UPACARA PEMAKAMAN KATOLIK
1.
Pengantar
Kematian merupakan salah satu kenyataan yang dihadapi
manusia. Kenyataan ini tak terelakkan dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Namun
dalam iman Katolik, kematian bukanlah akhir segala-galanya. Kematian adalah
awal hidup yang baru. Dengan kata lain, kematian adalah peristiwa iman. Melalui
kematian, manusia ikut berpartisipasi dalam misteri Paskah Kristus, ikut
bangkit bersama Kristus dan menikmati kehidupan kekal bersama dengan-Nya.
Kematian adalah rahmat.
Sebagai rahmat, peristiwa kematian mesti dihargai.
Penghargaan itu diwujudkan dengan upacara pemakaman yang pantas bagi mereka
yang telah meninggal. Upacara ini dilakukan untuk menghargai martabatnya
sebagai manusia. Manusia terdiri dari tubuh dan roh yang diciptakan oleh Tuhan.
Alasan lain, upacara pemakaman ini merupakan tanda solidaritas bagi mereka yang
terlebih dahulu menghadap Allah Sang Pencipta.
2.
Sejarah Singkat Perkembangan
Ritus Upacara Pemakaman
Ordo XLIX (O) merupakan ritus Romawi paling tua yang berbicara tentang pemakaman.
Ritus ini sangat menekankan keterkaitan antara peristiwa kematian, pemakaman
dan kebangkitan dengan Paskah Kristus. Muatan ritus antik ini dapat
diintepretasikan sebagai berikut: bila seorang kristen menjelang ajalnya, dia
mempersiapkan diri dengan menerima Ekaristi dan dengan bacaan Kisah Sengsara
Tuhan, dikelilingi oleh komunitas kristiani. Ordo XLIX (O) inilah yang menjadi dasar pembaharuan liturgi
pemakaman selanjutnya.[1]
Ritus pemakaman kembali
disahkan oleh Paus Paulus V dalam Rituale
Romanum 1614. Secara khusus ritus ini merupakan kumpulan doa-doa bagi arwah
orang mati. Dalam ritus ini tidak terdapat doa-doa yang diperuntukkan bagi
mereka yang masih hidup maupun keluarga yang berduka.[2]Rituale Romanum 1614 menggabungkan beberapa masukan sepanjang
sejarah dan menciptakan satu ritus yang seimbang dan ringkas. Meskipun
demikian, gerakan pembaharuan liturgi mengedepankan kekurangan-kekurangannya
dan sungguh diharapkan kembali pada dimensi Paskah yang terdapat pada upacara
pemakaman Kristen awal. Kekurangan yang ada inilah yang kemudian diperbaharui
dan dilengkapi oleh ritus Romawi yang baru.[3]
Pada 15 Agustus 1969
Konggregasi Suci untuk Ibadat Ilahi menerbitkan versi resmi dalam bahasa Latin Ordo Exsequiarum (OE), yang berarti
Upacara Pemberangkatan. Pembaharuan ini mengacu pada Sacrosanctum Concilium yang menetapkan bahwa ritus Romawi hendaknya
diperbarui agar mengekspresikan ide Paskah kematian orang Kristen dan
mempertimbangkan kebiasaan lokal (bdk. SC 81).[4]
3.
Tata Cara Pemakaman Katolik
Tata cara pemakaman Katolik terdiri atas tiga bagian.
Bagian pertama adalah Malam Tirakatan (ibadat
tuguran). Pada kesempatan ini, keluarga yang berduka dan umat berkumpul untuk
berdoa bagi keselamatan arwah, mendengarkan sabda tentang kehidupan kekal dalam
terang iman akan Kristus yang bangkit, dan mengungkapkan solidaritas kristiani sesuai
dengan kata-kata Paulus, “Menangislah bersama orang yang menangis” (Rm. 12:15).[5]
Bagian kedua adalah Perayaan Ekaristi. Pada bagian ini,
Gereja mempersembahkan kurban wafat dan kebangkitan Kristus kepada Bapa seraya
memohon agar Allah memurnikan orang yang meninggal dari dosa dan menerima dia
dalam kepenuhan perjamuan Paskah di surga. Bagi orang yang masih hidup,
terutama keluarga yang berduka, mereka dihibur dengan harapan-harapan.[6]
Bagian ketiga adalah Upacara Pelepasan Jenazah
(pemakaman). Pada kesempatan ini didahului dengan prosesi jenazah menuju
kuburan. Umat yang hadir menyertai dan menyerahkan orang yang meninggal kepada
Allah. Sebelum pemakaman, umat yang hadir diberi kesempatan mengucapkan
perpisahan bagi yang meninggal yang telah menuju ke kehidupan kekal.[7]
4.
Pelayan Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman dilaksanakan
dan dihadiri oleh komunitas umat beriman. Semua umat yang hadir berpastisipasi
dalam perannya masing-masing. Sementara itu, pelayan atau pemimpin dalam
upacara pemakaman adalah kaum tertahbis (Uskup, imam, dan diakon) dan awam yang
dilantik.
4.1
Kaum Tertahbis (Imam)
Pelayan biasa upacara pemakaman
adalah seorang imam. Secara lebih khusus dan istimewa, pelayan upacara
pemakaman ini menjadi tugas Pastor paroki. Selain sebagai pemimpin dalam
upacara tersebut, Pastor paroki juga hadir sebagai gembala yang menghibur dan
meneguhkan iman orang yang hadir, secara khusus keluarga yang berduka. Imam
membawa peneguhan bahwa kematian terarah pada misteri Kristus yang bangkit.
4.2
Awam yang Dilantik
Selain imam, pelayan untuk
upacara pemakaman orang mati adalah awam yang telah ditunjuk secara khusus dan
telah dilantik. Pelayan awam itu seperti prodiakon, katekis dan pengurus
Gereja. Mereka adalah pelayan luar biasa. Artinya, mereka bertugas ketika
pelayan biasa (tertahbis) berhalangan dengan berbagai alasan tertentu.[8]
5.
Perlengkapan Liturgi Upacara
Pemakaman
5.1
Pakaian dan Warna Liturgi
Pakaian liturgi yang dikanakan oleh imam pada upacara
pemakaman, terutama misa Requiem ialah jubah (alba), stola, dan kasula. Untuk
diakon, pakaian liturgi yang dipakai adalah jubah (alba) dan stola milik
diakon. Apabila upaca pemakaman itu dipimpin oleh awam, maka pakaian liturgi
yang dipakai adalah alba dan samir.[9]
Warna liturgi untuk pemakaman seharusnya dipilih yang
mengungkapkan pengharapan Kristen bukan yang menyedihkan hati di tengah-tengah
duka atau yang menyayat hati.[10] Adapun warna pakaian yang
dikenakan dalam upacara ini adalah warna ungu dan putih. Dalam liturgi, warna
ungu melambangkan penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan belas kasih dan
kerahiman Tuhan atas diri orang yang meninggal dan juga bagi semua umat
beriman. Sedangkan warna putih melambangkan kemuliaan Allah yang kini dapat
dinikmati secara penuh bagi mereka yang meninggal berkat kerahiman Allah dan
pahala Kristus.[11]
5.2
Lilin Paskah
Dalam upacara pemakaman hendaknya dibawa serta lilin
Paskah dan lilin-lilin lainnya. Lilin-lilin ini mengingatkan umat beriman akan
kemenangan Kristus atas dosa dan kematian, dan akan keterlibatannya dalam
kemenangan itu melalui keutamaan inisiasi Kristen. Lilin-lilin juga menunjukkan
penghormatan dan mencipta keagungan.[12] Lilin Paskah itu sendiri
melambangkan Kristue sebagai terang dunia yang menghalau kegelapan dosa dan
kematian. Ia menjadi tanda yang menyatakan kerinduan umat beriman yang hadir
agar “perjalanan” orang yang meninggal untuk pergi menghadap Allah senantiasa
diterangi oleh Terang Sejati yakni Kristus sendiri.[13]
5.3
Air Suci
Air suci merujuk pada peristiwa pembaptisan. Melalui
perecikan air suci, berarti arwah orang yang meninggal telah disucikan dan
dibersihkan dari semua dosa sama seperti ketika ia dibaptis. Hal ini dilakukan
agar orang meninggal pantas menghadap Tuhan yang maha suci. Perecikan air suci
atas jenazah merupakan tanda bahwa orang yang mati adalah orang yang pernah
menerima pembaptisan, dia adalah anak Allah dan akan bersatu dengan Allah.[14]
5.4
Dupa
Dupa merupakan lambang harum-haruman yang dipersembahkan
bagi Allah. Melalui asapnya, dupa dipakai untuk melambangkan doa yang
membumbung kehadirat Allah. Karena itu, pada upacara pemakaman, dupa dipakai
agar arwah yang meninggal lekas diterima di sisi Tuhan dan keselamatannya menjadi
harum-haruman yang berkenan kepada-Nya.[15]
5.5
Bunga
Dalam upacara pemakaman umumnya dipakai bunga untuk
ditaburkan di atas makam. Demikian juga dalam pemakaman Katolik. Sebelum
ditaburkan, bunga dan tanah diberkati dengan air suci. Bunga melambangkan keindahan
dan keharuman nama Tuhan. Melalui tindakan ini, orang-orang yang hadir dalam
upacara pemakaman mendoakan arwah agar semua amal bakti selama hidupnya
diterima oleh Allah yang maha rahim sebagaimana bunga yang harum mewangi.[16]
5.6
Tanah
Bersama dengan bunga, tanah terlebih dahulu diberkati
dalam upacara pemberkatan jenazah. Tanah menyimbolkan akan asal-usul manusia
yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tanah juga menjadi
tanda bahwa manusia fana akan kembali menjadi tanah dan jiwanya akan bersatu
dengan Allah, penciptanya.[17]
6.
Makna Teologi-Liturgis dalam
Upacara Pemakaman
6.1
Tuhan adalah Sumber Kehidupan
Allah adalah sumber kehidupan,
karena Dialah Sang penciptanya. Karena itu, Gereja memberi penghormatan kepada
jenazah orang yang meninggal karena tubuh manusia adalah ciptaan-Nya. Dalam
diri setiap kaum beriman diyakini “adalah bait Roh Kudus” (1 Kor 6:19) yang
akan dibangkitkan bersama dengan Kristus pada akhir zaman. Upacara pemakaman
menjadi bukti bahwa manusia dihargai sebagai ciptaan yang memiliki martabat
luhur.[18]
6.2
Kematian: Jalan Masuk ke Surga
Dalam terang iman Katolik,
kematian adalah “perjalanan” kepada Bapa dan kemenangan total atas “kematian”
itu sendiri. orang-orang beriman yang meninggal dalam Kristus, melihat kematian
mereka diubah menjadi suatu kematian yang menyembuhkan. Dengan demikian mereka
menjadi ciptaan baru dalam Kristus. Dengan kata lain, kematian menjadi
peristiwa rahmat dan keselamatan bagi manusia.[19]
6.3
Berpusat pada Misteri Paskah
Iman Katolik memandang kematian sebagai peristiwa iman di
mana manusia ambil bagian pada misteri Paskah. Paskah adalah peristiwa
kebangkitan Kristus dari alam maut, dan peristiwa inilah yang menjadi pusat dan
puncak dalam ajaran iman Katolik. Karena itu, dalam iman Katolik, orang yang
mati berarti bersatu dengan Kristus yang telah mati dan ikut bangkit bersama
Dia melalui rahmat baptisan yang mereka terima.[20]
7.
Penutup
Upacara pemakaman dalam iman Katolik adalah perayaan iman akan Kristus
yang bangkit. Melalui kebangkitan-Nya, Kristus menyelamatkan semua orang, baik
mereka yang telah meninggal maupun yang masih berziarah di dunia ini. Namun
secara khusus, upacara pemakaman ini dilihat sebagai perwujudan iman akan
Kristus yang bangkit agar orang yang telah meninggal dapat ikut bangkit bersama
Kristus. Sementara itu, bagi orang yang masih hidup di dunia ini dapat menerima
kenyataan bahwa kematian adalah jalan untuk memasuki kehidupan baru secara
lebih intim bersama Allah.
[1] Johanes Sembiring, Sakramen dan
Sakramentalia (Sinaksak: STFT St. Yohanes Pematangsiantar, [tanpa tahun]),
hlm. 47.
[2]Vincent Owusu, Sacraments and
Sacramentals (Minnesota: The Liturgical Press, 2000), hlm. 363; bdk.Johanes
Sembiring, Sakramen ..., hlm. 51.
[3]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 98.
[4]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 99.
[5]John Nurung, Ibadat untuk Orang
Sakit, Kematian, dan Arwah (Jakarta: Fidei Press, 2007), hlm. 100.
[6]Komisi Liturgi KWI, Upacara
Pemakaman (judul asli: Ordo
Exsequiarum), diterjemahkan oleh PWI-Liturgi (Jakarta: Obor, 2011), no. 2
dan 6.
[7]Douglas Davies, “Agama Kristen”, dalam Jean Holm – John Bowker (ed.), Ritus Peralihan dalam Berbagai Agama (Medan:
Bina Media Perintis, 2007), hlm. 56.
[8]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 55.
[9]Komisi Liturgi KAS, Tata Laksana
Melepas Jenazah (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 13.
[10]OE, no. 22.
[11]Komisi Liturgi KAS, Tata ...,
hlm. 19.
[12]OE, no. 38.
[13]Albert Maria Rua, Memahami Makna
Sakramen Krisma, Minyak Suci dan Pemberkatan Jenazah (Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama, 2002), hlm. 62.
[14]Albert Maria Rua, Memahami ...,
hlm. 56.
[15]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 25.
[16]Albert Maria Rua, Memahami ...,
hlm. 59.
[17]Albert Maria Rua, Memahami ...,
hlm. 60.
[18]OE, no. 5.
[19]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 55.
[20]Johanes Sembiring, Sakramen ...,
hlm. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar