Selasa, 12 Januari 2016

sastra kebijaksanaan (ayub)



Insight Baru Ayub atas Teofani (Ayb. 38:1-42-6)

1.      Pengantar
Kitab Ayub menyajikan kisah mengenai penderitaan orang saleh, yaitu Ayub sendiri. Kenyataan bahwa orang saleh yang menderita tentunya bertolakbelakang dengan ajaran tradisional Israel tentang hukum pembalasan di bumi. Ayub menggugat keadilan Allah, sementara ketiga sahabatnya tetap mempertahankan konsep hukum pembalasan itu dan mengklaim bahwa Ayub berdosa. Dialog yang tidak menemukan titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya akhirnya ditutup dengan teofani (Ayb 38-42), di mana Allah menyatakan diri secara khusus kepada Ayub. Dalam teofani ini, Allah menuntun Ayub untuk menemukan suatu insight baru berhadapan dengan penderitaannya.[1]

2.      Teofani: Allah Menuntun Ayub
Setelah perdebatan panjang tanpa titik temu antara Ayub dengan ketiga sahabatnya (termasuk Elihu, tokoh keempat) mengenai doktrin ortodoks, Allah angkat bicara. Sabda Allah kepada Ayub inilah yang disebut teofani[2]. Pada bagian teofani ini (38:1-42:6), penulis Kitab Ayub mencoba memecahkan persoalan yang dialami Ayub.[3]

Teofani (pidato Allah) dalam Ayb. 38:1-42:6 terbagi menjadi dua bagian. Dalam teofani pertama(38:1-39:38) Allah hendak menunjukkan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan dan penyelenggaran-Nya kepada Ayub. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam kosmos: bumi, laut, matahari, dunia bawah, terang dan gelap, cuaca dan benda-benda langit (38:4-38).[4]
Pidato yang pertama ini sarat akan pertanyaan-pertanyaan retoris yang mau menunjukkan keterbatasan Ayub di hadapan Allah. Ayub ditegur karena ia mempersoalkan hikmat Allah. Bahkan melalui pengertiannya yang dangkal tersebut, Ayub berani menghakimi dan mencela Allah. Padahal, justru Ayub sendiri yang tidak dapat menyelami hikmat Allah. Hikmat Allah jauh melampaui kemampuan manusia.[5]
Teofani ini juga bertujuan untuk meredam kekecewaan dan kemarahan Ayub yang terwujud dalam tindakannya yang mencela dan menghakimi Allah (bdk. Ayb 9:24; 12:6; 10:3). Allah hendak menjadikan Ayub rendah hati sehingga ia mampu menerima penderitaannya dengan penuh kesabaran. Selain itu, teofani juga hendak menunjukkan kenyataan diri Ayub yang kecil dan terbatas. Ia tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan Allah, sekaligus dalam hubungannya dengan keseluruhan tatanan ciptaan-Nya.[6]
Pada teofani yang kedua(40:1-42:6), Allah memakai behemôt dan lewiatan[7] sebagai lambang kekuasaan yang paling hebat di dunia ciptaan. Kedua binatang tersebut memperlihatkan kemahakuasaan Allah dan sekaligus memperlihatkan ketidakberdayaan manusia.[8] Ketidakberdayaan terhadap kedua binatang yang dialami oleh setiap manusia, termasuk Ayub, memperkuat kesan dalam diri Ayub bahwa unsur misteri Allah amat kuat dan dalam. Kedalaman misteri Allah tersebut menjadikan Ayub semakin tunduk di hadapan misteri Allah dan tindakan-tindakan-Nya.[9]
Teofani yang kedua ini secara implisit hendak menyatakan bahwa Allah tidak ingin menjadikan Ayub sebagai lawan-Nya dan membiarkan Ayub dalam situasi yang kacau.[10] Allah senantiasa mengatasi penolakan Ayub dengan lembut dan membimbingnya pada sikap penyerahan total.[11]

3.      Tanggapan Ayub atas Teofani: Insight Baru
Penampakan Allah akhirnya mendapat tanggapan yang positif dari pihak Ayub. Tanggapan Ayub tersebut secara eksplisit tertuang dalam Ayb 42:1-6. Dalam perikop ini pula tertuang insight baru yang diperoleh Ayub atas penampakan Allah terhadap dirinya. Pertama, Ayub mengakui keterbatasannya berhadapan dengan kebesaran Allah. Pengakuan Ayub ini menunjukkan kepercayaannya bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi terlaksana dalam kerangka kebijaksanaan ilahi.[12]Kedua, Teofani telah menghantar Ayub pada kesadaran akan pengetahuan yang tak terbatas dari Allah dan sekaligus kesadaran atas pengetahuan manusia yang terbatas.Ketiga,Ayub menemukan suatu sikap baru dalam menghadapi penderitaannya. Ia mengakui misteri Allah dan dengan tenang menerima penderitaannya sebagai bagian dari misteri Allah Sang Pencipta.Sikap itu dinyatakan Ayub dengan ungkapan tobat yang sungguh mendalam, yakni atas dosanya yang telah mempertahankan kebenarannya sendiri.[13]

4.      Kesimpulan
Melalui teofani, Ayub memperoleh paradigma baru tentang bagaimana ia harus bersikap terhadap penderitaan. Penderitaannya merupakan bagian dari misteri Allah yang besar. Teofani juga telah menjadi bukti keterlibatan dan intervensi Allah terhadap nasib hamba-Nya. Berhadapan dengan misteri Allah yang besar itu, manusia hanya dapat berserah karena keterbatasannya sebagai ciptaan. Insight baru atas Teofani itu akhirnya menuntun Ayub kepada sikap tobat yang sejati setelah ia mencela dan menghakimi Allah atas nasibnya.


[1]St. Darmawijaya, Jiwa dan Semangat Perjanjian Lama: Pesan Para Bijak Bestari, jilid 3(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 66-67

[2] Teofani berasal dari kata Yunani theophany (penampakan Allah). Teofani merupakan penyataan diri Allah yang dapat dilihat. Dengan mempertahankan keyakinan bahwa tidak ada orang yang dapat melihat Allah dan tetap hidup (Kel 19:21; 33:20; Hak 13:22), Perjanjian Lama menceritakan Allah yang menampakkan diri kepada Musa dan tokoh-tokoh lain (Kel 3:1-6; 33:17-23; 34:5-9; Yes 6:1-5). [Lihat Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 313.]

[3] Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 171.
[4]Larry J. Waters, “Reflections on Suffering from the Book of Job”, dalamBibliotheca Sacra, 154 (Oktober-Desember 1997), hlm. 446; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 177.

[5]Martin Harun, Marilah, Makanlah Hidanganku: Hikmat Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkotbah (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010), hlm. 91.

[6]Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 73.

[7]Behemôt dilukiskan sebagai jenis hewan yang liar. Dalam Kitab Suci edisi LAI, behemôt disebut dengan Kuda Nil. Sedangkan lewiatan diartikan sebagai hewan sejenis buaya. Nama behemôt dan lewiatan dikenal dari mitologi Kanaan sebagai nama dari kekuasaan chaos yang melawan segala usaha dari Sang Pencipta sampai mereka dikalahkan oleh-Nya. Dalam tradisi di dunia Timur Tengah Antik, kedua binatang tersebut dianggap sebagai simbol mitis dan kosmis. [Lihat Johanes Robini M. - H.J. Suhendra, Penderitaan …, hlm. 83-83; bdk. Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184.]

[8] Wim van der Weiden, Seni …, hlm. 184; bdk. Martin Harun, Marilah …, hlm. 94.

[9] Wim van der Weiden, Seni …, hlm.  184.

[10]Danile Timmer, “God’s Speeches, Job’s Responses, and the Problem of Coherence in the Book of Job”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, 2/71 (April 2009), hlm. 297.

[11]John E. Hartley, The New International Commentary on the Old Testament: The Book of Job (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1988), hlm. 518.

[12] John E. Hartley, The New …, hlm. 535.
[13]Martin Harun, Marilah …, hlm. 95-96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar