Selasa, 12 Januari 2016

sastra kebijaksanaan



MA-LIMA:
Larangan-larangan dalam Masyarakat Jawa
serta Kaitannya dengan Hukum Pembalasan di Bumi dalam Kitab Amsal

1.      Pengantar
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai harmoni (keselarasan). Tatanan masyarakat yang harmonis menjamin kehidupan yang wajar dan ketenteraman bagi setiap individu. Tugas moral orang Jawa ialah menjaga keselarasan tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Sebaliknya, jika seseorang menyimpang dari keselarasan alam, ia akan mengalami kekacauan dan penderitaan.[1]
Dewasa ini, tantangan untuk mewujudkan harmoni semakin sukar. Keselarasan begitu mudah untuk dikacaukan. Kekacauan itu bersumber dan terletak pada individu-individu yang bersaing dan mementingkan diri. Karena itu, masyarakat Jawa menganut dan membangun prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Prinsip ini berusaha untuk menghindari sikap pamrih dan nafsu, yang bertujuan untuk menjaga harmoni.[2] Salah satu tantangan dan halangan yang cukup berat untuk menciptakan harmoni ialah ma-lima. Ma-lima merupakan satu deretan perilaku yang didasari oleh nafsu dan pamrih. Kelima perilaku tersebut sangat membahayakan bagi keselarasan hidup orang Jawa.[3] Tulisan ini mencoba mengulas ma-lima sebagai larangan yang harus dijauhkan dalam tatanan hidup masyarakat karena sangat merugikan cita-cita hidup orang Jawa dan mencoba untuk berinkulturasi secara teologis dengan Kitab Amsal tentang ide hukum pembalasan di bumi.

2.      Mengenal Ungkapan: Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe dan Ma-lima
2.1  Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe
Sikap sepi ing pamrih merupakan syarat pertama bagi tercapainya keharmonisan. Sikap ini berarti menjauhkan diri dari pamrih. Pamrih itu sendiri diartikan sebagai sikap yang mengutamakan kepentingan pribadi dan menghiraukan kepentingan orang lain. Orang yang mengejar pamrih ialah orang yang egois. Ia hanya ingin mencari menangnya sendiri (menange dhewe) dan memperhatikan kebutuhannya sendiri (butuhe dhewe). Ungkapan sepi ing pamrih mengingatkan orang Jawa agar selalu ingat (eling) akan asal-usulnya yang hakiki. Orang yang sepi ing pamrih akan ingat akan kenyataan yang sebenarnya, akan kedudukannya dalam seluruh tatanan, akan asal-usulnya sebagai ciptaan, dan akan tempatnya (status) dalam masyarakat.[4] Sikap-sikap yang menunjukkan sepi ing pamrih ialah rila (rela), sabar, nrima (menerima), ikhlas, prasaja (sederhana), dan andhap asor (rendah hati).[5]
Sementara itu, sikap rame ing gawe sering diartikan sebagai sikap pemenuhan kewajiban-kewajiban sebagai tindakan yang tepat untuk menjaga keselarasan dalam masyarakat. Orang jawa dituntut untuk menduduki tempatnya yang tepat dalam keseluruhan kosmos. Kosmos itu sendiri dipahami sebagai satu keseluruhan yang teratur. Hal ini mengandaikan bahwa setiap unsur harus menduduki tempatnya sendiri-sendiri secara tepat. Selama unsur-unsur itu berada pada tempatnya, maka setiap orang akan merasakan ketenangan, keselarasan dan kesejahteraan dalam masyarakat.[6]
Rame ing gawe tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan sepi ing pamrih. Orang Jawa meyakini bahwa dunia akan harmonis apabila setiap individu mampu mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrih-nya. Tanpa sikap batin ini, seseorang tidak akan dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya (rame ing gawe) dengan baik dan dengan demikian akan mengacaukan keselarasan masyarakat.[7]Rame ing gawe terwujud dalam sikap-sikap seperti rukun, hormat terhadap tatanan (hirarki), bertanggungjawab, sopan santun, dapat menempatkan diri sesuai dengan waktu dan tempat. Inti dari semua unsur rame ing gawe adalah melakukan kewajiban-kewajiban untuk menjaga keselarasan.[8]
Ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe sering disatukan dengan memayu hayuning bawana (menghiasi dunia). Jadi, ungkapan itu secara utuh berbunyi sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana yang artinya dengan menjauhkan pamrih dan menjalankan tugas kewajiban, kita akan memperindah dan mempercantik dunia.[9]

2.2  Ma-Lima
Ma-lima (baca: ma-limo) merupakan lima larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Jawa. Istilah ma-lima sebagaimana yang tergambar dalam Serat Ma Lima mangandung arti lima perilaku yang diawali dengan suku kata ma atau bunyi m, yakni madat (menghisap candu), madon (melacur atau bermain perempuan), minum (mabuk minuman keras), main (berjudi), dan maling (mencuri). Lima perilaku tersebut sangat populer dan sangat bermakna bagi masyarakat Jawa hingga sekarang, dan merupakan perilaku pantangan yang harus dihindari  karena akibat yang ditimbulkan sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.[10]Munculnya ajaran ma-lima tersebut secara historis sudah cukup lama, tetapi fenomena tersebut mulai terungkap sejak ditaklukkannya  Kerajaan Singosari yang diperintah  Kertanegara (1268-1292) oleh Kerajaan Kediri akibat tidak berdayanya pasukan dan aparat kerajaan setelah berpesta pora dan bermabuk-mabukan.[11]
            Kelima larangan dalam ma-lima yang terdengar sederhana ini sangat penting dalam masyarakat Jawa. Jika kelima larangan ini tidak diindahkan maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan dalam tatanan masyarakat. Alasannya, dalam ma-lima terkandung unsur-unsur yang bertentangan dengan cita-cita masyarakat Jawa (harmoni) seperti  nafsu, hedonisme dan pamrih.

3.      Keselarasan dengan Hukum Pembalasan di Bumi Kitab Amsal
3.1  Hukum Pembalasan dalam Kitab Amsal
Dalam Kitab Amsal, paham mengenai hidup sesudah kematian nampaknya masih absen. Karena itu ajaran pembalasan di bumi dalam Kitab Amsal masih cukup kental. Allah akan mengganjar perbuatan baik dan menghukum perbuatan jahat di bumi. Perbuatan-perbuatan manusia dengan sendirinya memiliki akibat-akibat yang otomatis dan tak terelakkan (Ams. 13:3).[12]
Kitab Amsal menampakkan ajaran pembalasan di bumi bukan hanya dalam tataran religius tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Allah tidak perlu turun tangan secara langsung untuk menghukum atau mengganjar setiap perbuatan umat-Nya, seperti dalam berkat dan kutuk di Sinai. Kitab ini menilai bahwa perbuatan manusia akan membawa akibatnya sendiri. Secara nyata hal itu terletak dalam ajaran tentang kebijaksanaan. Perbuatan yang bijaksana akan mendatangkan kemakmuran, sementara perbuatan bodoh akan mendatangkan kehancuran (bdk. Ams. 1-9; 26:27).[13]

3.2  Akibat Ma-lima dalam Konteks Hukum Pembalasan di Bumi
Ajaran klasik dalam masyarakat Jawa tentang ma-lima ini nampaknya memiliki beberapa kesamaan dengan ajaran biblis yang termuat dalam Kitab Amsal. Hal ini terkait dengan hukum pembalasan di bumi yang mengatakan bahwa setiap perbuatan baik akan diganjari dan setiap perbuatan jahat akan dihukum. Karena itu, dalam masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa setiap orang yang bisa mengamalkan sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe akan mendapatkan ganjaran berupa keharmonisan dalam tatanan masyarakat maupun bagi setiap individu yang menjalankannya. Sebaliknya, setiap orang yang terus melakukan ma-lima akan mendapatkan hukuman berupa ketidakharmonisan dalam hidupnya dan hidup masyarakat di sekitarnya.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa akibat buruk dari sikap ma-lima:
a.      Main
Main yang dimaksud dalam bahasa Jawa ini adalah berjudi. Akibat dari tindakan ini sangat berdampak negatif. Tindakan ini jelas membuat si penjudi akan ketagihan dengan kebiasaan ini, keharmonisan dalam rumah tangga juga terganggu karena akan menimbulkan perselisihan dengan anggota keluarga (istri/suami/anak).Perekonomian keluarga juga akan terganggu. Dalam tatanan masyarakat, perjudian juga akan mengganggu ketenangan dan keselarasan masyarakat. Akibat langsung yang diakibatkan dari tindakan ini ialah kerugian (uang), perselisihan antar keluarga, dan disisihkan dari kalangan masyarakat.

b.      Madat
Madat (menghisap candu) memiliki dampak yang juga fatal. Bagi pribadi sendiri, narkotika dan sejenisnya mampu mengubah pribadi si pengguna akan menjadi pemurung, pemarah bahkan melawan terhadap apa dan siapa pun. Ia tidak akan lagi memikirkan kesehatannya sendiri. Dalam tatanan masyarakat, orang madat adalah orang yang dikucilkan dan diwaspadai. Alasannya, mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan lewat candu tersebut.

c.       Maling
Seorang maling (pencuri) mungkin akan merasa puas dengan hasil curiannya. Namun seorang maling pastilah hidupnya tidak akan tenang, ia akan selalu cemas dan takut. Seandainya itu pun tidak dirasakan lagi, konsekuensi seorang maling juga tinggi. Jika tertangkap massa, ia dapat langsung dihakimi, dihajar, atau bahkan langsung dibunuh. Tindakan maling tentunya juga meresahkan tatanan kehidupan masyarakat yang harmoni.

d.      Mabuk
Kebiasaan mabuk juga memiliki akibat buruk. Dari sisi kesehatan, jelas mabuk sangat merugikan kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dari segi ekonomi, mabuk juga akan semakin memperburuk ekonomi keluarga. Orang yang sering mabuk juga akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.

e.       Madon
Madon (melacur, bermain perempuan) memiliki pengaruh langsung dengan kesehatan, misalnya penyakit kelamin dan sejenisnya. Kebiasaan ini juga berdampak dalam keluarga, yakni ketidakharmonisan dalam hubungan suami-istri. Dalam tatanan masyarakat, kebiasaan ini juga sangat mengganggu keharmonisan dalam tatanan masyarakat, misalnya jika tindakan ini disertai dengan perselingkuhan dengan istri orang lain.

Akibat-akibat yang ditimbulkan darima-lima di atas tentunya masih bersifat moral dan dalam konteks hukum. Intinya bahwa setiap tindakan itu akan berakibat langsung dengan kehidupan si pelaku ma-lima sendiri. Akibat yang ditimbulkan secara moral telah mengganggu kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat. Secara hukum, tindakan itu juga tidak dibenarkan, sehingga bagi pelaku ma-lima dianggap wajar jika mendapat perlakuan hukum terhadap tindakannya itu. Dalam arti tertentu, tindakan itu dengan sendirinya akan membawa hukuman bagi orang yang bersangkutan.
Akhirnya masyarakat Jawa akan mengaitkan akibat ma-lima  dengan pandangan dunia Jawa yang selalu berkaitan dengan alam adikodrati. Jika seseorang melakukan ma-lima maka masyarakat akan kacau. Ketidakharmonisan dalam tatanan masyarakat juga akan mempengaruhi alam (bisa terungkap dengan berbagai bencana alam). Dari aspek religius, perilaku ma-lima merupakan perbuatan yang merusak hubungan harmonis antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam dan akhirnya merusak hubungan harmonis dengan Sang Pencipta.
Masyarakat Jawa tradisional (mungkin sampai sekarang) memahami bahwa peristiwa alam yang terjadi selalu terkait dengan tindakan manusia. Bencana-bencana alam seperti banjir, kemarau panjang, gunung meletus, gempa, wabah penyakit merupakan manifestasi kemarahan makhluk adikodrati. Bencana-bencana tersebut merupakan pertanda bahwa orang atau masyarakat telah melakukan perbuatan terlarang yakni diantaranya ma-lima itu sendiri.
Sejalan dengan hukum pembalasan di bumi dalam Kitab Amsal, bahwa setiap orang yang bertindak bodoh akan dihukum oleh Allah, begitu juga tindakan ma-lima ini. Ma-lima dipahami sebagai tindakan yang bodoh dan buruk oleh masyarakat Jawa karena mengganggu keharmonisan yang menjadi cita-cita orang Jawa. Harmoni itu terkait dengan diri sendiri, masyarakat, dan alam (kodrati dan adikodrati). Ketika harmoni itu ternoda oleh ma-lima maka keseluruhan tatanan akan terganggu. Sehingga masyarakat Jawa meyakini setiap kejadian buruk entah itu bersifat pribadi (kecelakaan, penyakit) maupun sosial/alam (bencana alam) selalu terkait dengan tindakan buruk yang dilakukan oleh pribadi atau manusia secara luas. Tindakan buruk itu tidak lain adalah ma-lima.

4.      Kesimpulan
Kelima perilaku yang tertuang dalam ma-lima merupakan perilaku buruk yang dapat mengganggu keselarasan dan berakibat pada berbagai aspek kehidupan manusia. Perilaku itu berdampak buruk bagi kehidupan pribadi, keluarga. masyarakat, ekonomi, kemanusiaan, moral, dan religius. Dalam tataran religius dan sejalan dengan hukum pembalasan di bumi, ma-lima menyebabkan kemarahan dari Yang Ilahi atas tindakan buruk itu. Kemarahan itu bisa terjadi melalui bencana-bencana alam yang terjadi di bumi manusia. Ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat Jawa juga ada keyakinan akan hukum pembalasan di bumi.


[1]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 42-49.

[2]Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977), hlm. 43; Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika ..., hlm. 139.

[3]Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Idayu, 1983), hlm. 16.
[4]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika ..., hlm. 140-141.

[5]P.H. Soetrisno, Falsafah Pancasila Sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1977), hlm. 15-20.

[6]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika ..., hlm. 150.

[7]Franz Magnis-Suseno – Rekso Susilo, Etika ..., hlm. 31.

[8]Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 40-44.

[9]Niels Mulder, Kepribadian ..., hlm. 40.
[10]Linus Suryadi, Regol Megal Megol: Fenomena Kosmologi Jawa (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 108.

[11]R. Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia(Yogyakarta: Kanisius,1981), hlm. 66.

[12] Richard J. Clifford, Proverbs: A Commentary (Louisville: Westminster John Konx Press, 1999), hlm. 19.
[13]Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan (judul asli: Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy), diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 515.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar