MA-LIMA:
Larangan-larangan dalam Masyarakat Jawa
serta Kaitannya dengan Hukum Pembalasan di Bumi dalam Kitab
Amsal
1. Pengantar
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai harmoni (keselarasan). Tatanan masyarakat yang harmonis menjamin
kehidupan yang wajar dan ketenteraman bagi setiap individu. Tugas moral orang
Jawa ialah menjaga keselarasan tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban
sosial. Sebaliknya, jika seseorang menyimpang dari keselarasan alam, ia akan
mengalami kekacauan dan penderitaan.[1]
Dewasa ini, tantangan untuk mewujudkan harmoni semakin
sukar. Keselarasan begitu mudah untuk dikacaukan. Kekacauan itu bersumber dan
terletak pada individu-individu yang bersaing dan mementingkan diri. Karena
itu, masyarakat Jawa menganut dan membangun prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Prinsip ini
berusaha untuk menghindari sikap pamrih
dan nafsu, yang bertujuan untuk menjaga harmoni.[2]
Salah satu tantangan dan halangan yang cukup berat untuk menciptakan harmoni
ialah ma-lima. Ma-lima merupakan satu deretan perilaku yang didasari oleh nafsu
dan pamrih. Kelima perilaku tersebut
sangat membahayakan bagi keselarasan hidup orang Jawa.[3]
Tulisan ini mencoba mengulas ma-lima sebagai
larangan yang harus dijauhkan dalam tatanan hidup masyarakat karena sangat
merugikan cita-cita hidup orang Jawa dan mencoba untuk berinkulturasi secara teologis
dengan Kitab Amsal tentang ide hukum pembalasan di bumi.
2. Mengenal Ungkapan: Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe dan Ma-lima
2.1
Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe
Sikap sepi ing pamrih
merupakan syarat pertama bagi tercapainya keharmonisan. Sikap ini berarti
menjauhkan diri dari pamrih. Pamrih itu sendiri diartikan sebagai
sikap yang mengutamakan kepentingan pribadi dan menghiraukan kepentingan orang
lain. Orang yang mengejar pamrih
ialah orang yang egois. Ia hanya ingin mencari menangnya sendiri (menange dhewe) dan memperhatikan
kebutuhannya sendiri (butuhe dhewe).
Ungkapan sepi ing pamrih mengingatkan
orang Jawa agar selalu ingat (eling)
akan asal-usulnya yang hakiki. Orang yang sepi
ing pamrih akan ingat akan kenyataan yang sebenarnya, akan kedudukannya
dalam seluruh tatanan, akan asal-usulnya sebagai ciptaan, dan akan tempatnya
(status) dalam masyarakat.[4]
Sikap-sikap yang menunjukkan sepi ing
pamrih ialah rila (rela), sabar, nrima (menerima), ikhlas, prasaja (sederhana), dan andhap asor (rendah hati).[5]
Sementara itu, sikap rame
ing gawe sering diartikan sebagai sikap pemenuhan kewajiban-kewajiban
sebagai tindakan yang tepat untuk menjaga keselarasan dalam masyarakat. Orang
jawa dituntut untuk menduduki tempatnya yang tepat dalam keseluruhan kosmos.
Kosmos itu sendiri dipahami sebagai satu keseluruhan yang teratur. Hal ini
mengandaikan bahwa setiap unsur harus menduduki tempatnya sendiri-sendiri
secara tepat. Selama unsur-unsur itu berada pada tempatnya, maka setiap orang
akan merasakan ketenangan, keselarasan dan kesejahteraan dalam masyarakat.[6]
Rame ing gawe tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan sepi ing pamrih. Orang Jawa meyakini bahwa dunia akan harmonis
apabila setiap individu mampu mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrih-nya. Tanpa sikap batin ini,
seseorang tidak akan dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya (rame ing gawe) dengan baik dan dengan
demikian akan mengacaukan keselarasan masyarakat.[7]Rame ing gawe terwujud dalam sikap-sikap
seperti rukun, hormat terhadap tatanan (hirarki), bertanggungjawab, sopan
santun, dapat menempatkan diri sesuai dengan waktu dan tempat. Inti dari semua
unsur rame ing gawe adalah melakukan
kewajiban-kewajiban untuk menjaga keselarasan.[8]
Ungkapan sepi ing
pamrih, rame ing gawe sering disatukan dengan memayu hayuning bawana (menghiasi dunia). Jadi, ungkapan itu secara
utuh berbunyi sepi ing pamrih, rame ing
gawe, memayu hayuning bawana yang artinya dengan menjauhkan pamrih dan menjalankan tugas kewajiban,
kita akan memperindah dan mempercantik dunia.[9]
2.2
Ma-Lima
Ma-lima (baca: ma-limo) merupakan lima larangan yang tidak boleh dilakukan
oleh masyarakat Jawa. Istilah ma-lima
sebagaimana yang tergambar dalam Serat Ma
Lima mangandung arti lima perilaku yang diawali dengan suku kata ma atau bunyi m, yakni madat (menghisap
candu), madon (melacur atau bermain
perempuan), minum (mabuk minuman
keras), main (berjudi), dan maling (mencuri). Lima perilaku tersebut
sangat populer dan sangat bermakna bagi masyarakat Jawa hingga sekarang, dan
merupakan perilaku pantangan yang harus dihindari karena akibat yang ditimbulkan sangat
merugikan diri sendiri dan orang lain.[10]Munculnya
ajaran ma-lima tersebut secara
historis sudah cukup lama, tetapi fenomena tersebut mulai terungkap sejak
ditaklukkannya Kerajaan Singosari yang
diperintah Kertanegara (1268-1292) oleh
Kerajaan Kediri akibat tidak berdayanya pasukan dan aparat kerajaan setelah
berpesta pora dan bermabuk-mabukan.[11]
Kelima larangan dalam ma-lima yang terdengar sederhana ini
sangat penting dalam masyarakat Jawa. Jika kelima larangan ini tidak diindahkan
maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan dalam tatanan masyarakat. Alasannya,
dalam ma-lima terkandung unsur-unsur
yang bertentangan dengan cita-cita masyarakat Jawa (harmoni) seperti nafsu, hedonisme dan pamrih.
3. Keselarasan dengan Hukum
Pembalasan di Bumi Kitab Amsal
3.1 Hukum Pembalasan dalam Kitab
Amsal
Dalam Kitab Amsal, paham mengenai hidup sesudah kematian
nampaknya masih absen. Karena itu ajaran pembalasan di bumi dalam Kitab Amsal
masih cukup kental. Allah akan mengganjar perbuatan baik dan menghukum
perbuatan jahat di bumi. Perbuatan-perbuatan manusia dengan sendirinya memiliki
akibat-akibat yang otomatis dan tak terelakkan (Ams. 13:3).[12]
Kitab Amsal menampakkan ajaran pembalasan di bumi bukan
hanya dalam tataran religius tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Allah
tidak perlu turun tangan secara langsung untuk menghukum atau mengganjar setiap
perbuatan umat-Nya, seperti dalam berkat dan kutuk di Sinai. Kitab ini menilai
bahwa perbuatan manusia akan membawa akibatnya sendiri. Secara nyata hal itu
terletak dalam ajaran tentang kebijaksanaan. Perbuatan yang bijaksana akan
mendatangkan kemakmuran, sementara perbuatan bodoh akan mendatangkan kehancuran
(bdk. Ams. 1-9; 26:27).[13]
3.2 Akibat Ma-lima dalam Konteks Hukum Pembalasan di Bumi
Ajaran
klasik dalam masyarakat Jawa tentang ma-lima
ini nampaknya memiliki beberapa kesamaan dengan ajaran biblis yang termuat
dalam Kitab Amsal. Hal ini terkait dengan hukum pembalasan di bumi yang
mengatakan bahwa setiap perbuatan baik akan diganjari dan setiap perbuatan
jahat akan dihukum. Karena itu, dalam masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa
setiap orang yang bisa mengamalkan sikap sepi
ing pamrih, rame ing gawe akan mendapatkan ganjaran berupa keharmonisan
dalam tatanan masyarakat maupun bagi setiap individu yang menjalankannya.
Sebaliknya, setiap orang yang terus melakukan ma-lima akan mendapatkan hukuman berupa ketidakharmonisan dalam
hidupnya dan hidup masyarakat di sekitarnya.
Berikut
ini akan dipaparkan beberapa akibat buruk dari sikap ma-lima:
a. Main
Main yang dimaksud dalam bahasa Jawa ini adalah berjudi. Akibat dari
tindakan ini sangat berdampak negatif. Tindakan ini jelas membuat si penjudi
akan ketagihan dengan kebiasaan ini, keharmonisan dalam rumah tangga juga
terganggu karena akan menimbulkan perselisihan dengan anggota keluarga (istri/suami/anak).Perekonomian
keluarga juga akan terganggu. Dalam tatanan masyarakat, perjudian juga akan
mengganggu ketenangan dan keselarasan masyarakat. Akibat langsung yang
diakibatkan dari tindakan ini ialah kerugian (uang), perselisihan antar
keluarga, dan disisihkan dari kalangan masyarakat.
b. Madat
Madat (menghisap candu) memiliki
dampak yang juga fatal. Bagi pribadi sendiri, narkotika dan sejenisnya mampu
mengubah pribadi si pengguna akan menjadi pemurung, pemarah bahkan melawan
terhadap apa dan siapa pun. Ia tidak akan lagi memikirkan kesehatannya sendiri.
Dalam tatanan masyarakat, orang madat adalah
orang yang dikucilkan dan diwaspadai. Alasannya, mereka akan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan kepuasan lewat candu tersebut.
c. Maling
Seorang maling (pencuri) mungkin akan merasa puas dengan hasil curiannya. Namun
seorang maling pastilah hidupnya
tidak akan tenang, ia akan selalu cemas dan takut. Seandainya itu pun tidak
dirasakan lagi, konsekuensi seorang maling
juga tinggi. Jika tertangkap massa, ia dapat langsung dihakimi, dihajar,
atau bahkan langsung dibunuh. Tindakan maling
tentunya juga meresahkan tatanan kehidupan masyarakat yang harmoni.
d. Mabuk
Kebiasaan
mabuk juga memiliki akibat buruk.
Dari sisi kesehatan, jelas mabuk sangat merugikan kesehatan, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Dari segi ekonomi, mabuk juga akan semakin memperburuk
ekonomi keluarga. Orang yang sering mabuk
juga akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.
e. Madon
Madon
(melacur, bermain perempuan) memiliki pengaruh langsung dengan kesehatan,
misalnya penyakit kelamin dan sejenisnya. Kebiasaan ini juga berdampak dalam
keluarga, yakni ketidakharmonisan dalam hubungan suami-istri. Dalam tatanan
masyarakat, kebiasaan ini juga sangat mengganggu keharmonisan dalam tatanan
masyarakat, misalnya jika tindakan ini disertai dengan perselingkuhan dengan
istri orang lain.
Akibat-akibat
yang ditimbulkan darima-lima di atas
tentunya masih bersifat moral dan dalam konteks hukum. Intinya bahwa setiap
tindakan itu akan berakibat langsung dengan kehidupan si pelaku ma-lima sendiri. Akibat yang ditimbulkan
secara moral telah mengganggu kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat.
Secara hukum, tindakan itu juga tidak dibenarkan, sehingga bagi pelaku ma-lima dianggap wajar jika mendapat
perlakuan hukum terhadap tindakannya itu. Dalam arti tertentu, tindakan itu
dengan sendirinya akan membawa hukuman bagi orang yang bersangkutan.
Akhirnya
masyarakat Jawa akan mengaitkan akibat ma-lima
dengan pandangan dunia Jawa yang
selalu berkaitan dengan alam adikodrati. Jika seseorang melakukan ma-lima maka masyarakat akan kacau.
Ketidakharmonisan dalam tatanan masyarakat juga akan mempengaruhi alam (bisa
terungkap dengan berbagai bencana alam). Dari aspek religius, perilaku ma-lima merupakan perbuatan yang merusak
hubungan harmonis antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam dan
akhirnya merusak hubungan harmonis dengan Sang Pencipta.
Masyarakat
Jawa tradisional (mungkin sampai sekarang) memahami bahwa peristiwa alam yang
terjadi selalu terkait dengan tindakan manusia. Bencana-bencana alam seperti
banjir, kemarau panjang, gunung meletus, gempa, wabah penyakit merupakan
manifestasi kemarahan makhluk adikodrati. Bencana-bencana tersebut merupakan
pertanda bahwa orang atau masyarakat telah melakukan perbuatan terlarang yakni
diantaranya ma-lima itu sendiri.
Sejalan dengan
hukum pembalasan di bumi dalam Kitab Amsal, bahwa setiap orang yang bertindak
bodoh akan dihukum oleh Allah, begitu juga tindakan ma-lima ini. Ma-lima dipahami
sebagai tindakan yang bodoh dan buruk oleh masyarakat Jawa karena mengganggu
keharmonisan yang menjadi cita-cita orang Jawa. Harmoni itu terkait dengan diri
sendiri, masyarakat, dan alam (kodrati dan adikodrati). Ketika harmoni itu ternoda
oleh ma-lima maka keseluruhan tatanan
akan terganggu. Sehingga masyarakat Jawa meyakini setiap kejadian buruk entah
itu bersifat pribadi (kecelakaan, penyakit) maupun sosial/alam (bencana alam)
selalu terkait dengan tindakan buruk yang dilakukan oleh pribadi atau manusia
secara luas. Tindakan buruk itu tidak lain adalah ma-lima.
4. Kesimpulan
Kelima perilaku yang tertuang dalam ma-lima merupakan perilaku buruk yang dapat mengganggu keselarasan
dan berakibat pada berbagai aspek kehidupan manusia. Perilaku itu berdampak buruk
bagi kehidupan pribadi, keluarga. masyarakat, ekonomi, kemanusiaan, moral, dan
religius. Dalam tataran religius dan sejalan dengan hukum pembalasan di bumi, ma-lima menyebabkan kemarahan dari Yang
Ilahi atas tindakan buruk itu. Kemarahan itu bisa terjadi melalui
bencana-bencana alam yang terjadi di bumi manusia. Ini menggambarkan bahwa
dalam masyarakat Jawa juga ada keyakinan akan hukum pembalasan di bumi.
[1]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika
Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 42-49.
[2]Niels Mulder, Kepribadian Jawa
dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977),
hlm. 43; Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika ..., hlm. 139.
[3]Marbangun Hardjowirogo, Manusia
Jawa (Jakarta: Idayu, 1983), hlm. 16.
[4]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika
..., hlm. 140-141.
[5]P.H. Soetrisno, Falsafah
Pancasila Sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 1977), hlm. 15-20.
[6]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika
..., hlm. 150.
[7]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika
..., hlm. 31.
[8]Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup
Sehari-hari Orang jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (Jakarta:
Gramedia, 1984), hlm. 40-44.
[9]Niels Mulder, Kepribadian
..., hlm. 40.
[10]Linus Suryadi, Regol Megal Megol:
Fenomena Kosmologi Jawa (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 108.
[11]R. Soekmono, Sejarah Kebudayaan
Indonesia(Yogyakarta: Kanisius,1981), hlm. 66.
[12] Richard J. Clifford, Proverbs: A
Commentary (Louisville: Westminster John Konx Press, 1999), hlm. 19.
[13]Walter Brueggemann, Teologi
Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan (judul asli: Theology of the Old Testament: Testimony,
Dispute, Advocacy), diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan (Maumere:
Ledalero, 2009), hlm. 515.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar