurban. Ada dua alasan pokok mengapa Luther menolak bahwa Misa Kudus adalah suatu kurban. Pertama, satu-satunya kurban dalam iman Kristen adalah kurban Kristus di salib. Seandainya perayaan Ekaristi dilihat sebagai kurban, maka hal ini akan membahayakan iman kristiani akan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Salib Kristus yang hanya terjadi satu kali untuk selama-lamanya (bdk. Ibr. 7:27). Menurut Luther, jika Misa Kudus tetap disebut sebagai perayaan kurban, Misa dianggap menjadi pesaing kurban salib Kristus. Sebab kurban Kristus ini menggenapi segala kurban dan sekaligus membatalkan segala kurban lainnya.[24]
Kedua, kalau misa itu dianggap sebagai suatu kurban, yakni kurban Gereja, maka itu berarti menyangkal perjamuan Ekaristi sebagai karunia Allah untuk kita. Menurut Luther, istilah “kurban’ menunjuk pertama-tama usaha manusia yang mencari dan upaya untuk berdamai dengan Allah. Maka jika Ekaristi disebut sebagai kurban akan berlawanan dengan iman kristiani bahwa keselamatan hanya berpangkal dari Allah dan bukan dari karya manusia.[25]
Luther juga berpendapat bahwa Misa merupakan kurban syukur atas penebusan Kristus, dan bukan sebagai kurban salib Kristus yang dikenang. Kurban syukur di sini dipahami Luther sebagai syukur atas penebusan Kristus dahulu, sejauh diingat dan dikenang saja. Kata “diingat” dan “dikenang” di sini belum dipikirkan dalam pengertian anamnese secara biblis. Dalam hal ini,Luther masih terikat dengan cara pikir filsafat skolastik yang memikirkan makna “peringatan” secara filosofis.[26]

5.      Penutup
Perbedaan paham mengenai sakramen antara Gereja Katolik dan Reformasi sebenarnya merupakan konsekuensi dari pemahaman dasar kaum Reformator mengenai rahmat. Dengan kata kunci justificatio, Luther meletakkan keselamatan, pembenaran, dan pengusudusan atas diri orang berdosa melalui dan dari Sabda Allah dan tanggapan iman manusia yang menyerahkan dirinya kepada Allah itu. Dari sini Luther tidak hanya mengurangi jumlah sakramen menjadi dua (Baptis dan Perjamuan Tuhan), tetapi juga mengembangkan suatu ajaran sendiri mengenai sakramen. Menurutnya, agama kristiani itu harus memuat suatu hubungan personal antara Allah dan manusia. Hubungan itu ditandai dengan hubungan korelatif antara sabda Allah dan iman manusia.[27]
Pandangan teologi Luther tentang sakramen ini juga mempengaruhi pandangannya tentang Ekaristi itu sendiri. Ia memiliki pandangan sendiri tentang realis praesentia, transsubtantiatio, ekaristi sebagai sakramen, dan tentang misa sebagai kurban. Pandangan-pandangannya ini ternyata bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Karena itu, melalui Konsili Trente, Gereja menyatakan ajaran Martin Luther sebagai ajaran sesat. Konsili Trente kemudian merumuskan ajaran-ajaran Gereja Katolikkembali dalam perbedaan dengan ajaran kaum Reformator.[28]


[1]E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Patoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 266.

[2] E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm. 266.
[3]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 153.

[4] Paul Altahus, The Thology of Martin Luther (judul asli: Die Theologie Martin Luther), diterjemahkan oleh Robert C. Schultz (Philadelphia: Fortress Press, 1966), hlm. 342.

[5] Jan S., Barbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 44-50.

[6]Adolf Heuken, Ensiklopedi ..., hlm. 153-154; bdk. Michael Collins – Matthew A. Price, Menelusuri Jejak Kristianitas (judul asli: The Story of Christianity), diterjemahkan oleh Natalias et al. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 133.

[7] Adolf Heuken, Ensiklopedi ..., hlm. 154.
[8] Michael Collins – Matthew A. Price, Menelusuri ..., hlm. 134.

[9] C. Gronen, Sakramentologi: Ciri Sakramental, Karya Penyelamatan Allah; Sejarah, Wujud, Struktur (Yogyakarta: Kanisius, 1990),hlm. 61, 73-74; bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, jilid  2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 360.               

[10]Benhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (judul asli: Epochen den Dugmengeschicte), diterjemahkan oleh A.A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, [tanpa tahun]), hlm. 174;bdk. Nico Syukur Dister, Teologi ..., hlm. 360.
[11]Paul Altahus, The Thology ..., hlm. 345.

[12] C. Gronen, Sakramentologi ..., hlm.74.

[13]Nico Syukur Dister, Teologi ..., hlm. 360; bdk. Paul Altahus, The Thology..., hlm. 348.

[14] Paul Altahus, The Thology ..., hlm. 346.
[15] Istilah Sakramen Ekaristi memang hanya dipakai dalam Gereja Katolik. Luther menyebut Ekaristi sebagai Perjamuan Suci. Dalam hal ini, penyebutan Ekaristi masih memiliki arti yang sama dengan Perjamuan Suci.

[16] Pasangan istilah opus operatum – opus operantissemula digunakan dalam soteriologi atau teologi keselamatan pada abad XII. Dengan istilah itu, orang mau membedakan antara karya penebusan Yesus Kristus yang secara obyektif ditawarkan (opus operatum) dan tanggapan ataupun sikap manusia terhadap tawaran itu (opus operantis) [lih. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 188.]

[17]J.L. Ch. Abineno,Sakramen Perjamuan Malam: Menurut Ajaran Para Reformator (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 50.

[18]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  267.
[19]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  267.

[20]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm. 267.
[21] Martin Luther, “A Prelude on the Babylonia Captivity of the Church”, dalam United Lutheran Church in America, (October 1520), hlm. 181-182.

[22] E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  268.

[23]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  268.

[24]J.B. Banaritwana (ed), Ekaristi dan Kerjasama Imam-Awam (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 50; bdk.E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  268; bdk. juga Martin Luther, “A Prelude ...”, hlm 112-113.

[25]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm. 268.

[26]E. Martasudjita, Ekaristi ..., hlm.  268-269.

[27] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen ..., hlm. 142.
[28] C. Gronen, Sakramentologi ..., hlm. 76.

1 komentar:

  1. As stated by Stanford Medical, It is really the ONLY reason this country's women get to live 10 years more and weigh 42 lbs lighter than we do.

    (And really, it is not related to genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to about "how" they eat.)

    P.S, I said "HOW", and not "what"...

    Tap on this link to see if this quick test can help you decipher your true weight loss potential

    BalasHapus