BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
sejarah hidup manusia, penderitaan merupakan salah satu tema klasik, menarik
dan besar. Problem tentang penderitaan ini juga sungguh serius lantaran kita
dapat melihat berbagai reaksi manusia ketika berhadapan dengan penderitaan. Tatkala
menderita, manusia bisa saja frustasi dan merasa dirinya tak berarti. Hal yang
lebih mengejutkan ialah ketika manusia harus melewati penderitaan yang
dianggapnya tragis. Ia bisa saja berontak terhadap dirinya dan memandang
hidupnya tak bermakna hingga harus memilih bunuh diri untuk mengakhiri
penderitaannya.[1]
Namun
bagi manusia yang mau dan mampu berpikir, pengalaman-pengalaman pahit yang
mengakibatkan penderitaan dapat menjadi sebuah sarana untuk menemukan makna
kehidupan di dunia ini. Melalui kemampuannya dalam berpikir dan mengolah
hidupnya, manusia semestinya bersedia untuk bersikap realistis terhadap
kehidupan ini. Dengan keyakinan demikian, manusia akan mampu menyiasati
realitas penderitaan yang dihadapinya.[2]
Bagi
orang beriman kristiani, pengalaman menderita tidak boleh diabaikan begitu
saja. Dewasa ini, tidak jarang dijumpai saudara-saudari seiman yang rela
meninggalkan imannya dan mulai meragukan adanya kasih Allah, karena pengalaman
tragis yang menimpa dirinya. Berhadapan dengan kenyataan inilah, orang
kristiani memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian iman. Dengan
demikian kita dapat menemukan jejak-jejak keadilan dan kasih Allah dalam
situasi gelap dan pahit sekalipun.[3]
Tulisan singkat ini hendak
memaparkan peran para pelayan pastoral bagi mereka yang menderita (sakit) agar
dalam situasi gelap, orang-orang sakit semakin menemukan Allah. Dalam Gereja
sendiri disediakan sarana untuk ini yakni sakramen pengurapan orang sakit.
BAB II
SAKIT DAN DOSA
1. Pengantar
Penderitaan (sakit) adalah pengalaman eksistensial manusia. Setiap manusia
pasti pernah mengalami peristiwa duka dan derita dalam hidupnya.
Penyakit dan sengsara sejak dahulu kala termasuk percobaan yang paling berat
dalam kehidupan manusia. Di dalam penyakit manusia mengalami ketidak-mampuan,
keterbatasan, dan kefanaannya. Setiap penyakit dapat mengingatkan kita akan
kematian. Penyakit dapat menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri malahan
kadang-kadang rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah. Tetapi ia juga
dapat membuat manusia menjadi lebih matang, dapat membuka matanya untuk apa
yang tidak penting dalam kehidupannya, sehingga ia berpaling kepada hal-hal
yang penting. Sering kali penyakit membuat orang mencari Allah dan kembali lagi
kepada-Nya.[4]
2. Arti Sakit
Sehat
dan sakit adalah dua aspek yang melekat dalam diri manusia yang tidak dapat
dihindarkan. Sehat dan sakit ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk
biologis.[5] Ilmu
kedokteran memberikan gagasan tentang penyakit bahwa penyakit merupakan
pengaruh yang berasal dari luar tubuh manusia dan sekaligus berasal dari dalam
tubuh manusia. Pengaruh-pengaruh dari luar itu misalnya invasi organisme mikro
maupun pengaruh zat kimia dan pengaruh-pengaruh fisik (panas, dingin, dll.)
yang mengganggu manusia. Sementara pengaruh
dari dalam tubuh manusia itu terjadi karena kelalaian yang terjadi dalam tubuh
sendiri, misalnya berupa gangguan dalam keseimbangan hormonal atau gangguan
keseimbangan metabolisme atau juga proses pertukaran zat dalam tubuh. Kedua
aspek inilah yang mengganggu tubuh manusia sehingga manusia mengalami sakit.[6]
Sakit
yang dialami oleh manusia merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima oleh
manusia. Sekuat apapun usaha manusia untuk menghindarkan dirinya dari sakit,
tetap saja manusia mengalami sakit. Sakit jika hanya dilihat sebagai pengalaman
penderitaan justru membuat manusia semakin menderita. Tetapi sikap yang baik
ketika berhadapan dengan sakit adalah mamaknainya sebagai sebuah pengalaman
yang harus dihadapi, sembari membangun sikap untuk melihat bahwa manusia adalah
pengada yang rapuh dan lemah.[7]
Dalam
PL segala pengalaman negatif termasuk sakit dihubungkan dengan kekuatan negatif
manusia sendiri dan ditafsirkan sebagai reaksi keadilan dan hukuman Allah
terhadap manusia berdosa. Orang yang menderita sakit dipandang sebagai orang
yang telah melanggar sikap hidup yang diperintahkan oleh Allah. [8]
Dalam
PB paham tentang derita dan sakit mulai ada perubahan. Yesus menolak pandangan
yang mengatakan penyakit sebagai akibat dosa orang tua. Sakit merupakan situasi
manusia yang membutuhkan penebusan dan kasih sayang yang lebih besar
(solidaritas dari sesama dan Allah). Penyembuhan Yesus menjadi tanda datangnya
Kerajaan Allah dan Allah tidak menghendaki penderitaan manusia. Dengan demikian
tidak ada hubungan kausal antara penyakit dan dosa (Mrk. 2:1-12, Mat11:5).[9]
3. Paham tentang Dosa[10]
Dosa menciptakan kecondongan kepada
dosa; pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama mengakibatkan kebiasaan
buruk. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kecenderungan yang salah,
menggelapkan hati nurani dan menghambat keputusan konkret mengenai yang baik
dan yang buruk. Dosa cenderung terulang lagi dan diperkuat, namun ia tidak
dapat menghancurkan seluruh perasaan moral. (KGK 1865)
Kebiasaan buruk dapat digolongkan
menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan
dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran santo
Yohanes Kasianus dan santo Gregorius Agung. Mereka dinamakan dosa-dosa pokok,
karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain.
Dosa-dosa pokok adalah kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan,
percabulan, kerakusan kelambanan, atau kejemuan. (KGK 1866)
Tradisi kateketik juga mengingatkan,
bahwa ada dosa-dosa yang berteriak ke surga. Yang berteriak ke surga adalah
darah Abel (Bdk. Kej 4:10), dosa orang Sodom (Bdk.Kej 18:20; 19:13), keluhan
nyaring dari umat yang tertindas di Mesir (Bdk. Kel 3:7-10), keluhan
orang-orang asing, janda dan yatim piatu, (Bdk. Kel 22:20-22) dan upah kaum buruh yang ditahan (Bdk.
Ul 24:14-15; Yak.5:4). (KGK 1867)
Dosa adalah satu tindakan pribadi.
Tetapi kita juga mempunyai tanggung jawab untuk dosa orang lain kalau kita
turut di dalamnya:
- kalau kita mengambil bagian dalam dosa itu secara langsung dan dengan suka rela,
- kalau kita memerintahkannya, menasihatkan, memuji, dan membenarkannya,
- kalau kita menutup-nutupinya atau tidak menghalang-halanginya, walaupun kita berkewajiban untuk itu,
- kalau kita melindungi penjahat.(KGK 1868)
Dengan demikian dosa membuat manusia
menjadi teman dalam kejahatan dan membiarkan keserakahan, kekerasan, dan
ketidakadilan merajaleIa di antara mereka. Di tengah masyarakat, dosa-dosa itu
mengakibatkan situasi dan institusi yang bertentangan dengan kebaikan Allah. “Struktur
dosa” adalah ungkapan dan hasil dosa pribadi, Mereka menggoda kurban-kurbannya,
supaya ikut melakukan yang jahat. Dalam arti analog mereka merupakan “dosa
sosial”. (KGK 1869) “Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan,
supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua” (Rm 11:32).
Dosa adalah satu “perkataan,
perbuatan, atau satu keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi”. Satu
penghinaan terhadap Allah. Ia membangkang terhadap Allah dalam ketidaktaatan,
yang berlawanan dengan ketaatan Kristus. Dosa adalah satu tindakan melawan akal
budi. Ia melukai kodrat manusia dan mengganggu solidaritas manusia.(KGK 1872) Akar
dari semua dosa terletak di dalam hati manusia. Macamnya dan beratnya
ditentukan terutama menurut obyeknya.(KGK 1873).
Siapa yang dengan sengaja, artinya
dengan tahu dan mau, menjatuhkan keputusan kepada sesuatu yang bertentangan
dengan hukum ilahi dan dengan tujuan akhir manusia dalam hal yang berat, ia
melakukan dosa berat. Dosa itu merusakkan kebajikan ilahi di dalam kita, kasih,
dan tanpa kasih tidak ada kebahagiaan abadi. Kalau ia tidak disesali, ia akan
mengakibatkan kematian abadi.(KGK 1874)
BAB III
PASTORAL SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
1. Pengantar
Setelah
memahami tentang sakit dan dosa, dalam pemaparan berikut akan dijelaskan kaitan
antara sakit dan dosa dalam relasinya dengan sakramen pengurapan orang sakit.
titik penakanan dalam pembahasan ini ini adalah tentang pelayanan pastoral bagi
orang-orang sakit agar tetap menemukan Allah dalam penderitaannya.
2. Sekilas tentang POS
2.1 Dasar Biblis
“Sembuhkanlah
orang sakit” (Mat 10:8). Gereja menerima tugas ini dari Tuhan dan berusaha
melaksanakannya, dengan merawat orang sakit dan menyertainya dengan doa
syafaatnya. Ia percaya akan kehadiran yang menghidupkan dari Kristus, Penyembuh
penyakit jiwa dan badan. Kehadiran ini bekerja terutama melalui
Sakramen-sakramen, dan sangat khusus melalui Ekaristi, roti yang memberi hidup
abadi (Bdk. Yoh 6:54.58). Santo Paulus menunjukkan bahwa Ekaristi mempunyai
hubungan juga dengan kesehatan badan (Bdk. 1 Kor 11:30).
Gereja
apostolik mengenal ritus tersendiri untuk orang sakit. Ini disaksikan oleh
santo Yakobus: “Kalau ada orang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil
para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan
minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang
sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka
dosanya itu akan diampuni” (Yak
5:14-15). Tradisi telah melihat dalam ritus ini satu dari
ketujuh Sakramen Gereja.[11]
2.2 Penerima Sakramen
Urapan
orang sakit “bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada di ambang kematian saja.
Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman
mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia” (SC
73). Kalau seorang sakit yang telah menerima urapan ini sehat kembali, maka ia
dapat menerima lagi Sakramen ini, apabila ia sakit berat lagi. Dalam menderita
penyakit yang sama, Sakramen ini dapat diulangi, kalau keadaan makin buruk.
Dianjurkan agar seorang yang menghadapi operasi besar, menerima Urapan Orang
Sakit. Demikian juga berlaku untuk orang tua renta, yang kekuatannya mulai
melemah.[12]
2.3 Pelayan Sakramen Pengurapan Orang
Sakit
Hanya
imam (Uskup dan presbiter) adalah pemberi Urapan Orang Sakit. Para pastor
mempunyai kewajiban untuk mengajarkan umat beriman mengenai daya guna yang
menyelamatkan dari Sakramen ini. Umat beriman hendaknya mendorong orang sakit,
supaya memanggil imam, dan menerima Sakramen ini. Orang sakit harus
mempersiapkan diri untuk itu, supaya menerimanya dalam keadaan batin yang baik.
Para pastor dan seluruh jemaat hendaknya membantu mereka dan menyertai mereka
dalam doa dan perhatian persaudaraannya.[13]
2.4 Buah-buah Sakramen[14]
Katekismus
Gereja Katolik setidaknya mencatat beberapa buah dari perayaan sakramen
pengurapan orang sakit, diantaranya:
a.
Satu anugerah khusus Roh Kudus. Rahmat
pertama Sakramen ini ialah kekuatan, ketenangan, dan kebesaran hati untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan satu penyakit berat atau
dengan kelemahan karena usia lanjut. Rahmat ini adalah anugerah Roh Kudus, yang
membaharui harapan dan iman kepada Allah dan menguatkannya melawan godaan musuh
yang jahat, melawan godaan untuk berkecil hati dan rasa takut akan kematian..
Bantuan Tuhan melalui kekuatan Roh-Nya hendak membawa orang sakit menuju
kesembuhan jiwa, tetapi juga menuju kesembuhan badan, kalau itu sesuai dengan
kehendak Allah. Dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni
(Yak 5:15).
b.
Persatuan dengan sengsara Kristus. Oleh
rahmat Sakramen ini, orang sakit menerima kekuatan dan anugerah untuk
mempersatukan diri lebih erat lagi dengan sengsara Tuhan. Ia seakan-akan
ditahbiskan untuk menghasilkan buah melalui keserupaan dengan sengsara Juru
Selamat yang menebus. Sengsara sebagai akibat dosa asal, mendapat satu arti
baru: ia menjadi keikutsertaan dalam karya keselamatan Yesus.
c.
Rahmat Gerejani. Karena “secara bebas
menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, maka orang-orang sakit
memberi sumbangan bagi kesejahteraan umat Allah” (LG 11). Dalam upacara Urapan
Orang Sakit, Gereja mendoakan orang sakit di dalam persekutuan para kudus.
Sebaliknya orang sakit menyumbangkan melalui rahmat Sakramen demi pengudusan
Gereja dan kesejahteraan semua orang, untuk siapa Gereja menderita dan
menyerahkan diri kepada Allah Bapa melalui Kristus.
d.
Persiapan untuk perjalanan terakhir.
Kalau Sakramen Urapan Orang Sakit diberikan kepada mereka yang menderita
penyakit berat atau kelemahan, maka lebih lagi kepada mereka yang siap berpisah
dari hidup ini (mereka yang “rasanya sudah berada di akhir hidup ini”: Konsili
Trente: DS 1698). Karena itu ia dinamakan juga “Sakramen orang yang menghadapi
ajal” . Urapan Orang Sakit membuat kita secara definitif serupa dengan kematian
dan kebangkitan Kristus yang telah dimulai oleh Pembaptisan. Ia menyempurnakan
urapan-urapan kudus yang membina seluruh hidup Kristen: urapan Pembaptisan
mencurahkan hidup baru bagi kita; Penguatan meneguhkan kita untuk perjuangan
hidup ini. Urapan terakhir ini membekali akhir hidup kita di dunia ini dengan
satu tanggul kuat berhadapan dengan perjuangan perjuangan akhir sebelum masuk
ke dalam rumah Bapa.
3. Pastoral Sakramen Pengurapan Orang Sakit
3.1 Pandangan Sakit dan Dosa bagi Orang
Sakit[15]
Melihat
data dan hasil wawancara tentang sakit dan dosa bagi orang sakit, secara umum
penulis mendapatkan beberapa kesimpulan kecil:
·
Reaksi awal ketika menderita adalah
adanya penolakan. Protes terhadap Tuhan adalah reaksi yang umum dialami oleh
mereka yang sakit. Ada yang menganggap sebagai takdir, teguran, cobaan akan
realita sakit. Namun ada juga yang menganggap sebagai sarana untuk berbuat
lebih baik.
·
Perjalanan waktu membuat mereka mulai
menerima diri dan bangkit dari keterpurukan.
·
Secara umum saya melihat bahwa tetap ada
relasi antara sakit dan dosa. Hanya bahasa penyampaiannya yang sedikit berbeda.
3.2 Pandangan Sakit dan Dosa bagi Orang
Sehat[16]
Mengenai
pertanyaan tentang relasi sakit dengan dosa, peneliti mendapat dua jawaban
menurut pandangan responden.
a.
Mereka meyakini bahwa ada relasi antara
sakit dan dosa. Sakit dipahami sebagai teguran Tuhan agar manusia semakin dekat
dengan Tuhan. Dalam hal ini kemalasan, kelalalaian, dan pola hidup yang tidak
sehat dimaknai sebagai dosa sehingga seseorang harus bertobat dari
kebiasaan-kebiasaan buruk itu,
b.
Mereka meyakini bahwa tidak ada korelasi
langsung antara keduanya. Misalnya faktor lingkungan, fisik yang lemah, dan
tekanan psikologis menjadi sebab seseorang menjasi sakit. Dalam taraf ini sakit
bukanlah akibat dari dosa-dosanya sendiri.
Dari
dua jawaban di atas, peneliti dapat menarik semacam kesimpulan bahwa
ada-tidaknya kaitan relasi antara sakit dan dosa terletak pada penyebab sakit
itu sendiri. Adakalanya Tuhan ikut ambil bagian dalam peristiwa sakit itu, tapi
adakalanya sakit itu dimaknai sebagai kodrat lahiriah manusia yang terlepas
dari campur tangan yang ilahi, karena sakit tidak mengenal berdosa atau tidak.
3.3 Pastoral Sakramen POS[17]
Barangkat
dari landasan teori dan hasil penelitian, penulis hendak merumuskan
langkah-langkah pelayanan pastoral bagi orang yang sakit.
Pertanyaan
penting yang harus dijawab seputar ini ialah, untuk apa pastor mengunjungi
orang sakit? Pola pelayanan pastoral yang benar tidak didasarkan atas kebaikan
atau keselamatan manusia, tetapi atas kehendak Allah. Karena itu, seorang
pastor harus memulai pelayanannya dengan mendengarkan. Baru sesudah itu ia boleh
berkata-kata atau berbuat.
Yang
dimaksud dengan mendengarkan ialah bukan saja mendengarkan orang sakit yang
pastor layani, tetapi terutama mendengarkan Allah, yang merupakan “orang
ketiga” dalam pelayanan pastoral dan yang sebentar lagi akan menjadi “orang
pertama”, yaitu orang yang sebenarnya memimpin pelayanan pastoral.
Hal
yang paling penting dalam pelayanan pastoral ialah hubungan orang yang sakit
itu dengan Allah. Dengan kata lain, bahwa yang terpenting dalam pelayanan
pastoral ialah pembebasan orang sakit itu, yaitu pembebasannya yang telah
merupakan suatu realitas di dalam Kristus, dan yang dapat menjadi suatu
realitas baginya. Yang dimaksud dengan “pembebasan” di sini alah bukan
pertama-tama pembebasan dari penyakitnya dalam arti psiko-somatis (meski hal
ini kadangkala juga disertakan), tetapi terutama pembebasan di tengah-tengah
penderitaan berat yang ditanggung si sakit dengan segala keterikatan
daripadanya, dapat menjadi suatu realitas dalam sikap-imannya pada Yesus
Kristus, yang adalah Tuhan dan Juruselamat.
Maksud
pelayanan seorang pastor berbeda dengan maksud pelayanan seorang tenaga medis
(dokter). Seorang dokter berusaha mengembalikan kesehatan si sakit supaya dapat
berpartisipasi lagi dalam hidup yang normal, sementara maksud pelayanan pastor ialah
berusaha bersama-sama dengan si sakit agar menemukan lagi jalan kepada Allah
dan menempuh jalan itu dalam hidupnya di dunia.
Pembebasan
dan perdamaian dengan Allah dapat juga mempengaruhi penyembuhan dalam arti
psiko-somatis. Sungguhpun demikian tugas pastor yang sebenarnya ialah
mengkonfrontasikan orang sakit yang ia layani dengan firman Allah. Dalam
situasi-situasi tertentu penyakit dapat merupakan bentuk dari distress atau
penderitaan, tetapi, distress atau penderitaan yang sebenarnya dari orang yang
sakit bukan penyakit dalam arti psikomatis. Distress atau penderitaan yang
sebenarnya dari orang sakit terletak lebih dalam daripada penyakit, yaitu dalam
keterasingannya dari Allah.
Dalam
pelayanan pastoral, pastor mungkin sesekali harus menggunakan kata “dosa” dan
“orang berdosa”, dan dengan itu menyegarkan kesadaran, bahwa berada sebagai
orang berdosa adalah distress atau penderitaan yang lebih pedih daripada
penyakit dalam arti psikomatis. Orang yang sakit umumnya kurang memahami hal
ini. Karena itu mungkin mereka akan menentangnya. Faktanya, orang-orang sakit
biasanya ingin menjadi sembuh, bukan untuk bertobat atau ditobatkan. Karena itu
mereka tidak mengetahui bahwa pertobatan adalah penyembuhan dalam arti yang
lebih dalam.
BAB
IV
PENUTUP
dan REFLEKSI:
MENGALAMI
ALLAH DALAM PENDERITAAN
Salah
satu persoalan penting tentang sakit adalah tentang kaitannya dengan perbuatan
seseorang. Tak jarang yang bertanya apakah sakit memiliki hubungan langsung
dengan dosa-dosa di masa lalu? Atau apakah sakit merupakan sebuah hukuman yang
harus ditanggung oleh orang yang bersangkutan?
Ada saatnya orang dapat memaklumi penyakit dan
penderitaan yang dia terima, khususnya di saat orang itu telah melakukan
pelanggaran serius yang melanggar hukum atau moral. Penderitaan yang disebabkan
oleh pelanggaran atau kelalaian manusia itu sendiri sering dianggap sebagai hal
yang wajar. Akan tetapi apabila penderitaan itu dialami oleh orang yang
dikategorikan tidak bersalah, orang saleh, atau tidak berdosa, maka penderitaan
itu sulit untuk dipahami dan diterima oleh manusia pada umumnya. Dalam hidup
keagamaan monoteistis[18],
kenyataan orang saleh yang menderita sering menimbulkan pertanyaan yang secara
langsung dihubungkan dengan sifat pokok Allah yang diperkenalkan dalam Kitab
Suci, yakni adil dan penuh kasih. Bagaimanakah Allah yang adil dapat
menyebabkan penderitaan bagi orang yang setia kepada-Nya?[19]
Dalam dunia Perjanjian Lama, ada seorang tokoh yang
bergumul dengan derita dalam kaitannya dengan dosa, yakni Ayub. Ayub dalam kapasitasnya sebagai orang yang saleh dan
jujur di mata Tuhan pun mengalami situasi itu. Pengalaman penderitaan Ayub ini
kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan: Dari manakah penderitaan? Mengapa
Allah mengizinkan manusia (yang saleh) menderita? Apakah Allah sungguh dapat
mengatasi penderitaan?[20]
Dalam tradisi
Israel, penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa. Hubungan antara penderitaan
dan dosa itu dirumuskan dalam hukum pembalasan yang telah dihidupi oleh bangsa
Israel sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Paham ortodoks ini berlangsung hingga
berabad-abad lamanya sampai munculnya ide tentang kebangkitan pada abad ke-2
sM.[21]
Selain diakibatkan
oleh dosa, penderitaan juga dipahami sebagai sarana Allah untuk mendidik
umat-Nya. Penderitaan dapat menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaan (Ams
3:11-12; Ayb 33:19-22; 1 Kor 11:32). Melalui penderitaan, Allah juga hendak
memurnikan dan mendekatkan manusia
kepada-Nya (Mzm 66:8-12; bdk. Yak 1:12). Dengan demikian, penderitaan dapat
membantu perjalanan manusia menuju Allah.[22]
Hal ini senada
dengan refleksi Paus Yohanes Paulus II yang menyatakan,
“Memang benar
bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan
dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan
suatu akibat dari suatu kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. ... penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima
sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara
penuh berdasarkan akal budi.[23]
Konsep tentang
penderitaan yang tak terpahami dapat membuat orang jatuh ke dalam ateisme[24].
Berhadapan dengan misteri penderitaan, kaum ateis merumuskan sebuah silogisme
kuno yang berbunyi demikian: Tuhan pada hakekatnya Mahabaik dan Mahakuasa. Jika
Tuhan dapat mencegah penderitaan, tetapi Dia tidak melakukan, maka Dia bukan
Mahabaik. Di pihak lain, jika Tuhan mau, tetapi tidak dapat mencegah
penderitaan, maka Dia bukan Mahakuasa. Dari kalimat itu, dapat disimpulkan
bahwa adanya penderitaan mengemukakan bukti: Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa
itu tidak ada.[25]
Melalui silogisme di atas, kaum ateis
nampaknya telah membuat jurang pemisah antara penderitaan dengan kebaikan dan kemahakuasaan Allah. Padahal bagi orang
Kristen, realitas penderitaan menyatakan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan
manusia.
Menurut
perspektif iman kristiani, misteri tentang
penderitaan dalam Perjanjian Lama terjawab secara tuntas dalam pewahyuan kasih Allah di kayu
salib. Kasih dan korban cinta ilahi di salib merupakan sumber rahmat untuk
menemukan makna penderitaan. Melalui korban-Nya di salib, Kristus memberdayakan
manusia dengan kekuatan ilahi-Nya untuk memahami misteri ini. Kristus sendiri
rela menapaki jalan penderitaan karena keagungan dan keluhuran cinta kasih-Nya
kepada manusia dan demi keselamatan manusia. Akan tetapi, penderitaan Kristus
di salib tidak dimaksudkan untuk mengakhiri penderitaan manusia, tetapi
mengajarkan manusia untuk menghadapi setiap bentuk penderitaan dengan cinta dan
korban serta membangun semangat solidaritas demi kebahagiaan dan keselamatan
sesama.[26]
Peristiwa salib
merupakan tanda Yesus memuliakan Allah, sehingga Dia juga dimuliakan oleh
Allah. Salib Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya sejak awal dunia bagi orang
lain, orang sakit dan orang-orang yang diasingkan. Tak ada cinta yang lebih
besar selain cinta seorang sahabat yang rela menyerahkan hidupnya bagi
sesamanya (Yoh 15:13). Penderitaan dapat disebut sebagai salib kalau
penderitaan itu dialami karena membela orang tertindas dan memperjuangkan
kebaikan dan kebenaran.[27]
Hingga kini,
problem mengenai penderitaan tetap membayangi setiap manusia di seluruh muka
bumi. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia
juga telah berusaha untuk mengatasi penderitaannya. Sigmun Freud mencoba
menelusuri penderitaan melalui ilmu psikologinya. Baginya, penderitaan adalah
tanda kemarahan Tuhan, maka Allah itu adalah sadis. Selain itu Nietzsche
mengatakan bahwa penderitaan melalui peristiwa salib itu merupakan kebodohan.[28]
Pernyataan dari
kedua pemikir tersebut tetap tidak menjawab secara tuntas mengenai persoalan
penderitaan di zaman ini. Penderitaan bukanlah suatu akhir yang bisa
membuktikan bahwa Allah itu tidak Mahakuasa atau tidak Mahabaik. Allah itu
kebaikan yang absolut. Allah merangkul semua yang ada di dunia ini, termasuk
penderitaan. Maka, manusia membutuhkan mata iman untuk mengerti kebijaksanaan
Allah khususnya pada misteri penderitaan ini. Manusia semestinya dapat
menyerahkan diri pada ketidakpahaman akan Tuhan. Pemahaman ini bukanlah kontra
pemikiran, namun suatu ekspresi dari pemikiran orang beriman. Kebodohan Allah
masih lebih kuat dari kebijaksanaan manusia (1 Kor 3:19).[29]
Dengan
demikian, bagi orang beriman, penderitaan dan kematian justru menjadi jalan
menuju dan masuk ke kehidupan baru. Keyakinan ini juga dapat mendorong
keberanian dan menumbuhkan ketabahan seseorang dalam menghadapi penderitaannya
dengan setia. Terhadap realitas penderitaan, Rasul Paulus berkata, “Aku yakin,
bahwa penderitaan di zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Dengan menderita,
manusia berarti mengalami keberadaan dan misteri Allah.[30]
Lebih dari itu, manusia membutuhkan “kesembuhan” dari derita, dan sakramen
pengurapan orang sakit membawa orang-orang yang menderita mencapai kesembuhan
yang lebih dalam, yakni pertobatan sebagai bekal untuk menuju keabadian hidup.
[1] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu
Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 13.
[2] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 13-14.
[3] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 15.
[4]
Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no.
1500-1501.
[7]
Largus Nadeak, Bioetika, Memperomosikan
Budaya Kehidupan (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2003), hlm. 27. (diktat)
[8]
Piet Go, Hidup dan Kesehatan (Malang:
STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 51-52;
bdk. Largus Nadeak, Bioetika ..., hlm.
27.
[10]
KGK no. 1865-1874.
[11]
KGK, no. 1509-1510
[12]
KGK, no. 1514-1515.
[13]
KGK, no. 1516.
[14]
KGK, no 1520-1523.
[15]
Hasil wawancara.
[16]
Hasil wawancara.
[17]
J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral
kepada Orang Sakit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 8-12.
[18] Istilah “monoteisme” secara etimologis
berasal dari kata Yunani monos (satu,
tunggal) dan theos (Tuhan). Artinya:
suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah dan
pencipta seluruh alam semesta. Istilah “monoteisme” biasanya dikonfrontasikan
dengan “politeisme”, yakni paham ketuhanan yang mengajarkan ada banyak (polys) dewa atau tuhan. Pada umumnya
sebutan“monoteisme” paling tepat dipakai untuk mengarakterisasikan paham Tuhan
dalam agama-agama Semistik, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam. [Lihat J.
Sudarminta – S.P. Lili Tjahjadi (ed.), Dunia,
Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 70.]
[19] Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 214.
[20] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 119; bdk. Yohanes
Paulus II, Surat Apostolik Salvifici
Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan) (Seri Dokumentasi Gerejawi no.
29), diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1993), no. 9.
[21] Surip Stanislaus, Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat dan Penderitaan Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 56.
[22] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 64-65.
[23] SD, no. 11.
[24] Ateisme adalah pandangan yang menyangkal adanya
Tuhan. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kaum ateis adalah orang-orang yang
benar-benar menyangkal Allah, menolak gagasan-gagasan (yang mereka anggap keliru)
tentang Allah, lebih mementingkan manusia daripada Allah, atau memprotes adanya yang jahat di dunia ciptaan Allah yang
Mahabaik. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi
Gereja, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 157.
[25] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 51.
[26] SD, no. 13, 14.
[27] Largus Nadeak, Moral Fundamental II: Dengan Hati Nurani Kembali ke Keutamaan (Sinaksak:
STFT St. Yohanes, 2007), hlm. 76. (Diktat).
[28] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.
[29] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.
[30] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 71-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar