Yesus
Kristus:
Relasinya
dengan Allah Bapa (dan Roh Kudus)
Sebuah uraian Kristologis Origenes atas Buku De Principiis
1. Pengantar
Origenes
adalah seorang genius yang menulis banyak buku sehingga ia diberi julukan
Adamantius. Pandangan-pandangan teologinya sangat berpengaruh pada zamannya,
bahkan melewati zamannya sendiri. Pandangan teologinya kemudian menimbulkan
pertikaian panjang, yang pada akhirnya beberapa pokok ajarannya dinyatakan
sesat sesudah tiga abad kemudian dari masa hidupnya.
Berangkat
dari kisahnya yang besar, maka muncul ketertarikan untuk membahas sekelumit
dari pandangan teologisnya. Di sini hendak dipaparkan secara ringkas tentang ajaran
Origenes secara umum dan pandangan kristologinya secara khusus. Secara lebih
detail, yang dipaparkan di sini terfokus pada kodrat dan pribadi Yesus serta
relasinya dengan Bapa (dan Roh Kudus).
2. Riwayat Hidup Origenes
Origenes
lahir dari keluarga Kristen yang saleh di Alexandria,
Mesir sekitar tahun 185.
Kira-kira pada tahun 201,
ayah dari salah satu tokoh gereja yang terkenal ini, Leonidas,
dipenjarakan dalam satu gelombang penyiksaan oleh Septimus Severus.
Origenes pun menulis surat kepada ayahnya di penjara agar tidak memungkiri imannya
akan Kristus. Meskipun Origenes ingin menyerahkan diri kepada penguasa agar
dapat menjadi martir bersama-sama dengan ayahnya, namun ibunya mencegahnya dan
menyelamatkannya.[1]
Setelah
ayahnya mati sebagai martir, Origenes hidup dalam penderitaan. Hartanya disita,
dan ibunya menjadi janda yang terlantar dengan tujuh orang anak. Origenes pun
mulai menanggulangi keadaan dengan membuka sekolah di Alexandria dan bekerja
sebagai guru sastra Yunani dan penyalin naskah.
Karena banyak di antara cendekiawan senior telah meninggalkan Alexandria dalam
gelombang penyiksaan, maka sekolah katekisasi
Kristen sangat membutuhkan tenaga pengajar. Pada usianya yang kedelapan belas,
Origenes pun memangku jabatan kepala sekolah
di sekolah katekisasi tersebut dan memulai karier mengajarnya yang panjang,
termasuk belajar dan menulis.[2]
Karena
semangatnya yang begitu besar dan radikal, ia menjual seluruh buku profane
untuk mengabdikan diri pada agama Kristen. Lalu, ia belajar filsafat neoplatonis
dari Ammonius Sacca. Sekolahnya mencatat prestasi gemilang sehingga ia
mewariskan tugas pendidikan para katekumen kepada muridnya, Eraclide.[3]
Origenes
sering mengadakan perjalanan; ke Roma di mana dia mendengarkan dengan
sungguh-sungguh ajaran Hippolytus; ke Arab karena dipanggil oleh seorang
gubernur; ke Anthiokia dengan kawalan tentara atas undangan Julia Mammea – ibu
raja Alexander Severus – yang berharap untuk diajari mengenai kristianitas.
Hingga pada tahun 216 ketika terjadi penganiayaan oleh Caracella, Origenes
pergi Palestina atas undangan Uskup Yerusalem, Alexander, dan Uskup Kaisarea,
Theoctistus. Di diminta untuk berkhotbah dan mengajar Kitab Suci di sana. Pada
tahun 231, Origenes diundang oleh uskup dari Achaia ke Athena untuk membantah
sekelompok aliran bidaah. Dalam perjalanannya melewati Kaisarea, Theoctistus
dan Alexander mentahbiskan Origenes menjadi imam dengan tujuan agar Origenes
bisa terus berkhotbah dan mengajar di sana. Tetapi, hal itu dilakukan tanpa
mengkonsultasikannya dengan uskup Alexandria, yaitu Demetrius. Ketika kembali
kembali ke Alexandria, Demetrius menolak keputusan itu dan mengadakan dua kali
sinode yang dilaksanakan di Alexsandria. Keputusan sinode yang pertama melarang
Origenes untuk mengajar atau berkhotbah di sana dan mengasingkannya dari Mesir,
sedang dinode yang kedua berkeputusan untuk mencabut status keimamannya.[4]
Akhirnya
Origenes tinggal di daerah Kaisarea di mana dia diterima oleh orang-orang di
sana dan pernyataan Demetrius tidak diindahkan, di samping juga mendirikan
sebuah sekolah teologi, filsafat dan literatur. Di sana dia melanjutkan
mengajar, berkhotbah, dan menulis literatur-literatur dengan dibantu oleh
Ambrosius yang bergabung dengannya di Kaisarea sebagai stenografer dan juru
salin. Origenes juga sering mengadakan perjalanan: ke Athena di mana dia
memulai menulis Commentary on the Song of the songs (Komentar mengenai Kidung
Agung); ke daerah Arab di mana, dalam sebuah sinode, dia membawa uskup Berrylus
dari Bostra kembali ke ortodoksi dan di mana dia membantah sekelompok orang
kristen yang menyatakan bahwa jiwa mati bersama badan dan dibangkitkan
bersama-sama; ke Nicomedia di mana dia menulis surat kepada Julianus Africanus;
ke Cappadocia di mana dia diundang oleh uskup Firmilian.[5]
Selama
masa penganiayaan umat kristen oleh Kaisar Decius sekitar tahun 250, Origenes,
yang dengan berani menyatakan imannya, juga turut dianiaya dan dipenjarakan
hingga ia dibebaskan pada tahun 251. Karena kesehatannya yang terus menurun,
Origenes akhirnya meninggal tahun 254 di kota Tyre atau Tyrus pada umur 69
tahun.
3. Karya-karyanya
Origenes
sebenarnya menghasilkan banyak tulisan, namun sebagian besar karyanya musnah
atau dimusnahkan. Kebanyakan karyanya masih ada dalam bentuk terjemahan, yang
kadang-kadang sudah “dikerjakan” untuk memperbaiki sifat ortodoksnya.
Karangan-karangannya yang penting dibagi atas empat kelompok.
a.
Kitab Suci. Origenes menghasilkan Hexapla, sebuah tafsiran kritis terhadap
Kitab Suci berupa perbandingan dari 6 versi mengenai Perjanjian Lama.
b.
Asas-asas pertama (De Principiis). Ajaran ini merupakan usaha pertama dari gereja
purba untuk menghasilkan suatu teologi sistematis. Karya ini terdiri dari empat
jilid: mengenai Allah: yang membagi atau memisahkan Tuhan dan hubungannnya
dengan alam semesta, mengenai dunia: ruang dari kemanusiaan, mengenai kebebasan:
baik dan jahat dan mengenai Kitab Suci: interpretasi mengenai kitab suci, yang
kemudian dikembangkan dalam menanggapi aliran bidaah saat itu.
c.
Melawan Celcus (Contra Celcus). Ini merupakan jawaban Origenes terhadap ajaran
Celsus mengenai Firman yang sejati. Sangkalan
Origenes tersebut terdiri dari 8 buku atas kritisisme Celsus yang anti-Kristus,
yang mana tulisan tersebut merupakan contoh apologetik yang sangat bagus.
d.
Karya-karya Praktis. Di sini Origenes
menulis Doa “De Oratione” atau “Peri Euches” yang menyangkut masalah
spritualitas. Lalu ada juga ajaran tentang Ajakan untuk mati sebagai martir “Exhortatione
ad Martyrum” yang ditujukan pada Ambrosius ketika dia berada dalam bahaya
karena penganiayaan Maximinus Thrax.[6]
4. Yesus Kristus dalam Relasinya
dengan Allah Bapa dalam De Principiis
Seperti
telah diuraikan di atas tentang buku De
Principiis, bahwa buku ini memuat ajaran teologisnya yang luar biasa.
Sesungguhnya De Principiis dipakai
Origenes untuk melawan ajaran-ajaran sesat pada zamannya seperti marcionisme[7],
pengikut valentinus[8],
doketisme[9],
modalisme[10],
dan adopzionisme[11].
Hampir semua pembelaan-pembelaan itu berkutat pada pribadi Yesus dalam
relasinya dengan Allah Bapa, juga dalam kaitan dengan ajaran Trinitas secara
umum. Karena itu, di sini hendak dipaparkan secara ringkas tentang pribadi
Yesus dalam relasinya dengan Bapa-Nya.
4.1 Kodrat dan Pribadi Yesus
Origenes,
dalam rangka pikiran Yunani (terpengaruh dengan filsafat platonis dan stoa), merefleksikan
ajaran tradisional mengenai Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Pemikiran
Origenes bertitik tolak pada Firman ilahi, seperti sudah lazim dalam tradisi
Kristen-Yunani. Firman Allah dan Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya disamakan
dengan Hikmat ilahi. Firman/Hikmat ilahi itu se-zat dengan Allah yang satu dan
esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara
Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Allah (Bapa) dan Anak dikatakan dua “benda” (pragmata) oleh karena ada Diri (Contra Celsum 8,12). Anak disebut se-zat,
sehakikat (homo-ousios) dengan Allah
(Adamantius 1,2). Origenes untuk
pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah “homo-ousios” itu, yang sudah lama ada, khususnya di kalangan para
gnostik. Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah (De Princ. 1 Praef 4). Namun demikian
rupanya Origenes dengan istilah itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis
dengan Allah, dengan arti itu “Allah” berarti “ilahi.” Tetapi Firman itu
rupanya tidak setingkat dengan Allah dan satu dengan Allah. Rupanya Firman itu
dipikirkan sebagai semacam “emanasi” (kekal) dari Allah (Theognostus 1,2). Karena itu, Origenes menyebut Firman Allah itu
sebagai “Allah Kedua” (Contra Celsum 5,39),
sama seperti Yustinus. Dengan demikian, pemikiran Origenes bersifat subordianis.
Firman itu “lahir” dari zat (ousia)
Bapa (Theognostus), sehingga ada “dua
benda” (pragmata), dua “diri” (hypostasis) yang mandiri.[12]
Firman/Anak
Allah yang pra-existen itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap,
serupa dengan manusia lain (De Princ.
2,6.2). Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada “dua kodrat,” yang
ilahi dan yang manusiawi (Contra Celsum
3,28). Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan
demikian Firman/Anak Allah “menghampakan diri” dan Ia serentak Allah (Ilahi)
dan manusia. Berdasarkan dua “kodrat” itu, pada Yesus Kristus ada juga dua
rangkaian hal ihwal/perbuatan, yaitu ilahi dan yang insani (Contra Celsum, 7,17; 4,15). Kedua hal itu
bersatu (Contra Celsum 1,66; 2,9; 6,41)
sedemikian rupa, sehingga yang ilahi dapat dikatakan mengenai manusia dan yang
insani dapat dikatakan tentang Allah (Anak/Firman) (De Princ. 2,6.6). Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai “communicatio ideomalum,” artinya: dua
rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek
itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga
ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama.
Misalnya, Allah (ilahi) menderita (insani) dan: manusia (insani) menciptakan
(ilahi). Adapun sebabnya ialah: pelaku/subjek dua rangkaian perbuatan/ciri itu
satu dan sama. Hanya saja pada ajaran Origenes belum seluruhnya jelas, yaitu:
Apakah menurut Origenes subjek/pelaku benar-benar satu dan sama, meskipun ada
dua rangkaian ciri? Sebab kadang-kadang orang mendapat kesan bahwa Origenes
memikirkan halnya seolah-olah semacam
campuran (Contra Celsum 1,66). Tapi
bagaimanapun juga Origenes menekankan bahwa Yesus Kristus, Firman/Anak Allah
benar-benar menderita, mati dan bangkit (Contra
Celsum 2,16).[13]
Secara formal dan
devosional Origenes mempertahankan realitas historis Yesus dan realitas
kemanusiaan-Nya. Hal ini nampak karena Origenes menulis komentar-komentar atas
Injil-injil sinoptik. Namun demikian Origenes begitu menekankan keilahian Yesus
Kristus, sehingga keilahian itu terus-menerus menembus kemanusiaan. Kemanusiaan
merupakan semacam kaca yang sedikit memadamkan sinar cahaya keilahian, sehingga
dapat dipandang mata manusia. Dalam pendekatan Origenes, manusia Yesus, Orang
Nazareth, akhirnya diserap oleh Anak/Firman Allah. Keselamatan diartikan
sebagai “keselamatan jiwa,” keselamatan rohani. Origenes memang tidak
menjunjung tinggi badan manusia. Misalnya ia hanya melihat jiwa (pra-existen)
sebagai “gambar Allah”, seperti juga hanya Firman pra-existen menjadi gambar
Allah. Kendati kesetiaannya pada tradisi, Origenes akhirnya juga sangat jauh
dari Yesus, orang Nazareth, dan hidup-Nya di dunia ini di tengah-tengah
manusia.[14]
4.2 Relasinya dengan Bapa (dan Roh
Kudus)
Usaha besar para
teolog (dari Aleksandria), khususnya Origenes, belum juga berhasil menjernihkan
suasana pemikiran sekitar Yesus Kristus. Umum diterima bahwa Anak, Firman
Allah, mempunyai ciri ilahi. Ia se-zat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang
Mahaesa. Dari sini tetap disadari bahwa yang di masa itu disebut Bapa, ialah
Allah yang esa dan tunggal, dan itu sesuai dengan pikiran Yunani yang sudah
biasa menyebut Yang Ilahi, Allah, sebagai Bapa. Hanya sebutan Yunani itu kurang
cocok dengan pandangan Kitab Suci. Dalam tradisi biblis (Perjanjian Lama) Allah
yang esa ('elohim) tidak begitu saja
dapat disamakan dengan Yahwe, Bapa Israel, raja, orang benar. Umum diterima
pula bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia. Namun yang tetap menjadi
masalah: Bagaimana relasi antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen,
dengan Allah yang mahaesa? Sejauh mana, dengan arti mana, Ia mesti disebut “sezat”,
“sehakikat” (homo-ousios) dengan
Allah, ialah Bapa? Jika Yesus Kristus disebut “Allah” (theos = ilahi; Yesus tidak disebut “ho theos”), maka bagaimana keesaan Allah dapat dipertahankan?[15]
Pemecahan lama atas
masalah-masalah tersebut masih tersebar luas. Monarkianisme (Noetus, Praexeas,
Sabellius), bahkan dalam bentuk dinamik-adopsianis masih juga mendapat pembela.
Itu terbukti oleh kasus Paulus dari Samosata, uskup di Antiokhia (± th. 270).
Sejauh masih dapat diketahui, pikirannya lebih kurang sebagai berikut: Firman
Allah, Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya memang “sezat/sehakikat” (homo-ousios)
dengan Bapa, ialah Allah yang mahaesa. Tetapi Ia bukan suatu “pribadi” (hypostasis) yang mandiri, melainkan
berupa suatu kekuatan ilahi, hikmat ilahi, firman dengan arti: perintah yang
berdaya. Pada suatu saat kekuatan/hikmat ilahi itu turun atas Yesus, seorang
manusia yang suci dan secara luar biasa dikurniai. Berkat kekuatan ilahi yang
ada pada-Nya, di dalam-Nya, Yesus Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Versi
monarkianisme (modalis), seperti disebarluaskan Sabellius (± th. 210) masih
tetap laku juga. Anak Allah, Firman Allah hanya rupa, bentuk dari Allah yang
mahaesa. Dalam Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia dan nampak di bumi.
Dan itulah yang disebut “Anak Allah” atau “Firman Allah.” “Bapa” hanyalah nama
bagi Allah Pencipta, “Anak” nama bagi Allah yang nampak sebagai manusia dan “Roh
Kudus” ialah nama Allah yang menguduskan (rahmat).[16]
Modalisme Paulus
dari Samosata berbenturan dengan pendekatan yang didukung oleh pemikiran
Origenes. Origenes mati-matian menolak monarkianisme, sehaluan dengan
Tertullianus, Hippolytus dan Novatianus. Anak Allah, Firman Allah yang
sezat/sehakikat dengan Allah (Bapa) sejak kekal ada, bukan sebagai kekuatan
saja, melainkan secara mandiri, berbeda dengan Bapa, sebagai “hypostasis” dan “ousia”
(kedua istilah “hypostasis” dan “ousia” biasanya searti). Meskipun demikian
Anak Allah, Firman Allah berasal dari Allah, yang karena itu disebut Bapa-Nya.
Maka Anak Allah, Firman Allah memang ilahi, tetapi tidak setingkat dengan Bapa
(Allah yang mahaesa). Ia disebut “Allah kedua”. Pendekatan Origenes disuarakan
oleh seorang imam dari Aleksandria, Malkhion, murid Origenes, pada suatu sinode
uskup-uskup di Antiokhia (th. 268), yang menolak ajaran Paulus dari Samosata,
oleh karena menyeleweng dari iman kepercayaan sejati, dari tradisi.[17]
Origenes mencoba di
dalam berbagai cara menggambarkan kesatuan di antara Bapa dan Logos. Ia
mendasarkan penafsirannya atas Yohanes 5:19, “…sesungguhnya Anak tidak dapat
mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa
mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak”.
Origenes berpendapat bahwa Kristus adalah Allah dan manusia: kodrat ilahi dan
kemanusiaan bersatu di dalam Kristus. Logos dilahirkan secara kekal oleh Allah
sehingga Logos sama kekal dan memiliki hakikat yang sama dengan Allah Bapa. Allah
Bapa tidak ada tanpa Putra Allah dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi ada
segi lain dari Origenes, ia mengajar tentang ketigaan Allah, yang menurut dia,
Trinitas itu bertingkat – yaitu Bapa lebih besar daripada Anak yang
lebih besar daripada Roh Kudus. Hanya Bapa adalah “Allah sejati”. Anak Allah
sama dengan Allah Bapa, hanya pada tingkat yang lebih rendah.[18]
Untuk ketiga
pribadi dari Keallahan itu, Origenes mempergunakan konsepsi hypostasis. Dengan itu, ia maksudkan
suatu esensi yang bersifat individual atau subsistensi individual. Jadi
mengenai atau menyangkut hypostasis mereka,
maka Anak dan Roh adalah berbeda dengan Bapa. Tetapi pada saat yang sama,
Origenes juga berpegang pada pendapat bahwa ketiga pribadi itu adalah satu,
dalam pengertian bahwa ketiganya memiliki suatu kesatuan dan keserasian
kehendak. Untuk kesatuan seperti ini, Origenes sudah mempergunakan konsep homoousios (kesatuan keberadaan, atau
dari satu substansi), yang kemudian hari diberikan stastus dogmatis pada
Konsili Nicea (325 M).[19]
Origenes mengajar
tentang doktrin proses memperanakkan yang kekal, yang kemudian dianggap
ortodoks. Ia membuktikannya secara filsafat: kalau anak Allah tidak
diperanakkan secara kekal, itu berarti bahwa sebelumnya Allah Bapa tidak dapat
atau tidak menghendaki memperanakkan Anak Allah. Kedua alasan tadi tidak layak
dihubungkan dengan Allah, jadi Anak Allah pasti diperanakkan secara kekal.
Namun Origenes memakai argumen yang sama untuk membuktikan bahwa ciptaan adalah
kekal. Ia percaya bahwa, bukan saja Firman atau Akal (logos), akan tetapi semua makhluk akali (logikoi) telah ada secara kekal. Pada suatu saat mereka berhenti
merenungkan Allah dan menjadi malaikat, manusia atau setan, tergantung berapa
jauh mereka telah jatuh. Alam fisik diciptakan untuk menampung makhluk-makhluk
yang jatuh ini (bandingkan dengan peristiwa Adam dan Hawa).[20]
Doktrin
Origenes tentang Ketritunggalan tidak dapat dimengerti sepenuhnya kalau
makhluk-makhluk akali itu tidak diikutsertakan. Ada empat tingkatan keberadaan,
yang masing-masing diduduki oleh Allah, Ahak Allah, Roh Kudus dan
makhluk-makhluk akali tadi. Masing-masing tingkat ikut berpartisipasi dalam
keberadaan dari tingkat di atasnya. Demikianlah Anak Allah mempunyai bagian
dalam keallahan Bapa dan kita pun “didewakan” karena mempunyai bagian dalam
Anak Allah (Roh Kudus dalam hal tertentu sering diabaikan). Tidak pernah ada
kesenjangan yang radikal antara Allah dan ciptaan-Nya. Yang ada ialah keallahan
yang menyerap dari puncak sampai ke bawah.[21]
5. Relevansi: Mengenal Allah dengan
Kasih
Pembahasan
di atas berkutat pada pribadi dan kodrat, di mana keduanya konsep dinamis dan
relasional. Kodrat dan pribadi tampil dan muncul dalam pengalaman dan bukan
dalam teori. Begitu juga ketika kodrat dan pribadi itu kita sematkan pada diri
Yesus. Dalam terang makna kata “kodrat” dan “pribadi” yang dinamis dan rasional
di atas, maka kita harus kembali ke Kitab Suci untuk melihat relasi yang
dialami para rasul, murid, dan orang lain bersama Yesus. Dalam perjumpaan
dengan Yesus, mereka mengalami Dia yang hadir dalam pengalaman nenek moyang dan
bangsa mereka sejak dahulu.[22]
Sebagaimana
bangsa Israel mewahyukan diri dengan nama YHWH, pengalaman yang senada dialami
oleh para rasul, murid, dan orang sezaman mereka ketika bersama dengan Yesus.
Hidup Yesus adalah pemberian diri secara total kepada “engkau” sesama manusia.
Namun, relasi itu menembus batas-batas “engkau”-sesama-manusia, menuju “Engkau”-
Allah. Ungkapan ini kiranya bukan melulu rumusan filosofis-metafisis, tetapi
rumusan relasional-eksperensial. Dia adalah manusia, bergaul dengan manusia,
tampak dalam sosok manusia, dan bertindak secara manusia. Namun, serentak
dengan itu Dia hadir sebagai Allah yang hidup dalam segala kata, pikiran dan
perbuatan-Nya.[23]
Yesus,
manusia-Allah yang demikianlah memanggil semua orang. Manusia seharusnya
menjadi Allah, dengan cara Yesus, bukan dengan cara seperti yang dilambangkan
dengan kisah Adam dan Hawa. Mereka mau sama dengan Allah, tetapi dengan
melanggar aturan yang dibuat Allah. Bila kita membuka dan memberi diri terhadap
“engkau” sesama, dan “Engkau” Tuhan seperti Yesus, maka umat manusia sungguh
menjadi saudara, karena mempunyai satu Bapa, yakni Bapa yang memperkenalkan
Yesus sendiri, Allah. Yesus-manusia, ini dialami oleh para rasul dan murid
sebagai Yesus-Allah, dalam pribadi dan kodrat yang satu dan sama. Artinya,
Yesus historis adalah satu dan sama dengan Yesus yang diimani.[24]
Origenes
pada akhirnya juga mengungkapkan bahwa Allah mesti dipahami dengan pengalaman
relasioanal-eksperensial. Menurut Origenes, tingkat tertinggi pengetahuan
tentang Allah berasal dari kasih. Kasih adalah jalan paling utama untuk
mengenal Allah. Manusia tidak akan sampai pada scientia Christi, yang autentik jika tidak mencintai-Nya.[25]
Secara tersirat Origenes juga hendak mengajarkan kepada kita supaya dalam
memahami Allah, kita tidak mengandalkan pengetahuan akali, melainkan melalui
pengalaman hidup kita bersama dengan sesame dan Allah dalam relasi kasih.
6. Penutup
Meskipun
ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh Gereja, namun karya-karyanya telah
membuka cakrawala bagi teolog-teolog sesudahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
karya-karyanya sesungguhnya tetap menjadi sumbangan yang besar bagi Gereja
universal. Lebih dari itu, tidak perlu diragukan akan keinginan kuat Origenes untuk
menjadi orang Kristen ortodoks dan akan keyakinannya bahwa ia memang ortodoks,
begitu pula keikhlasannya untuk berbakti kepada Yesus Kristus serta dedikasinya
pada pelayanannya. Hal inilah yang kiranya menginspirasi kita untuk semakin
mengenal Yesus dalam dunia zaman ini.
[1] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani (judul asli: The Lion Concise Book of
Christian), diterjemahkan oleh Conny Item-Corputy (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1990), hlm. 16; bdk. F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 151-153.
[2] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.151.
[3] Sihol Situmorang, Patrologi (Pematangsiantar: STFT St.
Yohanes, [tanpa tahun]), hlm.30. (diktat)
[4] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.151-152; bdk. Sihol
Situmorang, Patrologi ..., hlm 30-31.
[5] F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm. 152.
[6] Tony Lane, Runtut ..., hlm. 16; bdk. F.D. Wellem, Riwayat ..., hlm.152.
[7] Origenes melawan marcionisme dengan
menggarisbawahi kebaikan Allah, keserupaan Yesus dengan Bapa dan saling
ketergantungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
[8] Origenes melawan pengikut
Valentinus dengan menekankan kehendak bebas dan tanggung jawab personal dalam
dosa.
[9] Origenes melawan doketisme
dengan mengemukakan inkarnasi Kristus sebagai syarat penebusan.
[10] Origenes melawan modalisme
dengan membuat pembedaan tiga persona ilahi.
[11] Origenes melawan adopzionisme
dengan mengemukakan bahwa Putera dilahirkan dalam keabadian.
[12] C. Gronen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus
pada Umat Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 118-119.
[13] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.120.
[14] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.122.
[15] C. Gronen, Sejarah ..., hlm.123.
[16] C. Gronen, Sejarah ..., hlm. 123-124.
[17] C. Gronen, Sejarah ..., hlm. 124; bdk. Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.
[18]
Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian Doctrine,
(Edinburgh: T & T Clark, 1997), hlm. 64-84;
bdk. F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 21-25; bdk. juga Tony
Lane, Runtut ..., hlm. 19.
[19] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 57.
[20] H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009), hlm. 42; bdk. Tony Lane, Runtut
..., hlm. 19.
[21] Tony Lane, Runtut ..., hlm. 19.
[22] Serpulus Tano Simamora, Yesus: sebuah Diskusi Kristologis (Medan:
Bina Media Perintis, 2005), hlm. 124.
[23] Serpulus Tano Simamora, Yesus ..., hlm. 126.
[24] Serpulus Tano Simamora, Yesus ..., hlm. 126.
[25] Paus Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja: Hidup, Ajaran, dan
Relevansi bagi Manusia di Zaman Kini (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh Waskito (Malang: Dioma, 2010),
hlm. 56-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar