Selasa, 12 Januari 2016

"perceraian" dalam Gereja Katolik



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan sakramen. Sakramen menegaskan bahwa perkawinan bukan terutama atas prakarsa manusia, tetapi Allah sendiri yang berkarya dan menyatukan. Mereka yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dalam perjalanan, kehidupan perkawinan mengalami banyak dinamika dan tantangan yang menuntut kesetiaan.
Perkawinan merupakan suatu perjalanan dan penghayatan bersama oleh dua insan (prian dan wanita) yang saling mencintai, memilih dan mengikat diri sebagai teman menjalani hidup dengan harapan kebahagiaan dan saling melengkapi. Perkawinan bisa juga dikatakan sebagai kesatuan atau hubungan pria dan wanita yang saling mencintai dan merupakan yang paling membahagiakan, sekaligus paling sulit yang pernah dikenal manusia karena menayangkut dua pihak yang berbeda dan sama-sama unik.
            Hubungan atau kesatuan ini bermula tatkala Allah berfirman:”tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. (Kejadian 2:18). Namun, dalam proses kesatuan hubungan perkawinan lebih lanjut dengan usaha-asaha yang dimiliki dan harapan-harapan yang indah dan tinggi ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan, sering gagal dan bahkan berakibat pada perceraian.[1]
            Seiring dengan itu, perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut mengubah makna dari suatu perkawinan. Dahulu nenek kita bercerita bahwa perkawinan itu adalah pengorbanan diri yang indah (self sacrifice). Kini, manusia zaman sekarang mulai mengartikannya sebagai pemenuhan diri yang nikmat (self fulfilment). Perkawinan tumbuh bilamana saling memberi kenikmatan diri.
            Orang “kuno” dulu menyebut perkawinan sebagai kebersamaan hidup dan kebersamaan perasaan (suka dan duka). Orang “modern” sekarang melihatnya sebagai kontrak kerjasama hidup. Kerjasama dalam segala hal yang saling memberikan keuntungan. Akan tetapi lebih baik diputuskan kontraknya tatkala mereka tidak melihat kerjasama itu sebagai fasilitas keuntungan. Oleh karena itu dengan adanya pergesaran makna perkawinan ini, perbedaan persepsi dan harapan antara dua insan kekasih terus berkembang, sehingga pelan-pelan memunculkan sejumlah konflik dan frustasi yang tidak jarang berakhir dengan perceraian.[2]
             Pada zaman kita sekarang ini persoalan cerai kawin merupakan sudah hal yang biasa kita lihat dan dengar serta dipertontonkan di berbagai media sosial, baik surat kabar maupun elektronik. Hal ini terjadi bukan hanya dikalangan para artis atau selebriti yang melihat perkawianan sebagai gaya hidup semata, namun terjadi juga terhadap kalangan publik figur seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), para ustad dan lain sebagainnya. Bahkan lebih jauh lagi, persoalan perceraian sudah “merasuki” masyarakat kita sampai ke pelosok-pelosok desa yang nilai budaya dan adat-istiadatnya masih kental.
            Nilai kesakralan perkawinan sebagaimana dipahami sejak dahulu drastis menurun dan luntur. Perkawinan dipandang sebatas suka atau tidak suka, cocok atau tidak cocok, untung atau tidak menguntungkan. Jika tidak suka, tidak cocok dan tidak menguntungkan lagi, perkawinan sering berujung pada perceraian.
            Melihat banyaknya persoalan perceraian perkawinan yang terjadi belakangan ini, dan juga persoalan pastoral teologis cerai dan kawin lagi patut mendapat perhatian kita. Oleh karena itu, dalam tugas paper ini, penulis mengambil tema tentang persoalan perceraian dalam perkawinan. Penulis akan berusaha melihat dan mendalami apa itu pengertian perkawinan menurut Gereja dan negara, apa yang menjadi penyebab atau faktor-faktor terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan. Selanjutnya  dari perceraian serta cara-carapenulis akan membuat refleksi analisis tentang perceraian ini, dan pada bagian penutup apenulisa akan menguraikan apa yang bisa dilakukan untuk menekan kasus perceraian dalam msyarakat, secara khusus umat katolik sendiri.

2.      Perumusan dan Pembatasan Tema
            Dalam penulisan paper tentang perceraian ini, penulis akan melihat data-data kasus perceraian yang terjadi di negara Indonesia secara keseluruhan. kemudian penulis akan lebih memberi penekanan pada pandanagan  moral Gereja Katolik.
            Adapun yang menjadi sasaran utamanya adalah bagaiamana umat Allah (umat katolik khususnya) melihat, menilai apa makna yang terkandung dalam perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi faktor atau penyebab terjadi perceraian perkawinan. Selanjutnya penulis akan melihat dan mendalami dengan refleksi analisis inklusif mengenai persoalan perceraian ini. Pada bagian penutup paper ini, penulis akan memberikan tindakan-tindakan pastoral apa yang perlu dibuat dan dilakukan untuk mengatasi persoalan perceraian ini.

3.      Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tuntutan tugas, ujian tengah semester dan ujian akhir semester mata kuliah toelogi moral seksualitas perkawinan. Selain itu, yang lebih utama hendak dicapai dalam penulisan paper ini adalah bahwa penulis ingin melihat dan mendalami persoalan perceraian dalam perkawinan.
            Selain dari itu, melalui paper ini, penulis juga mengajak para pembaca untuk terbuka dan bergerak bersama untuk mencermati serta mampu memberi solusi kelak bila menghadapi persoalan perceraian terhadap umat yang dilayani. Sebagai calon imam dan tenaga pastoral kelak, penulis merasa hal ini sangat penting dan perlu dimengerti dan dipahami.












BAB II
DATA DAN FAKTA TENTANG PERSOALAN PERCERAIAN PERKAWINAN

1.        Pengertian Perkawinan
            Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik adalah suatu perjanjian (foedus), dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk anatar mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-istri (bonum Coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (Kanon 1055 $ 1; bdk. GS, 48a). Ciri-ciri hakiki perkawinan itu ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak- dapat-diputuskan) dan yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. (Kanon 1056; bdk. GS, 52g).
            Sedangkan perkawinan menurut pandangan negara diuraikan dalam Undang-Undang R. I. No. 1/1974, I pasal 1, yang mengatakan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[3]Menurut Undang-undang Perkawinan, menyelenggarakan perkawinan bukan hanya melahirkan suatu ikatan perdata saja tetapi juga memasukkan nilai agama di dalamnya. Dengan kata lain, perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan bukan hanya sebagai perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan. Sahnya suatu perkawinan tidak hanya memenuhi syarat yuridis semata tetapi juga syarat dari masing-masing agama yang dipeluk oleh yang melangsungkan perkawinan.[4]

2.        Sekilas Data Perceraian dalam Perkawinan di Indonesia
            Dalam hubungan perkawinan, perselisihan antara suami dengan istri kerap terjadi. Kenapa? Sederhana saja jawabannya: tidak ada manusia yang sempurna! Tidak ada satupun manusia yang mampu memuaskan semua kebutuhan orang lain (suami atau istri). Dua orang yang tidak sempurna, dengan tuntutan-tuntutannya yang banyak  dan terpisah, tidak mungkin mencapai suatu perkawinan yang sempurna. Setiap dua orang mempunyai tingkat ketidak-serasiannya, dan incompatibilitas ini diperkeras dalam hubungan yang sangat peka, hari demi hari, lewat situasi yang dialami berlainan di antara suami dengan istri, sehingga terkadang persoalan tidak terhindarkan. Bila sudah tidak bisa dipertahankan lagi, mahligai perkawinan terkadang harus berujung pada perceraian.
            Di negara Indonesia sendiri angka perceraian pasangan suami- istri terus meningkat drastis setiap tahun. Badan urusan peradilan agama Mahkamah Agung mencatat selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga tujuh puluh persen (70%). Direktur jendral badan urusan peradilan agama Mahkamah Agung mengatakan,”tingkat kasus perceraian sejak tahun 2005 terus meningkat di atas sepuluh (10%) setiap tahunnya di seluruh propinsi Indonesia.
            Pada tahun 2009 tingkat perceraian nasional 216.286 perkara. Penyebab atau faktor perceraian pasangan ini jika diurutkan dari tiga (3) besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan (72.274 perkara), tidak ada tangungjawab (61.128 perkara) dan masalah ekonomi (43.309 perkara).
Sedangkan pada tahun 2010 tercatat 285.184 pengadilan agama memutuskan perkara perceraian di seluruh Indonesia. Faktor penyebab perceraian pasanagn ini terdiri dari; ketidakharmonisan (91.841 perkara), tidak ada tanggungjawab (78.407 perkara), masalah ekonomi (67.891 perkara).
Secara geografis, perkara perceraian nasional paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni sebanyak 33.684 perkara, disusul Jawa Timur dengan jumlah 21.324 perkara. Di posisi ketiga  adalah Jawa Tengah 12.019 perkara.[5]
Sedangkan di Kota Medan sendiri terhitung sejak Januari sampai dengan April 2015 ini terjadi 667 pasangan suami-istri resmi bercerai. Faktor atau penyeban perceraian paling tinggi adalah tidak adanya tanggungjawab dari pihak suami. Dari 667 perkara perceraian ini 137 di antaranya merupakan gugatan cerai talak, yaitu suami sebagai penggugat. Sedangkan sisanya sebanayak 538 perkara merupakan cerai gugat, yaitu istri sebagai pengugat.
Faktor atau penyebab terjadinya perceraian pasangan ini disebabkan karena tidak adanya tanggunjawab dari suami 170 perkara, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 123 perkara, tidak ada keharmonisan 106 perkara, gangguan pihak ketiga 59 perkara, dan masalah ekonomi 23 perkara. Empat faktor inilah yang paling tinggi atau mendominasi perkara perceraian terjadi di kota Medan. Namun sebenarnya masih ada faktor-faktor lain yang menjadi pemicu perceraian pasangan suami-istri seperti perselingkuhan, cemburu, pernikahan dini dan lain sebagainya.
Selain dari 667 perkara perceraian yang diputuskan ini, masih ada 122 perkara yang belum diputuskan selama bulan Januari sampai April 2015. Dan dalam realitanya sebenarnya masih sangat banyak yang telah bercerai ‘di bawah tangan”. Artinya, perceraian yang dilakukan tanpa melalui hukum resmi negara atau sipil. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kesulitan diri para pasangan yang bercerai secara administrasi kelak.[6]

3.        Sekilas Data Perceraian di Lapangan (Wawancara)
            Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil wawancara di lapangan dengan orang-orang yang sudah “bercerai” (umat katolik) di beberapa paroki Keuskupan Agung Medan. Meskipun sebenarnya Gereja Katolik tidak mengenal arti atau istilah perceraian, namun pembatalan perkawinan. Dalam wawancara ini, narasumber yang diwawancarai menyampaikan persoalan perceraian yang dilakukan tidak ada melalui hukum Gereja Katolik, tetapi melalui hukum negara atau sipil dan “di bawah tangan”.[7] Di bawah ini ada beberapa narasumber yang diwawancarai oleh penulis yang sudah “bercerai”.

3.1  Risna Wilda Br Bangun[8]
            Saudari ini menikah dengan E.Barus, pada tahun 2003 dan menerima Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik Maria Bunda Pertolongan Abadi-Binjai. Mereka bercerai pada tahun 2013. Faktor penyebab perceraian mereka adalah karena kurang komunikasi dan adanya pihak ketiga dalam keluarga mereka. Mereka pun akhirnya bercerai “di bawah tangan".

3.2  Rusmina Br Saragih[9]
            Ibu ini menikah dengan J.Purba di stasi Kuala Lama/Pantai Cermin Paroki Gembala Baik Lupuk Pakam. Pasangan ini telah dikarunia tiga anak (dua perempuan satu laki-laki). Mereka bercerai ‘di bawah tangan” pada tahun 2009. Faktor penyebab perceraian mereka adalah kurang komunikasi, perselingkuhan, sikap egois dan saling mencurigai.

3.3  Ariston Tarigan[10]
            Ariston Tarigan menikah dengan S. Br Ginting. Mereka berasal dan tinggal di stasi Santo Paulus Suka, Paroki Santa Perawan Maria Kabanjahe. Mereka telah dikarunia dua orang anak (laki-laki). Mereka bercerai pada tahun 2012. Faktor penyebab perceraian mereka adalah (menurut Ariston) karena kurang komunikasi dengan istrinya dan juga karena istrinya sudah sakit-sakitan, sehingga tidak bisa lagi memberikan tanggungjawab sebagai istri kepada suami dan anak-anak. Perceraian mereka juga hanya “di bawah tangan”.

3.4  Agustinus Tarigan[11]
            Agustinus Tarigan menikah dengan impalnya (putri dari saudara ibunya) M. Br Barus. Setelah menikah mereka tinggal di kota Tebing Tinggi bersama orang tua. Mereka tidak mengalami pacaran karena dijodohkan oleh keluarga. Mereka menikah pada tahun 2010 dan bercerai secara sipil pada tahun 2013. Mereka telah dikarunia satu orang putri, dan sekarang, setelah bercerai putri mereka diasuh oleh ibunya. faktor penyeban perceraian mereka adalah kurang saling mengenal pribadi satu dengan yang lainnya (karena dijodohkan) dan juga urusan rumah tangga mereka sering kali diurusi oleh ibu dari keluarga suami.

























BAB III
ANALISIS – REFLEKSI INKLUSIF

1.      Berbagai Pandangan tentang Perceraian
1.1          Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan penyebab putusnya perkawinan antara pasangan suami isteri, disamping kematian atau atas keputusan pengadilan. Perceraian umumnya terjadi karena adanya pihak yang mengajukan (menggugat) baik dilakukan oleh pihak pria (suami) disebut dengan Talak dan pihak wanita (isteri) yang lazim disebut dengan gugat cerai yang disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan.[12]

1.2          Pemahaman Perceraian dalam Agama-agama non-Kristen
Dalam agama Islam, perceraian diperbolehkan untuk dilakukan namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Artinya, pada dasarnya ajaran Islam tidak menghendaki terjadinya per- ceraian antara suami-istri tetapi apabila ini merupakan jalan terbaik bagi kedua pihak. Hal ini dilakukan agar tidak saling menyakiti dan menimbulkan mudarat terus menerus sehingga Islam membuka peluang untuk berpisah melalui proses perceraian.[13]
Seperti dalam agama Islam, agama Hindu juga memperbolehkan umatnya yang ingin bercerai. Adapun syarat-syarat perceraian ialah salah satu pihak suami atau istri atau kedua-duanya selingkuh, atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri. Masalah pengaturan perceraian ini tercantum dalam Kitab Suci Weda (Parasaran Dharma Sastra) Bab IV ayat 13 sampai dengan ayat 17.[14]
Dalam agama Budha, perceraian dalam perkawinan juga sangat dimungkinkan.Alasan perceraian juga mirip dengan agama Hindu, seperti terjadi perselingkuhan antara pasangan suami-istri, atau dengan alasan lain yaitu salah satu antara suami atau istri atau kedua-duanya tidak dapat menjalankan kewajibannnya sebagai mana mestinya,misalnya mengalami cacat badan atau sakit yang berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan, atau tidak mampu melahirkan seorang keturunan.[15]

1.3         “Perceraian” dalam Gereja Katolik
Dalam Gereja Katolik, ada dua sifat utama dalam perkawinan, yakni monogami/satu (unity) dan tak terceraikan (indissolubility). Sifat monogami menuntut suami-istri untuk setia pada satu pasangan yang menjadi pilihan hidupnya. Dengan kata lain, Gereja Katolik tidak mengakui perkawinan yang bersifat poligami atau poliandri. Sementara sifat tak terceraikan menuntut suami-istri untuk setia terhadap janji perkawinannya dalam keadaan apapun hingga ajal memisahkan (bdk. Kan. 1056).
Gereja Katolik tidak mengenal putusnya perkawinan atau perceraian. Dalam Gereja Katolik hanya mengenal perpisahan dan pembatalan perkawinan. Perpisahan dalam Gereja Katolik dibagi atas dua macam, yaitu:
a.       Perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan.
Suami-isteri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali jika ada alasan sah yang memuaskan mereka. Sangat dianjurkan agar suami-isteri, demi cinta kasih Kristiani serta keprihatinan atas kesejahteraan keluarga, tidak menolak pengampunan bagi pihak yang berzinah, dan tidak memutuskan kehidupan perkawinan. Kendati pun demikian jika ia belum mengampuni kesalahannya secara tegas atau diam-diam, maka ia berhak untuk memutuskan hidup bersama perkawinan, kecuali kalau ia menyetujui perzinahan itu, atau ia sendiri juga berzinah.
b.      Perpisahan dengan diputuskan ikatan perkawinannya (bukan sakramen).
Perkawinan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orang-orang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.[16]
Dari uraian tentang perpisahan di atas dapat disimpulkan bahwa perpisahan (pemutusan ikatan nikah) ditentukan jenis perkawinan kedua pihak yang menikah. Jika pernikahan itu dilakukan oleh dua orang yang dibaptis, maka pernikahan itu adalah sakramen. Jika sakramen itu itu telah disempurnakan dengan persetubuhan, maka tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apa pun, selain kematian.[17] Perpisahan (seperti pisah ranjang/meja makan) dilakukan dengan harapan muncul pengampunan dan kerinduan antara pasangan dan berharap kembali menyatu sebagai keluarga yang lebih harmonis.
Sementara itu, pembatalan perkawinan dalam Gereja Katolik dilakukan apabila perkawinan itu terbukti tidak sah dari dalam dirinya sendiri, dan hakim sekadar membuat putusan deklaratif yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang tidak sah sejak semula atas dasar cacat hukum tertentu. Berdasarkan deklarasi pembatalan tersebut, pengadilan Gereja sebenarnya mencari, mengabdi dengan rendah hati dan menegaskan kebenaran substansial mengenai “awal” perkawinan yang sudah dilangsungkan secara tidak sah, bukan mengenai “akhir” perkawinan ketika suami-istri berselisih dan bercerai. Jadi, proses pembatalan perkawinan kanonik tidak dilakukan sekedar untuk meresmikan status suami-istri yang de facto telah bercerai, melainkan justru untuk menunjukkan bahwa begitu ikatan nikah itu dibuat secara sah, ikatan perkawinan itu harus dipertahankan dan dibela.[18]
Melalui uraian di atas kembali ditegaskan bahwa perpisahan dan pembatalan dalam perkawinan Katolik bukanlah suatu perceraian. Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami isteriyang beragama Kristen Katolik tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinanKristen Katolik terdapat asas monogami dan tak terceraikan sesuai dengan ajaran KitabSuci, yakni: “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan olehmanusia”(Mat. 19:6).[19]
Paus Yohanes Paulus II dalam Seruan Apostolik Familiaris Consortiomenyatakan bahwa “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan simbol nyata dariPerjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwakeselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan tak terceraikan, setia,terbuka bagi keturunannya”.[20] Para suami dan istri Kristiani dengan perkawinan Katolik menandakan misteri dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu atas kekuatan dari Tuhan, mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima dan mendidik anak, saling membantu dan menjadi suci. Dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka mempunya kurnia yang khas di tengah umat Allah.[21]

2.      Perceraian dalam Budaya Penganut Patrialisme
Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.[22]
Budaya Patriarki berefek pada sikap masyarakat patriarki yang kuat, ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala bentuk tindak kekerasan yang menimpa perempuan. Pada masyarakat patriarki sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan perempuan.[23]
Pada ranah hukum pun budaya patriarki juga diserap dalam Undang-undang Perkawinan. Hal ini terlihat dalam pembagian kerja antara suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga diatur secara jelas dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara perangkat hukum pun kita menggunakan sistem patrialisme, dimana memposisikan suami sebagai pihak yang lebih kuat dan istri serta anak sebagai pelengkap dalam keluarga.[24]
Masyarakat Jawa dan Batak pada umumnya menganutperkawinan yang bersifat patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki. Secara khusus dan lebih kentara adalah masyarakat Batak, di mana penerus marga ditentukan dari anak laki-laki. Karena itu, paham ini akan berbenturan dengan persoalan perkawinan ketika suami-istri tertentu tidak memiliki keturunan (laki-laki). Hal ini menjadi salah satu dari sekian alasan munculnya perceraian dikalangan masyarakat patrialis.
Dari pengalaman penulis hidup di daerah Batak ini, penulis sudah mendengar dan menyaksikan sendiri bahwa banyak suami yang cerai dan menikah lagi demi mendapatkan anak (laki-laki). Bahkan untuk sebagian orang, hal itu dianggap biasa dan wajar. Bahkan lagi, orang-orang yang masih berpandangan “kolot” (orang-orang tua di kampung) akan menyuruh anaknya menikah lagi seandainya perkawinan yang pertama tidak menghasilkan keturunan.
Sesungguhnya dalam budaya tertentu sangat menjunjung tinggi nilai perkawinan. Menurut hukum adat,perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga persekutuan,martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan bagi masyarakat adat Batak adalah sakral dan suci maksudnyaperpaduan hakekat kehidupan antara laki laki dan perempuan menjadi satu dan bukansekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.[25] Namun disayangkan bahwa nilai luhur perkawinan dari budaya itu dapat terceraikan oleh karena pemahaman yang masih tradisional.













BAB IV
REFLEKSI TEOLOGIS MORAL

Refleksi atas Janji Setia dalam Perkawinan di tengah Tantangan Zaman
“Di hadapan Imam dan para saksi,Saya (nama diri), menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa (nama pasangan), yang hadir di sini, mulai sekarang ini menjadi isteri/suami saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikian janji saya, demi Allah dan Injil suci ini”.
Rumusan di atas adalah rumussan janji perkawinan yang diungkapkan pasangan pengantin yang akan menikah dalam Gereja Katolik yang akhirnya dipandang sebagai sakramen. Bila orang merenungkan janji setia pernikahan, pada zaman sekarang ini senantiasa dihadapkan pada tantangan zaman. Kesetiaan akan janji untuk senantiasa berani saling menyerahkan diri, mencintai dan menghormati pasangannya seumur hidup dalam keadaan apapun juga merupakan perjuangan yang tiada akhir. Janji yang dengan mudah diucapkan, dalam keadaan konkrit senantiasa dikonfrontasikan dengan kemauan dan kehendak yang lain, yang menggoda, yang memberikan tawaran lain dan yang mungkin lebih menyenangkan, sekalipun tidak pasti membahagiakan.[26]
Janji setia tersebut didasari kemauan bebas dan tidak dapat ditarik kembali untuk diceraikan, karena apa yang telah dipersatukan olehTuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Hal ini juga merupakan tantangan di zaman sekarang ini. Upacara Pernikahan dalam bentuk janji setia itu dipandang sebagai tindakan Tuhan yang mempersatukan, bukan hanya ritual buatan manusia saja. Upacara itu memuat nilai sakral dan diyakini bahwa Tuhan bertindak atas peristiwa itu. Hal ini diajarkan oleh Gereja Katolik dan dipercayai sebagai tindakan yang tidak dapat dibatalkan oleh manusia, dengan alasan apapun juga. Tuhan bertindak, maka manusia harus percaya, yakin dan mengikutinya. Kalau tidak mengikuti, maka akan melanggar apa yang ditetapkan Tuhan.
Ajaran Katoliktidak mengenal adanya perceraian. Yang dikenal hanyalah perpisahan sementara saja, tetapi perceraian tidak pernah diijinkan. Perceraian dipandang sebagai tindakan yang melanggar ajaran Tuhan. Tentu saja hal ini merupakan hal yang ideal, walaupun dalam kenyataannya ada banyak “perceraian” dalam keluarga Katolik, tetapi Gereja Katolik.
Sendi-sendi pernikahan, khususnya janji setia pernikahan, pada zaman yang serba maju ini harus memberikan jawaban yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kedua belah pihak sudah tidak mungkin dipersatukan kembali, apakah mereka dipaksa tetap bersatu? Kesatuan cintakasih sudah hancur, dan perceraian sipil sudah terjadi, apakah kesatuan perkawinan kristiani masih harus diupayakan dengan segala cara agar tidak bercerai? Kelemahan manusiawi sering kali menjadi tantangan cita-cita yang ideal. Tindakan untuk saling setia secara eksklusif, seumur hidup dan mengasihi serta menghormati satu sama lain, dengan demikian bukan lagi dua insan yang ada, melainkan menjadi satu kesatuan utuh tak terceraikan, sungguh merupakan suatu yang sangat ideal dalam ajaran Gereja Katolik. Namun hal ini bukanlah secara otomatis terjadi, tanpa adanya usaha dan perjuangan untuk tetap memelihara kesatuan itu.[27]
Dewasa ini, perkawinan sudah tampak seperti lembaga yang ketinggalan zaman dan tidak praktis lagi dalam dunia modern yang tersihir oleh moralitas baru. Hukum-hukum yang mengatu soal pembubaran perkawinan semakin longgar, dan perceraian hampir-hampir tidak lagi dipandang sebagai aib.
Ketika menghadapi berbagai persoalan seputar perkawinan, ada juga orang-orang yang meminta bantuan kepada ahli-ahli atau penasihat perkawinan. Ada juga orang-orang yang membaca buku-buku karya ahli-ahli tertentu. Namun ironisnya, beberapa “pakar” perkawinan dewasa ini terbukti lebih mahir menganjurkan orang untuk bercerai daripada untuk mempertahankan perkawinannya. Bahkan muncul pandangan bahwa ikrar kesetiaan seumur hidup itu tidak realistis dan sangat membebani.
Tantangan untuk meragukan janji setia itu pun dalam kalangan Katolik cukup banyak, sekalipun tantangan itu tidak benar menurut ajaran Gereja Katolik. Pada zaman sekarang ini ada sementara orang yang mulai bertanya-tanya: mungkinkah masih perlu adanya janji setia yang seumur hidup? Ataukah mungkinkah ada janji setia yang sementara saja, yang sifatnya percobaan? Seraya menghargai keterbatasan manusia, dan kehendak bebas untuk berubah dan berkembang? Kalau cocok dan kiranya dapat dijalin secara abadi diteruskan, tetapi kalau tidak sesuai dan tidak dapat bersatu hati secara kekal, apakah masih perlu diteruskan? Usaha untuk mempersatukan telah ditempuh, tetapi kalau tidak mungkin dapat bersatu, mungkinkah dibatasi oleh waktu, sampai persatuan itu dapat dipertahankan saja? Mungkinkah di zaman sekarang ini akan muncul perkembangan ajaran: Janji setia dibatasi waktu, sampai cocok, dan kalau tidak cocok selesailah sudah persatuan itu? Pertanyaan yang tentunya akan menggoncangkan sendi-sendi hidup berkeluarga. Satu kali pernikahan, untuk seumur hidup dan hubungan itu eksklusif. Ajaran ini diyakini sudah final dan mengikuti ajaran Yesus. Perkawinan harus monogami, tidak diijinkan adanya perceraian, poligami apalagi poliandri.[28]
Kalau poligami dan poliandri dilarang, bagaimana dengan nasib orang Katolik yang telah cerai secara de facto, lalu nikah lagi itu? Perkawinan pertama memang sudah tidak dapat dipertahankan lagi, dicari solusi pun sudah tidak mungkin lagi, dan tragedi perceraian terlaksana. Mereka sebenarnya tidak mau bercerai, dan sangat menyesalkan atas peristiwa itu, tetapi mereka juga tidak mampu untuk bersatu lagi. Usaha apapun yang telah mereka tempuh, selalu saja tidak berhasil. Jalan terakhir ditempuhnya dengan tidak lain daripada perceraian sipil melalui pengadilan. Ada juga pasangan yang memang dengan sengaja mau bercerai, tidak mau memulihkan kembali hidup berkeluarganya. Setelah mereka hidup sendiri-sendiri, dalam perjalanan waktu masing-masing mendapat jodohnya dan berhasil melaksanakan pernikahan yang diakui oleh hukum di tanah air kita. Ada di antara mereka yang meninggalkan Gereja Katolik dan hidup menempuh cara yang lain, tetapi ada juga di antara mereka yang tetap Katolik, mendidik anak-anaknya secara Katolik, rajin ke Gereja dan doa-doa di lingkungannya, tetapi mereka menyadari keadaannya, mereka tak diperbolehkan untuk menerima sakramen-sakramen Gereja lainnya. Pernikahan yang kedua itu dianggapnya sudah cacat hukum dan tidak diakui oleh Gereja Katolik lagi.
Paus Yohane Paulus II, dalam surat apostolik Familiaris Consortio mengajarkan agar keluarga yang dalam situasi demikian ini tetap didampingi, dianjurkan rajin ke Gereja, sembahyang, dls., tetapi tidak diperkenankan menyambut sakramen-sakramen Gereja. Mereka tetap taat dan setia, mau membereskan pernikahannya, tetapi tidak dapat dan tidak boleh, sebelum pernikahan yang pertama dibereskan terlebih dulu. Ada yang sudah berusaha agar diproses untuk mendapatkan declaratio nullitatis matrimonii (suatu pernyataan bahwa pernikahan yang pertama dahulu tidak ada), tetapi jalannya tidak mulus. Yang jelas keluarga baru itu secara nyata hidupnya sebagai orang Katolik  baik, tetapi kedua pasangan itu tetap dilarang untuk menerima sakramen-sakramen Gereja lainnya.[29]
Berbagai kasus hidup berkeluarga, khususnya perkawinan memang ada banyak sekali. Tantangan hidup berkeluarga pun bukan hanya menyangkut janji setia pernikahan, tetapi ada berbagai tantangan yang dapat mengoncangkan hidup berkeluarga, dari yang sederhana sampai yang berat. Namun keluarga kristiani haruslah dibangun untuk menjadi keluarga yang ideal, yang sesuai dengan kehendak Kristus, inilah yang harus diperjuangkan dan diusahakan semaksimal mungkin oleh keluarga Katolik, karena tidak mengenal adanya perceraian.[30]


















BAB V
TINDAKAN PASTORAL

1.      PersiapanPerkawinan Jangka Panjang
Untuk hidup perkawinan diperlukan taraf kedewasaan dalam sikap juga sikap iman, yang sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu diperlukan persiapan jangka panjang yang bersifat masih agak umum.
Dengan persiapan jangka panjang dimaksudkan persiapan yang masih sangat umum dan meliputi tahap-tahap serata aspek-aspek perkembangan anak menuju kedewasaan sejak usia dini. Dalam bahasa sehari-hari tahap ini tidak dikaitkan dengan perkawinan atau persiapan perkawinan. Hal ini berfungsi untuk menegaskan betapa pentingnya perkembangan sejak usia dini untuk hidup sebagai suami-istri dan orang tua di masa depan.
Persiapan jauh sudah dimulai pada masa kanak-kanak, berupa latihan yang bijaksana dalam keluarga untuk membantu anak-anak menyadari bahwa mereka dibekali dengan sifat-sifat kejiwaan yang kaya dan kompleks, dan dengan kepribadian yang khas beserta kekuatan dan kelemahan-kelemahannya sendiri. Pada saat itulah ditanamkan penghargaan terhadap nilai manusiawi otentik, dalam hubungan-hubungan antar pribadi maupun sosial, dengan segala implikasinya bagi pembentukan watak perangai, cara mengendalikan dan memanfaatkan dengan tepat kecenderungan-kecenderungan sendiri, cara memandang dan menghadapi sesama jenis lawan, dan lain sebagainya. Hal yang tidak kalah penting adalah pembinaan hidup rohani dan katekese untuk menunjukkan bahwa perkawinan itu suatu panggilan dan perutusan yang sejati.[31]

2.      Persiapan Perkawinan Jangka Menengah
Setelah menguraikan persiapan jangka panjang, perlu juga persiapan jangka menengah. Berlandaskan landasan itu selanjutnya tahap demi tahap akan dibangun tahap persiapan dekat. Sejak umur yang sesuai dan melalui katekese yang memadai seperti dalam proses katekumenat, tahap persiapan ini mencakup suatu persiapan yang lebih khusus untuk menerima sakramen-sakramen. Pendidikan keagamaan kaum muda pada saat yang tepat dan sesuai dengan berbagai persiapan konkrit perlu diintegrasikan dengan kenyataan hidup sebagai pasangan suami-istri. Persiapan ini hendaknya menyajikan perkawinan sebagai hubungan antar pribadi (pria dan wanita) yang senantiasa harus dikembangkan.
Selain itu hendaknya persiapan perkawinan itu memperkenalkan kepada mereka cara-cara yang tepat untuk mendidik anak, serta membantu mereka untuk memperoleh apa yang pada dasarnya dibutuhkan untuk kehidupan keluarga yang teratur. Misalnya, pekerjaan yang tetap, sumber-sumber keuangan yang memadai, administrasi yang efesien, dan pengetahuan tentang kerumatanggaan. Akhirnya janganlah diabaikan untuk persiapan kerasulan keluarga, solidaritas dan persaudaraan dengan keluarga-keluarga lain, kelompok-kelompok atau perserikatan-perserikatan di dalam masyarakat.[32]

3.      Persiapan Perkawinan Triwulan Terakhir
Situasi biasa dari pasangan calon yang dibayangkan ialah sudah adanya kesepakatan rencana perkawinan. Sehingga tujuan masa persiapan ini ialah mendampingi para calon secara lebih intensif dalam membekali dan mempersiapkan diri untuk merayakan sakramen perkawinan. Program ini di isi dengan:
·         Pendalam iman (kapita selekta) misalnya dalam bentuk seminar
·         Pendidikan liturgis, khususnya yang menyangkut sakramen-sakramen, lebih khusus lagi sakramen perkawinan.
·         Kursus persiapan perkawinan.
·         Rekoleksi (bila memungkinkan).[33]

4.      Pendaftaran dan Penyelidikan Kanonik
Tujuan pendaftaran perkawinan adalah untuk merencanakan secara konkrit acara proses persiapan penentuan waktu perkawinan. Pada kesempatan ini, tujuan dan program persiapan diperkenalkan kepada para calon.
Para calon diharapkan sudah mendaftarkan diri kepada pastor paroki (pemuka umat, bila tidak ada pastor paroki). Untuk memulai masa persiapan ini, dapat diadakan penerimaan dengan liturgi sabda.
Tujuan penyelidikan kanonik adalah untuk memastika terpenuhinya syarat-syarat perkawinan yang sah. Penyelidikan kanonik merupakan kesempatan yang berharga untuk pastoral perkawinan yang lebih individual.[34]

5.      Pembinaan Lanjutan
Pembinaan lanjutan bagi keluarga-keluarga yang sudah menikah perlu mendapat tempat yang sangat penting dalam tugas pastoral. Hal ini penting karena berkembangnya perkawinan menjadi keluarga, suami-istri mendapat peran baru sebagai ayah atau ibu sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan peran baru itu. Dengan demikian penghayatan-penghayatan perseketuan pribadi-pribadi ditata sedemikan rupa sehingga peran sebagai ayah atau ibu dan sebagai suami atau istri seimbang dan serasi.
Ayah atau ibu adalah paham relasional, artinya pasangan yang saling terkait, yang satu tidak dapat dimengerti tanpa yang lain. Ayah atau ibu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya denga anak. Demikian pula pengertian ayah bersifat relasional terhadap pengertian ibu sejauh keduanya merupakan pasangan dengan tanggungjawab bersama terhadap anak. Dengan demikian mereka dipanggil untuk menghayati hubungan timbal balik dalam keluarga.[35] Kesadaran-kesadaran akan pemahaman ini dapat diberikan melalui pendampingan-pendampingan pastoral, seperti konseling keluarga, kunjungan keluarga, seminar-seminar, rekoleksi pasutri, dan sebagainya.


[1] M. Torsina, Cinta yang Pintar Kawin yang Pintar (Jakarta:Cakrawala,1987), hlm. 27.
[2]M. Torsina, Kekasih yang Curang, Suami yang Serong (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2000), hlm. 8.
[3]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih Setia dalam Suka-Duka: Pedoman Persiapan Perkawinan dalam Gereja Katolik (Jakarta: Afandhani Pramandiri, 1994), hlm. 39.

[4]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh Budaya Patriaki Terhadap Perceraian: Kajian pada Pengadilan Agama Kelas I A Palembang (Malang: Tunggal Mandiri, 2014), hlm. 18-19.
[5]“Angka Perceraian Pasangan meningkat di Indonesia” dalam Repulika. CO.ID, Jakarta, 24 Januari 2012.
[6]“Perceraian di Pengadilan Agama Kota Medan 2015” dalam Sumut Pos. Com, Medan 22 Mei 2015.

[7]Perceraian “di bawah tangan”, artinya perceraian yang dilakukan oleh kedua pihak yaitu suami dan istri tanpa proses hukum sipil. Umumnya mereka melakukan perceraian ini hanya diketahuai oleh kedua pihak keluarga dan masyarakat sekitar saja (adat dan pemberitahuan kepada kepala desa atau ketua RT).

[8]Risna Wilda Br Bangun ini adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Rumah Sakit Adam Malik Medan. Suaminya adalah seorang anggota Polri (Brimob). Secara ekonomi kehidupan mereka cukup baik. Namun persoalan keluarga muncul ketika mereka sudah menikah beberapa tahun, tetapi tidak mempunyai keturunan. Setelah mencoba berobat di beberapa tempat, tetapi hasilnya nihil. Maka dengan secara sepihak sebenarnya sang suami menikah diam-diam dan setelah memilki anak dari pasangan selingkuhannya sang suami akhirnya menceraikannya dengan sepihak. Perbuatan suaminya ini juga sangat didukung oleh keluarga pihak laki-laki, sebab mereka sangat mengharapkan keturunan mereka tetapi sang istri belum bisa memberi apa yang mereka harapkan.
[9]Rusmina Br Saragih sekarang sudah berumur empat puluh lima (45) tahun. Pekerjaannya adalah seorang petani. Beliau mengatakan bahwa perceraian yang dialaminya mengakibatkan dirinya hampir putus asa dan tidak mempunyai semangat hidup. Ia merasa malu terhadap keluarga dan juga lingkungan sekitar. Namun berkat dorongan dan dukungan dari anak-anak dan juga saudara/i seiman membuat dirinya kuat kembali.

[10]Setelah bercerai beberapa tahun, Ariston Tarigan ini menikah kedua kalinya dengan Impalnya atau paribannya (putri dari saudara dari ibunya) di kampung itu, yang juga menceraikan suaminya. Setelah dua tahun bercerai dengan istri pertamanya itu akhirnya meninggal karena sakit yang dialaminya.

[11]Agutinus Tarigan ini setelah menikah dengan M.Br Barus tinggal di rumah orang tua mereka di Tebing Tinggi, tepatnya di asrama 122. Sebenranya mereka tidak saling mencintai, akan tetapi karena dijodohkan oleh keluarga, dan terutama karena perkawinan ini permintaan dari almarhum ayah beliau yang sakit-sakitan pada masa itu. Hal diminta supaya kekeluargaan diantara keluarga mereka semakin dekat. Sekarang ini, akibat perceraian ini justru semakin merenggangkan hubungan kekeluragaan diantara keluarga mereka sendiri.
[12]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 42.

[13]Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam (Jakarta: Attahitiyah, 1954), hlm. 363.

[14]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh ..., hlm. 104.
[15]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh ..., hlm. 105.

[16]Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik: Teks dan Kometar (Malang: Dioma, 1990), hlm. 152.
[17]Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), Kan. 1141.

[18]Catur Raharso, Paham Perkawinan dalm Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006), hlm. 108.

[19]Purwo Hadiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik, Implikasinya Dalam Kawin Campur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 38.

[20]Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius , 1988), hlm. 125.
[21]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 11.

[22]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh ..., hlm. 111.

[23]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh ..., hlm. 112.

[24]Wahyu Ernaningsih - Putu Samawati, Pengaruh ..., hlm. 115
[25]Raja Marpondang Gultom, Dalian Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV. Armanda, [tanpa tahun]), hlm. 377.
[26]Martino Sardi, “Membangun Hidup Berkeluarga dalam Ajaran Gereja Katolik”, dalam Nina Mariani Noor - Ferry Muhammadsyah Siregar (ed.), Etika Sosial dalam Interaksi Lintas Agama (Yogyakarta: Globethics.net Indonesia, 2014), hlm. 36.
[27]Martino Sardi, “Membangun ...”, hlm. 37.

[28]Martino Sardi, “Membangun ...”, hlm. 38.

[29]Martino Sardi, “Membangun ...”, hlm. 39.

[30]Martino Sardi, “Membangun ...”, hlm. 40.
[31]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih ..., hlm. 91-92.
[32]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih ..., hlm. 92.

[33]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih ..., hlm. 93.
[34]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih ..., hlm. 94.

[35]Konferensi Wali Gereja (KWI), Kasih ..., hlm. 108-109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar