Selasa, 12 Januari 2016

bioetika



PANDANGAN MORAL KATOLIK ATAS MANUSIA SEBAGAI PERSONA

 

1.    Pengantar
Dunia dewasa ini telah mengalami perkembangan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan itu bagai pedang bermata dua yang memiliki dampak ganda. Disatu sisi teknologi memiliki dampak positif, misalnya membantu manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya yang semakin kompleks. Namun disisi lain perkembangan itu juga berdampak negatif. Misalnya, menyebabkan merosotnya moralitas manusia. Di sisi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa mempengaruhi pandangan manusia atas dirinya sendiri dan sesamanya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, keberadaan manusia zaman ini menjadi sebuah keperihatinan karena adanya pihak-pihak yang memandang manusia sebagai objek atau sarana untuk tujuan tertentu. Martabat manusia sebagai persona akhirnya kian luntur. Penghormatan dan penghargaan kepada manusia hanya ditentukan oleh kualitas hidup yang lahiriah, seperti jabatan yang tinggi, kesuksesan hidup, kekayaan, atau berprestasi.
Dalam sejarah perkembangan zaman, keberadaan manusia sebagai persona semakin marak dibicarakan. Banyak ahli menjadikan status persona sebagai inti pembahasan ilmunya. Berhadapan dengan perkembangan zaman, Gereja senantiasa hadir untuk menyerukan pandangan moralnya. Gereja berpendapat bahwa hidup manusia itu suci, karena Allah senantiasa hadir dan terlibat dalam seluruh perkembangan hidupnya. Karena itu, tidak seorangpun berhak untuk menentukan hidup dan mati manusia.[1]
Pandangan Gereja tersebut semata-mata hendak menentang perlakuan yang sewenang-wenang terhadap manusia sebagaimana yang terjadi dalam dunia modern ini. Gereja menegaskan bahwa hidup manusia merupakan anugerah dan rahmat Allah. Hidup manusia bukan hasil ciptaan manusia itu sendiri. Maka, praktik-praktik yang tidak berpihak pada kehidupan berarti menolak rahmat Allah itu sendiri.[2]
Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai persona dan statusnya dilihat dari sudut pandang moral Katolik. Moral Katolik melihat manusia sebagai persona yang sungguh bernilai. Karena itu setiap orang wajib memperlakukan dirinya dan sesamanya sebagai sesuatu yang bernilai. Manusia disebut persona karena memiliki kebebasan, suara hati, akal budi, dan tanggung jawab. Sebagai persona manusia mempunyai martabat luhur yang diterima dari Allah penciptanya.[3]

2.    Pengertian Persona
Kata “persona” berasal dari bahasa Latin, yang artinya topeng. Begitu juga dalam bahasa Yunani yang berasal dari kata prosophon yang artinya wajah atau topeng. Dalam bahasa Inggris, kata persona (person) diartikan sebagai pribadi atau diri. Awalnya kata persona ini dipakai untuk menyebut peran yang dimainkan oleh seseorang dalam pentas atau kehidupan sehari-hari.[4]
Persona memiliki berbagai segi dalam hubungannya dengan kesadaran diri, kebebasan, kewajiban, hak dan martabat yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam psikologi, kata persona (pribadi) digunakan untuk menyebut individu atau orang-perseorangan sebagai pemilik sifat-sifat dan hubungan sosial tertentu. Dalam tataran ini, persona merupakan kesatuan riil tersendiri dan khas. Sementara itu, dalam ilmu filsafat, persona diartikan sebagai “individu rohani” yang kekhususannya tak terbagikan dan tak tergantikan. Dengan kata lain, istilah persona hanya digunakan pada manusia yang mempunyai kekhususan atau keunikan dengan tugas dan nilai tersendiri yang melampaui arti keanggotaannya dalam kelompok, bahkan dalam umat manusia seluruhnya.[5]
Dalam arti yang lebih profan, kata persona sering digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan drama atau sandiwara di mana para pemainnya mengenakan topeng untuk memainkan suatu tokoh atau peran tertentu. Topeng yang dipakai tersebut menyembunyikan wajah si pemain. Karena itu, persona menunjuk pada identitas seseorang sesuai dengan perannya.[6]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata persona dipengaruhi oleh paham kekeristenan dan bahkan berkembang dalam diskusi teoligis, yakni tentang Allah Trinitas (satu hakikat, tiga persona). Arti persona yang semakin sarat makna itu dikembangkan dalam gagasan Kitab Suci tentang manusia yang diciptakan menurut gambar Allah yang akhirnya memuncak pada gagasan inkarnasi, Sabda yang telah menjadi manusia yang merupakan sapaan Allah yang menawarkan hubungan persona sebagai patner antara Allah dengan manusia. Kata persona dalam konteks permenungan mengenai identitas Allah menunjuk pada suatu eksistensi yang dinamis, relasional, terbuka, komunal, dan mengisyaratkan suatu misteri yang tidak pernah bisa selesai dijelaskan secara tuntas.[7]
Selain pengertian persona yang disebut di atas, ada beberapa tokoh yang mendefinisikan persona secara lebih sempit. Misalkan, John Locke yang berpendapat bahwa persona adalah seseorang yang mampu berpikir dan memiliki kesadaran. Menurutnya, seseorang yang tidak mampu menggunakan pikirannya dan tidak mempunyai kesadaran diri tidak dapat disebut sebagai persona. Sementara itu, Nietzsche berpendapat bahwa persona ialah manusia yang memiliki kuasa dan kekuatan untuk mewujudkan semua dorongan naluriahnya. Bagi Nietzsche hanya orang-orang yang berkuasa dan mempunyai kekuatan yang layak dihargai hidupnya. Kedua tokoh ini memandang persona atau pribadi manusia hanya akan dihormati dan dihargai jika ia berguna. Tetapi jika tidak berguna orang tersebut bisa dilenyapkan atau dibunuh. Hal inilah yang menjadi keprihatinan mendalam bagi Gereja hingga saat ini.[8]

3.         Manusia sebagai Persona
Gereja Katolik dengan tegas menolak paham moral sekular yang memandang persona secara tidak utuh, sebagaimana yang dipahami oleh John Locke dan Nietzsche. Gereja hendak memberi penghormatan pada kehidupan manusia yang sudah ada sejak saat pembuahan. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), Gereja menegaskan bahwa kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya, karena sejak saat itu manusia memiliki hak-hak pribadi diantaranya hak atas kehidupan dari makhluk yang tak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat.[9]
Para pakar ilmu genetika juga mendukung paham moral Katolik tersebut dengan mengatakan bahwa eksistensi persona telah ada pada awal kehidupan dan sekaligus mengakui bahwa hidup manusia dimulai pada saat pembuahan. Mereka juga mengatakan bahwa janin yang masih dalam kandungan telah diakui sebagai manusia karena ia memiliki potensi untuk menjadi manusia yang utuh.[10]
Secara biologis permulaan hidup baru seseorang ditandai dengan beberapa hal, seperti: adanya gerakan, kemampuan untuk berkembang biak, kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang. Selain itu kriteria lain yang diberikan bila dihubungkan dengan makhluk yang tidak hidup, ialah adanya kapasitas metabolisme yang terjadi karena adanya sel. Dengan kata lain awal mula hidup seseorang telah terjadi pada saat pembuahan.[11]
Permulaan hidup baru seseorang tidak berasal dari sesuatu yang tidak ada melainkan dari pertemuan antara sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan yang membentuk satu sel baru yang unik. Sel tersebut adalah manusia sebagai makhluk hidup yang baru dan tiada duanya. Pandangan ini semakin dikukuhkan berkat adanya penemuan baru dan pengetahuan yang mendalam mengenai gen dan DNA manusia. Gen dan DNA manusia dalam satu sel sudah tersimpan secara informasi genetis seseorang yang akan dibawanya tanpa pernah berubah sampai ia meninggal. Dengan kata lain dalam satu sel manusia (zigot) sudah berkembang semua hal yang diperlukan untuk menjadi manusia baru yang lengkap.[12]
Dengan bantuan data ilmiah diatas Gereja Katolik semakin tegas membela dan berpendapat bahwa sejak saat pembuahan sudah ada hidup manusia yang terus berkembang menjadi manusia sempurna. Karena itu sejak saat pembuahan, hidup manusia harus dilindungi dan dihargai. Hidup manusia mempunyai nilai intrinsik. Karena itu Gereja senantiasa menyerukan agar hidup dan keberadaan setiap pribadi manusia sejak saat pembuahan hingga kematian haruslah sepenuhnya dihormati dan dilindungi.[13]
Sebagai pribadi yang harus dihormati dan dilindungi, manusia memiliki nilai kehidupan karena ia merupakan anugerah Allah, gambar, materai, serta nafas kehidupan-Nya. Karena itu hanya Allahlah satu-satunya Tuhan atas kehidupan. Maka tidak seorang pun dapat memperlakukan hidup dengan sesuka hatinya. Hidup mausia itu suci dan luhur, maka tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat menggantikan dan memberikan hidup kecuali Allah yang adalah sumber kehidupan.[14]
Gereja Katolik menyadari bahwa agar hidup manusia tetap bernilai, manusia harus tergantung secara total pada penyelenggaraan Ilahi. Hidup sebagai anugerah menuntut panggilan dan tugas dari manusia untuk melindungi setiap kehidupan. Dengan kata lain Gereja menegaskan bahwa hidup manusia, baik hidup janin yang ada dalam kandungan maupun yang sudah terlahir ke dunia, orang tua yang lemah, maupun orang-orang sakit, cacat, dan mereka yang berada dalam sakrat maut harus tetap dilindungi dan dihormati secara mutlak karena mereka berasal dari Allah sang pencipta.[15]     

4.    Status Persona pada Manusia
Dewasa ini semakin marak praktik-praktik seperti aborsi, eutanasia, hukuman mati, dan lain-lain. Menanggapi fenomena ini Gereja secara tegas menyerukan nilai kehidupan yang harus dihormati sebagai pribadi atau persona dengan menghargai martabat luhur manusia dan secara tegas menolak praktik-praktik tersebut. Selain itu Gereja juga menolak paham sekular yang mengatakan bahwa manusia dipandang sebagai persona bila ia dapat berpikir, berkuasa, dan mampu merealisasikan semua dorongan naluriahnya sebagaimana paham yang dianut oleh John Locke dan Nietzsche.[16]
Gereja memandang manusia sebagai persona secara holistik. Manusia itu adalah satu sekaligus multi dimensi. Manusia adalah realitas yang kompleks sehingga tidak bisa direduksi hanya pada fisik saja, karena ia adalah satu dalam badan dan jiwa. Paham persona selalu terkait erat dengan hidup. Persona adalah makhluk yang berakal budi, berkehendak bebas dan otonom. Setiap persona memiliki hak untuk hidup dan untuk dilindungi.[17]
Penentuan status persona, pertama-tama bukanlah persoalan biologis tetapi lebih merupakan persoalan filosofis, hukum, dan teologis. Akan tetapi data-data ilmiah yang diberikan oleh para ahli biologi sangat bermanfaat dan membantu kita untuk menentukan status persona.[18]
Persona memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling dasar. Hak hidup itu ada bukan karena diberikan oleh orang atau instansi melainkan karena ia adalah manusia. Hak hidup itu berasal dari kodratnya sebagai manusia. Dengan demikian hak hidup itu merupakan hak yang tidak dapat diganggugugat oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri. Hak hidup itu ada sejak pertama kali keberadaannya yakni pada saat pembuahan dan akan berakhir ketika ia meninggal.[19]
Status persona juga bukan ditentukan oleh aspek kegunaannya, tetapi karena ia adalah pribadi yang unik dan bernilai dalam dirinya. Persona bernilai dari kodratnya sendiri yakni sebagai manusia yang berakal budi, berkehendak bebas dan otonom. Nilai intrinsik setiap persona ada sejak pertama keberadaannya dan akan berakhir bila ia meninggal.[20]
Manusia disebut persona karena ia memiliki tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa bukanlah dua hal yang terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Jikalau jiwa seseorang dipisahkan dari tubuhnya maka ia bukan lagi seorang persona tetapi hanyalah jasad manusia. Kesatuan tubuh dan jiwa merupakan syarat yang penting bagi persona. Dengan kata lain, persona merupakan jiwa yang membadan dan sekaligus badan yang menjiwa.[21]



5.    Kewajiban Moral Manusia sebagai Persona
Sikap hormat terhadap persona merupakan kewajiban moral bagi setiap manusia. Penghormatan manusia sebagai persona bukan hanya kewajiban dari pribadi orang lain tetapi juga dari dirinya sendiri. Manusia sebagai persona mempunyai martabat yang luhur yang tidak bisa dicabut oleh siapapun termasuk dirinya sendiri. Untuk itu, setiap orang harus menyadari penggilannya untuk menjaga, memelihara hidup dan martabatnya sebagai persona yang bernilai dalam dirinya.[22]
Kewajiban moral untuk menghormati, menghargai, dan melindungi persona merupakan kewajiban yang mengikat bagi setiap orang. Pelaksanaan kewajiban moral tersebut mengikat suara hati manusia dan tidak dapat ditawar-tawar. Dengan kata lain kewajiban moral ini berlaku mutlak bagi setiap manusia.[23]
Kewajiban moral ini selain terkait erat dengan keunikan pribadi manusia juga berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Agar relasi setiap manusia berjalan harmonis maka setiap pribadi harus saling menghormati dan mengakui bahwa baik dirinya maupun orang lain adalah makhluk sosial yang mempunyai martabat yang sama. karena itu, tidak seorang pun boleh memperalat manusia demi kepentingan pribadi.[24]
Gereja memandang kewajiban moral ini sebagai suatu usaha untuk membela nilai kehidupan manusia. Hidup manusia merupakan anugerah Allah dan hidup itu adalah suci. Maka tidak seorangpun boleh mencabutnya. Praktik-praktik seperti aborsi, eutanasia, dan perang merupakan tindakan yang tidak menghargai nilai hidup manusia. Karena itu, Gereja mengajak semua orang untuk bekerja keras dan bertanggungjawab dalam mempromosikan nilai hidup. Ajakan ini didasarkan pada keyakinan umum yakni bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah yang memiliki martabat yang sama. Budaya hidup, yang juga merupakan perjuangan kelompok pro-life, dapat diwujudkan dalam kasih dan kesetiaan antar sesama.[25]
Manusia dengan akal budi dan kehendaknya, harus merealisasikan kekayaan dan kemampuan yang ada dalam dirinya secara sadar dalam menata relasi dengan sesama dan secara khusus dengan Allah. Pusat dari kesadaran moral ialah memperhatikan dan menghormati nilai-nilai hidup. Hidup manusia sebagai persona wajib dilindungi dan diperhaikan secara khusus. Tindakan setiap orang yang berlawanan dengan budaya hidup merupakan bentuk penindasan dan kejahatan. Secara biblis Kitab Suci juga menyerukan agar manusia ikut ambil bagian dalam membela kehidupan. Hal ini tertera dalam perintah kelima dekalog yang berbunyi “Jangan membunuh.”[26]

6.      Kesimpulan
Pada zaman ini, pandangan tentang nilai kehidupan manusia semakin merosot. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Perkembangan IPTEK ini juga sungguh merubah pandangan manusia sebagai persona yang unik dan bernilai. Sering terjadi bahwa seseorang dihargai hanya karena kekuasaan dan prestasinya, sehingga orang yang lemah, sakit, cacat, dan tidak mampu bersaing dianggap bukan sebagi persona yang dapat ditindas dan dimanfaatkan sebagai objek penelitian. Di lain sisi seseorang juga menganggap dirinya tidak bernilai berhadapan dengan situasi zaman sekarang ini. Ia menganggap dirinya rendah, sehingga ada orang yang melakukan tindakan bunuh diri.
Gereja Katolik sangat menentang paham sekular tentang persona seperti fenomena-fenomena di atas. Gereja Katolik mengatakan bahwa manusia disebut persona sejak saat pembuahan hingga kematiannya. Sebagai persona, manusia memiliki keunikan yang terletak pada martabatnya sebagai ciptaan Allah danmanusia disebut sebagai persona selalu berhubungan dengan Allah sebagai sang pencipta. Keunikan manusia juga terletak pada kemampuannya dalam berpikir, bertindak, memiliki kebebasan dan suara hati. Gereja Katolik menyerukan keunikan persona sebagai hal yang harus dihormati dan dilindungi sejak seseorang dalam kandungan.


[1]Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan)(Seri Dokumentasi Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), no. 60. Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan EV, diikuti dengan nomor.
[2]EV,no. 39.
[3]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 133.

[4]Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 263; bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 819.

[5]Albertus Sujoko, “Pendekatan Personalistik dalam Teologi Moral Katolik”, dalam Jurnal Filsafat dan Teologi-Seminari Pineleng, 4/II (Juli 2005), hlm. 13.

[6] Piet Go, Hidup dan Kesehatan: Teologi Moral Konkrit (Malang: STFT Widyasasana, 1984), hlm. 36.
[7]Piet Go, Hidup ..., hlm. 37-38.

[8]Paus Yohanes Paulus II, EnsiklikSollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah-masalah Sosial)(Seri Dokumentasi Gerejawi no. 3), diterjemahkan oleh P. Turang (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), no. 26. Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan SRS, diikuti dengan nomor.

[9]Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no. 2270. Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan KGK, diikuti dengan nomor; bdk.Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 51.Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan GS, diikuti dengan nomor.

[10]T. A. Shannon, Pengantar Biotika (judul asli: An Introduction to Bioethics),  diterjemahkan oleh K. Bertens (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 46.

[11]C.B. Kusmaryanto, Tolak Aborsi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 107.

[12]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 107.
[13]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 107-108.

[14]EV, no. 53.

[15]KGK, no. 2270; bdk.Piet Go, Hidup ..., hlm. 60-62.

[16]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 53.
[17] Largus Nadeak,Bioetika: Mempromosikan Budaya Kehidupan (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat-UNIKA St. Thomas, 2003), hlm. 18 (diktat).

[18]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 115.

[19]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 63.

[20]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 68.

[21]C.B. Kusmaryanto, Tolak ..., hlm. 118.
[22]GS, no. 14.

[23]Franz Magnis-Suseno, Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 25.

[24]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 16.

[25]SRS, no. 33.
[26]EV, no. 95; Bdk. Kel. 20:13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar