Selasa, 12 Januari 2016

pengurapan orang sakit dan pendamaian



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah hidup manusia, penderitaan merupakan salah satu tema klasik, menarik dan besar. Problem tentang penderitaan ini juga sungguh serius lantaran kita dapat melihat berbagai reaksi manusia ketika berhadapan dengan penderitaan. Tatkala menderita, manusia bisa saja frustasi dan merasa dirinya tak berarti. Hal yang lebih mengejutkan ialah ketika manusia harus melewati penderitaan yang dianggapnya tragis. Ia bisa saja berontak terhadap dirinya dan memandang hidupnya tak bermakna hingga harus memilih bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya.[1]
Namun bagi manusia yang mau dan mampu berpikir, pengalaman-pengalaman pahit yang mengakibatkan penderitaan dapat menjadi sebuah sarana untuk menemukan makna kehidupan di dunia ini. Melalui kemampuannya dalam berpikir dan mengolah hidupnya, manusia semestinya bersedia untuk bersikap realistis terhadap kehidupan ini. Dengan keyakinan demikian, manusia akan mampu menyiasati realitas penderitaan yang dihadapinya.[2]
Bagi orang beriman kristiani, pengalaman menderita tidak boleh diabaikan begitu saja. Dewasa ini, tidak jarang dijumpai saudara-saudari seiman yang rela meninggalkan imannya dan mulai meragukan adanya kasih Allah, karena pengalaman tragis yang menimpa dirinya. Berhadapan dengan kenyataan inilah, orang kristiani memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian iman. Dengan demikian kita dapat menemukan jejak-jejak keadilan dan kasih Allah dalam situasi gelap dan pahit sekalipun.[3]
            Tulisan singkat ini hendak memaparkan peran para pelayan pastoral bagi mereka yang menderita (sakit) agar dalam situasi gelap, orang-orang sakit semakin menemukan Allah. Dalam Gereja sendiri disediakan sarana untuk ini yakni sakramen pengurapan orang sakit.

BAB II
SAKIT DAN DOSA

1.      Pengantar
Penderitaan (sakit) adalah pengalaman eksistensial manusia. Setiap manusia pasti pernah mengalami peristiwa duka dan derita dalam hidupnya. Penyakit dan sengsara sejak dahulu kala termasuk percobaan yang paling berat dalam kehidupan manusia. Di dalam penyakit manusia mengalami ketidak-mampuan, keterbatasan, dan kefanaannya. Setiap penyakit dapat mengingatkan kita akan kematian. Penyakit dapat menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri malahan kadang-kadang rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah. Tetapi ia juga dapat membuat manusia menjadi lebih matang, dapat membuka matanya untuk apa yang tidak penting dalam kehidupannya, sehingga ia berpaling kepada hal-hal yang penting. Sering kali penyakit membuat orang mencari Allah dan kembali lagi kepada-Nya.[4]

2.      Arti Sakit
Sehat dan sakit adalah dua aspek yang melekat dalam diri manusia yang tidak dapat dihindarkan. Sehat dan sakit ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk biologis.[5] Ilmu kedokteran memberikan gagasan tentang penyakit bahwa penyakit merupakan pengaruh yang berasal dari luar tubuh manusia dan sekaligus berasal dari dalam tubuh manusia. Pengaruh-pengaruh dari luar itu misalnya invasi organisme mikro maupun pengaruh zat kimia dan pengaruh-pengaruh fisik (panas, dingin, dll.) yang mengganggu  manusia. Sementara pengaruh dari dalam tubuh manusia itu terjadi karena kelalaian yang terjadi dalam tubuh sendiri, misalnya berupa gangguan dalam keseimbangan hormonal atau gangguan keseimbangan metabolisme atau juga proses pertukaran zat dalam tubuh. Kedua aspek inilah yang mengganggu tubuh manusia sehingga manusia mengalami sakit.[6]
Sakit yang dialami oleh manusia merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima oleh manusia. Sekuat apapun usaha manusia untuk menghindarkan dirinya dari sakit, tetap saja manusia mengalami sakit. Sakit jika hanya dilihat sebagai pengalaman penderitaan justru membuat manusia semakin menderita. Tetapi sikap yang baik ketika berhadapan dengan sakit adalah mamaknainya sebagai sebuah pengalaman yang harus dihadapi, sembari membangun sikap untuk melihat bahwa manusia adalah pengada yang rapuh dan lemah.[7]
Dalam PL segala pengalaman negatif termasuk sakit dihubungkan dengan kekuatan negatif manusia sendiri dan ditafsirkan sebagai reaksi keadilan dan hukuman Allah terhadap manusia berdosa. Orang yang menderita sakit dipandang sebagai orang yang telah melanggar sikap hidup yang diperintahkan oleh Allah. [8]
Dalam PB paham tentang derita dan sakit mulai ada perubahan. Yesus menolak pandangan yang mengatakan penyakit sebagai akibat dosa orang tua. Sakit merupakan situasi manusia yang membutuhkan penebusan dan kasih sayang yang lebih besar (solidaritas dari sesama dan Allah). Penyembuhan Yesus menjadi tanda datangnya Kerajaan Allah dan Allah tidak menghendaki penderitaan manusia. Dengan demikian tidak ada hubungan kausal antara penyakit dan dosa (Mrk. 2:1-12, Mat11:5).[9]

3.      Paham tentang Dosa[10]
Dosa menciptakan kecondongan kepada dosa; pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama mengakibatkan kebiasaan buruk. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kecenderungan yang salah, menggelapkan hati nurani dan menghambat keputusan konkret mengenai yang baik dan yang buruk. Dosa cenderung terulang lagi dan diperkuat, namun ia tidak dapat menghancurkan seluruh perasaan moral. (KGK 1865)
Kebiasaan buruk dapat digolongkan menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran santo Yohanes Kasianus dan santo Gregorius Agung. Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain. Dosa-dosa pokok adalah kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan kelambanan, atau kejemuan. (KGK 1866)
Tradisi kateketik juga mengingatkan, bahwa ada dosa-dosa yang berteriak ke surga. Yang berteriak ke surga adalah darah Abel (Bdk. Kej 4:10), dosa orang Sodom (Bdk.Kej 18:20; 19:13), keluhan nyaring dari umat yang tertindas di Mesir (Bdk. Kel 3:7-10), keluhan orang-orang asing, janda dan yatim piatu, (Bdk. Kel 22:20-22) dan upah kaum buruh yang ditahan (Bdk. Ul 24:14-15; Yak.5:4). (KGK 1867)
Dosa adalah satu tindakan pribadi. Tetapi kita juga mempunyai tanggung jawab untuk dosa orang lain kalau kita turut di dalamnya:
  • kalau kita mengambil bagian dalam dosa itu secara langsung dan dengan suka rela,
  • kalau kita memerintahkannya, menasihatkan, memuji, dan membenarkannya,
  • kalau kita menutup-nutupinya atau tidak menghalang-halanginya, walaupun kita berkewajiban untuk itu,
  • kalau kita melindungi penjahat.(KGK 1868)
Dengan demikian dosa membuat manusia menjadi teman dalam kejahatan dan membiarkan keserakahan, kekerasan, dan ketidakadilan merajaleIa di antara mereka. Di tengah masyarakat, dosa-dosa itu mengakibatkan situasi dan institusi yang bertentangan dengan kebaikan Allah. “Struktur dosa” adalah ungkapan dan hasil dosa pribadi, Mereka menggoda kurban-kurbannya, supaya ikut melakukan yang jahat. Dalam arti analog mereka merupakan “dosa sosial”. (KGK 1869) “Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua” (Rm 11:32).
Dosa adalah satu “perkataan, perbuatan, atau satu keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi”. Satu penghinaan terhadap Allah. Ia membangkang terhadap Allah dalam ketidaktaatan, yang berlawanan dengan ketaatan Kristus. Dosa adalah satu tindakan melawan akal budi. Ia melukai kodrat manusia dan mengganggu solidaritas manusia.(KGK 1872) Akar dari semua dosa terletak di dalam hati manusia. Macamnya dan beratnya ditentukan terutama menurut obyeknya.(KGK 1873).
Siapa yang dengan sengaja, artinya dengan tahu dan mau, menjatuhkan keputusan kepada sesuatu yang bertentangan dengan hukum ilahi dan dengan tujuan akhir manusia dalam hal yang berat, ia melakukan dosa berat. Dosa itu merusakkan kebajikan ilahi di dalam kita, kasih, dan tanpa kasih tidak ada kebahagiaan abadi. Kalau ia tidak disesali, ia akan mengakibatkan kematian abadi.(KGK 1874)



















BAB III
PASTORAL SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT

1.      Pengantar
Setelah memahami tentang sakit dan dosa, dalam pemaparan berikut akan dijelaskan kaitan antara sakit dan dosa dalam relasinya dengan sakramen pengurapan orang sakit. titik penakanan dalam pembahasan ini ini adalah tentang pelayanan pastoral bagi orang-orang sakit agar tetap menemukan Allah dalam penderitaannya.

2.      Sekilas tentang POS
2.1  Dasar Biblis
“Sembuhkanlah orang sakit” (Mat 10:8). Gereja menerima tugas ini dari Tuhan dan berusaha melaksanakannya, dengan merawat orang sakit dan menyertainya dengan doa syafaatnya. Ia percaya akan kehadiran yang menghidupkan dari Kristus, Penyembuh penyakit jiwa dan badan. Kehadiran ini bekerja terutama melalui Sakramen-sakramen, dan sangat khusus melalui Ekaristi, roti yang memberi hidup abadi (Bdk. Yoh 6:54.58). Santo Paulus menunjukkan bahwa Ekaristi mempunyai hubungan juga dengan kesehatan badan (Bdk. 1 Kor 11:30).
Gereja apostolik mengenal ritus tersendiri untuk orang sakit. Ini disaksikan oleh santo Yakobus: “Kalau ada orang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni” (Yak 5:14-15). Tradisi telah melihat dalam ritus ini satu dari ketujuh Sakramen Gereja.[11]

2.2  Penerima Sakramen
Urapan orang sakit “bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada di ambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia” (SC 73). Kalau seorang sakit yang telah menerima urapan ini sehat kembali, maka ia dapat menerima lagi Sakramen ini, apabila ia sakit berat lagi. Dalam menderita penyakit yang sama, Sakramen ini dapat diulangi, kalau keadaan makin buruk. Dianjurkan agar seorang yang menghadapi operasi besar, menerima Urapan Orang Sakit. Demikian juga berlaku untuk orang tua renta, yang kekuatannya mulai melemah.[12]

2.3  Pelayan Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Hanya imam (Uskup dan presbiter) adalah pemberi Urapan Orang Sakit. Para pastor mempunyai kewajiban untuk mengajarkan umat beriman mengenai daya guna yang menyelamatkan dari Sakramen ini. Umat beriman hendaknya mendorong orang sakit, supaya memanggil imam, dan menerima Sakramen ini. Orang sakit harus mempersiapkan diri untuk itu, supaya menerimanya dalam keadaan batin yang baik. Para pastor dan seluruh jemaat hendaknya membantu mereka dan menyertai mereka dalam doa dan perhatian persaudaraannya.[13]

2.4  Buah-buah Sakramen[14]
Katekismus Gereja Katolik setidaknya mencatat beberapa buah dari perayaan sakramen pengurapan orang sakit, diantaranya:
a.       Satu anugerah khusus Roh Kudus. Rahmat pertama Sakramen ini ialah kekuatan, ketenangan, dan kebesaran hati untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan satu penyakit berat atau dengan kelemahan karena usia lanjut. Rahmat ini adalah anugerah Roh Kudus, yang membaharui harapan dan iman kepada Allah dan menguatkannya melawan godaan musuh yang jahat, melawan godaan untuk berkecil hati dan rasa takut akan kematian.. Bantuan Tuhan melalui kekuatan Roh-Nya hendak membawa orang sakit menuju kesembuhan jiwa, tetapi juga menuju kesembuhan badan, kalau itu sesuai dengan kehendak Allah. Dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni (Yak 5:15).
b.      Persatuan dengan sengsara Kristus. Oleh rahmat Sakramen ini, orang sakit menerima kekuatan dan anugerah untuk mempersatukan diri lebih erat lagi dengan sengsara Tuhan. Ia seakan-akan ditahbiskan untuk menghasilkan buah melalui keserupaan dengan sengsara Juru Selamat yang menebus. Sengsara sebagai akibat dosa asal, mendapat satu arti baru: ia menjadi keikutsertaan dalam karya keselamatan Yesus.
c.       Rahmat Gerejani. Karena “secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, maka orang-orang sakit memberi sumbangan bagi kesejahteraan umat Allah” (LG 11). Dalam upacara Urapan Orang Sakit, Gereja mendoakan orang sakit di dalam persekutuan para kudus. Sebaliknya orang sakit menyumbangkan melalui rahmat Sakramen demi pengudusan Gereja dan kesejahteraan semua orang, untuk siapa Gereja menderita dan menyerahkan diri kepada Allah Bapa melalui Kristus.
d.      Persiapan untuk perjalanan terakhir. Kalau Sakramen Urapan Orang Sakit diberikan kepada mereka yang menderita penyakit berat atau kelemahan, maka lebih lagi kepada mereka yang siap berpisah dari hidup ini (mereka yang “rasanya sudah berada di akhir hidup ini”: Konsili Trente: DS 1698). Karena itu ia dinamakan juga “Sakramen orang yang menghadapi ajal” . Urapan Orang Sakit membuat kita secara definitif serupa dengan kematian dan kebangkitan Kristus yang telah dimulai oleh Pembaptisan. Ia menyempurnakan urapan-urapan kudus yang membina seluruh hidup Kristen: urapan Pembaptisan mencurahkan hidup baru bagi kita; Penguatan meneguhkan kita untuk perjuangan hidup ini. Urapan terakhir ini membekali akhir hidup kita di dunia ini dengan satu tanggul kuat berhadapan dengan perjuangan perjuangan akhir sebelum masuk ke dalam rumah Bapa.






3.      Pastoral Sakramen Pengurapan Orang Sakit
3.1  Pandangan Sakit dan Dosa bagi Orang Sakit[15]
Melihat data dan hasil wawancara tentang sakit dan dosa bagi orang sakit, secara umum penulis mendapatkan beberapa kesimpulan kecil:
·         Reaksi awal ketika menderita adalah adanya penolakan. Protes terhadap Tuhan adalah reaksi yang umum dialami oleh mereka yang sakit. Ada yang menganggap sebagai takdir, teguran, cobaan akan realita sakit. Namun ada juga yang menganggap sebagai sarana untuk berbuat lebih baik.
·         Perjalanan waktu membuat mereka mulai menerima diri dan bangkit dari keterpurukan.
·         Secara umum saya melihat bahwa tetap ada relasi antara sakit dan dosa. Hanya bahasa penyampaiannya yang sedikit berbeda.

3.2  Pandangan Sakit dan Dosa bagi Orang Sehat[16]
Mengenai pertanyaan tentang relasi sakit dengan dosa, peneliti mendapat dua jawaban menurut pandangan responden.
a.       Mereka meyakini bahwa ada relasi antara sakit dan dosa. Sakit dipahami sebagai teguran Tuhan agar manusia semakin dekat dengan Tuhan. Dalam hal ini kemalasan, kelalalaian, dan pola hidup yang tidak sehat dimaknai sebagai dosa sehingga seseorang harus bertobat dari kebiasaan-kebiasaan buruk itu,
b.      Mereka meyakini bahwa tidak ada korelasi langsung antara keduanya. Misalnya faktor lingkungan, fisik yang lemah, dan tekanan psikologis menjadi sebab seseorang menjasi sakit. Dalam taraf ini sakit bukanlah akibat dari dosa-dosanya sendiri.
Dari dua jawaban di atas, peneliti dapat menarik semacam kesimpulan bahwa ada-tidaknya kaitan relasi antara sakit dan dosa terletak pada penyebab sakit itu sendiri. Adakalanya Tuhan ikut ambil bagian dalam peristiwa sakit itu, tapi adakalanya sakit itu dimaknai sebagai kodrat lahiriah manusia yang terlepas dari campur tangan yang ilahi, karena sakit tidak mengenal berdosa atau tidak.

3.3  Pastoral Sakramen POS[17]
Barangkat dari landasan teori dan hasil penelitian, penulis hendak merumuskan langkah-langkah pelayanan pastoral bagi orang yang sakit.
Pertanyaan penting yang harus dijawab seputar ini ialah, untuk apa pastor mengunjungi orang sakit? Pola pelayanan pastoral yang benar tidak didasarkan atas kebaikan atau keselamatan manusia, tetapi atas kehendak Allah. Karena itu, seorang pastor harus memulai pelayanannya dengan mendengarkan. Baru sesudah itu ia boleh berkata-kata atau berbuat.
Yang dimaksud dengan mendengarkan ialah bukan saja mendengarkan orang sakit yang pastor layani, tetapi terutama mendengarkan Allah, yang merupakan “orang ketiga” dalam pelayanan pastoral dan yang sebentar lagi akan menjadi “orang pertama”, yaitu orang yang sebenarnya memimpin pelayanan pastoral.
Hal yang paling penting dalam pelayanan pastoral ialah hubungan orang yang sakit itu dengan Allah. Dengan kata lain, bahwa yang terpenting dalam pelayanan pastoral ialah pembebasan orang sakit itu, yaitu pembebasannya yang telah merupakan suatu realitas di dalam Kristus, dan yang dapat menjadi suatu realitas baginya. Yang dimaksud dengan “pembebasan” di sini alah bukan pertama-tama pembebasan dari penyakitnya dalam arti psiko-somatis (meski hal ini kadangkala juga disertakan), tetapi terutama pembebasan di tengah-tengah penderitaan berat yang ditanggung si sakit dengan segala keterikatan daripadanya, dapat menjadi suatu realitas dalam sikap-imannya pada Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dan Juruselamat.
Maksud pelayanan seorang pastor berbeda dengan maksud pelayanan seorang tenaga medis (dokter). Seorang dokter berusaha mengembalikan kesehatan si sakit supaya dapat berpartisipasi lagi dalam hidup yang normal, sementara maksud pelayanan pastor ialah berusaha bersama-sama dengan si sakit agar menemukan lagi jalan kepada Allah dan menempuh jalan itu dalam hidupnya di dunia.
Pembebasan dan perdamaian dengan Allah dapat juga mempengaruhi penyembuhan dalam arti psiko-somatis. Sungguhpun demikian tugas pastor yang sebenarnya ialah mengkonfrontasikan orang sakit yang ia layani dengan firman Allah. Dalam situasi-situasi tertentu penyakit dapat merupakan bentuk dari distress atau penderitaan, tetapi, distress atau penderitaan yang sebenarnya dari orang yang sakit bukan penyakit dalam arti psikomatis. Distress atau penderitaan yang sebenarnya dari orang sakit terletak lebih dalam daripada penyakit, yaitu dalam keterasingannya dari Allah.
Dalam pelayanan pastoral, pastor mungkin sesekali harus menggunakan kata “dosa” dan “orang berdosa”, dan dengan itu menyegarkan kesadaran, bahwa berada sebagai orang berdosa adalah distress atau penderitaan yang lebih pedih daripada penyakit dalam arti psikomatis. Orang yang sakit umumnya kurang memahami hal ini. Karena itu mungkin mereka akan menentangnya. Faktanya, orang-orang sakit biasanya ingin menjadi sembuh, bukan untuk bertobat atau ditobatkan. Karena itu mereka tidak mengetahui bahwa pertobatan adalah penyembuhan dalam arti yang lebih dalam.













BAB IV
PENUTUP dan REFLEKSI:
MENGALAMI ALLAH DALAM PENDERITAAN

Salah satu persoalan penting tentang sakit adalah tentang kaitannya dengan perbuatan seseorang. Tak jarang yang bertanya apakah sakit memiliki hubungan langsung dengan dosa-dosa di masa lalu? Atau apakah sakit merupakan sebuah hukuman yang harus ditanggung oleh orang yang bersangkutan?
Ada saatnya orang dapat memaklumi penyakit dan penderitaan yang dia terima, khususnya di saat orang itu telah melakukan pelanggaran serius yang melanggar hukum atau moral. Penderitaan yang disebabkan oleh pelanggaran atau kelalaian manusia itu sendiri sering dianggap sebagai hal yang wajar. Akan tetapi apabila penderitaan itu dialami oleh orang yang dikategorikan tidak bersalah, orang saleh, atau tidak berdosa, maka penderitaan itu sulit untuk dipahami dan diterima oleh manusia pada umumnya. Dalam hidup keagamaan monoteistis[18], kenyataan orang saleh yang menderita sering menimbulkan pertanyaan yang secara langsung dihubungkan dengan sifat pokok Allah yang diperkenalkan dalam Kitab Suci, yakni adil dan penuh kasih. Bagaimanakah Allah yang adil dapat menyebabkan penderitaan bagi orang yang setia kepada-Nya?[19]
Dalam dunia Perjanjian Lama, ada seorang tokoh yang bergumul dengan derita dalam kaitannya dengan dosa, yakni Ayub. Ayub dalam kapasitasnya sebagai orang yang saleh dan jujur di mata Tuhan pun mengalami situasi itu. Pengalaman penderitaan Ayub ini kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan: Dari manakah penderitaan? Mengapa Allah mengizinkan manusia (yang saleh) menderita? Apakah Allah sungguh dapat mengatasi penderitaan?[20]
Dalam tradisi Israel, penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa. Hubungan antara penderitaan dan dosa itu dirumuskan dalam hukum pembalasan yang telah dihidupi oleh bangsa Israel sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Paham ortodoks ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya sampai munculnya ide tentang kebangkitan pada abad ke-2 sM.[21]
Selain diakibatkan oleh dosa, penderitaan juga dipahami sebagai sarana Allah untuk mendidik umat-Nya. Penderitaan dapat menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaan (Ams 3:11-12; Ayb 33:19-22; 1 Kor 11:32). Melalui penderitaan, Allah juga hendak memurnikan dan  mendekatkan manusia kepada-Nya (Mzm 66:8-12; bdk. Yak 1:12). Dengan demikian, penderitaan dapat membantu perjalanan manusia menuju Allah.[22]
Hal ini senada dengan refleksi Paus Yohanes Paulus II yang menyatakan,Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. ... penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara penuh berdasarkan akal budi.[23]
Konsep tentang penderitaan yang tak terpahami dapat membuat orang jatuh ke dalam ateisme[24]. Berhadapan dengan misteri penderitaan, kaum ateis merumuskan sebuah silogisme kuno yang berbunyi demikian: Tuhan pada hakekatnya Mahabaik dan Mahakuasa. Jika Tuhan dapat mencegah penderitaan, tetapi Dia tidak melakukan, maka Dia bukan Mahabaik. Di pihak lain, jika Tuhan mau, tetapi tidak dapat mencegah penderitaan, maka Dia bukan Mahakuasa. Dari kalimat itu, dapat disimpulkan bahwa adanya penderitaan mengemukakan bukti: Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa itu tidak ada.[25]  Melalui silogisme di atas, kaum ateis nampaknya telah membuat jurang pemisah antara penderitaan dengan kebaikan dan kemahakuasaan Allah. Padahal bagi orang Kristen, realitas penderitaan menyatakan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan manusia.
 Menurut perspektif iman kristiani, misteri tentang penderitaan dalam Perjanjian Lama terjawab secara tuntas dalam pewahyuan kasih Allah di kayu salib. Kasih dan korban cinta ilahi di salib merupakan sumber rahmat untuk menemukan makna penderitaan. Melalui korban-Nya di salib, Kristus memberdayakan manusia dengan kekuatan ilahi-Nya untuk memahami misteri ini. Kristus sendiri rela menapaki jalan penderitaan karena keagungan dan keluhuran cinta kasih-Nya kepada manusia dan demi keselamatan manusia. Akan tetapi, penderitaan Kristus di salib tidak dimaksudkan untuk mengakhiri penderitaan manusia, tetapi mengajarkan manusia untuk menghadapi setiap bentuk penderitaan dengan cinta dan korban serta membangun semangat solidaritas demi kebahagiaan dan keselamatan sesama.[26]
Peristiwa salib merupakan tanda Yesus memuliakan Allah, sehingga Dia juga dimuliakan oleh Allah. Salib Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya sejak awal dunia bagi orang lain, orang sakit dan orang-orang yang diasingkan. Tak ada cinta yang lebih besar selain cinta seorang sahabat yang rela menyerahkan hidupnya bagi sesamanya (Yoh 15:13). Penderitaan dapat disebut sebagai salib kalau penderitaan itu dialami karena membela orang tertindas dan memperjuangkan kebaikan dan kebenaran.[27]
Hingga kini, problem mengenai penderitaan tetap membayangi setiap manusia di seluruh muka bumi. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia juga telah berusaha untuk mengatasi penderitaannya. Sigmun Freud mencoba menelusuri penderitaan melalui ilmu psikologinya. Baginya, penderitaan adalah tanda kemarahan Tuhan, maka Allah itu adalah sadis. Selain itu Nietzsche mengatakan bahwa penderitaan melalui peristiwa salib itu merupakan kebodohan.[28]
Pernyataan dari kedua pemikir tersebut tetap tidak menjawab secara tuntas mengenai persoalan penderitaan di zaman ini. Penderitaan bukanlah suatu akhir yang bisa membuktikan bahwa Allah itu tidak Mahakuasa atau tidak Mahabaik. Allah itu kebaikan yang absolut. Allah merangkul semua yang ada di dunia ini, termasuk penderitaan. Maka, manusia membutuhkan mata iman untuk mengerti kebijaksanaan Allah khususnya pada misteri penderitaan ini. Manusia semestinya dapat menyerahkan diri pada ketidakpahaman akan Tuhan. Pemahaman ini bukanlah kontra pemikiran, namun suatu ekspresi dari pemikiran orang beriman. Kebodohan Allah masih lebih kuat dari kebijaksanaan manusia (1 Kor 3:19).[29]
            Dengan demikian, bagi orang beriman, penderitaan dan kematian justru menjadi jalan menuju dan masuk ke kehidupan baru. Keyakinan ini juga dapat mendorong keberanian dan menumbuhkan ketabahan seseorang dalam menghadapi penderitaannya dengan setia. Terhadap realitas penderitaan, Rasul Paulus berkata, “Aku yakin, bahwa penderitaan di zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Dengan menderita, manusia berarti mengalami keberadaan dan misteri Allah.[30] Lebih dari itu, manusia membutuhkan “kesembuhan” dari derita, dan sakramen pengurapan orang sakit membawa orang-orang yang menderita mencapai kesembuhan yang lebih dalam, yakni pertobatan sebagai bekal untuk menuju keabadian hidup.


[1] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 13.

[2] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 13-14.

[3] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 15.

[4] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no. 1500-1501.

                [5] Benyamin Lumenta, Penyakit Citra Alam dan Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 7.

                [6] Benyamin Lumenta, Penyakit Citra..., hlm. 19.
                [7] Largus Nadeak, Bioetika, Memperomosikan Budaya Kehidupan (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2003), hlm. 27.  (diktat)

                [8] Piet Go, Hidup dan Kesehatan (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm.  51-52; bdk. Largus Nadeak, Bioetika ..., hlm. 27.

                [9] Piet Go, Hidup ..., hlm. 51-53.

[10] KGK  no. 1865-1874.
[11] KGK, no. 1509-1510
[12] KGK, no. 1514-1515.

[13] KGK, no. 1516.

[14] KGK, no 1520-1523.
[15] Hasil wawancara.

[16] Hasil wawancara.

[17] J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral kepada Orang Sakit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 8-12.
[18] Istilah “monoteisme” secara etimologis berasal dari kata Yunani monos (satu, tunggal) dan theos (Tuhan). Artinya: suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah dan pencipta seluruh alam semesta. Istilah “monoteisme” biasanya dikonfrontasikan dengan “politeisme”, yakni paham ketuhanan yang mengajarkan ada banyak (polys) dewa atau tuhan. Pada umumnya sebutan“monoteisme” paling tepat dipakai untuk mengarakterisasikan paham Tuhan dalam agama-agama Semistik, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam. [Lihat J. Sudarminta – S.P. Lili Tjahjadi (ed.), Dunia, Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 70.]

[19] Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 214.
[20] Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 119; bdk. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan) (Seri Dokumentasi Gerejawi no. 29), diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), no. 9.

[21] Surip Stanislaus, Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat dan Penderitaan Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 56.

[22] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 64-65.

[23] SD, no. 11.

[24] Ateisme adalah pandangan yang menyangkal adanya Tuhan. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kaum ateis adalah orang-orang yang benar-benar menyangkal Allah, menolak gagasan-gagasan (yang mereka anggap keliru) tentang Allah, lebih mementingkan manusia daripada Allah, atau memprotes  adanya yang jahat di dunia ciptaan Allah yang Mahabaik. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 157.       
[25] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 51.

[26] SD, no. 13, 14.

[27] Largus Nadeak, Moral Fundamental II: Dengan Hati Nurani Kembali ke Keutamaan (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2007), hlm. 76. (Diktat).

[28] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.

[29] Largus Nadeak, Moral …, hlm. 75.

[30] Surip Stanislaus, Tragedi …, hlm. 71-73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar