Insight Baru Ayub atas Teofani (Ayb. 38:1-42-6)
1. Pengantar
Kitab
Ayub menyajikan kisah mengenai penderitaan orang saleh, yaitu Ayub sendiri.
Kenyataan bahwa orang saleh yang menderita tentunya bertolakbelakang dengan
ajaran tradisional Israel tentang hukum pembalasan di bumi. Ayub menggugat
keadilan Allah, sementara ketiga sahabatnya tetap mempertahankan konsep hukum pembalasan
itu dan mengklaim bahwa Ayub berdosa. Dialog yang tidak menemukan titik temu antara
Ayub dengan ketiga sahabatnya akhirnya ditutup dengan teofani (Ayb 38-42), di
mana Allah menyatakan diri secara khusus kepada Ayub. Dalam teofani ini, Allah menuntun Ayub untuk
menemukan suatu insight baru
berhadapan dengan penderitaannya.[1]
2. Teofani: Allah Menuntun Ayub
Setelah perdebatan panjang tanpa
titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya (termasuk Elihu, tokoh keempat)
mengenai doktrin ortodoks, Allah angkat bicara. Sabda Allah kepada Ayub inilah
yang disebut teofani[2].
Pada bagian teofani ini (38:1-42:6), penulis Kitab Ayub mencoba memecahkan
persoalan yang dialami Ayub.[3]
Teofani
(pidato Allah) dalam Ayb. 38:1-42:6 terbagi menjadi dua bagian. Dalam teofani pertama(38:1-39:38) Allah hendak
menunjukkan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan dan penyelenggaran-Nya
kepada Ayub. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam kosmos:
bumi, laut, matahari, dunia bawah, terang dan gelap, cuaca dan benda-benda
langit (38:4-38).[4]
Pidato
yang pertama ini sarat akan pertanyaan-pertanyaan retoris yang mau menunjukkan
keterbatasan Ayub di hadapan Allah. Ayub ditegur karena ia mempersoalkan hikmat
Allah. Bahkan melalui pengertiannya yang dangkal tersebut, Ayub berani
menghakimi dan mencela Allah. Padahal, justru Ayub sendiri yang tidak dapat
menyelami hikmat Allah. Hikmat Allah jauh melampaui kemampuan manusia.[5]
Teofani
ini juga bertujuan untuk meredam kekecewaan dan kemarahan Ayub yang terwujud
dalam tindakannya yang mencela dan menghakimi Allah (bdk. Ayb 9:24; 12:6;
10:3). Allah hendak menjadikan Ayub rendah hati sehingga ia mampu menerima
penderitaannya dengan penuh kesabaran. Selain itu, teofani juga hendak
menunjukkan kenyataan diri Ayub yang kecil dan terbatas. Ia tidak memiliki
kekuatan apa-apa di hadapan Allah, sekaligus dalam hubungannya dengan
keseluruhan tatanan ciptaan-Nya.[6]
Pada teofani yang kedua(40:1-42:6), Allah memakai behemôt dan lewiatan[7]
sebagai lambang kekuasaan yang paling hebat di dunia ciptaan. Kedua binatang
tersebut memperlihatkan kemahakuasaan Allah dan sekaligus memperlihatkan
ketidakberdayaan manusia.[8]
Ketidakberdayaan terhadap kedua binatang yang dialami oleh setiap manusia,
termasuk Ayub, memperkuat kesan dalam diri Ayub bahwa unsur misteri Allah amat
kuat dan dalam. Kedalaman misteri Allah tersebut menjadikan Ayub semakin tunduk
di hadapan misteri Allah dan tindakan-tindakan-Nya.[9]
Teofani
yang kedua ini secara implisit hendak menyatakan bahwa Allah tidak ingin
menjadikan Ayub sebagai lawan-Nya dan membiarkan Ayub dalam situasi yang kacau.[10]
Allah senantiasa mengatasi penolakan Ayub dengan lembut dan membimbingnya pada
sikap penyerahan total.[11]
3. Tanggapan Ayub atas Teofani: Insight Baru
Penampakan Allah akhirnya
mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub tersebut secara
eksplisit tertuang dalam Ayb 42:1-6. Dalam perikop ini pula tertuang insight baru yang diperoleh Ayub atas
penampakan Allah terhadap dirinya. Pertama,
Ayub mengakui keterbatasannya berhadapan dengan kebesaran Allah. Pengakuan Ayub
ini menunjukkan kepercayaannya bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi
terlaksana dalam kerangka kebijaksanaan ilahi.[12]Kedua, Teofani telah menghantar Ayub
pada kesadaran akan pengetahuan yang tak terbatas dari Allah dan sekaligus
kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas.Ketiga,Ayub menemukan suatu sikap baru dalam menghadapi
penderitaannya. Ia mengakui misteri Allah dan dengan tenang menerima
penderitaannya sebagai bagian dari misteri Allah Sang Pencipta.Sikap itu
dinyatakan Ayub dengan ungkapan tobat yang sungguh mendalam, yakni atas dosanya
yang telah mempertahankan kebenarannya sendiri.[13]
4. Kesimpulan
Melalui teofani, Ayub memperoleh paradigma baru
tentang bagaimana ia harus bersikap terhadap penderitaan. Penderitaannya
merupakan bagian dari misteri Allah yang besar. Teofani juga telah menjadi
bukti keterlibatan dan intervensi Allah terhadap nasib hamba-Nya. Berhadapan
dengan misteri Allah yang besar itu, manusia hanya dapat
berserah karena keterbatasannya sebagai ciptaan. Insight baru atas Teofani itu akhirnya menuntun Ayub kepada sikap
tobat yang sejati setelah ia mencela dan menghakimi Allah atas nasibnya.
[1]St. Darmawijaya, Jiwa dan Semangat Perjanjian Lama: Pesan Para Bijak Bestari, jilid
3(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 66-67
[2] Teofani berasal dari kata Yunani theophany (penampakan Allah). Teofani
merupakan penyataan diri Allah yang dapat dilihat. Dengan mempertahankan
keyakinan bahwa tidak ada orang yang dapat melihat Allah dan tetap hidup (Kel
19:21; 33:20; Hak 13:22), Perjanjian Lama menceritakan Allah yang menampakkan
diri kepada Musa dan tokoh-tokoh lain (Kel 3:1-6; 33:17-23; 34:5-9; Yes 6:1-5).
[Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A
Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 313.]
[3] Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 171.
[4]Larry
J. Waters, “Reflections on Suffering from the Book of Job”, dalamBibliotheca Sacra, 154 (Oktober-Desember
1997), hlm. 446; bdk. Wim van der
Weiden, Seni …, hlm. 177.
[5]Martin Harun, Marilah, Makanlah Hidanganku: Hikmat Israel dalam Amsal, Ayub, &
Pengkotbah (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010), hlm. 91.
[6]Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu
Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 73.
[7]Behemôt dilukiskan sebagai jenis hewan yang liar.
Dalam Kitab Suci edisi LAI, behemôt
disebut dengan Kuda Nil. Sedangkan lewiatan
diartikan sebagai hewan sejenis buaya. Nama behemôt
dan lewiatan dikenal dari mitologi
Kanaan sebagai nama dari kekuasaan chaos
yang melawan segala usaha dari Sang Pencipta sampai mereka dikalahkan oleh-Nya.
Dalam tradisi di dunia Timur Tengah Antik, kedua binatang tersebut dianggap
sebagai simbol mitis dan kosmis. [Lihat Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 83-83; bdk. Wim van
der Weiden, Seni …, hlm. 184.]
[8] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184; bdk. Martin Harun, Marilah …, hlm. 94.
[9] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184.
[10]Danile Timmer, “God’s Speeches, Job’s
Responses, and the Problem of Coherence in the Book of Job”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, 2/71
(April 2009), hlm. 297.
[11]John
E. Hartley, The New International
Commentary on the Old Testament: The Book of Job (Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1988), hlm. 518.
[12] John E. Hartley, The New …, hlm. 535.
[13]Martin Harun, Marilah …, hlm. 95-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar