Selasa, 12 Januari 2016

sakramentali



UPACARA PEMAKAMAN KATOLIK

1.      Pengantar
Kematian merupakan salah satu kenyataan yang dihadapi manusia. Kenyataan ini tak terelakkan dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Namun dalam iman Katolik, kematian bukanlah akhir segala-galanya. Kematian adalah awal hidup yang baru. Dengan kata lain, kematian adalah peristiwa iman. Melalui kematian, manusia ikut berpartisipasi dalam misteri Paskah Kristus, ikut bangkit bersama Kristus dan menikmati kehidupan kekal bersama dengan-Nya. Kematian adalah rahmat.
Sebagai rahmat, peristiwa kematian mesti dihargai. Penghargaan itu diwujudkan dengan upacara pemakaman yang pantas bagi mereka yang telah meninggal. Upacara ini dilakukan untuk menghargai martabatnya sebagai manusia. Manusia terdiri dari tubuh dan roh yang diciptakan oleh Tuhan. Alasan lain, upacara pemakaman ini merupakan tanda solidaritas bagi mereka yang terlebih dahulu menghadap Allah Sang Pencipta.

2.      Sejarah Singkat Perkembangan Ritus Upacara Pemakaman
Ordo XLIX (O) merupakan ritus Romawi paling tua yang berbicara tentang pemakaman. Ritus ini sangat menekankan keterkaitan antara peristiwa kematian, pemakaman dan kebangkitan dengan Paskah Kristus. Muatan ritus antik ini dapat diintepretasikan sebagai berikut: bila seorang kristen menjelang ajalnya, dia mempersiapkan diri dengan menerima Ekaristi dan dengan bacaan Kisah Sengsara Tuhan, dikelilingi oleh komunitas kristiani. Ordo XLIX (O) inilah yang menjadi dasar pembaharuan liturgi pemakaman selanjutnya.[1]
Ritus pemakaman kembali disahkan oleh Paus Paulus V dalam Rituale Romanum 1614. Secara khusus ritus ini merupakan kumpulan doa-doa bagi arwah orang mati. Dalam ritus ini tidak terdapat doa-doa yang diperuntukkan bagi mereka yang masih hidup maupun keluarga yang berduka.[2]Rituale Romanum 1614 menggabungkan beberapa masukan sepanjang sejarah dan menciptakan satu ritus yang seimbang dan ringkas. Meskipun demikian, gerakan pembaharuan liturgi mengedepankan kekurangan-kekurangannya dan sungguh diharapkan kembali pada dimensi Paskah yang terdapat pada upacara pemakaman Kristen awal. Kekurangan yang ada inilah yang kemudian diperbaharui dan dilengkapi oleh ritus Romawi yang baru.[3]
Pada 15 Agustus 1969 Konggregasi Suci untuk Ibadat Ilahi menerbitkan versi resmi dalam bahasa Latin Ordo Exsequiarum (OE), yang berarti Upacara Pemberangkatan. Pembaharuan ini mengacu pada Sacrosanctum Concilium yang menetapkan bahwa ritus Romawi hendaknya diperbarui agar mengekspresikan ide Paskah kematian orang Kristen dan mempertimbangkan kebiasaan lokal (bdk. SC 81).[4]

3.      Tata Cara Pemakaman Katolik
Tata cara pemakaman Katolik terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah Malam Tirakatan (ibadat tuguran). Pada kesempatan ini, keluarga yang berduka dan umat berkumpul untuk berdoa bagi keselamatan arwah, mendengarkan sabda tentang kehidupan kekal dalam terang iman akan Kristus yang bangkit, dan mengungkapkan solidaritas kristiani sesuai dengan kata-kata Paulus, “Menangislah bersama orang yang menangis” (Rm. 12:15).[5]
Bagian kedua adalah Perayaan Ekaristi. Pada bagian ini, Gereja mempersembahkan kurban wafat dan kebangkitan Kristus kepada Bapa seraya memohon agar Allah memurnikan orang yang meninggal dari dosa dan menerima dia dalam kepenuhan perjamuan Paskah di surga. Bagi orang yang masih hidup, terutama keluarga yang berduka, mereka dihibur dengan harapan-harapan.[6]
Bagian ketiga adalah Upacara Pelepasan Jenazah (pemakaman). Pada kesempatan ini didahului dengan prosesi jenazah menuju kuburan. Umat yang hadir menyertai dan menyerahkan orang yang meninggal kepada Allah. Sebelum pemakaman, umat yang hadir diberi kesempatan mengucapkan perpisahan bagi yang meninggal yang telah menuju ke kehidupan kekal.[7]

4.      Pelayan Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman dilaksanakan dan dihadiri oleh komunitas umat beriman. Semua umat yang hadir berpastisipasi dalam perannya masing-masing. Sementara itu, pelayan atau pemimpin dalam upacara pemakaman adalah kaum tertahbis (Uskup, imam, dan diakon) dan awam yang dilantik.

4.1     Kaum Tertahbis (Imam)
Pelayan biasa upacara pemakaman adalah seorang imam. Secara lebih khusus dan istimewa, pelayan upacara pemakaman ini menjadi tugas Pastor paroki. Selain sebagai pemimpin dalam upacara tersebut, Pastor paroki juga hadir sebagai gembala yang menghibur dan meneguhkan iman orang yang hadir, secara khusus keluarga yang berduka. Imam membawa peneguhan bahwa kematian terarah pada misteri Kristus yang bangkit.

4.2     Awam yang Dilantik
Selain imam, pelayan untuk upacara pemakaman orang mati adalah awam yang telah ditunjuk secara khusus dan telah dilantik. Pelayan awam itu seperti prodiakon, katekis dan pengurus Gereja. Mereka adalah pelayan luar biasa. Artinya, mereka bertugas ketika pelayan biasa (tertahbis) berhalangan dengan berbagai alasan tertentu.[8]



5.      Perlengkapan Liturgi Upacara Pemakaman
5.1     Pakaian dan Warna Liturgi
Pakaian liturgi yang dikanakan oleh imam pada upacara pemakaman, terutama misa Requiem ialah jubah (alba), stola, dan kasula. Untuk diakon, pakaian liturgi yang dipakai adalah jubah (alba) dan stola milik diakon. Apabila upaca pemakaman itu dipimpin oleh awam, maka pakaian liturgi yang dipakai adalah alba dan samir.[9]
Warna liturgi untuk pemakaman seharusnya dipilih yang mengungkapkan pengharapan Kristen bukan yang menyedihkan hati di tengah-tengah duka atau yang menyayat hati.[10] Adapun warna pakaian yang dikenakan dalam upacara ini adalah warna ungu dan putih. Dalam liturgi, warna ungu melambangkan penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan belas kasih dan kerahiman Tuhan atas diri orang yang meninggal dan juga bagi semua umat beriman. Sedangkan warna putih melambangkan kemuliaan Allah yang kini dapat dinikmati secara penuh bagi mereka yang meninggal berkat kerahiman Allah dan pahala Kristus.[11]

5.2     Lilin Paskah
Dalam upacara pemakaman hendaknya dibawa serta lilin Paskah dan lilin-lilin lainnya. Lilin-lilin ini mengingatkan umat beriman akan kemenangan Kristus atas dosa dan kematian, dan akan keterlibatannya dalam kemenangan itu melalui keutamaan inisiasi Kristen. Lilin-lilin juga menunjukkan penghormatan dan mencipta keagungan.[12] Lilin Paskah itu sendiri melambangkan Kristue sebagai terang dunia yang menghalau kegelapan dosa dan kematian. Ia menjadi tanda yang menyatakan kerinduan umat beriman yang hadir agar “perjalanan” orang yang meninggal untuk pergi menghadap Allah senantiasa diterangi oleh Terang Sejati yakni Kristus sendiri.[13]

5.3     Air Suci
Air suci merujuk pada peristiwa pembaptisan. Melalui perecikan air suci, berarti arwah orang yang meninggal telah disucikan dan dibersihkan dari semua dosa sama seperti ketika ia dibaptis. Hal ini dilakukan agar orang meninggal pantas menghadap Tuhan yang maha suci. Perecikan air suci atas jenazah merupakan tanda bahwa orang yang mati adalah orang yang pernah menerima pembaptisan, dia adalah anak Allah dan akan bersatu dengan Allah.[14]

5.4     Dupa
Dupa merupakan lambang harum-haruman yang dipersembahkan bagi Allah. Melalui asapnya, dupa dipakai untuk melambangkan doa yang membumbung kehadirat Allah. Karena itu, pada upacara pemakaman, dupa dipakai agar arwah yang meninggal lekas diterima di sisi Tuhan dan keselamatannya menjadi harum-haruman yang berkenan kepada-Nya.[15]

5.5     Bunga
Dalam upacara pemakaman umumnya dipakai bunga untuk ditaburkan di atas makam. Demikian juga dalam pemakaman Katolik. Sebelum ditaburkan, bunga dan tanah diberkati dengan air suci. Bunga melambangkan keindahan dan keharuman nama Tuhan. Melalui tindakan ini, orang-orang yang hadir dalam upacara pemakaman mendoakan arwah agar semua amal bakti selama hidupnya diterima oleh Allah yang maha rahim sebagaimana bunga yang harum mewangi.[16]

5.6     Tanah
Bersama dengan bunga, tanah terlebih dahulu diberkati dalam upacara pemberkatan jenazah. Tanah menyimbolkan akan asal-usul manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tanah juga menjadi tanda bahwa manusia fana akan kembali menjadi tanah dan jiwanya akan bersatu dengan Allah, penciptanya.[17]

6.      Makna Teologi-Liturgis dalam Upacara Pemakaman
6.1     Tuhan adalah Sumber Kehidupan
Allah adalah sumber kehidupan, karena Dialah Sang penciptanya. Karena itu, Gereja memberi penghormatan kepada jenazah orang yang meninggal karena tubuh manusia adalah ciptaan-Nya. Dalam diri setiap kaum beriman diyakini “adalah bait Roh Kudus” (1 Kor 6:19) yang akan dibangkitkan bersama dengan Kristus pada akhir zaman. Upacara pemakaman menjadi bukti bahwa manusia dihargai sebagai ciptaan yang memiliki martabat luhur.[18]

6.2     Kematian: Jalan Masuk ke Surga
Dalam terang iman Katolik, kematian adalah “perjalanan” kepada Bapa dan kemenangan total atas “kematian” itu sendiri. orang-orang beriman yang meninggal dalam Kristus, melihat kematian mereka diubah menjadi suatu kematian yang menyembuhkan. Dengan demikian mereka menjadi ciptaan baru dalam Kristus. Dengan kata lain, kematian menjadi peristiwa rahmat dan keselamatan bagi manusia.[19]

6.3     Berpusat pada Misteri Paskah
Iman Katolik memandang kematian sebagai peristiwa iman di mana manusia ambil bagian pada misteri Paskah. Paskah adalah peristiwa kebangkitan Kristus dari alam maut, dan peristiwa inilah yang menjadi pusat dan puncak dalam ajaran iman Katolik. Karena itu, dalam iman Katolik, orang yang mati berarti bersatu dengan Kristus yang telah mati dan ikut bangkit bersama Dia melalui rahmat baptisan yang mereka terima.[20]


7.      Penutup
Upacara pemakaman dalam iman Katolik adalah perayaan iman akan Kristus yang bangkit. Melalui kebangkitan-Nya, Kristus menyelamatkan semua orang, baik mereka yang telah meninggal maupun yang masih berziarah di dunia ini. Namun secara khusus, upacara pemakaman ini dilihat sebagai perwujudan iman akan Kristus yang bangkit agar orang yang telah meninggal dapat ikut bangkit bersama Kristus. Sementara itu, bagi orang yang masih hidup di dunia ini dapat menerima kenyataan bahwa kematian adalah jalan untuk memasuki kehidupan baru secara lebih intim bersama Allah.


[1] Johanes Sembiring, Sakramen dan Sakramentalia (Sinaksak: STFT St. Yohanes Pematangsiantar, [tanpa tahun]), hlm. 47.
[2]Vincent Owusu, Sacraments and Sacramentals (Minnesota: The Liturgical Press, 2000), hlm. 363; bdk.Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm.  51.

[3]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 98.

[4]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 99.

[5]John Nurung, Ibadat untuk Orang Sakit, Kematian, dan Arwah (Jakarta: Fidei Press, 2007), hlm. 100.

[6]Komisi Liturgi KWI, Upacara Pemakaman (judul asli: Ordo Exsequiarum), diterjemahkan oleh PWI-Liturgi (Jakarta: Obor, 2011), no. 2 dan 6.
[7]Douglas Davies, “Agama Kristen”, dalam Jean Holm – John Bowker (ed.), Ritus Peralihan dalam Berbagai Agama (Medan: Bina Media Perintis, 2007), hlm. 56.

[8]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 55.
[9]Komisi Liturgi KAS, Tata Laksana Melepas Jenazah (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 13.

[10]OE, no. 22.

[11]Komisi Liturgi KAS, Tata ..., hlm. 19.

[12]OE, no. 38.

[13]Albert Maria Rua, Memahami Makna Sakramen Krisma, Minyak Suci dan Pemberkatan Jenazah (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2002), hlm. 62.
[14]Albert Maria Rua, Memahami ..., hlm. 56.

[15]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 25.

[16]Albert Maria Rua, Memahami ..., hlm. 59.
[17]Albert Maria Rua, Memahami ..., hlm. 60.

[18]OE, no. 5.

[19]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 55.

[20]Johanes Sembiring, Sakramen ..., hlm. 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar