PANDANGAN MORAL KATOLIK ATAS MANUSIA SEBAGAI PERSONA
1.
Pengantar
Dunia dewasa ini telah mengalami perkembangan dalam berbagai bidang,
terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan itu bagai
pedang bermata dua yang memiliki dampak ganda. Disatu sisi teknologi memiliki
dampak positif, misalnya membantu manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya
yang semakin kompleks. Namun disisi lain perkembangan itu juga berdampak
negatif. Misalnya, menyebabkan merosotnya moralitas manusia. Di sisi ini,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa mempengaruhi pandangan manusia
atas dirinya sendiri dan sesamanya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, keberadaan manusia zaman ini
menjadi sebuah keperihatinan karena adanya pihak-pihak yang memandang manusia
sebagai objek atau sarana untuk tujuan tertentu. Martabat manusia sebagai
persona akhirnya kian luntur. Penghormatan dan penghargaan kepada manusia hanya
ditentukan oleh kualitas hidup yang lahiriah, seperti jabatan yang tinggi,
kesuksesan hidup, kekayaan, atau berprestasi.
Dalam sejarah perkembangan zaman, keberadaan manusia sebagai persona
semakin marak dibicarakan. Banyak ahli menjadikan status persona sebagai inti
pembahasan ilmunya. Berhadapan dengan perkembangan zaman, Gereja senantiasa
hadir untuk menyerukan pandangan moralnya. Gereja berpendapat bahwa hidup manusia
itu suci, karena Allah senantiasa hadir dan terlibat dalam seluruh perkembangan
hidupnya. Karena itu, tidak seorangpun berhak untuk menentukan hidup dan mati
manusia.[1]
Pandangan Gereja tersebut semata-mata hendak menentang perlakuan yang
sewenang-wenang terhadap manusia sebagaimana yang terjadi dalam dunia modern
ini. Gereja menegaskan bahwa hidup manusia merupakan anugerah dan rahmat Allah.
Hidup manusia bukan hasil ciptaan manusia itu sendiri. Maka, praktik-praktik
yang tidak berpihak pada kehidupan berarti menolak rahmat Allah itu sendiri.[2]
Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai persona dan statusnya dilihat
dari sudut pandang moral Katolik. Moral Katolik melihat manusia sebagai persona
yang sungguh bernilai. Karena itu setiap orang wajib memperlakukan dirinya dan
sesamanya sebagai sesuatu yang bernilai. Manusia disebut persona karena
memiliki kebebasan, suara hati, akal budi, dan tanggung jawab. Sebagai persona
manusia mempunyai martabat luhur yang diterima dari Allah penciptanya.[3]
2.
Pengertian Persona
Kata “persona” berasal dari bahasa Latin, yang artinya topeng. Begitu
juga dalam bahasa Yunani yang berasal dari kata prosophon yang artinya wajah atau topeng. Dalam bahasa Inggris,
kata persona (person) diartikan sebagai
pribadi atau diri. Awalnya kata persona ini dipakai untuk menyebut peran yang
dimainkan oleh seseorang dalam pentas atau kehidupan sehari-hari.[4]
Persona memiliki berbagai segi dalam hubungannya dengan kesadaran diri,
kebebasan, kewajiban, hak dan martabat yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam
psikologi, kata persona (pribadi) digunakan untuk menyebut individu atau orang-perseorangan
sebagai pemilik sifat-sifat dan hubungan sosial tertentu. Dalam tataran ini,
persona merupakan kesatuan riil tersendiri dan khas. Sementara itu, dalam ilmu
filsafat, persona diartikan sebagai “individu rohani” yang kekhususannya tak
terbagikan dan tak tergantikan. Dengan kata lain, istilah persona hanya
digunakan pada manusia yang mempunyai kekhususan atau keunikan dengan tugas dan
nilai tersendiri yang melampaui arti keanggotaannya dalam kelompok, bahkan
dalam umat manusia seluruhnya.[5]
Dalam arti yang lebih profan, kata persona sering digunakan dalam
pertunjukan-pertunjukan drama atau sandiwara di mana para pemainnya mengenakan
topeng untuk memainkan suatu tokoh atau peran tertentu. Topeng yang dipakai
tersebut menyembunyikan wajah si pemain. Karena itu, persona menunjuk pada
identitas seseorang sesuai dengan perannya.[6]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata persona dipengaruhi oleh paham
kekeristenan dan bahkan berkembang dalam diskusi teoligis, yakni tentang Allah
Trinitas (satu hakikat, tiga persona). Arti persona yang semakin sarat makna
itu dikembangkan dalam gagasan Kitab Suci tentang manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah yang akhirnya memuncak pada gagasan inkarnasi, Sabda yang
telah menjadi manusia yang merupakan sapaan Allah yang menawarkan hubungan
persona sebagai patner antara Allah dengan manusia. Kata persona dalam konteks
permenungan mengenai identitas Allah menunjuk pada suatu eksistensi yang
dinamis, relasional, terbuka, komunal, dan mengisyaratkan suatu misteri yang
tidak pernah bisa selesai dijelaskan secara tuntas.[7]
Selain pengertian persona yang disebut di atas, ada beberapa tokoh yang
mendefinisikan persona secara lebih sempit. Misalkan, John Locke yang
berpendapat bahwa persona adalah seseorang yang mampu berpikir dan memiliki
kesadaran. Menurutnya, seseorang yang tidak mampu menggunakan pikirannya dan
tidak mempunyai kesadaran diri tidak dapat disebut sebagai persona. Sementara
itu, Nietzsche berpendapat bahwa persona ialah manusia yang memiliki kuasa dan
kekuatan untuk mewujudkan semua dorongan naluriahnya. Bagi Nietzsche hanya
orang-orang yang berkuasa dan mempunyai kekuatan yang layak dihargai hidupnya.
Kedua tokoh ini memandang persona atau pribadi manusia hanya akan dihormati dan
dihargai jika ia berguna. Tetapi jika tidak berguna orang tersebut bisa
dilenyapkan atau dibunuh. Hal inilah yang menjadi keprihatinan mendalam bagi Gereja
hingga saat ini.[8]
3.
Manusia sebagai Persona
Gereja Katolik dengan tegas menolak
paham moral sekular yang memandang persona secara tidak utuh, sebagaimana yang
dipahami oleh John Locke dan Nietzsche. Gereja hendak memberi penghormatan pada
kehidupan manusia yang sudah ada sejak saat pembuahan. Dalam Katekismus Gereja
Katolik (KGK), Gereja menegaskan bahwa kehidupan manusia harus dihormati dan
dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya, karena sejak saat itu
manusia memiliki hak-hak pribadi diantaranya hak atas kehidupan dari makhluk
yang tak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat.[9]
Para pakar ilmu genetika juga
mendukung paham moral Katolik tersebut dengan mengatakan bahwa eksistensi
persona telah ada pada awal kehidupan dan sekaligus mengakui bahwa hidup
manusia dimulai pada saat pembuahan. Mereka juga mengatakan bahwa janin yang masih
dalam kandungan telah diakui sebagai manusia karena ia memiliki potensi untuk
menjadi manusia yang utuh.[10]
Secara biologis permulaan hidup baru
seseorang ditandai dengan beberapa hal, seperti: adanya gerakan, kemampuan
untuk berkembang biak, kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang. Selain itu
kriteria lain yang diberikan bila dihubungkan dengan makhluk yang tidak hidup,
ialah adanya kapasitas metabolisme yang terjadi karena adanya sel. Dengan kata
lain awal mula hidup seseorang telah terjadi pada saat pembuahan.[11]
Permulaan hidup baru seseorang tidak
berasal dari sesuatu yang tidak ada melainkan dari pertemuan antara sel sperma
laki-laki dan sel telur perempuan yang membentuk satu sel baru yang unik. Sel
tersebut adalah manusia sebagai makhluk hidup yang baru dan tiada duanya.
Pandangan ini semakin dikukuhkan berkat adanya penemuan baru dan pengetahuan
yang mendalam mengenai gen dan DNA manusia. Gen dan DNA manusia dalam satu sel
sudah tersimpan secara informasi genetis seseorang yang akan dibawanya tanpa
pernah berubah sampai ia meninggal. Dengan kata lain dalam satu sel manusia
(zigot) sudah berkembang semua hal yang diperlukan untuk menjadi manusia baru
yang lengkap.[12]
Dengan bantuan data ilmiah diatas
Gereja Katolik semakin tegas membela dan berpendapat bahwa sejak saat pembuahan
sudah ada hidup manusia yang terus berkembang menjadi manusia sempurna. Karena
itu sejak saat pembuahan, hidup manusia harus dilindungi dan dihargai. Hidup
manusia mempunyai nilai intrinsik. Karena itu Gereja senantiasa menyerukan agar
hidup dan keberadaan setiap pribadi manusia sejak saat pembuahan hingga
kematian haruslah sepenuhnya dihormati dan dilindungi.[13]
Sebagai pribadi yang harus dihormati
dan dilindungi, manusia memiliki nilai kehidupan karena ia merupakan anugerah
Allah, gambar, materai, serta nafas kehidupan-Nya. Karena itu hanya Allahlah
satu-satunya Tuhan atas kehidupan. Maka tidak seorang pun dapat memperlakukan
hidup dengan sesuka hatinya. Hidup mausia itu suci dan luhur, maka tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang dapat menggantikan dan memberikan hidup kecuali
Allah yang adalah sumber kehidupan.[14]
Gereja Katolik menyadari bahwa agar
hidup manusia tetap bernilai, manusia harus tergantung secara total pada
penyelenggaraan Ilahi. Hidup sebagai anugerah menuntut panggilan dan tugas dari
manusia untuk melindungi setiap kehidupan. Dengan kata lain Gereja menegaskan
bahwa hidup manusia, baik hidup janin yang ada dalam kandungan maupun yang
sudah terlahir ke dunia, orang tua yang lemah, maupun orang-orang sakit, cacat,
dan mereka yang berada dalam sakrat maut harus tetap dilindungi dan dihormati
secara mutlak karena mereka berasal dari Allah sang pencipta.[15]
4.
Status Persona pada Manusia
Dewasa ini semakin marak praktik-praktik seperti aborsi, eutanasia,
hukuman mati, dan lain-lain. Menanggapi fenomena ini Gereja secara tegas
menyerukan nilai kehidupan yang harus dihormati sebagai pribadi atau persona
dengan menghargai martabat luhur manusia dan secara tegas menolak
praktik-praktik tersebut. Selain itu Gereja juga menolak paham sekular yang
mengatakan bahwa manusia dipandang sebagai persona bila ia dapat berpikir,
berkuasa, dan mampu merealisasikan semua dorongan naluriahnya sebagaimana paham
yang dianut oleh John Locke dan Nietzsche.[16]
Gereja memandang manusia sebagai persona secara holistik. Manusia itu
adalah satu sekaligus multi dimensi. Manusia adalah realitas yang kompleks
sehingga tidak bisa direduksi hanya pada fisik saja, karena ia adalah satu
dalam badan dan jiwa. Paham persona selalu terkait erat dengan hidup. Persona
adalah makhluk yang berakal budi, berkehendak bebas dan otonom. Setiap persona
memiliki hak untuk hidup dan untuk dilindungi.[17]
Penentuan status persona, pertama-tama bukanlah persoalan biologis
tetapi lebih merupakan persoalan filosofis, hukum, dan teologis. Akan tetapi
data-data ilmiah yang diberikan oleh para ahli biologi sangat bermanfaat dan membantu
kita untuk menentukan status persona.[18]
Persona memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling dasar.
Hak hidup itu ada bukan karena diberikan oleh orang atau instansi melainkan
karena ia adalah manusia. Hak hidup itu berasal dari kodratnya sebagai manusia.
Dengan demikian hak hidup itu merupakan hak yang tidak dapat diganggugugat oleh
siapa pun kecuali oleh Allah sendiri. Hak hidup itu ada sejak pertama kali
keberadaannya yakni pada saat pembuahan dan akan berakhir ketika ia meninggal.[19]
Status persona juga bukan ditentukan oleh aspek kegunaannya, tetapi
karena ia adalah pribadi yang unik dan bernilai dalam dirinya. Persona bernilai
dari kodratnya sendiri yakni sebagai manusia yang berakal budi, berkehendak
bebas dan otonom. Nilai intrinsik setiap persona ada sejak pertama
keberadaannya dan akan berakhir bila ia meninggal.[20]
Manusia disebut persona karena ia memiliki tubuh dan jiwa. Tubuh dan
jiwa bukanlah dua hal yang terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh
yang tidak dapat dipisahkan. Jikalau jiwa seseorang dipisahkan dari tubuhnya
maka ia bukan lagi seorang persona tetapi hanyalah jasad manusia. Kesatuan
tubuh dan jiwa merupakan syarat yang penting bagi persona. Dengan kata lain,
persona merupakan jiwa yang membadan dan sekaligus badan yang menjiwa.[21]
5.
Kewajiban Moral Manusia sebagai Persona
Sikap hormat terhadap persona merupakan kewajiban moral bagi setiap
manusia. Penghormatan manusia sebagai persona bukan hanya kewajiban dari
pribadi orang lain tetapi juga dari dirinya sendiri. Manusia sebagai persona
mempunyai martabat yang luhur yang tidak bisa dicabut oleh siapapun termasuk
dirinya sendiri. Untuk itu, setiap orang harus menyadari penggilannya untuk
menjaga, memelihara hidup dan martabatnya sebagai persona yang bernilai dalam
dirinya.[22]
Kewajiban moral untuk menghormati, menghargai, dan melindungi persona
merupakan kewajiban yang mengikat bagi setiap orang. Pelaksanaan kewajiban
moral tersebut mengikat suara hati manusia dan tidak dapat ditawar-tawar.
Dengan kata lain kewajiban moral ini berlaku mutlak bagi setiap manusia.[23]
Kewajiban moral ini selain terkait erat dengan keunikan pribadi manusia
juga berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Agar relasi setiap
manusia berjalan harmonis maka setiap pribadi harus saling menghormati dan
mengakui bahwa baik dirinya maupun orang lain adalah makhluk sosial yang
mempunyai martabat yang sama. karena itu, tidak seorang pun boleh memperalat
manusia demi kepentingan pribadi.[24]
Gereja memandang kewajiban moral ini sebagai suatu usaha untuk membela
nilai kehidupan manusia. Hidup manusia merupakan anugerah Allah dan hidup itu
adalah suci. Maka tidak seorangpun boleh mencabutnya. Praktik-praktik seperti
aborsi, eutanasia, dan perang merupakan tindakan yang tidak menghargai nilai
hidup manusia. Karena itu, Gereja mengajak semua orang untuk bekerja keras dan
bertanggungjawab dalam mempromosikan nilai hidup. Ajakan ini didasarkan pada
keyakinan umum yakni bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah yang memiliki
martabat yang sama. Budaya hidup, yang juga merupakan perjuangan kelompok pro-life, dapat diwujudkan dalam kasih dan kesetiaan
antar sesama.[25]
Manusia dengan akal budi dan kehendaknya, harus merealisasikan kekayaan
dan kemampuan yang ada dalam dirinya secara sadar dalam menata relasi dengan
sesama dan secara khusus dengan Allah. Pusat dari kesadaran moral ialah
memperhatikan dan menghormati nilai-nilai hidup. Hidup manusia sebagai persona
wajib dilindungi dan diperhaikan secara khusus. Tindakan setiap orang yang
berlawanan dengan budaya hidup merupakan bentuk penindasan dan kejahatan.
Secara biblis Kitab Suci juga menyerukan agar manusia ikut ambil bagian dalam
membela kehidupan. Hal ini tertera dalam perintah kelima dekalog yang berbunyi
“Jangan membunuh.”[26]
6.
Kesimpulan
Pada zaman ini, pandangan tentang nilai kehidupan manusia semakin
merosot. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Perkembangan IPTEK ini juga sungguh merubah pandangan manusia sebagai persona
yang unik dan bernilai. Sering terjadi bahwa seseorang dihargai hanya karena
kekuasaan dan prestasinya, sehingga orang yang lemah, sakit, cacat, dan tidak mampu
bersaing dianggap bukan sebagi persona yang dapat ditindas dan dimanfaatkan
sebagai objek penelitian. Di lain sisi seseorang juga menganggap dirinya tidak
bernilai berhadapan dengan situasi zaman sekarang ini. Ia menganggap dirinya
rendah, sehingga ada orang yang melakukan tindakan bunuh diri.
Gereja Katolik sangat menentang paham sekular tentang persona seperti
fenomena-fenomena di atas. Gereja Katolik mengatakan bahwa manusia disebut
persona sejak saat pembuahan hingga kematiannya. Sebagai persona, manusia
memiliki keunikan yang terletak pada martabatnya sebagai ciptaan Allah
danmanusia disebut sebagai persona selalu berhubungan dengan Allah sebagai sang
pencipta. Keunikan manusia juga terletak pada kemampuannya dalam berpikir,
bertindak, memiliki kebebasan dan suara hati. Gereja Katolik menyerukan
keunikan persona sebagai hal yang harus dihormati dan dilindungi sejak
seseorang dalam kandungan.
[1]Paus Yohanes Paulus II,
Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan)(Seri Dokumentasi
Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1996), no. 60. Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini
akan disingkat dengan EV, diikuti
dengan nomor.
[3]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 133.
[4]Gerald O’Collins – Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A
Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 263; bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 819.
[5]Albertus Sujoko, “Pendekatan Personalistik dalam Teologi Moral
Katolik”, dalam Jurnal Filsafat dan
Teologi-Seminari Pineleng, 4/II (Juli 2005), hlm. 13.
[6] Piet Go, Hidup dan Kesehatan:
Teologi Moral Konkrit (Malang: STFT Widyasasana, 1984), hlm. 36.
[7]Piet Go, Hidup ..., hlm.
37-38.
[8]Paus Yohanes Paulus II, EnsiklikSollicitudo
Rei Socialis (Keprihatinan akan
Masalah-masalah Sosial)(Seri Dokumentasi Gerejawi no. 3), diterjemahkan
oleh P. Turang (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), no. 26. Untuk
selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan SRS, diikuti dengan nomor.
[9]Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no. 2270. Untuk
selanjutnya, pengutipan dari dokumen ini akan disingkat dengan KGK, diikuti
dengan nomor; bdk.Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di
Dunia Dewasa Ini” (GS), dalam Dokumen Konsili
Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 51.Untuk selanjutnya, pengutipan dari dokumen
ini akan disingkat dengan GS, diikuti
dengan nomor.
[10]T. A. Shannon, Pengantar Biotika
(judul asli: An Introduction to Bioethics), diterjemahkan oleh K. Bertens (Jakarta: Gramedia,
1995), hlm. 46.
[11]C.B. Kusmaryanto, Tolak Aborsi
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 107.
[12]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 107.
[13]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 107-108.
[15]KGK, no. 2270; bdk.Piet Go, Hidup
..., hlm. 60-62.
[16]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 53.
[17] Largus Nadeak,Bioetika:
Mempromosikan Budaya Kehidupan (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat-UNIKA
St. Thomas, 2003), hlm. 18 (diktat).
[18]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 115.
[19]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 63.
[20]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 68.
[21]C.B. Kusmaryanto, Tolak ...,
hlm. 118.
[23]Franz Magnis-Suseno, Etika Umum:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 25.
[24]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan
Moral (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar