BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Perkawinan dalam
Gereja Katolik merupakan sakramen. Sakramen menegaskan bahwa perkawinan bukan
terutama atas prakarsa manusia, tetapi Allah sendiri yang berkarya dan
menyatukan. Mereka yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan
oleh manusia. Dalam perjalanan, kehidupan perkawinan mengalami banyak dinamika
dan tantangan yang menuntut kesetiaan.
Perkawinan merupakan suatu
perjalanan dan penghayatan bersama oleh dua insan (prian dan wanita) yang
saling mencintai, memilih dan mengikat diri sebagai teman menjalani hidup
dengan harapan kebahagiaan dan saling melengkapi. Perkawinan bisa juga
dikatakan sebagai kesatuan atau hubungan pria dan wanita yang saling mencintai
dan merupakan yang paling membahagiakan, sekaligus paling sulit yang pernah
dikenal manusia karena menayangkut dua pihak yang berbeda dan sama-sama unik.
Hubungan atau kesatuan ini bermula
tatkala Allah berfirman:”tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. (Kejadian 2:18).
Namun, dalam proses kesatuan hubungan perkawinan lebih lanjut dengan
usaha-asaha yang dimiliki dan harapan-harapan yang indah dan tinggi ternyata
tidak berjalan sesuai dengan harapan, sering gagal dan bahkan berakibat pada
perceraian.[1]
Seiring dengan itu, perkembangan
zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut mengubah makna dari
suatu perkawinan. Dahulu nenek kita bercerita bahwa perkawinan itu adalah
pengorbanan diri yang indah (self
sacrifice). Kini, manusia zaman sekarang mulai mengartikannya sebagai
pemenuhan diri yang nikmat (self
fulfilment). Perkawinan tumbuh bilamana saling memberi kenikmatan diri.
Orang “kuno” dulu menyebut
perkawinan sebagai kebersamaan hidup dan kebersamaan perasaan (suka dan duka).
Orang “modern” sekarang melihatnya sebagai kontrak kerjasama hidup. Kerjasama
dalam segala hal yang saling memberikan keuntungan. Akan tetapi lebih baik
diputuskan kontraknya tatkala mereka tidak melihat kerjasama itu sebagai
fasilitas keuntungan. Oleh karena itu dengan adanya pergesaran makna perkawinan
ini, perbedaan persepsi dan harapan antara dua insan kekasih terus berkembang,
sehingga pelan-pelan memunculkan sejumlah konflik dan frustasi yang tidak
jarang berakhir dengan perceraian.[2]
Pada zaman kita sekarang ini persoalan cerai
kawin merupakan sudah hal yang biasa kita lihat dan dengar serta dipertontonkan
di berbagai media sosial, baik surat kabar maupun elektronik. Hal ini terjadi
bukan hanya dikalangan para artis atau selebriti yang melihat perkawianan
sebagai gaya hidup semata, namun terjadi juga terhadap kalangan publik figur
seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), para ustad dan lain sebagainnya.
Bahkan lebih jauh lagi, persoalan perceraian sudah “merasuki” masyarakat kita
sampai ke pelosok-pelosok desa yang nilai budaya dan adat-istiadatnya masih
kental.
Nilai kesakralan perkawinan
sebagaimana dipahami sejak dahulu drastis menurun dan luntur. Perkawinan
dipandang sebatas suka atau tidak suka, cocok atau tidak cocok, untung atau tidak
menguntungkan. Jika tidak suka, tidak cocok dan tidak menguntungkan lagi,
perkawinan sering berujung pada perceraian.
Melihat banyaknya persoalan
perceraian perkawinan yang terjadi belakangan ini, dan juga persoalan pastoral
teologis cerai dan kawin lagi patut mendapat perhatian kita. Oleh karena itu,
dalam tugas paper ini, penulis mengambil tema tentang persoalan perceraian
dalam perkawinan. Penulis akan berusaha melihat dan mendalami apa itu
pengertian perkawinan menurut Gereja dan negara, apa yang menjadi penyebab atau
faktor-faktor terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan. Selanjutnya dari perceraian serta cara-carapenulis akan
membuat refleksi analisis tentang perceraian ini, dan pada bagian penutup apenulisa
akan menguraikan apa yang bisa dilakukan untuk menekan kasus perceraian dalam
msyarakat, secara khusus umat katolik sendiri.
2.
Perumusan
dan Pembatasan Tema
Dalam penulisan paper tentang
perceraian ini, penulis akan melihat data-data kasus perceraian yang terjadi di
negara Indonesia secara keseluruhan. kemudian penulis akan lebih memberi
penekanan pada pandanagan moral Gereja
Katolik.
Adapun yang menjadi sasaran utamanya
adalah bagaiamana umat Allah (umat katolik khususnya) melihat, menilai apa
makna yang terkandung dalam perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi faktor
atau penyebab terjadi perceraian perkawinan. Selanjutnya penulis akan melihat
dan mendalami dengan refleksi analisis inklusif mengenai persoalan perceraian
ini. Pada bagian penutup paper ini, penulis akan memberikan tindakan-tindakan
pastoral apa yang perlu dibuat dan dilakukan untuk mengatasi persoalan
perceraian ini.
3.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan paper ini
adalah untuk memenuhi tuntutan tugas, ujian tengah semester dan ujian akhir
semester mata kuliah toelogi moral seksualitas perkawinan. Selain itu, yang
lebih utama hendak dicapai dalam penulisan paper ini adalah bahwa penulis ingin
melihat dan mendalami persoalan perceraian dalam perkawinan.
Selain dari itu, melalui paper ini,
penulis juga mengajak para pembaca untuk terbuka dan bergerak bersama untuk
mencermati serta mampu memberi solusi kelak bila menghadapi persoalan
perceraian terhadap umat yang dilayani. Sebagai calon imam dan tenaga pastoral
kelak, penulis merasa hal ini sangat penting dan perlu dimengerti dan dipahami.
BAB II
DATA DAN FAKTA TENTANG
PERSOALAN PERCERAIAN PERKAWINAN
1.
Pengertian
Perkawinan
Perkawinan menurut Kitab Hukum
Kanonik adalah suatu perjanjian (foedus),
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk anatar mereka
persekutuan (consortium) seluruh
hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-istri (bonum Coniugum) serta kelahiran dan
pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat
ke martabat sakramen (Kanon 1055 $ 1; bdk. GS, 48a). Ciri-ciri hakiki
perkawinan itu ialah unitas
(kesatuan) dan indissolubilitas
(sifat tak- dapat-diputuskan) dan yang dalam perkawinan kristiani memperoleh
kekukuhan khusus atas dasar sakramen. (Kanon 1056; bdk. GS, 52g).
Sedangkan perkawinan menurut
pandangan negara diuraikan dalam Undang-Undang R. I. No. 1/1974, I pasal 1,
yang mengatakan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[3]Menurut
Undang-undang Perkawinan, menyelenggarakan perkawinan bukan hanya melahirkan
suatu ikatan perdata saja tetapi juga memasukkan nilai agama di dalamnya. Dengan
kata lain, perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan bukan hanya sebagai
perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan. Sahnya
suatu perkawinan tidak hanya memenuhi syarat yuridis semata tetapi juga syarat
dari masing-masing agama yang dipeluk oleh yang melangsungkan perkawinan.[4]
2.
Sekilas
Data Perceraian dalam Perkawinan di Indonesia
Dalam hubungan perkawinan,
perselisihan antara suami dengan istri kerap terjadi. Kenapa? Sederhana saja
jawabannya: tidak ada manusia yang sempurna! Tidak ada satupun manusia yang mampu
memuaskan semua kebutuhan orang lain (suami atau istri). Dua orang yang tidak
sempurna, dengan tuntutan-tuntutannya yang banyak dan terpisah, tidak mungkin mencapai suatu
perkawinan yang sempurna. Setiap dua orang mempunyai tingkat ketidak-serasiannya,
dan incompatibilitas ini diperkeras
dalam hubungan yang sangat peka, hari demi hari, lewat situasi yang dialami
berlainan di antara suami dengan istri, sehingga terkadang persoalan tidak
terhindarkan. Bila sudah tidak bisa dipertahankan lagi, mahligai perkawinan
terkadang harus berujung pada perceraian.
Di negara Indonesia sendiri angka
perceraian pasangan suami- istri terus meningkat drastis setiap tahun. Badan
urusan peradilan agama Mahkamah Agung mencatat selama periode tahun 2005 sampai
dengan tahun 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga tujuh puluh persen
(70%). Direktur jendral badan urusan peradilan agama Mahkamah Agung
mengatakan,”tingkat kasus perceraian sejak tahun 2005 terus meningkat di atas
sepuluh (10%) setiap tahunnya di seluruh propinsi Indonesia.
Pada tahun 2009 tingkat perceraian
nasional 216.286 perkara. Penyebab atau faktor perceraian pasangan ini jika
diurutkan dari tiga (3) besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan
(72.274 perkara), tidak ada tangungjawab (61.128 perkara) dan masalah ekonomi
(43.309 perkara).
Sedangkan pada tahun 2010 tercatat
285.184 pengadilan agama memutuskan perkara perceraian di seluruh Indonesia.
Faktor penyebab perceraian pasanagn ini terdiri dari; ketidakharmonisan (91.841
perkara), tidak ada tanggungjawab (78.407 perkara), masalah ekonomi (67.891
perkara).
Secara geografis, perkara
perceraian nasional paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni sebanyak 33.684
perkara, disusul Jawa Timur dengan jumlah 21.324 perkara. Di posisi ketiga adalah Jawa Tengah 12.019 perkara.[5]
Sedangkan di Kota Medan sendiri
terhitung sejak Januari sampai dengan April 2015 ini terjadi 667 pasangan
suami-istri resmi bercerai. Faktor atau penyeban perceraian paling tinggi
adalah tidak adanya tanggungjawab dari pihak suami. Dari 667 perkara perceraian
ini 137 di antaranya merupakan gugatan cerai talak, yaitu suami sebagai
penggugat. Sedangkan sisanya sebanayak 538 perkara merupakan cerai gugat, yaitu
istri sebagai pengugat.
Faktor atau penyebab terjadinya
perceraian pasangan ini disebabkan karena tidak adanya tanggunjawab dari suami
170 perkara, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 123 perkara, tidak ada
keharmonisan 106 perkara, gangguan pihak ketiga 59 perkara, dan masalah ekonomi
23 perkara. Empat faktor inilah yang paling tinggi atau mendominasi perkara
perceraian terjadi di kota Medan. Namun sebenarnya masih ada faktor-faktor lain
yang menjadi pemicu perceraian pasangan suami-istri seperti perselingkuhan,
cemburu, pernikahan dini dan lain sebagainya.
Selain dari 667 perkara perceraian
yang diputuskan ini, masih ada 122 perkara yang belum diputuskan selama bulan
Januari sampai April 2015. Dan dalam realitanya sebenarnya masih sangat banyak
yang telah bercerai ‘di bawah tangan”. Artinya, perceraian yang dilakukan tanpa
melalui hukum resmi negara atau sipil. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan
kesulitan diri para pasangan yang bercerai secara administrasi kelak.[6]
3.
Sekilas
Data Perceraian di Lapangan (Wawancara)
Pada bagian ini, penulis akan
memaparkan hasil wawancara di lapangan dengan orang-orang yang sudah “bercerai”
(umat katolik) di beberapa paroki Keuskupan Agung Medan. Meskipun sebenarnya
Gereja Katolik tidak mengenal arti atau istilah perceraian, namun pembatalan
perkawinan. Dalam wawancara ini, narasumber yang diwawancarai menyampaikan
persoalan perceraian yang dilakukan tidak ada melalui hukum Gereja Katolik,
tetapi melalui hukum negara atau sipil dan “di bawah tangan”.[7] Di
bawah ini ada beberapa narasumber yang diwawancarai oleh penulis yang sudah
“bercerai”.
3.1
Risna
Wilda Br Bangun[8]
Saudari ini menikah dengan E.Barus,
pada tahun 2003 dan menerima Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik Maria Bunda
Pertolongan Abadi-Binjai. Mereka bercerai pada tahun 2013. Faktor penyebab
perceraian mereka adalah karena kurang komunikasi dan adanya pihak ketiga dalam
keluarga mereka. Mereka pun akhirnya bercerai “di bawah tangan".
3.2
Rusmina
Br Saragih[9]
Ibu ini menikah dengan J.Purba di
stasi Kuala Lama/Pantai Cermin Paroki Gembala Baik Lupuk Pakam. Pasangan ini
telah dikarunia tiga anak (dua perempuan satu laki-laki). Mereka bercerai ‘di
bawah tangan” pada tahun 2009. Faktor penyebab perceraian mereka adalah kurang
komunikasi, perselingkuhan, sikap egois dan saling mencurigai.
3.3
Ariston
Tarigan[10]
Ariston Tarigan menikah dengan S. Br
Ginting. Mereka berasal dan tinggal di stasi Santo Paulus Suka, Paroki Santa
Perawan Maria Kabanjahe. Mereka telah dikarunia dua orang anak (laki-laki).
Mereka bercerai pada tahun 2012. Faktor penyebab perceraian mereka adalah
(menurut Ariston) karena kurang komunikasi dengan istrinya dan juga karena
istrinya sudah sakit-sakitan, sehingga tidak bisa lagi memberikan tanggungjawab
sebagai istri kepada suami dan anak-anak. Perceraian mereka juga hanya “di
bawah tangan”.
3.4
Agustinus
Tarigan[11]
Agustinus Tarigan menikah dengan impalnya (putri dari saudara ibunya) M.
Br Barus. Setelah menikah mereka tinggal di kota Tebing Tinggi bersama orang
tua. Mereka tidak mengalami pacaran karena dijodohkan oleh keluarga. Mereka
menikah pada tahun 2010 dan bercerai secara sipil pada tahun 2013. Mereka telah
dikarunia satu orang putri, dan sekarang, setelah bercerai putri mereka diasuh
oleh ibunya. faktor penyeban perceraian mereka adalah kurang saling mengenal
pribadi satu dengan yang lainnya (karena dijodohkan) dan juga urusan rumah
tangga mereka sering kali diurusi oleh ibu dari keluarga suami.
BAB III
ANALISIS – REFLEKSI
INKLUSIF
1.
Berbagai
Pandangan tentang Perceraian
1.1
Pengertian
Perceraian
Perceraian merupakan penyebab
putusnya perkawinan antara pasangan suami isteri, disamping kematian atau atas
keputusan pengadilan. Perceraian umumnya terjadi karena adanya pihak yang mengajukan
(menggugat) baik dilakukan oleh pihak pria (suami) disebut dengan Talak dan
pihak wanita (isteri) yang lazim disebut dengan gugat cerai yang disertai
dengan alasan-alasan yang dibenarkan.[12]
1.2
Pemahaman
Perceraian dalam Agama-agama non-Kristen
Dalam agama Islam, perceraian
diperbolehkan untuk dilakukan namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Artinya, pada
dasarnya ajaran Islam tidak menghendaki terjadinya per- ceraian antara
suami-istri tetapi apabila ini merupakan jalan terbaik bagi kedua pihak. Hal
ini dilakukan agar tidak saling menyakiti dan menimbulkan mudarat terus menerus sehingga Islam membuka peluang untuk berpisah
melalui proses perceraian.[13]
Seperti dalam agama
Islam, agama Hindu juga memperbolehkan umatnya yang ingin bercerai. Adapun syarat-syarat
perceraian ialah salah satu pihak suami atau istri atau kedua-duanya selingkuh,
atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri. Masalah
pengaturan perceraian ini tercantum dalam Kitab Suci Weda (Parasaran Dharma
Sastra) Bab IV ayat 13 sampai dengan ayat 17.[14]
Dalam agama Budha, perceraian
dalam perkawinan juga sangat dimungkinkan.Alasan perceraian juga mirip dengan
agama Hindu, seperti terjadi perselingkuhan antara pasangan suami-istri, atau
dengan alasan lain yaitu salah satu antara suami atau istri atau kedua-duanya
tidak dapat menjalankan kewajibannnya sebagai mana mestinya,misalnya mengalami
cacat badan atau sakit yang berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan, atau
tidak mampu melahirkan seorang keturunan.[15]
1.3
“Perceraian”
dalam Gereja Katolik
Dalam Gereja
Katolik, ada dua sifat utama dalam perkawinan, yakni monogami/satu (unity) dan tak terceraikan (indissolubility). Sifat monogami
menuntut suami-istri untuk setia pada satu pasangan yang menjadi pilihan
hidupnya. Dengan kata lain, Gereja Katolik tidak mengakui perkawinan yang
bersifat poligami atau poliandri. Sementara sifat tak terceraikan menuntut
suami-istri untuk setia terhadap janji perkawinannya dalam keadaan apapun
hingga ajal memisahkan (bdk. Kan. 1056).
Gereja Katolik
tidak mengenal putusnya perkawinan atau perceraian. Dalam Gereja Katolik hanya
mengenal perpisahan dan pembatalan perkawinan. Perpisahan dalam Gereja Katolik dibagi
atas dua macam, yaitu:
a.
Perpisahan dengan tetap adanya ikatan
perkawinan.
Suami-isteri
mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali
jika ada alasan sah yang memuaskan mereka. Sangat dianjurkan agar suami-isteri,
demi cinta kasih Kristiani serta keprihatinan atas kesejahteraan keluarga,
tidak menolak pengampunan bagi pihak yang berzinah, dan tidak memutuskan
kehidupan perkawinan. Kendati pun demikian jika ia belum mengampuni
kesalahannya secara tegas atau diam-diam, maka ia berhak untuk memutuskan hidup
bersama perkawinan, kecuali kalau ia menyetujui perzinahan itu, atau ia sendiri
juga berzinah.
b.
Perpisahan dengan diputuskan ikatan
perkawinannya (bukan sakramen).
Perkawinan yang tidak
disempurnakan dengan persetubuhan antara orang-orang yang telah dibaptis, atau
antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputuskan oleh Sri Paus
atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari
antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.[16]
Dari uraian
tentang perpisahan di atas dapat disimpulkan bahwa perpisahan (pemutusan ikatan
nikah) ditentukan jenis perkawinan kedua pihak yang menikah. Jika pernikahan
itu dilakukan oleh dua orang yang dibaptis, maka pernikahan itu adalah
sakramen. Jika sakramen itu itu telah disempurnakan dengan persetubuhan, maka
tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apa pun,
selain kematian.[17]
Perpisahan (seperti pisah ranjang/meja makan) dilakukan dengan harapan muncul
pengampunan dan kerinduan antara pasangan dan berharap kembali menyatu sebagai
keluarga yang lebih harmonis.
Sementara itu,
pembatalan perkawinan dalam Gereja Katolik dilakukan apabila perkawinan itu
terbukti tidak sah dari dalam dirinya sendiri, dan hakim sekadar membuat
putusan deklaratif yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang tidak sah sejak
semula atas dasar cacat hukum tertentu. Berdasarkan deklarasi pembatalan
tersebut, pengadilan Gereja sebenarnya mencari, mengabdi dengan rendah hati dan
menegaskan kebenaran substansial mengenai “awal” perkawinan yang sudah
dilangsungkan secara tidak sah, bukan mengenai “akhir” perkawinan ketika
suami-istri berselisih dan bercerai. Jadi, proses pembatalan perkawinan kanonik
tidak dilakukan sekedar untuk meresmikan status suami-istri yang de facto telah bercerai, melainkan
justru untuk menunjukkan bahwa begitu ikatan nikah itu dibuat secara sah,
ikatan perkawinan itu harus dipertahankan dan dibela.[18]
Melalui uraian
di atas kembali ditegaskan bahwa perpisahan dan pembatalan dalam perkawinan
Katolik bukanlah suatu perceraian. Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian
bagi pasangan suami isteriyang beragama Kristen Katolik tidak diperbolehkan,
karena dalam perkawinanKristen Katolik terdapat asas monogami dan tak
terceraikan sesuai dengan ajaran KitabSuci, yakni: “Apa yang telah dipersatukan
oleh Tuhan tidak dapat diceraikan olehmanusia”(Mat. 19:6).[19]
Paus Yohanes
Paulus II dalam Seruan Apostolik Familiaris
Consortiomenyatakan bahwa “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan
simbol nyata dariPerjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan
sakramen, peristiwakeselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan tak
terceraikan, setia,terbuka bagi keturunannya”.[20]
Para suami dan istri Kristiani dengan perkawinan Katolik menandakan misteri dan
cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja, dan ikut serta menghayati
misteri itu atas kekuatan dari Tuhan, mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun
dalam menerima dan mendidik anak, saling membantu dan menjadi suci. Dengan
demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka mempunya kurnia yang khas
di tengah umat Allah.[21]
2.
Perceraian
dalam Budaya Penganut Patrialisme
Budaya patriarki merupakan
budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya
ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam
kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin
atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber
daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga.
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana
kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum
perempuan.[22]
Budaya Patriarki berefek
pada sikap masyarakat patriarki yang kuat, ini mengakibatkan masyarakat
cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala bentuk tindak
kekerasan yang menimpa perempuan. Pada masyarakat patriarki sering dijumpai
masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan
perempuan.[23]
Pada ranah hukum pun
budaya patriarki juga diserap dalam Undang-undang Perkawinan. Hal ini terlihat
dalam pembagian kerja antara suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai
ibu rumah tangga diatur secara jelas dalam Undang-undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Secara perangkat hukum pun kita menggunakan sistem
patrialisme, dimana memposisikan suami sebagai pihak yang lebih kuat dan istri
serta anak sebagai pelengkap dalam keluarga.[24]
Masyarakat Jawa dan
Batak pada umumnya menganutperkawinan yang bersifat patrilineal, maksudnya
garis keturunan dari anak laki-laki. Secara khusus dan lebih kentara adalah
masyarakat Batak, di mana penerus marga ditentukan dari anak laki-laki. Karena
itu, paham ini akan berbenturan dengan persoalan perkawinan ketika suami-istri
tertentu tidak memiliki keturunan (laki-laki). Hal ini menjadi salah satu dari
sekian alasan munculnya perceraian dikalangan masyarakat patrialis.
Dari pengalaman penulis
hidup di daerah Batak ini, penulis sudah mendengar dan menyaksikan sendiri
bahwa banyak suami yang cerai dan menikah lagi demi mendapatkan anak
(laki-laki). Bahkan untuk sebagian orang, hal itu dianggap biasa dan wajar.
Bahkan lagi, orang-orang yang masih berpandangan “kolot” (orang-orang tua di
kampung) akan menyuruh anaknya menikah lagi seandainya perkawinan yang pertama
tidak menghasilkan keturunan.
Sesungguhnya dalam
budaya tertentu sangat menjunjung tinggi nilai perkawinan. Menurut hukum
adat,perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga
persekutuan,martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang
bersangkutan. Perkawinan bagi masyarakat adat Batak adalah sakral dan suci
maksudnyaperpaduan hakekat kehidupan antara laki laki dan perempuan menjadi
satu dan bukansekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.[25]
Namun disayangkan bahwa nilai luhur perkawinan dari budaya itu dapat
terceraikan oleh karena pemahaman yang masih tradisional.
BAB IV
REFLEKSI TEOLOGIS MORAL
Refleksi
atas Janji Setia dalam Perkawinan di tengah Tantangan Zaman
“Di hadapan Imam
dan para saksi,Saya (nama diri), menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa (nama
pasangan), yang hadir di sini, mulai sekarang ini menjadi isteri/suami saya.
Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit
dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikian janji saya,
demi Allah dan Injil suci ini”.
Rumusan di atas
adalah rumussan janji perkawinan yang diungkapkan pasangan pengantin yang akan
menikah dalam Gereja Katolik yang akhirnya dipandang sebagai sakramen. Bila
orang merenungkan janji setia pernikahan, pada zaman sekarang ini senantiasa
dihadapkan pada tantangan zaman. Kesetiaan akan janji untuk senantiasa berani
saling menyerahkan diri, mencintai dan menghormati pasangannya seumur hidup
dalam keadaan apapun juga merupakan perjuangan yang tiada akhir. Janji yang
dengan mudah diucapkan, dalam keadaan konkrit senantiasa dikonfrontasikan
dengan kemauan dan kehendak yang lain, yang menggoda, yang memberikan tawaran
lain dan yang mungkin lebih menyenangkan, sekalipun tidak pasti membahagiakan.[26]
Janji setia
tersebut didasari kemauan bebas dan tidak dapat ditarik kembali untuk
diceraikan, karena apa yang telah dipersatukan olehTuhan, tidak boleh diceraikan
oleh manusia. Hal ini juga merupakan tantangan di zaman sekarang ini. Upacara
Pernikahan dalam bentuk janji setia itu dipandang sebagai tindakan Tuhan yang
mempersatukan, bukan hanya ritual buatan manusia saja. Upacara itu memuat nilai
sakral dan diyakini bahwa Tuhan bertindak atas peristiwa itu. Hal ini diajarkan
oleh Gereja Katolik dan dipercayai sebagai tindakan yang tidak dapat dibatalkan
oleh manusia, dengan alasan apapun juga. Tuhan bertindak, maka manusia harus
percaya, yakin dan mengikutinya. Kalau tidak mengikuti, maka akan melanggar apa
yang ditetapkan Tuhan.
Ajaran
Katoliktidak mengenal adanya perceraian. Yang dikenal hanyalah perpisahan
sementara saja, tetapi perceraian tidak pernah diijinkan. Perceraian dipandang
sebagai tindakan yang melanggar ajaran Tuhan. Tentu saja hal ini merupakan hal
yang ideal, walaupun dalam kenyataannya ada banyak “perceraian” dalam keluarga
Katolik, tetapi Gereja Katolik.
Sendi-sendi
pernikahan, khususnya janji setia pernikahan, pada zaman yang serba maju ini
harus memberikan jawaban yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau
kedua belah pihak sudah tidak mungkin dipersatukan kembali, apakah mereka
dipaksa tetap bersatu? Kesatuan cintakasih sudah hancur, dan perceraian sipil
sudah terjadi, apakah kesatuan perkawinan kristiani masih harus diupayakan
dengan segala cara agar tidak bercerai? Kelemahan manusiawi sering kali menjadi
tantangan cita-cita yang ideal. Tindakan untuk saling setia secara eksklusif,
seumur hidup dan mengasihi serta menghormati satu sama lain, dengan demikian
bukan lagi dua insan yang ada, melainkan menjadi satu kesatuan utuh tak terceraikan,
sungguh merupakan suatu yang sangat ideal dalam ajaran Gereja Katolik. Namun
hal ini bukanlah secara otomatis terjadi, tanpa adanya usaha dan perjuangan
untuk tetap memelihara kesatuan itu.[27]
Dewasa ini,
perkawinan sudah tampak seperti lembaga yang ketinggalan zaman dan tidak
praktis lagi dalam dunia modern yang tersihir oleh moralitas baru. Hukum-hukum
yang mengatu soal pembubaran perkawinan semakin longgar, dan perceraian
hampir-hampir tidak lagi dipandang sebagai aib.
Ketika
menghadapi berbagai persoalan seputar perkawinan, ada juga orang-orang yang
meminta bantuan kepada ahli-ahli atau penasihat perkawinan. Ada juga
orang-orang yang membaca buku-buku karya ahli-ahli tertentu. Namun ironisnya,
beberapa “pakar” perkawinan dewasa ini terbukti lebih mahir menganjurkan orang
untuk bercerai daripada untuk mempertahankan perkawinannya. Bahkan muncul
pandangan bahwa ikrar kesetiaan seumur hidup itu tidak realistis dan sangat
membebani.
Tantangan untuk
meragukan janji setia itu pun dalam kalangan Katolik cukup banyak, sekalipun
tantangan itu tidak benar menurut ajaran Gereja Katolik. Pada zaman sekarang
ini ada sementara orang yang mulai bertanya-tanya: mungkinkah masih perlu
adanya janji setia yang seumur hidup? Ataukah mungkinkah ada janji setia yang
sementara saja, yang sifatnya percobaan? Seraya menghargai keterbatasan
manusia, dan kehendak bebas untuk berubah dan berkembang? Kalau cocok dan
kiranya dapat dijalin secara abadi diteruskan, tetapi kalau tidak sesuai dan
tidak dapat bersatu hati secara kekal, apakah masih perlu diteruskan? Usaha
untuk mempersatukan telah ditempuh, tetapi kalau tidak mungkin dapat bersatu,
mungkinkah dibatasi oleh waktu, sampai persatuan itu dapat dipertahankan saja?
Mungkinkah di zaman sekarang ini akan muncul perkembangan ajaran: Janji setia
dibatasi waktu, sampai cocok, dan kalau tidak cocok selesailah sudah persatuan
itu? Pertanyaan yang tentunya akan menggoncangkan sendi-sendi hidup
berkeluarga. Satu kali pernikahan, untuk seumur hidup dan hubungan itu eksklusif.
Ajaran ini diyakini sudah final dan mengikuti ajaran Yesus. Perkawinan harus
monogami, tidak diijinkan adanya perceraian, poligami apalagi poliandri.[28]
Kalau poligami
dan poliandri dilarang, bagaimana dengan nasib orang Katolik yang telah cerai
secara de facto, lalu nikah lagi itu? Perkawinan pertama memang sudah tidak
dapat dipertahankan lagi, dicari solusi pun sudah tidak mungkin lagi, dan
tragedi perceraian terlaksana. Mereka sebenarnya tidak mau bercerai, dan sangat
menyesalkan atas peristiwa itu, tetapi mereka juga tidak mampu untuk bersatu
lagi. Usaha apapun yang telah mereka tempuh, selalu saja tidak berhasil. Jalan
terakhir ditempuhnya dengan tidak lain daripada perceraian sipil melalui
pengadilan. Ada juga pasangan yang memang dengan sengaja mau bercerai, tidak
mau memulihkan kembali hidup berkeluarganya. Setelah mereka hidup
sendiri-sendiri, dalam perjalanan waktu masing-masing mendapat jodohnya dan
berhasil melaksanakan pernikahan yang diakui oleh hukum di tanah air kita. Ada
di antara mereka yang meninggalkan Gereja Katolik dan hidup menempuh cara yang
lain, tetapi ada juga di antara mereka yang tetap Katolik, mendidik
anak-anaknya secara Katolik, rajin ke Gereja dan doa-doa di lingkungannya,
tetapi mereka menyadari keadaannya, mereka tak diperbolehkan untuk menerima
sakramen-sakramen Gereja lainnya. Pernikahan yang kedua itu dianggapnya sudah
cacat hukum dan tidak diakui oleh Gereja Katolik lagi.
Paus Yohane
Paulus II, dalam surat apostolik Familiaris
Consortio mengajarkan agar keluarga yang dalam situasi demikian ini tetap
didampingi, dianjurkan rajin ke Gereja, sembahyang, dls., tetapi tidak
diperkenankan menyambut sakramen-sakramen Gereja. Mereka tetap taat dan setia,
mau membereskan pernikahannya, tetapi tidak dapat dan tidak boleh, sebelum pernikahan
yang pertama dibereskan terlebih dulu. Ada yang sudah berusaha agar diproses
untuk mendapatkan declaratio nullitatis
matrimonii (suatu pernyataan bahwa pernikahan yang pertama dahulu tidak
ada), tetapi jalannya tidak mulus. Yang jelas keluarga baru itu secara nyata
hidupnya sebagai orang Katolik baik,
tetapi kedua pasangan itu tetap dilarang untuk menerima sakramen-sakramen
Gereja lainnya.[29]
Berbagai kasus
hidup berkeluarga, khususnya perkawinan memang ada banyak sekali. Tantangan
hidup berkeluarga pun bukan hanya menyangkut janji setia pernikahan, tetapi ada
berbagai tantangan yang dapat mengoncangkan hidup berkeluarga, dari yang
sederhana sampai yang berat. Namun keluarga kristiani haruslah dibangun untuk
menjadi keluarga yang ideal, yang sesuai dengan kehendak Kristus, inilah yang
harus diperjuangkan dan diusahakan semaksimal mungkin oleh keluarga Katolik,
karena tidak mengenal adanya perceraian.[30]
BAB V
TINDAKAN PASTORAL
1.
PersiapanPerkawinan
Jangka Panjang
Untuk hidup perkawinan
diperlukan taraf kedewasaan dalam sikap juga sikap iman, yang sesuai dengan
yang diharapkan. Karena itu diperlukan persiapan jangka panjang yang bersifat
masih agak umum.
Dengan persiapan jangka
panjang dimaksudkan persiapan yang masih sangat umum dan meliputi tahap-tahap
serata aspek-aspek perkembangan anak menuju kedewasaan sejak usia dini. Dalam
bahasa sehari-hari tahap ini tidak dikaitkan dengan perkawinan atau persiapan
perkawinan. Hal ini berfungsi untuk menegaskan betapa pentingnya perkembangan
sejak usia dini untuk hidup sebagai suami-istri dan orang tua di masa depan.
Persiapan jauh sudah
dimulai pada masa kanak-kanak, berupa latihan yang bijaksana dalam keluarga
untuk membantu anak-anak menyadari bahwa mereka dibekali dengan sifat-sifat
kejiwaan yang kaya dan kompleks, dan dengan kepribadian yang khas beserta
kekuatan dan kelemahan-kelemahannya sendiri. Pada saat itulah ditanamkan
penghargaan terhadap nilai manusiawi otentik, dalam hubungan-hubungan antar
pribadi maupun sosial, dengan segala implikasinya bagi pembentukan watak
perangai, cara mengendalikan dan memanfaatkan dengan tepat
kecenderungan-kecenderungan sendiri, cara memandang dan menghadapi sesama jenis
lawan, dan lain sebagainya. Hal yang tidak kalah penting adalah pembinaan hidup
rohani dan katekese untuk menunjukkan bahwa perkawinan itu suatu panggilan dan
perutusan yang sejati.[31]
2.
Persiapan
Perkawinan Jangka Menengah
Setelah menguraikan
persiapan jangka panjang, perlu juga persiapan jangka menengah. Berlandaskan landasan
itu selanjutnya tahap demi tahap akan dibangun tahap persiapan dekat. Sejak
umur yang sesuai dan melalui katekese yang memadai seperti dalam proses
katekumenat, tahap persiapan ini mencakup suatu persiapan yang lebih khusus
untuk menerima sakramen-sakramen. Pendidikan keagamaan kaum muda pada saat yang
tepat dan sesuai dengan berbagai persiapan konkrit perlu diintegrasikan dengan
kenyataan hidup sebagai pasangan suami-istri. Persiapan ini hendaknya
menyajikan perkawinan sebagai hubungan antar pribadi (pria dan wanita) yang
senantiasa harus dikembangkan.
Selain itu hendaknya
persiapan perkawinan itu memperkenalkan kepada mereka cara-cara yang tepat
untuk mendidik anak, serta membantu mereka untuk memperoleh apa yang pada
dasarnya dibutuhkan untuk kehidupan keluarga yang teratur. Misalnya, pekerjaan
yang tetap, sumber-sumber keuangan yang memadai, administrasi yang efesien, dan
pengetahuan tentang kerumatanggaan. Akhirnya janganlah diabaikan untuk
persiapan kerasulan keluarga, solidaritas dan persaudaraan dengan
keluarga-keluarga lain, kelompok-kelompok atau perserikatan-perserikatan di
dalam masyarakat.[32]
3.
Persiapan
Perkawinan Triwulan Terakhir
Situasi biasa dari
pasangan calon yang dibayangkan ialah sudah adanya kesepakatan rencana
perkawinan. Sehingga tujuan masa persiapan ini ialah mendampingi para calon
secara lebih intensif dalam membekali dan mempersiapkan diri untuk merayakan
sakramen perkawinan. Program ini di isi dengan:
·
Pendalam iman (kapita
selekta) misalnya dalam bentuk seminar
·
Pendidikan liturgis,
khususnya yang menyangkut sakramen-sakramen, lebih khusus lagi sakramen
perkawinan.
·
Kursus persiapan
perkawinan.
·
Rekoleksi (bila
memungkinkan).[33]
4.
Pendaftaran
dan Penyelidikan Kanonik
Tujuan pendaftaran
perkawinan adalah untuk merencanakan secara konkrit acara proses persiapan
penentuan waktu perkawinan. Pada kesempatan ini, tujuan dan program persiapan
diperkenalkan kepada para calon.
Para calon diharapkan
sudah mendaftarkan diri kepada pastor paroki (pemuka umat, bila tidak ada
pastor paroki). Untuk memulai masa persiapan ini, dapat diadakan penerimaan
dengan liturgi sabda.
Tujuan penyelidikan
kanonik adalah untuk memastika terpenuhinya syarat-syarat perkawinan yang sah.
Penyelidikan kanonik merupakan kesempatan yang berharga untuk pastoral perkawinan
yang lebih individual.[34]
5.
Pembinaan
Lanjutan
Pembinaan lanjutan bagi
keluarga-keluarga yang sudah menikah perlu mendapat tempat yang sangat penting
dalam tugas pastoral. Hal ini penting karena berkembangnya perkawinan menjadi
keluarga, suami-istri mendapat peran baru sebagai ayah atau ibu sehingga mereka
harus menyesuaikan diri dengan peran baru itu. Dengan demikian
penghayatan-penghayatan perseketuan pribadi-pribadi ditata sedemikan rupa
sehingga peran sebagai ayah atau ibu dan sebagai suami atau istri seimbang dan
serasi.
Ayah atau ibu adalah
paham relasional, artinya pasangan yang saling terkait, yang satu tidak dapat
dimengerti tanpa yang lain. Ayah atau ibu hanya dapat dimengerti dalam
hubungannya denga anak. Demikian pula pengertian ayah bersifat relasional
terhadap pengertian ibu sejauh keduanya merupakan pasangan dengan tanggungjawab
bersama terhadap anak. Dengan demikian mereka dipanggil untuk menghayati
hubungan timbal balik dalam keluarga.[35]
Kesadaran-kesadaran akan pemahaman ini dapat diberikan melalui
pendampingan-pendampingan pastoral, seperti konseling keluarga, kunjungan
keluarga, seminar-seminar, rekoleksi pasutri, dan sebagainya.
[1] M. Torsina, Cinta yang Pintar Kawin yang Pintar
(Jakarta:Cakrawala,1987), hlm. 27.
[2]M. Torsina, Kekasih yang Curang, Suami yang Serong (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2000), hlm. 8.
[3]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih Setia dalam Suka-Duka:
Pedoman Persiapan Perkawinan dalam Gereja Katolik (Jakarta: Afandhani
Pramandiri, 1994), hlm. 39.
[4]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh Budaya Patriaki
Terhadap Perceraian: Kajian pada Pengadilan Agama Kelas I A Palembang (Malang:
Tunggal Mandiri, 2014), hlm. 18-19.
[5]“Angka Perceraian
Pasangan meningkat di Indonesia” dalam Repulika. CO.ID, Jakarta, 24 Januari
2012.
[6]“Perceraian di Pengadilan
Agama Kota Medan 2015” dalam Sumut Pos. Com, Medan 22 Mei 2015.
[7]Perceraian “di bawah
tangan”, artinya perceraian yang dilakukan oleh kedua pihak yaitu suami dan
istri tanpa proses hukum sipil. Umumnya mereka melakukan perceraian ini hanya
diketahuai oleh kedua pihak keluarga dan masyarakat sekitar saja (adat dan
pemberitahuan kepada kepala desa atau ketua RT).
[8]Risna Wilda Br Bangun ini
adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Rumah Sakit Adam Malik Medan.
Suaminya adalah seorang anggota Polri (Brimob). Secara ekonomi kehidupan mereka
cukup baik. Namun persoalan keluarga muncul ketika mereka sudah menikah
beberapa tahun, tetapi tidak mempunyai keturunan. Setelah mencoba berobat di
beberapa tempat, tetapi hasilnya nihil. Maka dengan secara sepihak sebenarnya
sang suami menikah diam-diam dan setelah memilki anak dari pasangan
selingkuhannya sang suami akhirnya menceraikannya dengan sepihak. Perbuatan
suaminya ini juga sangat didukung oleh keluarga pihak laki-laki, sebab mereka
sangat mengharapkan keturunan mereka tetapi sang istri belum bisa memberi apa
yang mereka harapkan.
[9]Rusmina Br Saragih
sekarang sudah berumur empat puluh lima (45) tahun. Pekerjaannya adalah seorang
petani. Beliau mengatakan bahwa perceraian yang dialaminya mengakibatkan
dirinya hampir putus asa dan tidak mempunyai semangat hidup. Ia merasa malu
terhadap keluarga dan juga lingkungan sekitar. Namun berkat dorongan dan
dukungan dari anak-anak dan juga saudara/i seiman membuat dirinya kuat kembali.
[10]Setelah bercerai beberapa
tahun, Ariston Tarigan ini menikah kedua kalinya dengan Impalnya atau
paribannya (putri dari saudara dari ibunya) di kampung itu, yang juga
menceraikan suaminya. Setelah dua tahun bercerai dengan istri pertamanya itu
akhirnya meninggal karena sakit yang dialaminya.
[11]Agutinus Tarigan ini
setelah menikah dengan M.Br Barus tinggal di rumah orang tua mereka di Tebing
Tinggi, tepatnya di asrama 122. Sebenranya mereka tidak saling mencintai, akan
tetapi karena dijodohkan oleh keluarga, dan terutama karena perkawinan ini
permintaan dari almarhum ayah beliau yang sakit-sakitan pada masa itu. Hal
diminta supaya kekeluargaan diantara keluarga mereka semakin dekat. Sekarang
ini, akibat perceraian ini justru semakin merenggangkan hubungan kekeluragaan
diantara keluarga mereka sendiri.
[12]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT.
Intermasa, 2003), hlm. 42.
[13]Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam (Jakarta: Attahitiyah, 1954),
hlm. 363.
[14]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh ..., hlm. 104.
[15]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh ..., hlm. 105.
[16]Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik: Teks dan Kometar (Malang: Dioma,
1990), hlm. 152.
[17]Kitab
Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici
1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Sekretariat KWI
(Jakarta: KWI, 2006), Kan. 1141.
[18]Catur Raharso, Paham Perkawinan dalm Hukum Gereja Katolik (Malang:
Dioma, 2006), hlm. 108.
[19]Purwo Hadiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik,
Implikasinya Dalam Kawin Campur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 38.
[20]Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik
(Yogyakarta: Kanisius , 1988), hlm. 125.
[21]Konsili
Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan
oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993),
no. 11.
[22]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh ..., hlm. 111.
[23]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh ..., hlm. 112.
[24]Wahyu Ernaningsih - Putu
Samawati, Pengaruh ..., hlm. 115
[25]Raja Marpondang Gultom, Dalian Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak
(Medan: CV. Armanda, [tanpa tahun]), hlm. 377.
[26]Martino Sardi, “Membangun
Hidup Berkeluarga dalam Ajaran Gereja Katolik”, dalam Nina Mariani Noor - Ferry
Muhammadsyah Siregar (ed.), Etika Sosial
dalam Interaksi Lintas Agama (Yogyakarta: Globethics.net Indonesia, 2014),
hlm. 36.
[27]Martino Sardi, “Membangun
...”, hlm. 37.
[28]Martino Sardi, “Membangun
...”, hlm. 38.
[29]Martino Sardi, “Membangun
...”, hlm. 39.
[30]Martino Sardi, “Membangun
...”, hlm. 40.
[31]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih ..., hlm. 91-92.
[32]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih ..., hlm. 92.
[33]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih ..., hlm. 93.
[34]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih ..., hlm. 94.
[35]Konferensi Wali Gereja
(KWI), Kasih ..., hlm. 108-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar