Selasa, 12 Januari 2016

patrologi



Yesus Kristus:
Relasinya dengan Allah Bapa (dan Roh Kudus)
Sebuah uraian Kristologis Origenes atas Buku De Principiis

1.      Pengantar
Origenes adalah seorang genius yang menulis banyak buku sehingga ia diberi julukan Adamantius. Pandangan-pandangan teologinya sangat berpengaruh pada zamannya, bahkan melewati zamannya sendiri. Pandangan teologinya kemudian menimbulkan pertikaian panjang, yang pada akhirnya beberapa pokok ajarannya dinyatakan sesat sesudah tiga abad kemudian dari masa hidupnya.
Berangkat dari kisahnya yang besar, maka muncul ketertarikan untuk membahas sekelumit dari pandangan teologisnya. Di sini hendak dipaparkan secara ringkas tentang ajaran Origenes secara umum dan pandangan kristologinya secara khusus. Secara lebih detail, yang dipaparkan di sini terfokus pada kodrat dan pribadi Yesus serta relasinya dengan Bapa (dan Roh Kudus).

2.      Riwayat Hidup Origenes
Origenes lahir dari keluarga Kristen yang saleh di Alexandria, Mesir sekitar tahun 185. Kira-kira pada tahun 201, ayah dari salah satu tokoh gereja yang terkenal ini, Leonidas, dipenjarakan dalam satu gelombang penyiksaan oleh Septimus Severus. Origenes pun menulis surat kepada ayahnya di penjara agar tidak memungkiri imannya akan Kristus. Meskipun Origenes ingin menyerahkan diri kepada penguasa agar dapat menjadi martir bersama-sama dengan ayahnya, namun ibunya mencegahnya dan menyelamatkannya.[1]
Setelah ayahnya mati sebagai martir, Origenes hidup dalam penderitaan. Hartanya disita, dan ibunya menjadi janda yang terlantar dengan tujuh orang anak. Origenes pun mulai menanggulangi keadaan dengan membuka sekolah di Alexandria dan bekerja sebagai guru sastra Yunani dan penyalin naskah. Karena banyak di antara cendekiawan senior telah meninggalkan Alexandria dalam gelombang penyiksaan, maka sekolah katekisasi Kristen sangat membutuhkan tenaga pengajar. Pada usianya yang kedelapan belas, Origenes pun memangku jabatan kepala sekolah di sekolah katekisasi tersebut dan memulai karier mengajarnya yang panjang, termasuk belajar dan menulis.[2]
Karena semangatnya yang begitu besar dan radikal, ia menjual seluruh buku profane untuk mengabdikan diri pada agama Kristen. Lalu, ia belajar filsafat neoplatonis dari Ammonius Sacca. Sekolahnya mencatat prestasi gemilang sehingga ia mewariskan tugas pendidikan para katekumen kepada muridnya, Eraclide.[3]
Origenes sering mengadakan perjalanan; ke Roma di mana dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh ajaran Hippolytus; ke Arab karena dipanggil oleh seorang gubernur; ke Anthiokia dengan kawalan tentara atas undangan Julia Mammea – ibu raja Alexander Severus – yang berharap untuk diajari mengenai kristianitas. Hingga pada tahun 216 ketika terjadi penganiayaan oleh Caracella, Origenes pergi Palestina atas undangan Uskup Yerusalem, Alexander, dan Uskup Kaisarea, Theoctistus. Di diminta untuk berkhotbah dan mengajar Kitab Suci di sana. Pada tahun 231, Origenes diundang oleh uskup dari Achaia ke Athena untuk membantah sekelompok aliran bidaah. Dalam perjalanannya melewati Kaisarea, Theoctistus dan Alexander mentahbiskan Origenes menjadi imam dengan tujuan agar Origenes bisa terus berkhotbah dan mengajar di sana. Tetapi, hal itu dilakukan tanpa mengkonsultasikannya dengan uskup Alexandria, yaitu Demetrius. Ketika kembali kembali ke Alexandria, Demetrius menolak keputusan itu dan mengadakan dua kali sinode yang dilaksanakan di Alexsandria. Keputusan sinode yang pertama melarang Origenes untuk mengajar atau berkhotbah di sana dan mengasingkannya dari Mesir, sedang dinode yang kedua berkeputusan untuk mencabut status keimamannya.[4]
Akhirnya Origenes tinggal di daerah Kaisarea di mana dia diterima oleh orang-orang di sana dan pernyataan Demetrius tidak diindahkan, di samping juga mendirikan sebuah sekolah teologi, filsafat dan literatur. Di sana dia melanjutkan mengajar, berkhotbah, dan menulis literatur-literatur dengan dibantu oleh Ambrosius yang bergabung dengannya di Kaisarea sebagai stenografer dan juru salin. Origenes juga sering mengadakan perjalanan: ke Athena di mana dia memulai menulis Commentary on the Song of the songs (Komentar mengenai Kidung Agung); ke daerah Arab di mana, dalam sebuah sinode, dia membawa uskup Berrylus dari Bostra kembali ke ortodoksi dan di mana dia membantah sekelompok orang kristen yang menyatakan bahwa jiwa mati bersama badan dan dibangkitkan bersama-sama; ke Nicomedia di mana dia menulis surat kepada Julianus Africanus; ke Cappadocia di mana dia diundang oleh uskup Firmilian.[5]
Selama masa penganiayaan umat kristen oleh Kaisar Decius sekitar tahun 250, Origenes, yang dengan berani menyatakan imannya, juga turut dianiaya dan dipenjarakan hingga ia dibebaskan pada tahun 251. Karena kesehatannya yang terus menurun, Origenes akhirnya meninggal tahun 254 di kota Tyre atau Tyrus pada umur 69 tahun.

3.      Karya-karyanya
Origenes sebenarnya menghasilkan banyak tulisan, namun sebagian besar karyanya musnah atau dimusnahkan. Kebanyakan karyanya masih ada dalam bentuk terjemahan, yang kadang-kadang sudah “dikerjakan” untuk memperbaiki sifat ortodoksnya. Karangan-karangannya yang penting dibagi atas empat kelompok.
a.       Kitab Suci. Origenes menghasilkan Hexapla, sebuah tafsiran kritis terhadap Kitab Suci berupa perbandingan dari 6 versi mengenai Perjanjian Lama.
b.      Asas-asas pertama (De Principiis). Ajaran ini merupakan usaha pertama dari gereja purba untuk menghasilkan suatu teologi sistematis. Karya ini terdiri dari empat jilid: mengenai Allah: yang membagi atau memisahkan Tuhan dan hubungannnya dengan alam semesta, mengenai dunia: ruang dari kemanusiaan, mengenai kebebasan: baik dan jahat dan mengenai Kitab Suci: interpretasi mengenai kitab suci, yang kemudian dikembangkan dalam menanggapi aliran bidaah saat itu.
c.       Melawan Celcus (Contra Celcus). Ini merupakan jawaban Origenes terhadap ajaran Celsus mengenai Firman yang sejati. Sangkalan Origenes tersebut terdiri dari 8 buku atas kritisisme Celsus yang anti-Kristus, yang mana tulisan tersebut merupakan contoh apologetik yang sangat bagus.
d.      Karya-karya Praktis. Di sini Origenes menulis Doa “De Oratione” atau “Peri Euches” yang menyangkut masalah spritualitas. Lalu ada juga ajaran tentang Ajakan untuk mati sebagai martir “Exhortatione ad Martyrum” yang ditujukan pada Ambrosius ketika dia berada dalam bahaya karena penganiayaan Maximinus Thrax.[6]

4.      Yesus Kristus dalam Relasinya dengan Allah Bapa dalam De Principiis
Seperti telah diuraikan di atas tentang buku De Principiis, bahwa buku ini memuat ajaran teologisnya yang luar biasa. Sesungguhnya De Principiis dipakai Origenes untuk melawan ajaran-ajaran sesat pada zamannya seperti marcionisme[7], pengikut valentinus[8], doketisme[9], modalisme[10], dan adopzionisme[11]. Hampir semua pembelaan-pembelaan itu berkutat pada pribadi Yesus dalam relasinya dengan Allah Bapa, juga dalam kaitan dengan ajaran Trinitas secara umum. Karena itu, di sini hendak dipaparkan secara ringkas tentang pribadi Yesus dalam relasinya dengan Bapa-Nya.

4.1  Kodrat dan Pribadi Yesus
Origenes, dalam rangka pikiran Yunani (terpengaruh dengan filsafat platonis dan stoa), merefleksikan ajaran tradisional mengenai Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Pemikiran Origenes bertitik tolak pada Firman ilahi, seperti sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman Allah dan Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya disamakan dengan Hikmat ilahi. Firman/Hikmat ilahi itu se-zat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Allah (Bapa) dan Anak dikatakan dua “benda” (pragmata) oleh karena ada Diri (Contra Celsum 8,12). Anak disebut se-zat, sehakikat (homo-ousios) dengan Allah (Adamantius 1,2). Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah “homo-ousios” itu, yang sudah lama ada, khususnya di kalangan para gnostik. Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah (De Princ. 1 Praef 4). Namun demikian rupanya Origenes dengan istilah itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis dengan Allah, dengan arti itu “Allah” berarti “ilahi.” Tetapi Firman itu rupanya tidak setingkat dengan Allah dan satu dengan Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam “emanasi” (kekal) dari Allah (Theognostus 1,2). Karena itu, Origenes menyebut Firman Allah itu sebagai “Allah Kedua” (Contra Celsum 5,39), sama seperti Yustinus. Dengan demikian, pemikiran Origenes bersifat subordianis. Firman itu “lahir” dari zat (ousia) Bapa (Theognostus), sehingga ada “dua benda” (pragmata), dua “diri” (hypostasis) yang mandiri.[12]
Firman/Anak Allah yang pra-existen itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain (De Princ. 2,6.2). Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada “dua kodrat,” yang ilahi dan yang manusiawi (Contra Celsum 3,28). Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah “menghampakan diri” dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Berdasarkan dua “kodrat” itu, pada Yesus Kristus ada juga dua rangkaian hal ihwal/perbuatan, yaitu ilahi dan yang insani (Contra Celsum, 7,17; 4,15). Kedua hal itu bersatu (Contra Celsum 1,66; 2,9; 6,41) sedemikian rupa, sehingga yang ilahi dapat dikatakan mengenai manusia dan yang insani dapat dikatakan tentang Allah (Anak/Firman) (De Princ. 2,6.6). Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai “communicatio ideomalum,” artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama. Misalnya, Allah (ilahi) menderita (insani) dan: manusia (insani) menciptakan (ilahi). Adapun sebabnya ialah: pelaku/subjek dua rangkaian perbuatan/ciri itu satu dan sama. Hanya saja pada ajaran Origenes belum seluruhnya jelas, yaitu: Apakah menurut Origenes subjek/pelaku benar-benar satu dan sama, meskipun ada dua rangkaian ciri? Sebab kadang-kadang orang mendapat kesan bahwa Origenes memikirkan halnya seolah-olah semacam campuran (Contra Celsum 1,66). Tapi bagaimanapun juga Origenes menekankan bahwa Yesus Kristus, Firman/Anak Allah benar-benar menderita, mati dan bangkit (Contra Celsum 2,16).[13]
Secara formal dan devosional Origenes mempertahankan realitas historis Yesus dan realitas kemanusiaan-Nya. Hal ini nampak karena Origenes menulis komentar-komentar atas Injil-injil sinoptik. Namun demikian Origenes begitu menekankan keilahian Yesus Kristus, sehingga keilahian itu terus-menerus menembus kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan semacam kaca yang sedikit memadamkan sinar cahaya keilahian, sehingga dapat dipandang mata manusia. Dalam pendekatan Origenes, manusia Yesus, Orang Nazareth, akhirnya diserap oleh Anak/Firman Allah. Keselamatan diartikan sebagai “keselamatan jiwa,” keselamatan rohani. Origenes memang tidak menjunjung tinggi badan manusia. Misalnya ia hanya melihat jiwa (pra-existen) sebagai “gambar Allah”, seperti juga hanya Firman pra-existen menjadi gambar Allah. Kendati kesetiaannya pada tradisi, Origenes akhirnya juga sangat jauh dari Yesus, orang Nazareth, dan hidup-Nya di dunia ini di tengah-tengah manusia.[14]

4.2  Relasinya dengan Bapa (dan Roh Kudus)
Usaha besar para teolog (dari Aleksandria), khususnya Origenes, belum juga berhasil menjernihkan suasana pemikiran sekitar Yesus Kristus. Umum diterima bahwa Anak, Firman Allah, mempunyai ciri ilahi. Ia se-zat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang Mahaesa. Dari sini tetap disadari bahwa yang di masa itu disebut Bapa, ialah Allah yang esa dan tunggal, dan itu sesuai dengan pikiran Yunani yang sudah biasa menyebut Yang Ilahi, Allah, sebagai Bapa. Hanya sebutan Yunani itu kurang cocok dengan pandangan Kitab Suci. Dalam tradisi biblis (Perjanjian Lama) Allah yang esa ('elohim) tidak begitu saja dapat disamakan dengan Yahwe, Bapa Israel, raja, orang benar. Umum diterima pula bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia. Namun yang tetap menjadi masalah: Bagaimana relasi antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan Allah yang mahaesa? Sejauh mana, dengan arti mana, Ia mesti disebut “sezat”, “sehakikat” (homo-ousios) dengan Allah, ialah Bapa? Jika Yesus Kristus disebut “Allah” (theos = ilahi; Yesus tidak disebut “ho theos”), maka bagaimana keesaan Allah dapat dipertahankan?[15]
Pemecahan lama atas masalah-masalah tersebut masih tersebar luas. Monarkianisme (Noetus, Praexeas, Sabellius), bahkan dalam bentuk dinamik-adopsianis masih juga mendapat pembela. Itu terbukti oleh kasus Paulus dari Samosata, uskup di Antiokhia (± th. 270). Sejauh masih dapat diketahui, pikirannya lebih kurang sebagai berikut: Firman Allah, Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya memang “sezat/sehakikat” (homo-ousios) dengan Bapa, ialah Allah yang mahaesa. Tetapi Ia bukan suatu “pribadi” (hypostasis) yang mandiri, melainkan berupa suatu kekuatan ilahi, hikmat ilahi, firman dengan arti: perintah yang berdaya. Pada suatu saat kekuatan/hikmat ilahi itu turun atas Yesus, seorang manusia yang suci dan secara luar biasa dikurniai. Berkat kekuatan ilahi yang ada pada-Nya, di dalam-Nya, Yesus Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Versi monarkianisme (modalis), seperti disebarluaskan Sabellius (± th. 210) masih tetap laku juga. Anak Allah, Firman Allah hanya rupa, bentuk dari Allah yang mahaesa. Dalam Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia dan nampak di bumi. Dan itulah yang disebut “Anak Allah” atau “Firman Allah.” “Bapa” hanyalah nama bagi Allah Pencipta, “Anak” nama bagi Allah yang nampak sebagai manusia dan “Roh Kudus” ialah nama Allah yang menguduskan (rahmat).[16]
Modalisme Paulus dari Samosata berbenturan dengan pendekatan yang didukung oleh pemikiran Origenes. Origenes mati-matian menolak monarkianisme, sehaluan dengan Tertullianus, Hippolytus dan Novatianus. Anak Allah, Firman Allah yang sezat/sehakikat dengan Allah (Bapa) sejak kekal ada, bukan sebagai kekuatan saja, melainkan secara mandiri, berbeda dengan Bapa, sebagai “hypostasis” dan “ousia” (kedua istilah “hypostasis” dan “ousia” biasanya searti). Meskipun demikian Anak Allah, Firman Allah berasal dari Allah, yang karena itu disebut Bapa-Nya. Maka Anak Allah, Firman Allah memang ilahi, tetapi tidak setingkat dengan Bapa (Allah yang mahaesa). Ia disebut “Allah kedua”. Pendekatan Origenes disuarakan oleh seorang imam dari Aleksandria, Malkhion, murid Origenes, pada suatu sinode uskup-uskup di Antiokhia (th. 268), yang menolak ajaran Paulus dari Samosata, oleh karena menyeleweng dari iman kepercayaan sejati, dari tradisi.[17]
Origenes mencoba di dalam berbagai cara menggambarkan kesatuan di antara Bapa dan Logos. Ia mendasarkan penafsirannya atas Yohanes 5:19, “…sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak”. Origenes berpendapat bahwa Kristus adalah Allah dan manusia: kodrat ilahi dan kemanusiaan bersatu di dalam Kristus. Logos dilahirkan secara kekal oleh Allah sehingga Logos sama kekal dan memiliki hakikat yang sama dengan Allah Bapa. Allah Bapa tidak ada tanpa Putra Allah dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi ada segi lain dari Origenes, ia mengajar tentang ketigaan Allah, yang menurut dia, Trinitas itu bertingkat – yaitu Bapa lebih besar daripada Anak yang lebih besar daripada Roh Kudus. Hanya Bapa adalah “Allah sejati”. Anak Allah sama dengan Allah Bapa, hanya pada tingkat yang lebih rendah.[18]
Untuk ketiga pribadi dari Keallahan itu, Origenes mempergunakan konsepsi hypostasis. Dengan itu, ia maksudkan suatu esensi yang bersifat individual atau subsistensi individual. Jadi mengenai atau menyangkut hypostasis mereka, maka Anak dan Roh adalah berbeda dengan Bapa. Tetapi pada saat yang sama, Origenes juga berpegang pada pendapat bahwa ketiga pribadi itu adalah satu, dalam pengertian bahwa ketiganya memiliki suatu kesatuan dan keserasian kehendak. Untuk kesatuan seperti ini, Origenes sudah mempergunakan konsep homoousios (kesatuan keberadaan, atau dari satu substansi), yang kemudian hari diberikan stastus dogmatis pada Konsili Nicea (325 M).[19]
Origenes mengajar tentang doktrin proses memperanakkan yang kekal, yang kemudian dianggap ortodoks. Ia membuktikannya secara filsafat: kalau anak Allah tidak diperanakkan secara kekal, itu berarti bahwa sebelumnya Allah Bapa tidak dapat atau tidak menghendaki memperanakkan Anak Allah. Kedua alasan tadi tidak layak dihubungkan dengan Allah, jadi Anak Allah pasti diperanakkan secara kekal. Namun Origenes memakai argumen yang sama untuk membuktikan bahwa ciptaan adalah kekal. Ia percaya bahwa, bukan saja Firman atau Akal (logos), akan tetapi semua makhluk akali (logikoi) telah ada secara kekal. Pada suatu saat mereka berhenti merenungkan Allah dan menjadi malaikat, manusia atau setan, tergantung berapa jauh mereka telah jatuh. Alam fisik diciptakan untuk menampung makhluk-makhluk yang jatuh ini (bandingkan dengan peristiwa Adam dan Hawa).[20]
Doktrin Origenes tentang Ketritunggalan tidak dapat dimengerti sepenuhnya kalau makhluk-makhluk akali itu tidak diikutsertakan. Ada empat tingkatan keberadaan, yang masing-masing diduduki oleh Allah, Ahak Allah, Roh Kudus dan makhluk-makhluk akali tadi. Masing-masing tingkat ikut berpartisipasi dalam keberadaan dari tingkat di atasnya. Demikianlah Anak Allah mempunyai bagian dalam keallahan Bapa dan kita pun “didewakan” karena mempunyai bagian dalam Anak Allah (Roh Kudus dalam hal tertentu sering diabaikan). Tidak pernah ada kesenjangan yang radikal antara Allah dan ciptaan-Nya. Yang ada ialah keallahan yang menyerap dari puncak sampai ke bawah.[21]

5.      Relevansi: Mengenal Allah dengan Kasih
Pembahasan di atas berkutat pada pribadi dan kodrat, di mana keduanya konsep dinamis dan relasional. Kodrat dan pribadi tampil dan muncul dalam pengalaman dan bukan dalam teori. Begitu juga ketika kodrat dan pribadi itu kita sematkan pada diri Yesus. Dalam terang makna kata “kodrat” dan “pribadi” yang dinamis dan rasional di atas, maka kita harus kembali ke Kitab Suci untuk melihat relasi yang dialami para rasul, murid, dan orang lain bersama Yesus. Dalam perjumpaan dengan Yesus, mereka mengalami Dia yang hadir dalam pengalaman nenek moyang dan bangsa mereka sejak dahulu.[22]
Sebagaimana bangsa Israel mewahyukan diri dengan nama YHWH, pengalaman yang senada dialami oleh para rasul, murid, dan orang sezaman mereka ketika bersama dengan Yesus. Hidup Yesus adalah pemberian diri secara total kepada “engkau” sesama manusia. Namun, relasi itu menembus batas-batas “engkau”-sesama-manusia, menuju “Engkau”- Allah. Ungkapan ini kiranya bukan melulu rumusan filosofis-metafisis, tetapi rumusan relasional-eksperensial. Dia adalah manusia, bergaul dengan manusia, tampak dalam sosok manusia, dan bertindak secara manusia. Namun, serentak dengan itu Dia hadir sebagai Allah yang hidup dalam segala kata, pikiran dan perbuatan-Nya.[23]
Yesus, manusia-Allah yang demikianlah memanggil semua orang. Manusia seharusnya menjadi Allah, dengan cara Yesus, bukan dengan cara seperti yang dilambangkan dengan kisah Adam dan Hawa. Mereka mau sama dengan Allah, tetapi dengan melanggar aturan yang dibuat Allah. Bila kita membuka dan memberi diri terhadap “engkau” sesama, dan “Engkau” Tuhan seperti Yesus, maka umat manusia sungguh menjadi saudara, karena mempunyai satu Bapa, yakni Bapa yang memperkenalkan Yesus sendiri, Allah. Yesus-manusia, ini dialami oleh para rasul dan murid sebagai Yesus-Allah, dalam pribadi dan kodrat yang satu dan sama. Artinya, Yesus historis adalah satu dan sama dengan Yesus yang diimani.[24]
Origenes pada akhirnya juga mengungkapkan bahwa Allah mesti dipahami dengan pengalaman relasioanal-eksperensial. Menurut Origenes, tingkat tertinggi pengetahuan tentang Allah berasal dari kasih. Kasih adalah jalan paling utama untuk mengenal Allah. Manusia tidak akan sampai pada scientia Christi, yang autentik jika tidak mencintai-Nya.[25] Secara tersirat Origenes juga hendak mengajarkan kepada kita supaya dalam memahami Allah, kita tidak mengandalkan pengetahuan akali, melainkan melalui pengalaman hidup kita bersama dengan sesame dan Allah dalam relasi kasih.

6.      Penutup
Meskipun ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh Gereja, namun karya-karyanya telah membuka cakrawala bagi teolog-teolog sesudahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa karya-karyanya sesungguhnya tetap menjadi sumbangan yang besar bagi Gereja universal. Lebih dari itu, tidak perlu diragukan akan keinginan kuat Origenes untuk menjadi orang Kristen ortodoks dan akan keyakinannya bahwa ia memang ortodoks, begitu pula keikhlasannya untuk berbakti kepada Yesus Kristus serta dedikasinya pada pelayanannya. Hal inilah yang kiranya menginspirasi kita untuk semakin mengenal Yesus dalam dunia zaman ini.


[1] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani (judul asli: The Lion Concise Book of Christian), diterjemahkan oleh Conny Item-Corputy (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 16; bdk. F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 151-153.
[2] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.151.

[3] Sihol Situmorang, Patrologi (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm.30. (diktat)

[4] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.151-152; bdk. Sihol Situmorang, Patrologi ..., hlm 30-31.
[5] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm. 152.
[6] Tony Lane, Runtut ..., hlm. 16; bdk. F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.152.

[7] Origenes melawan marcionisme dengan menggarisbawahi kebaikan Allah, keserupaan Yesus dengan Bapa dan saling ketergantungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

[8] Origenes melawan pengikut Valentinus dengan menekankan kehendak bebas dan tanggung jawab personal dalam dosa.

[9] Origenes melawan doketisme dengan mengemukakan inkarnasi Kristus sebagai syarat penebusan.

[10] Origenes melawan modalisme dengan membuat pembedaan tiga persona ilahi.

[11] Origenes melawan adopzionisme dengan mengemukakan bahwa Putera dilahirkan dalam keabadian.
[12] C. Gronen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 118-119.
[13] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.120.

[14] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.122.

[15] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.123.
[16] C. Gronen, Sejarah ..., hlm. 123-124.

[17] C. Gronen, Sejarah ..., hlm. 124; bdk. Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.

[18]  Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian Doctrine, (Edinburgh: T & T Clark, 1997), hlm. 64-84; bdk. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 21-25; bdk. juga Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.

[19] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 57.

[20] H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 42; bdk. Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.
[21] Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.

[22] Serpulus Tano Simamora, Yesus: sebuah Diskusi Kristologis (Medan: Bina Media Perintis, 2005), hlm. 124.

[23] Serpulus Tano Simamora, Yesus ..., hlm. 126.
[24] Serpulus Tano Simamora, Yesus ..., hlm. 126.

[25] Paus Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja: Hidup, Ajaran, dan Relevansi bagi Manusia di Zaman Kini (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh Waskito (Malang: Dioma, 2010), hlm. 56-57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar